NovelToon NovelToon

ELARA : FATED TO LOVE

1. Dipindahtugaskan

Hai, all Readers,

Semoga kita semua dalam keadaan sehat ya. Ini karyaku yang ke-sekian, semoga dapat menghibur. Jangan lupa dukungannya ya❤️

_____

Berlin, Jerman. 2022

"Elara!"

Gadis 24 tahun itu menoleh pada seseorang yang memanggil namanya. Elara tersenyum simpul mendapati Kyle yang kembali menjemputnya.

"Kau menjemputku lagi?"

"Seperti biasa. Aku tidak tau harus kemana jika weekend tiba," sahut Kyle dengan senyum kecilnya.

"Tapi aku sibuk sekali, Kyle. Aku belum punya waktu luang untuk menemanimu berakhir pekan."

"Bu dosen memang selalu sibuk," kelakar Kyle. Pria dengan tinggi 182 cm itu memang senang menjemput Elara di kampus yang menjadi tempat kerja Elara selama dua tahun terakhir ini.

"Lebih tepatnya hanya asisten dosen. Belum menjadi dosen," kata Elara meralat perkataan sang sahabat.

"Jadi … bagaimana?"

"Apanya?"

"Kau pulang jam berapa? Aku akan menunggumu di taman kampus."

"Oh, come on, Kyle. Carilah teman atau bahkan pacar yang bisa menemanimu kemanapun dan kapanpun kau mau. Aku terlalu sibuk untuk melakukan itu."

Kyle menggeleng samar. "No, no, no! Tidak akan ada pacar sebelum kau yang lebih dulu berpacaran," tukasnya menegaskan.

Jika sudah begini, Elara hanya bisa pasrah dengan ajakan Kyle.

"Oke, baiklah. Aku pulang jam 5 sore. Apa kau mau menunggu? Itu sekitar 3 jam lagi dari sekarang."

"Jangankan 3 jam, seharian aku akan menunggumu."

Elara tersenyum pada Kyle yang sudah berjalan mundur sembari melambaikan tangan.

"Aku akan ada disini pukul 5 tepat. Bye," kata Kyle sambil berlalu pergi.

Elara hanya bisa menipiskan bibir sembari geleng-geleng kepala melihat tingkah Kyle.

"Aku pikir dia menyukaimu."

Elara terkejut dengan kehadiran seseorang yang sudah ada disisinya. Itu adalah Robert, kawan satu stambuk nya saat berkuliah dulu. Dia juga mengajar di Universitas ini. Bedanya, Robert telah resmi menjadi dosen muda sedangkan Elara hanya sebatas asisten dosen saja.

"Bukan urusanmu." Elara memang selalu jutek pada Robert yang playboy. Elara tidak menyukai sikap pria itu yang sering mendekati para mahasiswinya sendiri.

Elara lantas beranjak pergi dari hadapan Robert tanpa kata-kata undur diri. Sementara Robert, dia mengendikkan bahu sambil terkekeh kecil.

"Sampai kapan kau akan menghindari ku, Elara?" batin pria itu.

***

Seperti biasanya, Elara harus mengajar dan menggantikan dosen yang menjadi atasannya. Hari ini ada kelas pagi dan Elara buru-buru pergi ke kampus agar tidak terlambat bekerja.

Elara memasuki ruangan yang masih tampak senyap. Belum ada siapapun disana kecuali dirinya.

Elara memang belum memiliki ruang pribadi. Dia ditempatkan disebuah ruang yang cukup lebar untuk berbagi tempat dengan beberapa asisten dosen yang lain. Ruangan itu sendiri terdiri dari beberapa meja untuk masing-masing rekannya.

Elara ada dalam ruang itu demi bisa meletakkan barang-barang pribadinya sebelum proses belajar-mengajar.

Masih ada waktu sekitar 20 menit lagi sebelum Elara memasuki ruang kelas dimana dia menggantikan dosen utama. Sepertinya Elara terlalu pagi datang kesana. Tak apa, dia bisa membaca buku dulu untuk sekedar mengisi kekosongan waktu sampai jam masuk tiba.

Saat Elara sibuk membaca buku, tak sengaja ia malah mendengar suara keributan yang sepertinya berasal dari ruangan sebelah. Itu adalah ruangan sang rektor kampus–tempatnya bekerja.

"Untuk apa kau datang kesini? Ini tempat kerjaku! Pergilah!"

Sebenarnya Elara tidak mau ikut campur. Akan tetapi, suara-suara pertengkaran di ruang sebelah terdengar begitu saja di telinganya, padahal Elara tidak berniat mendengarkannya.

Hingga pada akhirnya, dari keributan itu Elara mengetahui sebuah fakta mengenai perselingkuhan rektor kampus dengan wanita yang mendatangi ruangannya tersebut.

...****...

Elara hampir meninggalkan kampus saat jam mengajarnya sudah usai. dia harus segera pergi, lagipula hari ini Kyle kembali berjanji untuk menjemputnya seperti biasa.

"Elara?"

"Ya, ada apa Sania?"

"Kau dipanggil Mr. Aldrik. Kau diminta ke ruangannya sekarang."

Entah kenapa perasaan Elara tak enak. Apa ini ada kaitannya dengan kejadian pagi tadi? Apa Mr. Aldrik tau jika dia mendengar pertengkaran pria itu dengan selingkuhannya?

Elara mengiyakan ucapan Sania. Dia masuk ke dalam ruangan rektor sesaat setelah mengetuk pintunya.

"Elara?"

"Iya, Mister?" Elara menunduk dalam-dalam.

"Kau ada di ruangan sebelah saat aku menerima tamu pagi tadi?"

Elara ingin berbohong demi keselamatan dirinya, tapi entah kenapa bahasa tubuhnya malah mengangguki pertanyaan Mr. Aldrik. Elara yakin, jika pun dia berbohong itu justru akan menimbulkan masalah baru nantinya.

"Aku tidak perlu menanyakan apa kau mendengar percakapanku atau tidak." Mr. Aldrik tersenyum smirk. "Jadi, untuk menutup mulutmu itu, kau tidak bisa bekerja disini lagi sebagai asisten dosen," ujarnya enteng.

"Mister? Maafkan saya. Saya tidak akan membuka mulut mengenai apapun hal yang sudah saya dengar, itu akan saya simpan seperti saya menjaga rahasia saya sendiri tapi, jangan pecat saya, Mister."

Mr. Aldrik menggeleng di posisinya. "Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja."

"Saya berjanji," kata Elara memohon. Dia begini bukan karena butuh pekerjaan. Elara bukannya kesusahan ekonomi, tapi dia mencintai pekerjaannya yang sekarang, malah Elara punya impian untuk mengajar terus sekalipun itu di panti sosial.

Mr. Aldrik tampak menimbang-nimbang. Dia mengusap tangannya beberapa kali sampai akhirnya dia tiba pada sebuah keputusan.

"Baiklah, aku tidak akan memecatmu. Tapi akan lebih baik jika kau pindah dari kota ini membawa serta semua yang sempat kau dengar."

"Tapi, Mister? Saya tidak bisa meninggalkan Berlin," kata Elara mencoba protes. Dia amat menyesal kenapa harus mengetahui salah satu rahasia buruk milik rektornya tersebut.

"Pergilah, Elara. Di tempat yang baru nanti, ku pastikan kau akan tetap bekerja seperti saat masih disini."

"Bukan soal itu, Mister. Kehidupan saya ada di kota ini. Saya sukar beradaptasi lagi di tempat lain."

"Keputusanku sudah bulat dan tidak bisa dirubah. Jika kau sampai membuka mulutmu meski kau sudah dipindah-tugaskan, maka kau akan menerima akibatnya."

Elara menelan salivanya dengan berat, padahal tak sekalipun dia mau membuka mulut terkait hal ini. Tapi, mau bagaimana lagi, mungkin ini memang sudah jalannya untuk berpindah ke tempat lain.

Elara keluar dari ruangan rektor, dia terduduk lesu di koridor kampus.

"Ela?"

Elara menatap Kyle yang sudah menunggunya disana. Seperti hari-hari sebelumnya, pria itu selalu menepati janjinya pada Elara, itulah yang membuat Elara nyaman bersahabat dengan Kyle.

Elara tersenyum pada Kyle yang menatapnya dengan raut keheranan.

"Ada masalah? Kau baik-baik saja?"

"I'm ok," kata Elara pelan. "Aku akan segera pindah tugas dari kampus ini, Kyle."

"Wah, bukankah itu sebuah kemajuan? Ku rasa disini sudah terlalu membosankan, right?" Kyle tau Elara tidak baik-baik saja saat mengatakan hal ini, maka dari itu dia berusaha menghibur Elara dengan ucapannya barusan.

"Hmm, sepertinya begitu. Aku harus menerima semua ini, kan?" Elara terdengar pasrah tak bersemangat.

"Ya, memangnya kau akan pindah ke kampus mana?" tanya Kyle lagi.

"Entahlah, tapi yang jelas itu tidak disini. Aku akan meninggalkan Berlin."

"What?" Kyle yang tadinya baik-baik saja, kini menjadi syok. Dia kira Elara akan dipindahkan ke kampus lain yang masih berada di kota ini, tapi pernyataan Elara mampu membuat mood Kyle jadi berubah buruk.

...Bersambung …...

2. Keberangkatan

Elara sudah siap dengan barang-barang yang dikemasnya.

Besok, tepatnya pagi-pagi sekali Elara harus berangkat meninggalkan kediamannya. Ia benar-benar dipindahkan ke luar kota, tepatnya ke Hamburg yang jaraknya cukup jauh dari kota Berlin.

Perjalanan itu memakan waktu sekitar 3 jam 8 menit jika menggunakan transfortasi darat, sedangkan menggunakan penerbangan dibutuhkan waktu kurang lebih sekitar satu jam, atau tergantung penerbangan yang nantinya ia pilih.

Elara memilih transfortasi udara untuk mempersingkat waktu kepergiannya dan kebetulan tiket itu sudah ia kantongi.

"Hai, Ela?"

"Ya, ada apa, Kyle?" Elara menyahut telepon seluler dari Kyle pada malam itu.

"Kau jadi berangkat besok?"

"Hmm, aku sudah mendapatkan tiketnya."

"Kenapa kau tidak resign saja dari Universitas itu, kau bisa menjadi asisten dosen di tempat lain tapi masih di kota Berlin." Terdengar Kyle memberi Elara saran.

Elara tersenyum sendu di posisinya meski ia tahu Kyle tidak dapat melihat itu.

"Haruskah ku katakan padamu bahwa aku tidak memiliki pilihan lain kecuali ini?" ujar Elara disertai tawa kecil.

"Sebenarnya ada apa, El? Kenapa kau bisa dipindahkan? Aku sudah bertanya beberapa kali tapi kau tidak mau mengatakan apa masalahnya. Mungkin kita masih bisa membicarakannya dengan rektor kampus agar kau tidak jadi dipindahkan ke Hamburg?"

"Sudahlah, Kyle. Aku juga sudah bersedia dengan tawaran ini. Lagipula Hamburg masih berada di negara Jerman. Apa yang kau risaukan?"

"Aku takut kau melupakanku disini."

Elara tertawa lagi. "Kita masih bisa bertemu, sesekali. Tawaran ini lebih baik daripada aku harus kembali ke rumah orangtuaku di Indonesia. Bagaimana menurutmu?"

Disana, Kyle berdecak sekilas. "Baiklah, Hamburg lebih baik ketimbang kau harus pulang ke Indonesia. Kau benar, setidaknya itu masih berada di kawasan yang bisa ku datangi daripada negara asalmu yang ku pikir akan memakan waktu lebih lama jika aku hanya berniat untuk mengunjungimu saja," ujarnya pasrah.

"Baiklah, Kyle. Aku tutup teleponnya. See you ..."

"See you, besok ku antar ke Bandara."

"Thank, Kyle."

...***...

Kyle menepati janjinya, ia mengantarkan Elara ke Bandar Udara dan melepas kepergian gadis itu dengan rasa berat hati.

Elara bukan hanya sekedar sahabat bagi Kyle, tapi Elara juga sudah dianggap anak oleh ibunya. Elara punya tempat tersendiri dalam hatinya, hingga Kyle lebih memilih melajang sampai ia bisa melihat ada seseorang yang dapat dipercaya dan bisa melindungi Elara.

"Berhati-hatilah, aku berharap kau mendapat teman baik disana." Kyle melepas kepergian Elara dengan hati yang berat.

Elara tersenyum simpul. "Ya, aku akan mendapatkannya, tapi tidak akan ada yang sebaik dan seperti dirimu," ujarnya terus terang.

"Kau terlalu jujur, Elara."

"Kau terlalu baik padaku, Kyle."

Mereka tertawa bersama dan akhirnya Elara sudah harus memasuki area keberangkatan.

Elara melambaikan tangan dari jauh dan dibalas Kyle dengan lambaian yang sama.

Elara mulai berdoa sebelum penerbangannya. Perjalanan ini terasa biasa bagi Elara karena dulu dia sering pulang pergi Indonesia-Jerman atau sebaliknya. Jadi, menurut Elara perjalanannya hari ini dari Berlin ke Hamburg terasa sama saja. Elara hanya merasa sedih karena dia harus meninggalkan Berlin, padahal dia tinggal disana sudah cukup lama.

Elara sudah duduk dengan nyaman di posisinya, ia mendengar sekilas seorang pramugari yang sedang menjalankan tugas dengan memberikan informasi-informasi penting mengenai fasilitas yang ada di kabin pesawat, serta mendemonstrasikan tata cara menggunakan alat keselamatan penerbangan kepada semua penumpang yang ada didalamnya.

Setelah kiat itu selesai, Elara lebih memilih untuk membaca majalah ketimbang mendengarkan musik dengan earphone--saat pesawat yang ditumpanginya dalam keadaan lepas landas.

...***...

Kyle baru saja menyesapp kopi dari cangkirnya. Dia belum lama tiba disebuah cafe setelah mengantarkan Elara ke Bandara pagi tadi.

Kyle tak sengaja menyaksikan berita terupdate yang ditayangkan oleh televisi yang berada tak jauh dari tempat duduknya. Berita itu mengabarkan mengenai sebuah insiden jatuhnya sebuah pesawat dari salah satu Maskapai. Seorang penyiar berita itu juga mengatakan jika pesawat tersebut belum lama berangkat dari kota Berlin menuju Hamburg beberapa saat lalu.

Dari berita yang Kyle dengar, pesawat itu jatuh di hutan belantara dan hancur berkeping-keping.

Sementara ini, pencarian korban akan terus dilakukan, mengingat ada banyak nama yang masuk dalam list penumpang pesawat dari Maskapai tersebut.

Secara mendadak, kopi yang sudah terlanjur masuk ke tenggorokannya terasa amat pahit. Kyle tersentak, tubuhnya terasa membeku saat ia teringat akan sesuatu.

"Elara ..." Kyle menyebut nama sahabatnya, Elara.

"Tidak, tidak mungkin!" Pria dengan postur tubuh tinggi itu gegas keluar dari area cafe setelah meletakkan lembaran uang dengan asal di atas meja untuk membayar kopinya.

"Tidak mungkin itu pesawat yang ditumpangi Elara."

Kyle masih tidak mempercayai berita yang didengarnya. Ia ingin menampik fakta mengenai hal itu hanya karena Elara ada didalam pesawat yang sedang diberitakan.

Kyle mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh untuk mengecek dan mencari tahu berita mengenai kecelakaan tersebut. Dia tau jika jarang sekali ada penumpang yang selamat dari insiden kecelakaan pesawat dan hal itu membuat Kyle semakin kalut dan ketakutan.

...***...

Setelah mengkonfirmasi di Maskapai penerbangan dan mencocokkan seri nomor pesawat yang membawa Elara, Kyle jelas-jelas tau jika Elara masuk dalam list korban kecelakaan pesawat tersebut.

Kyle ingin tidak mempercayai hal ini, tapi kenyataannya memang harus membuatnya terpukul.

"Mom?"

Kyle mendapati sang Ibu yang ikut menyusulnya ke pusat layanan dimana dia sedang melakukan konfirmasi mengenai korban kecelakaan pesawat tersebut.

"Kyle, bagaimana?" tanya Eve.

Kyle tertunduk lemas. "Mungkinkah Elara selamat, Mom?" tanyanya sambil memijat kepala.

"Sabar, Nak. Kita harus menunggu kepastiannya. Kita belum tahu nasib Elara. Masih banyak kemungkinannya."

"Ya. Tim SAR sedang menuju titik lokasi dimana pesawat itu diperkirakan jatuh," ujar Kyle dengan lesu.

"Kita berdoa semoga Elara selamat, Kyle. Kamu tidak boleh begini. Segera kabari keluarga Elara di Indonesia mengenai hal ini."

"Baik, Mom."

...***...

Keesokan harinya, rintikan air hujan menerpa wajah Elara, membangunkannya dalam keadaan lemah tak berdaya.

Elara mendengar suara baling-baling helikopter yang sepertinya tak jauh dari posisinya. Dia ingin menjerit, namun tidak memiliki energi untuk hal itu.

Elara mengingat jika semalam pesawat yang ia tumpangi sempat mengalami masalah yang entahlah--Elara tidak begitu mendengarkan percakapan mereka sebab dia sibuk mengenakan alat keselamatan ditengah kondisi yang kalut di dalam kabin.

Elara mencoba bangkit, tapi tubuhnya sulit sekali bergerak. Elara melihat pada dirinya sendiri, banyak bagian tubuhnya yang terluka. Kulit tangan, bahu dan perutnya tampak mengelupas karena luka bakar. Begitupun kakinya. Elara merabaa wajah yang terasa perih, sepertinya sebagian wajahnya juga terkena luka yang sama.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Elara mencoba duduk, dia melihat ke langit dan disana hanya ada deruan gerimis yang menerpanya, tidak ada lagi helikopter yang sempat berkeliling disana.

Elara melihat sekelilingnya, dia memang terpojok didekat pohon yang cukup besar dan sekitar 50 meter dari posisinya, Elara dapat melihat puing-puing pesawat yang hangus terbakar namun sudah sedikit basah karena rintikan air hujan masih terus menetes.

Elara merasa sangat haus. Sampai-sampai dia tidak memikirkan apapun lagi selain ingin menghilangkan rasa dahaga. Elara menjulurkan lidah, mencecap tetes air hujan yang tak terlalu deras.

Merasa tak puas, Elara berjalan terseok-seok mencari sumber air yang lebih banyak dan mungkin dapat menuntaskan rasa hausnya.

Syukurlah Elara menemukan sebuah aliran sungai. Itu tampak deras tapi tak menyurutkan niat Elara untuk meraih airnya agar bisa ia nikmati.

Elara berniat kembali ke lokasi utama kecelakaan pesawat setelah ia berhasil meneguk air dari sungai ini. Mungkin dengan begitu ia dapat segera ditemukan dan ditolong oleh orang lain.

Meski keadaannya memprihatinkan dengan baju yang robek serta basah diterpa air hujan, tapi Elara tetap bersyukur karena dia masih diberi kesempatan kedua untuk hidup di dunia.

...Bersambung ......

Dukung karya ini dengan cara tap love untuk jadikan favorit, berikan rate bintang. Jangan lupa juga vote/gift dan tinggalkan juga komentarnya🙏🙏🙏

Visual ELARA

3. Ditemukan

Dengan tenaga yang nyaris tak tersisa, ditambah rasa lapar dan dahaga, Elara mulai berjongkok untuk mengambil air di sungai tersebut.

Elara sedikit tertegun saat melihat bayangan diri lewat pantulan yang tampak di permukaan air.

Ternyata benar, sebagian wajah Elara tampak mengerikan dengan luka bakar yang dideritanya. Luka itu berada didekat pelipis sampai ke ujung matanya dengan panjang sekitar lima belas centimeter.

Tanpa sadar, Elara refleks ingin menyentuh sekilas pada bagian luka tersebut, padahal seharusnya tangan itu ia gunakan sebagai pertahanan diri agar tubuhnya tidak terjatuh ke dalam sungai.

Sayangnya, akibat kecerobohan dan didorong dengan rasa refleks ingin menyentuh luka tersebut, Elara justru terperosok.

Elara semakin terjatuh ke dalam aliran sungai yang deras--dimana ia ingin mengambil air untuk meredakan dahaga. Gadis itu terseret arus hingga terombang-ambing di dalam gelombang air yang membawanya entah kemana dan berapa meter jauhnya.

Elara gagal kembali ke tempat yang harusnya bisa mengantarkannya ke tempat pertolongan pertama. Rencana hanya tinggal rencana sebab Elara tak dapat meminta bantuan pada siapapun lagi selain pasrah mengikuti arus.

Sampai pada akhirnya, tubuh Elara tersangkut didekat pepohonan yang rantingnya sedikit menjorok condong ke bawah aliran sungai. Elara tampak sudah tidak sadarkan diri.

Sementara disisi lain, pencarian yang dilakukan atas insiden kecelakaan pesawat telah menemukan beberapa korban jiwa yang tentu sudah tidak bernyawa.

Beberapa nama sudah diberitakan tewas dan beberapa lainnya dinyatakan hilang, termasuk Elara yang jasadnya belum dapat ditemukan.

Kyle melenguuh frustrasi ketika mendengar jika Elara tak dapat ditemukan dalam keadaan hidup maupun jasad.

Eve--ibu Kyle--mencoba menenangkan putranya yang tampak tidak baik-baik saja setelah mendengar kabar tersebut.

"Apa masih ada harapan, Mom?"

"Sepatutnya kita harus terus berdoa dan menunggu kabar, semoga masih ada keajaiban untuk Elara."

...***...

Elara terbatuk-batuk sembari mengeluarkan begitu banyak air dari mulutnya. Ia sadar dan mencoba menguasai keadaan. Saat kelopak matanya melebar, ia mendapati seorang pemuda yang duduk bersimpuh didekatnya.

"Ah, akhirnya ..." Suara pria itu terdengar penuh kelegaan saat mendapati Elara yang akhirnya sadar.

Elara mengerjap sesaat, nafasnya tampak terengah-engah dan menatap pada manik mata kehijauan milik pria didepannya.

"Aku dimana?" Elara akhirnya bersuara dengan serak, kerongkongannya seperti tercekat dan terasa sangat kering.

Pemuda itu membantu Elara untuk duduk, menyandarkan gadis itu ke sebuah batang pohon yang terdekat.

"Sekarang kita ada di hutan. Aku menemukanmu tersangkut di ranting pohon dekat sungai itu," kata sang pria sembari mengendikkan dagu ke arah dimana sungai berada.

Elara tak dapat melihat sungainya, hanya saja ia masih bisa mendengar suara derasnya air yang mengalir. Sepertinya jarak sungai yang dimaksud sang pria memang tidak terlalu jauh dari posisinya. Akhirnya Elara hanya bisa mengangguk samar untuk merespon perkataan pria itu.

"Kau butuh sesuatu?"

"Aku sangat haus, apa kau punya air?"

Elara berbicara dengan suara yang sangat pelan namun masih tertangkap oleh indera pendengaran pria tersebut.

"Ya, tentu saja." Pria itu mengulurkan sebuah tempat minum kepada Elara dan sang gadis menerimanya dengan wajah berbinar. Elara merasa dia sudah tidak meneguk air selama berminggu-minggu, sehingga ia minum dengan terburu-buru dan menyebabkan air itu sedikit tumpah membasahi kedua ujung bibirnya.

"Kau bisa meminumnya dengan perlahan."

Elara meringis sungkan pada pria tersebut, kemudian menyerahkan tempat minum yang isinya nyaris dihabiskan Elara semua.

"Maaf, aku menghabiskan airmu."

Pria itu mengangguk singkat, seolah tindakan Elara yang menghabiskan airnya tidak berimbas apapun.

"Aku masih punya banyak," katanya merespon. "Apa kau sudah lebih baik?" tanyanya kemudian.

"I'm fine."

"Baiklah, aku Shane. Aku sedang hiking dan memasang tenda camping di sekitaran sini lalu tanpa sengaja menemukanmu."

"Thank, Shane." Elara tersenyum kecil, dia merasa jauh lebih baik ketimbang diawal tadi.

"Hmm, dan kau?" Pria bernama Shane itu menanyakan nama Elara.

"Aku ..." Elara tampak ragu mengatakan identitasnya yang sebenarnya, dia memiliki alasan yaitu mem-protect diri terhadap orang asing kendati Shane adalah pria yang menolongnya.

"Lara." Akhirnya Elara menjawab tanpa mengucapkan nama yang sebenarnya.

"Baiklah, Lara." Shane menipiskan bibir, tampak berpikir sejenak. "Ku lihat kondisimu tidak baik-baik saja. Apa kau mau jika ke tendaku? Disana aku punya obat untuk mengobati luka-lukamu," paparnya.

Elara langsung teringat pada luka di wajahnya yang sempat dia saksikan lewat pantulan air sungai. Itu artinya sekarang Shane sedang melihat wajahnya yang mengerikan.

Karena Elara diam saja, Shane akhirnya kembali berkata-kata.

"Aku tidak menerima penolakan mu, sebab ku pikir kau memang membutuhkan bantuan. Bajumu juga basah, ku pikir kau juga demam sekarang. Apa kau pusing?"

Elara mengangguk dengan ragu-ragu, disatu sisi ia tak mau merepotkan Shane, dan disisi lain ia juga juga takut pada pria asing ini.

Membaca gelagat Elara, Shane menyunginggan senyum tipis.

"Apa kau takut padaku?" tanya pria itu menebak.

Elara kembali mengangguk dengan samar-samar.

"Aku tidak akan menyakitimu. Apa kau pikir aku pria yang akan mengulitimu lalu mengambil semua organ dalam tubuhmu?" kelakar Shane dengan senyuman khas-nya. "Jika itu niatku, maka ku pastikan saat ini kau tidak bisa lagi berbicara padaku," ujarnya kemudian.

Elara tak merespon, ia tahu ucapan pria itu hanya berniat untuk mencandainya. Akan tetapi, sesaat kemudian Elara akhirnya mengangguk pertanda setuju untuk ikut ke tenda pria itu.

Elara dapat berjalan dengan bantuan Shane. Tertatih-tatih sembari dibopong oleh pria itu.

"Kau tidak akan bisa melewati akar pohon itu," kata Shane menunjuk ke arah pohon yang sangat besar. Akarnya menjalar kemana-mana dengan diameter yang juga tampak gagah.

"Jadi?" Elara tampak menciut melihat Medan yang harus dia lewati dalam kondisi tubuh yang lemah seperti ini.

"Naiklah ke punggungku, aku akan menggendongmu."

"Tapi?"

Shane langsung mengambil posisi membelakangi tubuh Elara, kemudian berjongkok sedikit untuk memberi Elara akses menaiki punggungnya.

"Ayo!"

Dengan ragu-ragu Elara naik ke punggung lebar milik pria itu dan ...

Hap.

Sekali pergerakan yang dilakukan Shane dapat membantu Elara dalam posisi yang cukup nyaman disana.

"Begini lebih baik, bukan?"

Kepala Elara yang berada di pundak pria itu pun mengangguk, ini memang jauh lebih baik dan juga ... nyaman.

Berjalan sekitar sepuluh menit, akhirnya mereka tiba di tenda camping milik pria itu.

"Kau disini sendirian?" tanya Elara.

"Hmm."

"Ku pikir akan ada teman-temanmu."

"Biasanya aku mendaki bersama mereka, tapi kali ini tidak."

Elara cukup salut dengan keberanian Shane untuk bermalam di hutan sendirian. Mungkin ini juga bukan pertama kalinya Shane berkemah seperti ini sehingga ia tampak tidak amatir sama sekali dalam menghadapi medan yang terjal sekalipun.

Shane membuka tenda dan menurunkan tubuh Elara perlahan.

"Kotak obatnya ada didalam. Aku akan mengambilnya. Duduklah dulu."

Elara menurut, rasanya tulang-tulangnya pun remuk semua. Elara juga merasa sangat lelah dan tentunya lapar.

Shane kembali dengan kotak obat miliknya. Itu tampak cukup lengkap untuk ukuran kotak obat biasa. Tampaknya pria itu sengaja mengisinya dengan obat lain yang mungkin akan dibutuhkan seperti saat ini.

"Aku bisa sendiri." Elara mengadahkan tangan, hendak meminta kotak obatnya pada Shane.

"Biar aku yang mengobatimu."

"Tidak usah, lukanya tampak sangat menjijikkan."

Shane tertawa pelan. "Setahuku semua luka seperti itu," candanya.

"Maka dari itu biar aku saja."

"No, kau tidak bisa mengobatinya sendiri. Aku akan membantumu. Aku memaksa kali ini."

Akhirnya Elara pasrah dalam pertolongan pria bermata kehijauan itu.

Shane mengobati Elara dengan telaten dan hati-hati. Sementara gadis itu tampak meringis bebrapa kali.

"Apa aku terlalu keras?"

"Bukan, tapi antiseptik itu terasa perih di kulitku."

Shane tersenyum kecil. "Tahanlah sedikit, ini membantu membersihkan lukamu karena mungkin saja banyak kuman yang sudah bersarang disana," kelakarnya.

Elara ikut tersenyum, ternyata Shane punya selera humor juga sebab sejak tadi beberapa kali pria itu mencoba mencandainya. Tak seperti wajahnya yang terkesan dingin dan cuek, ternyata Shane cukup asyik sebagai teman bicara.

"Thank, Shane. Aku tidak tau jika kau tidak menolongku."

"It's oke, mungkin aku memang ditakdirkan untuk menjadi penolongmu," jawab pria itu.

...Bersambung ......

Tolong kirimkan dukungan untuk karya ini. Trus tekan bintangnya ya biar othor semangat buat lanjut nulisnya🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!