Seorang gadis cantik tengah berlari di pinggir jalanan kota dengan gaun pengantin yang ia kenakan, tanpa alas kaki seolah rasa panasnya tanah yang ia injak tidak terasa panas sedikitpun di kakinya di bandingkan dengan rasa sakit hati yang sedang ia rasakan saat ini.
Semua orang yang berada di dalam mobil yang sedang berlalu lalang di jalanan teralihkan dengan pemandangan yang baru pertama kali dilihatnya, Anindia Putri Gafar namanya gadis berusia 18 tahun yang baru saja melarikan diri dari acara pernikahanya.
"Berhenti Anin!" sentak pria tampan yang usia nya jauh lebih matang dari pada Anin, dia menatap tajam gadis yang sudah sah menjadi istrinya itu dengan sangat kesal. Karena ini sudah menjadi ketiga kalinya gadis itu melarikan diri setelah sebelumnya dia dua kali melarikan diri sebelum acara pernikahan berlangsung, namun sayangnya usahanya sia-sia karena pakta bahwa dirinya sekarang sudah resmi sebagai istri sah dari Barra Emrik pria tampan belasteran indo Italy itu.
"Kemarilah ikut denganku, percuma kamu terus melarikan diri karena itu hanya akan membuatmu lelah Anin! Karena kamu akan tetap kembali kepadaku," ucapnya dengan nada tegas dan sorot mata yang mematikan.
"Tidak! jangan mendekat!" sentak Anin yang kembali mundur untuk melarikan diri, namun saat hendak berlari kebelakang Ayah yang sejak kecil memanjakanya itu berdiri tepat di depanya dengan raut wajah sendu dan mata yang berkaca-kaca.
"Ayah, katakan jika ini mimpi! aku ingin pulang kembali ke rumah kita, Ayah!" teriak Anin dengan histeris sambil menggoyang-goyangkan lengan kanan Ayahnya.
"Maafkan Ayah, nak" lirihnya pelan sambil menyeka air matanya yang tidak bisa dia tahan. "Ini adalah jalan terbaik untukmu, maafkan Ayah kamu harus menjadi istri yang baik untuk Barra." pintanya lalu berjalan mundur meninggalkan anak semata wayangnya itu.
"Ayah, aku ikut dengan mu! Bukan kah Ayah yang melarangku menikah muda! lalu kenapa Ayah memaksaku untuk menikah denganya" teriak Anin sambil berjalan menuju mobil yang di tumpangi Ayah Gafar yang sudah rela menjual anaknya demi menutupi hutang-hutangnya.
Barra menarik lengan Anin dan masuk kedalam pelukan pria yang sudah sah menjadi suaminya itu, gadis yang sedang menangisi nasibnya itu memukul-mukul dada bidang pria yang sedang memeluknya dengan sangat erat.
"Kau harusnya berbahagia! kenapa malah menangis!" sentak Barra yang sudah tidak tahan dengan suara tangisan istrinya itu.
"Kamu jahat Kak! kamu jahat!" sentak Anin yang masih merasa tidak rela dia terus memukul-mukul dada bidang pria yang jarak usianya terpaut 10 tahun lebih tua darinya.
Barra mencekal kedua lengan Anin dengan sangat keras membuat gadis itu meringis kesakitan, "dengarkan aku baik-baik. Mulai sekarang kau adalah istriku! istri Barra Emrik!" sentaknya dengan sorot mata tajam membuat Anin terdiam ketakutan.
Barra mendekatkan wajahnya dengan wajah istrinya hingga kedua hidung mereka saling beradu, "ingat itu Anin!" sentaknya membuat Anin memejamkan matanya saat nafas yang beraroma mint itu menyapu wajah cantiknya. Barra langsung menekan tengkuk leher Anin saat dirinya menempelkan kedua bibir mereka dan memperdalam ciuman itu.
"Emmppp lephashan!" Anin berusaha memberontak saat merasakan hisapan kuat di kedua bibirnya dia berusaha mendorong dada bidang Barra. "Apa kamu gila! aku kekasih adikmu! kenapa kamu memaksaku untuk menikah denganmu kak!" sentak Anin yang sejak tadi tidak tahan dengan perlakuanya.
Anin menyeka kasar bibir basahnya akibat ciuman dari pria yang sudah menyandang gelar suami itu, Barra hanya terkekeh pelan sambil mengelus rambut gadisnya.
"Tuan, sebaiknya kita masuk kedalam mobil. Karena lalu lintas semakin padat," saran Edwin karena sejak tadi kelakson mobil-mobil di sekitarnya terus berbunyi karena kemacetan yang di sebabkan oleh pasangan pengantin ini. Dengan sorot mata yang tajam dari orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya menonton drama langsung di depan matanya bahkan ada yang berusaha merekam moment itu dengan ponsel mereka, tapi berusaha di hentikan oleh para pengawal yang berjaga.
Tanpa menjawab Barra pun menggendong Anin masuk kedalam mobil, di ikuti para pengawal yang berpakaian serba hitam yang sejak tadi menjaga keamanan di sekitarnya.
"Lepaskan!" sentak Anin lalu tiba-tiba dia berteriak lagi saat Barra dengan sengaja menjatuhkanya di atas kursi mobil. "Kenapa kakak melemparku!" sentak Anin karena tubuhnya hampir terpentok kaca jendela mobil.
"Bukankah tadi kamu yang memintanya," jawabnya santai lalu masuk dan duduk di dalam mobil yang akan di kendarai Edwin asisten pribadinya itu.
Anin mendengus kesal dia duduk di ujung sekali hingga tubuhnya mentok di samping pintu sambil menatap langit lewat kaca pintu mobil itu, Anin merasakan sedih dan sakit hati yang teramat dalam. Karena Ayah keluarga satu-satunya itu telah menjual dirinya pada rekan kerjanya yang jauh lebih mudah dari umur Ayahnya, untuk melunasi hutang-hutangnya karena dia kerugian yang sangat besar hingga mengalami kebangkrutan pada perusahaanya.
"Ayah, aku tidak menyangka jika kamu rela menjual putri kesayanganmu satu-satunya ini." gumam nya dalam hati dengan air mata yang sejak tadi menetes di pipinya, Ayah yang selama ini memanjakanya dengan kasih sayang yang begitu besar walau tanpa seorang ibu Anin merasa dia adalah anak yang paling beruntung karena mempunyai Ayah yang sangat menyayanginya.
Namun kata-kata itu di patahkan begitu saja karena uang Ayahnya tega berbuat jahat kepadanya, hati Anin pun terasa nyeri wajah cantiknya kini terlihat sangat bengkak dia memejamkan matanya karena merasa cape dengan banyaknya hal yang terjadi hari ini.
Barra melirik Anin yang sudah tertidur di sampingnya dengan sisa air mata yang belum kering, di seka nya pelan oleh jari pria tampan bermata Biru gelap itu. "Kamu akan berterima kasih kepadaku, Anin. Setelah kamu tau jika kekasihmu itu tidak sebaik yang kamu pikirkan," ujar Barra yang sudah mulai merangkul pundak Anin agar menyender di dadanya.
"Dimana dia?" tanya Barra kepada Edwin yang sedang menyetir karena sebelumnya Barra sudah menyuruh Asistenya itu untuk mencari informasi tentang keberadaan adik kandungnya itu.
"Tuan Dylan sedang berada di hawaii bersama para wanitanya," ujar Edwin yang sudah mendapat informasi dari orang suruhanya.
"Jangan sampai dia tau kabar jika aku menikahi kekasihnya," titahnya dengan wajah datarnya menatap ke arah depan. "Dan buat dia tidak kembali ke indonesia untuk beberapa bulan kedepan," lanjutnya dan di jawab anggukan oleh Edwin.
Barra semakin memperelat pelukanya pada istri sah nya itu, entah ini keputusan benar atau salah karena sudah menikahi Anin tapi satu yang jelas Barra tidak ingin melihat Anin terluka karena kelakuan adiknya yang sama sekali tidak Anin ketahui sifat asli kekasihnya itu.
.
.
to be continued...
Flashback On
Tiga bulan lalu Anin berjalan memasuki loby hotel dengan wajah yang terlihat sangat bahagia, dia ingin memergoki Ayahnya yang pergi ke hotel dengan seorang wanita yang mungkin akan menjadi ibunya kelak.
Gadis itu sangat menginginkan Ayahnya bahagia dengan pasangan barunya setelah begitu lama tidak memiliki pasangan, Ibunya meninggal saat Anin berumur 10 tahun karena penyakit yang di deritanya.
"Ayah!! Aku menemukanmu" teriaknya saat membuka pintu ruangan itu, berharap dirinya memergoki Ayahnya dengan seorang wanita. Ia justru malah melihat Ayahnya sedang berbincang dengan ketiga pria di sana, Anin langsung mengedarkan pandanganya.
"Loh, ini lestoran yah? bukanya kamar hotel?" gumamnya masih lirik kanan dan lirik kiri untuk memastikan suasana ruangan itu, ruangan VVIP yang cukup besar itu hanya ada empat pria di dalamnya sedang menyantap makanan yang ada di atas meja.
"Anin, sedang apa kamu di sini?" tanya Ayahnya yang masih duduk di depan meja yang penuh dengan hidangan mewah. "Kemari duduklah," ajaknya karena berhubung anaknya ada di sana Gafar pun berniat mengenalkan nya kepada rekan bisnisnya.
"Ayah, maaf aku kira ayah sedang bersama seorang wanita di kamar hotel." jawabnya jujur membuat kedua rekan bisnisnya terkekeh pelan karena kelakuanya, Anin hanya menggaruk tengkuk yang tidak gatal sambil duduk di sebelah Ayah nya.
Sementara satu rekan bisnis Ayahnya yang lain sejak tadi hanya diam menatap tajam ke arah Anin tanpa dia sadari.
"Tuan Gafar, anakmu seperti nya tidak suka jika kamu mempunyai kekasih, sampai datang untuk memergokimu." ujar seorang lelaki yang sebaya dengan ayahnya sambil terkekeh.
"Tidak, justru aku akan memergokinya dan langsung menikahkan dia dengan Ayahku." ujar Anin dengan lantang nya, "karena aku akan menikah muda jadi Ayahku juga butuh pendamping hidupnya." lanjut Anin dan langsung mendapatkan jeweran di telinganya dari Ayah Gafar.
"Ayah sakit!"
"Kamu ini, sekolah yang benar! malah mikirin nikah muda." ujarnya lalu melepaskan lengan yang menjewer telinga Anin itu. "Tuan, maafkan atas kelakuan anakku. Kenalkan dia anak perempuan ku satu-satunya," ucap Gafar mempernalkan Anin pada ketiga rekan bisnisnya.
Anin mengulurkan tangan kepada rekan bisnis Ayahnya yang sejak tadi terkekeh melihat kelakuanya, saat Anin akan mengulurkan tangan pada satu pria yang baru dia lihat wajahnya itu karena tertutup tubuh Ayahnya yang berada di antara keduanya ia pun terkejut.
"Pak Barra?" tanya Anin dengan wajah terkejut.
Barra menerima jabatan tangan Anin yang hampir turun karena rasa kagetnya, "jadi mahasiswi ku ini ingin menikah muda?" tanya Barra membuat ketiga orang lainya bingung.
Ya, Barra adalah Dosen sekaligus pemilik Universitas Internasional yang paling terkenal itu di jakarta maupun di luar negeri karena banyak nya cabang Universitas miliknya di negara lain.
Walau uang nya sudah sangat banyak dan bisnisnya di mana-mana, pria ini sangat suka mengajar dan berbagi ilmu. Barra sangat mengenali Anin karena otak nya yang sangat cerdas, Anin menjadi salah satu mahasiswi yang ia ingat namanya.
"I-itu hanya candaan untuk Ayahku Pak," jawab Anin karena takut jika Dosen nya itu akan marah di depan Ayah dan rekan bisnis Gafar yang lainya.
Setelah perkenalan itu Anin dengan cepat undur diri karena tidak mau berlama-lama di sana dengan Dosen yang terkenal galak di kampusnya, Anin berjalan menunggu kekasihnya menjemput dirinya di loby.
Namun ternyata Barra menyusul berjalan di belakang nya dan menarik Anin, "katakan siapa pria yang akan menikah dengan mu Anin?" tanya Barra tiba-tiba membuat Anin kaget dan mendongak menatap pria yang jauh lebih tinggi darinya.
"Tentu saja dengan kekasihku pak," jawab Anin walau dirinya dan kekasihnya belum membicarakan tentang pernikahan tapi cita-citanya ingin menikah muda itu benar.
"Jangan menikah dulu! kamu harus sekolah dengan benar," titah Barra dengan sorot mata yang selalu tajam, Anin bingung dengan tingkah Dosenya yang mempermasalahkan tentang pernikahanya.
"Tidak pak, saya benar-benar hanya bercanda tentang itu." ujarnya merasa menyesal sudah datang jauh-jauh ke tempat ini jika bukan karena Ayahnya. Bukan memergoki Ayahnya dengan seorang wanita dia malah harus bertemu Dosen dingin di Universitasnya.
"Sayang, ada apa ini?" tanya seorang pria di belakang tubuh Barra, kedua orang itu pun menatap ke arah sumber suara.
"Kak Dylan." lirih Anin.
Pria yang bernama Dylan itu langsung melepaskan lengan Barra yang memegang lengan Anin lalu menggandeng wanitanya, sementara Barra hanya terdiam melihat siapa pria yang ada di hadapanya itu.
"Dylan?" panggil Barra.
"Hai kak, kenapa Kak Barra menyentuh lengan kekasihku?" tanya nya dengan wajah tersenyum yang selalu ramah itu.
"Kekasihmu?" tanya Barra.
"Iya, kenalkan Anin dia kakak ku Barra Emrik. Apa kalian saling kenal?" tanya Dylan.
"Benarkah? jadi Pak Barra Kakak mu sayang?" tanya Anin dengan wajah terkejutnya karena merasa kebetulan, dunia ini memang sempit pikirnya.
"Pak? panggil dia Kak Barra, kelak dia akan menjadi Kakak ipar mu." ujar Dylan yang merangkul Anin dengan posesive dan membelai wajah gadis itu tepat di hadapat Barra.
Anin mengangguk, sementara Barra hanya diam menatap keduanya dengan lengan yang sudah mengepal dan panas di dadanya.
"Kak, kami pamit dulu." ujar Dylan dan langsung mengajak Anin pergi dari tempat itu tanpa menunggu jawaban.
Dengan rasa kesalnya Barra langsung menghubungi Edwin Asisten pribadinya itu melalui sambungan telpon.
"Bagaimana?" tanya Barra saat sudah duduk di kursinkerjanya di kantor miliknya.
"Tuan Dylan sudah satu tahun berpacaran dengan Nona Anin," jawab Edwin menatap datar pria yang ada di hadapan nya. "Dan juga masih sering bergonta ganti wanita setiap harinya," lanjutnya.
"Hah! untuk apa dia memacari gadis polos seperti itu? jika dia bisa mendapatkan banyak wanita di luar sana setiap harinya?" tanya Barra dengan wajah meremehkan. "Apa dia memacari nya dan memperlakukan dia seperti wanita lainya?" tanya nya lagi karena mungkin itu salah satu alasanya.
"Tidak Tuan, jika seperti itu Tuan Dylan pasti sudah membuangnya. Seperti apa yang sering dia lakukan," ujar Edwin.
"Sial! apa dia memacari Anin karena gadis itu sangat mirip dengan Emily?" tanya nya dengan kesal sambil menggeprak meja di depanya. Karena jika Iya dia tidak akan tinggal diam lagi.
Edwin hanya diam dan tidak berani menjawab saat sahabat dan juga atasanya itu sedang marah seperti ini, karena akan banyak drama yang ia buat dan benar saja Barra Emrik langsung menghancurkan semua barang yang ada di atas meja dengan melempar benda-benda itu dengan sangat emosi.
"Dylan sialan!" sentaknya kesal sambil membanting ponsel yang ada di atas meja.
Flashback Off.
.
.
to be continued...
"Tuan... Tuan..." panggil Edwin karena sejak tadi Barra tidak menyahuti ucapanya.
"Ada apa?" tanya nya dengan sorot mata kesal karena dirinya sedang membayangkan tiga bulan yang lalu saat dirinya membuat perubahan besar dalam hidupnya.
"Kita sudah sampai," ujar Edwin yang masih duduk di kursi depan dan membuat Barra mengedarkan pandanganya lalu menggendong Anin yang tertidur di pelukanya.
Di luar Mansion nya seluruh pelayang sedang berbaris menunggu kedatangan Tuanya dengan seorang pelayan paruh baya yang membukakan pintu mobil untuknya.
"Tuan, saya sudah siapkan kamar untuk Nona Anin tempati di bangunan sebelah." ujar Bram kepala pelayan di Mansion itu.
"Tidak perlu, dia istriku dan dia harus tinggal di tempat dan kamar yang sama denganku." ujar Barra sambil melangkah kan kakinya melewati para pelayan yang sedang menunduk pada dirinya.
"Tapi Tuan, apa anda yakin?" tanya Bram untuk memastikan.
"Kau kira aku suka bermain-main dengan ucapanku?" tanya Barra sambil menyorotinya dengan tatapan tajamnya membuat Bram menundukan kepalanya dan tidak lagi mengikuti pria itu masuk kedalam Mansionya.
Seluruh pelayan mendekati Bram saat Tuanya masuk kedalam Mansion mewah itu, "Kepala pelayan, apa kita tidak salah lihat? Tuan Barra membawa seseorang masuk kedalam Mansion bersamanya!" seru salah satu pelayan wanita yang sudah lama bekerja di sana.
"Apa tuan sudah sembuh?" tanya yang lainya.
"Sudah diam! kalian kembali ke bangunan sebelah dan kerjakan pekerjaan di sana! ingat, tidak ada yang boleh masuk ke bangunan utama saat Tuan sedang ada di dalamnya!" titah Kepala pelayan yang tidak ada bosan-bosanya mengingatkan pada pelayan lainya, sejujurnya dia sendiri sangat penasaran seperti para pelayan lainya.
"Baik kepala pelayan," ujar para pelayan lainya yang kurang lebih berjumlah dua puluh orang itu lalu berlarian oergi ke bangunan sebelah yang tidak kalah mewahnya dengan bangunan utama.
"Apa aku tidak salah liat?" Tanya Edwin berjalan mendekati Bram, sambil menyucek-ngucek matanya.
"Iya, dia membawa seorang wanita masuk kedalam Mansionya." ujar Bram sambil berdiri melihat bangunan besar dan megah itu.
"Bahkan kita dan keluarganya saja tidak pernah bersama saat berada di Mansionya." ujar Edwin dengan kecewa, karena Barra tidak pernah mengijinkan siapapun masuk kedalam Mansionya jika sedang ada dirinya di dalam sana. Seluruh pelayanpun bekerja saat Tuanya sudah tidak ada di Mansion, semua tidak pernah bertatap muka dengan nya di dalam Mansion dan juga pengamanan yang sangat ketat yang mengelilingi tempat itu.
Di dalam kamar Barra mengelus wajah Anin yang sangat sembab namun tidak menghilangkan sedikit pun kecantikanya, "kamu akan aman bersamaku." ujarnya sambil perlahan membuka kancing pakainya sendiri tanpa mengalihkan pandanganya pada wajah cantik Anin.
Sifat ceria dan polos Anin yang selalu membuat Barra memperhatikan gadis itu dari awal pertemuannya saat dirinya mengajar di kelas Anin, wajahnya dan sifatnya yang membuat Barra yakin jika Anin sangat mirip dengan Emily.
Tiba-tiba Anin membuka matanya dan membuat keduanya saling bertatapan sedetik kemudian Anin berteriak membuat Barra menutup telinganya, "apa yang kamu lakukan Anin!" sentak Barra kesal karena gadis itu membuat telinganya kesakitan.
"Apa yang kamu lakukan kepadaku, Kak?" tanya Anin sambil menyilangkan kedua lenganya di depan dada nya.
"Apa? apa maksudmu Anin?" tanya Barra karena bingung melihat Anin yang duduk ketakutan melihat dirinya dan menuduhnya.
"Kamu mau apa? kenapa kancing kemejamu di buka seperti itu?" tanya Anin dengan keringat dingin di dahinya.
Barra menyunggingkan bibirnya dan kembali berjalan mendekati gadis itu, "kau kan istriku dan kita baru saja menikah. Sudah pasti kita akan melakukan malam pertama bukan?" ucap Barra setengah berbisik dengan senyum yang tidak bisa di artikan itu.
"Aku tidak mau!" teriak Anin sambil mendorong tubuh Barra menjauh. "Aku kekasih kak Dylan adikmu sendiri Kak, dia akan marah jika dia tau perbuatan mu! Dan lagi aku tidak mencintaimu!" sentak Anin dengan isak tangis yang mulai pecah kembali.
Barra yang sejak awal tidak ada niat untuk menyentuhnya, menjadi murka karena ucapan Anin yang melukai hatinya.
"Aku tidak peduli kau mencintaiku atau tidak! yang jelas kau harus ingat pakta jika Ayahmu sudah menjualmu kepadaku! Dan satu lagi, Dylan tidak akan berkutik dan menolongmu karena kita menikah Sah secara agama dan negara! ingat itu baik-baik istriku!" sentaknya dengan nada menyudutkan dan sorot mata yang terlihat sangat marah membuat Anin diam ketakutan.
Barra berjalan kedalam kamar mandi setelah mengancam Anin dan membuat gadis itu ketakutan, Anin dengan cepat berjalan ke arah pintu saat melihat Barra menghilang namun sial pintu itu tidak bisa di buka.
Tanpa kehabisan akal Anin pun berjalan dan langsung mengangkat gagang telpon berusaha menghubungi nomor telepon kekasihnya untuk memberi kabar jika dirinya sedang berada dalam masalah besar.
"Kak Dylan ayo angkat telponku," gumamnya dengan wajah panik dan tubuh bergetar, dia takut jika malam ini akan menjadi akhir dari segalanya jika dirinya melakukan malam pertama dengan pria yang menakutkan itu.
Namun berulang kali Anin melakukan panggilan telpon, Dylan sama sekali tidak mengangkatnya. Anin merasa prustasi hingga akhirnya dia pun tertidur di atas ranjang sambil memegang gagang telpon yang ada di atas nakas itu dengan sisa air mata di pipinya.
Tak lama kemudian Barra kelaur dari kamar mandi dengan pakian yang sudah di gantinya dan melihat Anin, Barra menyimpan kembali telpon rumah itu di atas nakas dan membenarkan posisi tidur istrinya.
"Kau bodoh Anin, kekasihmu sedang bersenang-senang dengan wanita-wanitanya." ucap Barra dengan suara pelan dan rendahnya, Barra melihat wajah Anin dengan sendu sambil mengelus pipi itu dengan lembut. "Aku janji tidak akan melukaimu, kau hanya perlu tinggal di sampingku Anin." ujarnya lalu merebahkan tubuhnya di samping Anin.
.
.
to be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!