"Saya gak mau tau, pokoknya kamu harus bilang ke orang tua kamu agar perjodohan di antara kita dibatalkan!" tegas seseorang menatap tajam ke arah wanita di hadapannya.
Mereka kini tengah berada di salah satu cafe yang ada di Jakarta, wanita tersebut tampak tenang dengan meminum-minuman yang dipesannya tadi.
"Kamu dengar apa yang saya katakan apa tidak, sih?" bentak orang tersebut dengan memukul meja.
Membuat orang yang ada di dalam cafe seketika menatap ke arah mereka, dirinya hanya bisa menampilkan cengengesan agar menutupi malu.
"Kenapa gak Bapak aja yang minta orang tua Bapak buat batalin perjodohan ini?" tanya wanita itu enteng.
Laki-laki tersebut menguasap wajahnya dengan kasar, "Saya sudah bujuk berapa kali, bahkan lebih dari seratus kali kayaknya! Tapi mereka bilang, harus pihak orang tua kamu yang membatalkan perjodohan itu."
"Apa Bapak kira saya gak bujuk mereka untuk membatalkan perjodohan ini? Saya juga udah bujuk mereka, tapi hasilnya sama kayak Bapak! Mereka gak mau membatalkan," jelas wanita itu tampak tenang.
Bahkan, kali ini mulutnya mengunyah salah satu desert best seller di cafe ini. Laki-laki itu menatap dengan kesal ke arah wanita tersebut.
"Atau jangan-jangan, kamu memang mau menjadi istri saya?" tanya laki-laki tersebut penuh dengan selidik.
"Uhuk-uhuk!" Wanita tersebut tersedak makanan yang masuk ke mulutnya tadi, ia segera mengambil minum hingga habis.
Disapunya air yang membekas di sekitar bibir menggunakan baju miliknya.
"Dengar, ya, Pak! Bapak memang idola orang di kampus! Tapi, bukan berarti saya juga mengidolakan Bapak! Gak usah kecakepan deh, Pak! Gak semua orang itu tertarik sama Bapak!"
"Jadi, kenapa kamu gak berusaha agar perjodohan kita itu batal?"
"Bapak kira saya gak berusaha? Selama ini saya juga sudah berusaha, ketika saya tau kalo yang akan dijodohkan sama saya adalah Bapak saya pun mulai membujuk orang tua saya! Tapi, hasilnya? Mereka tetap aja gak mau membatalkan perjodohan ini!"
Laki-laki tersebut membuang napasnya sekali tarik, ia mengusap kembali wajahnya dengan kasar.
"Intinya, saya tidak akan pernah menginginkan perjodohan ini dan asal kamu tau! Saya sudah memiliki kekasih yang bahkan lebih cantik dan pintar dari kamu!"
"Bapak kira saya gak punya? Bahkan pacar saya lebih bijaksana, pengertian, lemah lembut dan sayang sama saya dan jangan lupa dia peka sama saya! Apalah Bapak dengan dia? Gak sebanding!" balas wanita itu tak mau kalah.
Laki-laki tersebut mengepalkan tangannya dan rahang yang sudah mengeras, ia berdiri dengan kasar dan keluar dari cafe meninggalkan wanita tersebut sendirian.
***
Abibah Eviza, itulah nama yang disematkan kedua orang tuaku untuk anak semata wayangnya ini.
Aku kuliah di salah satu universitas di Jakarta dan semester akhir, awalnya aku sudah sangat bahagia dan bersemangat menyelesaikan skripsi.
Teman-temanku banyak yang mengambil S2 di luar negri bahkan aku pun ingin juga menempuh pendidikan itu di salah satu universitas terbaik yang ada di dunia.
Akan tetapi, semua itu hanya angan-angan semata. Saat tengah semangat menyelesaikan skripsi, aku harus menerima kenyataan bahwa aku akan dijodohkan oleh anak dari teman Mamaku.
Malik Fazal Gafi, ia nama yang begitu bagus. Dia kerap dipanggil dengan Malik oleh mahasiswa juga mahasiswi serta dosen-dosen yang ada di kampus.
Dia adalah dosenku, laki-laki yang berumur 27 tahun dengan tinggi yang bisa kutaksir sepertinya 180cm ke atas juga berat badan yang sepertinya 70-an karena badannya begitu tinggi tegap.
Kulihat punggung tegapnya sudah tak ada lagi di cafe, dia pergi meninggalkanku sendirian di sini.
Awalnya, dia yang meminta aku untuk berbicara empat mata bersamanya di sini. Eh, malah sekarang aku ditinggal. Sangat tidak sopan santun sekali, bukan?
Diantara kami, tak ada yang menerima perjodohan ini termasuk aku. Sudah sering sekali aku menolak dan menolak.
Namun, tetap saja hasilnya tak pernah sesuai ekpektasiku. Apa katanya tadi? Bujuk? Jangankan membujuk, aku bahkan pernah mengancam akan gantung diri.
Bukan mengancam, bahkan aku nekat melakukan hal tersebut. Sayangnya, Tuhan masih begitu cinta pada hamba-Nya ini.
Aku selamat, baru 2 menit kira-kira leherku tersangkut di tali tersebut. Mama sudah masuk ke dalam kamar.
Bukan hanya itu saja sih, masih banyak lagi. Itu semata-mata aku lakukan karena keinginan bisa kuliah di luar negri.
Tapi, sepertinya harus kuenyahkan dari pikiran ini. Mangkanya, aku sekarang lebih tenang dan mencoba menerima takdir yang sebenarnya aku pun enggan mendapatkan takdir ini.
Setelah memakan pesanan yang kupesan tadi sampai habis, aku berdiri dan berniat untuk pulang karena kelas hari ini telah selesai.
Tentu saja yang bayar adalah Pak Malik, aku menyuruh dia membayar pesanan di awal karena biasanya di novel-novel ketika laki-laki kesal maka dia akan pergi begitu saja.
Ternyata memang benar, untung saja aku terlalu pintar untuk hal itu. Lumayan, uangku tak berusak dari dompet lusuh ini.
Meskipun terbilang sebagai anak orang kaya, tapi aku bukanlah anak yang suka dengan kemewahan.
Sebisa mungkin berpenampilan sederhana, berbeda dengan Mama. Sudah pasti wanita itu begitu elegan dan glamor. Intinya, sangat berbeda denganku.
"Mbak Abibah, ya?" tanya gojek menatapku.
"Iya, Pak. Kok tau nama saya?"
"Lah 'kan di aplikasi emang udah tertulis nama Mbak," jelas Bapak gojek membuatku tertawa menahan malu.
"Oh, jadi Bapak gojek yang saya pesan? Hahaha, bilang dong Pak. Mana helmnya?" tanyaku meminta helm.
Di sela-sela perjalanan menuju pulang, aku mencoba bercengkrama dengan si Bapak gojek. Mana tahu 'kan dapat diskonan.
"Pak, kalo Bapak dijodohkan sama saya. Bapak mau, gak?" tanya Abibah sedikit berteriak.
"Wahh ... yo, ndak mau atuh Mbak!"
"Ha? Kenapa Pak?" tanyaku kaget. Buset, bisa-bisanya aku bahkan di tolak sama tukang gojek.
Padahal, aku gak jelek-jelek amat dah. Cuma, ya, aku terlalu random anaknya dan gak bisa diam doang, kok.
"Kan saya udah punya istri Mbak, gak mungkin saya dua-in istri saya. Saya setia Mbak," ungkap tukang gojek memberi alasan.
Aku mangut-mangut, "Kalo misalnya Bapak gak punya istri, Bapak mau sama saya? Misalnya, nih, Bapak masih lajang gitu!" tegasku mempertanyakan hal itu lagi.
Mungkin, aku akan bertanya itu-itu saja sampai si Bapak mau nerima. Mana terima aku jika ditolak begini.
Bukannya menjawab, si Bapak malah melihat wajahku dari kaca spion dan kebetulan aku pun melihat ke arah yang sama.
Dia tampak tersenyum dengan kumis tebalnya membuat aku bergedik ngeri.
"Mbak suka, ya, sama saya? Kok sampe seperti itu banget? Emang, sih Mbak. Dulu saya itu rebutan pas masih lajang, tapi ini 'kan posisinya beda Mbak. Saya udah nikah, lho," jelasnya panjang kali lebar.
'Waduh, salah tempat bertanya deh kayaknya gue! Astaga, Abibah! Apes banget dah lu!' batinku merutuki diri sendiri.
Kuberikan helm dengan sedikit kasar ke tukang gojeknya, serius aku kesal sekali dengan tukang gojek kali ini.
"Mbak!" teriaknya saat aku hendak membuka gerbang.
"Apa lagi, Pak?" tanyaku dengan teriak juga.
"Jangan lupa kasih bintang 5-nya, ya," pintanya dengan tersenyum.
"Ogah!" ketusku dan langsung masuk ke dalam rumah.
Saat akan masuk ke rumah yang memang tak terlalu besar karena penghuninya hanya sedikit, kulihat ada mobil yang terparkir di depan rumah.
"Mobil siapa ini?" tanyaku dan berjalan cepat ke dalam rumah.
"Assalamualaikum!" salamku dan membuka pintu.
"Waalaikumsalam, sini masuk Sayang!" panggil Silki Parasati--mama Abibah.
Aku masuk ke dalam dengan langkah yang sedikit lambat, karena ternyata bukan hanya ada Mama di ruangan ini tapi juga ....
"Wah ... calon menantu Tante udah pulang?" tanya Dwi Ariyanti-mama Malik dengan merentangkan tangannya.
Berhambur ke pelukannya, meskipun sebenarnya enggan. Dia mengusap punggungku dan juga mengecup pipi ini.
Sangat berbeda dengan Mama kandungku, bukan? Bahkan, Mama cuma tersenyum menatap adegan di hadapannya ini.
"Kamu ikut Tante, yuk!" ajak Tante menatap aku yang baru duduk di single sofa di depan mereka.
"K-ke mana Tante?"
"Ke rumah Tantelah, kamu harus lebih dekat dengan Malik. Meskipun kalian satu kampus, tapi pasti tetap jaga jarak. Gak bisa bercanda atau ngobrol intens, gitu," jelas Tante Dwi tersenyum hangat padaku sangat hangat.
Aku cengengesan dan menggaruk tengkuk yang tertutup dengan kerudung ini, "M-maaf, Tan. Abibah gak bisa, soalnya lagi ada tugas. Nah, iya, tugas," ucapku penuh semangat setelah mendapatkan alasan yang cukup masuk akal.
"Kan besok cuti kuliah, Sayang. Kamu punya waktu besok untuk ngerjain tugasnya," timpal Mama yang ternyata tak membelaku.
"Bukannya bantuin anaknya, eh, malah menyerahkan anaknya begitu aja," gumamku.
"Jadi gimana, Sayang? Kamu mau, ya," pinta Tante Dwi yang masih menanyakan jawabanku karena aku belum menjawabnya.
Dengan berat hati, jiwa dan raga. Aku memaksa kepala yang sejujurnya enggan untuk mengangguk ini.
***
"Heh, ngapain kamu di rumah saya?" tanya seseorang dari belakang.
Aku langsung menatap ke arah pemilik suara yang sebenarnya tak asing di telingaku, tapi untuk memastikan saja.
"Main ayunan!" ketusku dan membuang pandangan.
Karena posisiku sekarang, aku memang tengah bermain ayunan yang ada di rumah Pak Malik. Tante Dwi dia tengah pergi ke luar sebentar karena ada keperluan.
Aku disuruh untuk tetap di rumahnya karena sebentar lagi juga akan pulang anaknya yang b saja ini.
"Kamu sama siapa ke sini?" tanyanya dengan datar dan menatap ke arah pintu rumahnya yang tertutup.
"Sama Tante Dwi."
"Mama ke mana?"
"Dih, Mama Bapak kenapa nanya saya?"
"Saya baru pulang, jadi mana saya tau Mama saya di mana."
"Sejak kapan kampus masih buka jam 7 malam? Oh, atau selain ngajarin kalangan manusia. Bapak juga ngajarin kalangan jin?" tanyaku dengan menahan tawa.
Sedangkan dia, setelah datar malah menampilkan wajah kesal. Apa wajahnya hanya ada dua ekspresi saja? Dasar kaum Adam!
Dia pergi begitu saja berlalu dari hadapan wanita cantik sepertiku, sepertinya dia minder karena dia belum mandi.
Meskipun, tak tercium bau keringatnya sih. Tak lama dia masuk ke dalam rumah, Tante Dwi pun akhirnya kembali bersama dengan pembantunya.
Itu sebabnya aku tak masuk ke dalam, karena di dalam tak ada siapa-siapa. Bukan takut kalo ada setan yang menggangu, aku takut jika ada manusia yang maling nanti.
"Malik udah pulang, Sayang?" tanya Tante Dwi dengan nada begitu lembut.
"Udah Tante, baru aja pulang tadi," jawabku sambil keluar dari ayunan.
"Yaudah, yuk kita masuk!" ajak Tante merangkul bahuku.
Aku melihat ke arah tangan Tante Dwi dan melirik ke belakang arah Mbok Jum, "Tante beli apaan? Kok gak ada bawa apa-apa?" tanyaku merasa aneh.
"Eh, iya, apa yang Tante cari ternyata habis. Jadi, Tante gak jadi beli, deh," gelagap Tante Dwi.
Aku sedikit tak percaya, tapi biarlah jika dia berbohong itu urusannya dengan yang di atas.
"Sayang, kamu panggil Malik, ya. Biar makan sama-sama," suruh Tante saat aku ingin ikut masuk ke dapur.
"Mmm ... Mbok Jum aja deh Tante, Abibah bantu beres-beres aja," kilahku karena memang sangat malas sekali jika harus bertemu dengan orang tersebut.
"Kesian Mbok Jum, Sayang. Kan, baru aja pulang mana tadi kami jalan. Masa, Mbok Jum harus naiki anak tangga lagi, sih?" tanya Tante Dwi tersenyum ke arahku.
Kalau kalian ingin tahu bagaimana lembutnya suara Tante Dwi, lihat dan dengar saja gaya bicara Kak Jill yang penjual gorden sepuluh gelombang kanan dan kiri tersebut.
Tapi yang membuat aku heran, kenapa Mamanya begitu lembut sedangkan anaknya begitu menakutkan?
"Sayang, kok malah bengong?" tanya Tante Dwi membuat aku tersadarkan.
"Eh, iya Tante. Yaudah, deh. Abibah panggil Pak Malik dulu, ya. Abibah izin ke atas Tante."
"Iya, Sayang. Makasih, ya."
Aku tersenyum dan mengangguk, mengayunkan kaki ini melangkah menaiki anak tangga satu per satu meskipun dengan keadaan batin menolak keras melakukan hal ini.
Tok ...!
Tok ...!
Tok ...!
Kuketuk pintu yang tertutup dengan keras, "Dih, ngapain sih nih orang di dalam? Semedi kali, ya?" gerutuku saat tak kunjung pintu terbuka.
Ini memang bukan kali pertama aku datang ke sini, tentu saja dengan paksaan Tante Dwi yang membuat aku bermain ke sini.
Dia memberi tahu aku tentang setiap sudut rumah ini, di mana kamar dia dan suaminya dan di mana kamar Pak Malik.
Bahkan, dia juga sudah memberi tahu di mana kamar pengantin kami berdua nanti. Astaga ....
"Pak Malik! Kata Tante turun, ayo makan malam! Ngapain sih di kamar? Semedi, ya? Bukannya semedi di gua? Biar tenang gitu!" teriaku dengan keras agar human yang ada di dalam bisa keluar.
Ceklek!
'Berhasil' batinku berseru ketika melihat kaki laki-kaki tersebut.
"Pak, kata Tante D--" Aku tak sanggup menyambungkan ucapanku kala melihat pemandangan di depanku saat ini, "aaaa ... Pak Malik mesum!" teriakku menutup mata dan langsung berlari turun ke bawah.
Malik menatap Abibah yang tak perlu 10 detik dirinya sudah tak ada lagi di tangga, "Dih, kenapa sih tuh bocah? Orang cuma gak pake kaos aja sampe segitunya!" ketus Malik santai dan melihat ke arah dadanya yang berbentuk kotak-kotak tersebut.
Dirinya menutup kembali pintu kamar dan memakai kaos polos tak terlalu tebal, membuat badan kotak-kotaknya terpampang jelas.
"Malik, kamu apakan anak orang?" tanya Dwi dengan tajam ke arah Malik yang baru sampai di meja makan.
"Dia aja yang lebay, Ma. Cuma liat dada Malik aja dia sampe kayak gitu, AC di kamar Malik mati jadi panas di kamar. Malik lupa nyuruh tukang AC buat perbaikinya," jelas Malik dan duduk di salah satu bangku yang cukup jauh dari Abibah.
"Lu ke mana sih kemarin-kemarin? Kenapa susah banget dihubungi? Gak tau apa kalo tempat kopi kita rame?" tanya Aulia Dina sahabat baikku dari SMA.
"Maaf, gue selesaikan tugas soalnya," kataku tak ingin berdebat sambil fokus menaiki anak tangga di kampus.
"Biasanya lu kalo weekend pasti sempetin mampir buat bantu-bantu, mana banyak banget yang nyariin lu lagi!" ketus Aulia bersedekap dada menatap dengan kesal ke arahku.
"Tapi, bisa lu heandle semua 'kan?" tanyaku tersenyum dengan menaik-turunkan alis.
Dia tampak gelagap, menggaruk kening yang sepertinya gak gatal-gatal amat. Aku menautkan alis menatap heran.
"Kenapa?" tanyaku menyelidiki.
"Gue minta bantuan sama Irpan, sih," ujarnya dengan menampilan gigi putihnya itu.
Aku berhenti di salah satu anak tangga dan menatap intens ke arah dirinya, ia sudah menundukkan kepala.
"Berapa kerugian?" tanyaku tak mau basa basi, "udah gue bilang, gak usah minta bantuan sama dia! Kalo emang lu ngerasa gak mampu handle, lu bisa usir atau tutup aja!"
Aku dan Aulia memang memiliki coffe shop yang tak terlalu besar, tapi tentunya nyaman dan bersih.
Kami juga menggunakan kopi terbaik juga resep yang sudah pasti enak karena aku meminta resep dari salah satu sepupu yang memiliki usaha yang sama di luar negri.
Awal merintis, aku meminjam uang Papa dan Mama. Aulia hanya karyawan di tempat kopiku itu.
Karena dia berasal dari keluarga yang pas-pasan, aku menawarkan agar dia menjadi karyawan di tempatku.
Namun, belakangan ini dirinya ternyata memiliki hubungan dengan Irpan. Laki-laki bokek tapi gayanya selangit.
Dia sering mengajak anak buahnya atau geng-nya bermain di tempat kopiku dan memesan dalam jumlah yang tak sedikit.
Saat ditagih, ia beralibi akan membayarnya nanti waktu orang tuanya mengirim uang. Karena dia di Jakarta merantau.
Tentu saja aku tak tinggal diam, ketika dirinya tak mampu membayar kusuruh dia mencuci gelas juga piring-piring bekas makanan yang kubuat di tempat kopi.
Serta tak lupa, mengelap kaca juga menyapu dan mengepel ruangan.
"Gue gak mau tau, ya, Aulia! Kalo sampe Irpan datang lagi dan cuma ngutang, dengan berat hati lu gue pecat!"
"Kalo sekali dua kali mah oke, itu juga gak oke karena gue juga harus bayar listrik dan sewa tuh tempat. Jadi, jangan lu anggap duit atau untung dari tempat itu banyak!" tegasku lagi.
Aulia tampak memasang wajah sendunya, ia menatap ke arah sepatunya. Biarlah, dia tak bisa menyamakan keadaan begitu saja. Mentang-mentang aku sahabatnya bukan berarti dia bisa seenaknya saja.
Suara dering handphone yang berada di saku gamisku membuat aku mengalihkan fokus, kurogoh kantong mengambil benda pipih tersebut.
"Iya, ada apa Pa?" tanyaku saat melihat nama Papa yang ada di layar handphone.
Aku memalingkan wajah ke arah yang lain, tapi secara kebetulan ada pasangan yang lewat dengan mesranya.
Laki-laki tersebut memegang pinggang ramping wanita tersebut.
"Hay, Abibah, Aulia. Good morning!" sapanya dan berhenti di depan kami.
"Good morning Mis Vilo," sahut Aulia dengan tangan yang berdada sedangkan aku hanya menjawab tanpa mengeluarkan suara.
Setelah menyapa kami dan tersenyum dengan begitu ramahnya, mereka akhirnya pergi dari hadapan kami dan melanjutkan perjalanan.
"Iya, Pa. Nanti deh kita bicara pas Abibah di rumah, ya. Udah dulu, ya, Pa. Assalamualaikum," ucapku memutuskan panggilan.
Aku sampai lupa, Papa tadi bahas apaan di telepon gara-gara melihat pemandangan tadi.
"Mis Vilo sama Pak Malik cocok banget, ya," timpal Aulia dengan menatap punggung pasangan yang telah menjauh.
Aku menatap ke arah sahabatku itu, "Iya, berduit sama berduit. Bukan berduit sama kere kayak lu sama Irpan!" ketusku dan berjalan meninggalkan Aulia.
"Haish, Abibah! Maafin guelah!" teriak Aulia mengejar ke arahku tapi tak kuhiraukan teriakan darinya itu.
"Dih, emangnya boleh di kampus mesra kayak gitu? Padahal gak ada hubungan juga, tuh cowok juga ganjen banget jadi orang! Kayak gak ada bagian lain aja yang bisa di pegang!" gerutuku dengan sesekali menghentakkan kaki berjalan di koridor kampus.
Berharapnya, sih, yang aku hentakkan ini di bawahnya bukan lantai. Tapi muka dan tubuh dosen plus laki-laki songong itu.
"Abibah!" teriak seseorang dari belakang.
Aku langsung berhenti dan melihat ke sumber suara, ini bukan suara Aulia mangkanya aku mau berhenti. Karena ini suara ....
"Eh, Hay Deo. Ada apa?" tanyaku menatap laki-laki yang sudah ada di depanku.
"Kantin, yuk! Aku yang traktir!" ajaknya dengan wajah penuh harap.
Aku sedikit canggung dan menggaruk tengkuk, "Ayo, traktirin gue sekalian, ya! Kalo lu traktir sahabat gue berarti lu harus traktir gue juga!" potong Aulia yang sudah berada di tengah-tengah kami.
Lumayan, sih, setidaknya aku tak merasa canggung dengan laki-laki yang juga lumayan banyak penggemar ini karena kepintaran dan juga ketampanannya.
"Gak ada yang ngajak kamu!" ketusku menatap ke arah Aulia dengan senyumnya yang sudah mengembang.
"Ah, Abibah! Lu mah gak asyik banget, orang Deonya juga gak keberatan pun. Iya 'kan?" tanya Aulia dengan cepat memalingkan wajahnya dengan menyenggol tubuh Deo menggunakan tangannya.
"Iya, gak papa kok. Kalo kamu mau ikut sama kita ke kantin."
"Yaudah, yuk!" seru Aulia cepat dengan semangat yang membara.
Aku mendengus kesal melihat tingkah wanita yang saat ini berada di depan kami, karena aku dan Deo berjalan beriringan di belakangnya.
***
"Gimana sama tempat kerja kamu?" tanya Deo menatap ke arahku dengan memakan bubur ayamnya.
"Baik-baik aja, kok," jawabku cengengesan dan memakan roti yang sudah dibungkus-bungkus.
"Aelah, Abibah! Gak perlu gerogi kali, ini 'kan Deo. Bukan orang lain, rileks aja rileks!" timpal Aulia sambil memasukkan bubur ke mulutnya.
Aku langsung menatap tajam ke arah wanita di sampingku ini, bukan masalah aku gerogi atau apa.
Hanya saja, aku tak ingin setelah ini ada adegan tembak-menembak kembali. Karena, sudah sering sekali Deo menyatakan perasaannya padaku.
Beruntung, aku merupakan orang yang suka privasi soal kehidupan pribadi termasuk pada sahabat.
Jadi, Aulia tak pernah tahu akan hal itu tapi dia memang sering menebak karena sikap Deo yang menurutnya tak wajar jika tak memiliki perasaan pada diriku.
"Mmm ... habis kelas, kamu ada kesibukan di luar, gak?" tanya Deo menatap ke arahku.
"Ada, tadi Papa nelpon bilang ada yang mau dibicarain. Aku juga udah lama gak ke tempat kopi, udah rindu pengen sibuk di situ," jawabku dengan cepat agar laki-laki ini tak berharap.
Dia hanya mengangguk dan kembali fokus memasukkan makanan ke mulutnya, aku mengedarkan pandangan dan melihat ada seseorang yang baru masuk ke dalam kantin.
Sebuah ide yang sedikit beresiko muncul tanpa diundang, "Eh, kamu kok makannya berantakan, sih?" tanyaku dengan nada yang dibuat selembut-lembutnya tapi tetap keras dan mengusap pinggir bibir Deo dengan tisue.
"Uhuk!" batuk Aulia melihat perlakuanku yang tak biasa pada Deo.
Kulirik kembali ke arah pintu masuk kantin, tampak wajah laki-laki tersebut menampilkan amarah.
'Rasain lu Pak!' batinku tersenyum puas dan memalingkan kembali pandangan serta menjauhkan tangan dari bibir Deo.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!