"Siapa kalian?" Shanum berusaha memberontak ketika dua orang pria berpakaian hitam menarik paksa tubuh kecilnya ke dalam mobil mewah.
Shanum semakin gemetar ketakutan saat salah satu dari pria berbadan kekar mengarahkan jarum suntikan ke tangannya.
"A–apa yang mau kalian lakukan? Aku tidak mengenal kalian, tolong lepaskan aku!" mohon Shanum, berulang kali memelas, berharap para preman itu memiliki rasa kasihan padanya.
Namun, mereka tidak mengindahkan permohonan Shanum. Dugaan wanita itu benar, mereka mau membuatnya diam dengan menyuntikkan obat penenang. Setelah obat itu disuntikkan di punggung tangannya, mata Shanum terasa berat dan perlahan menutup dengan sendirinya, walau Shanum berusaha keras untuk membuat dirinya tetap terjaga.
"Tuhan, selamatkan aku."
***
Shanum merasa kepalanya sangat pusing, perlahan gadis itu membuka matanya. Pandangannya berpendar ke sekitar, ruangan yang dia tempati saat ini terlihat sangat asing di matanya.
"Di mana ini?" tanyanya bergumam seorang diri.
Belum sempat mendapatkan jawaban atas keheranannya, Shanum dikagetkan dengan siluet seseorang yang duduk di sofa di depan ranjang.
"Sudah bangun?" kepulan asap terlihat dalam cahaya temaram. Pria itu mematikan rokoknya, berjalan menghampiri Shanum sambil membuka kancing kemejanya satu persatu.
Tepat berada di tepi ranjang, dia membuka kemejanya, menyisakan celana panjang. Naik ke atas ranjang, mendekati Shanum yang semakin ketakutan hingga berkeringat dingin.
"Apa kau benar-benar masih perawan, Baby?" tanya pria itu, suara paraunya menciutkan keberanian Shanum. Bukan hanya tubuh gadis itu saja yang gemetar, tetapi giginya ikut bergemelatuk.
"Si–siapa kau?" Shanum menepis tangan pria itu. Lampu kamar dimatikan, Shanum tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Namun, jika didengar dari suaranya saja, Shanum tahu dia tidak mengenal pria itu.
"Aku, orang yang akan menikmati keperawananmu, Baby." pria itu semakin merangkak naik ke atas tubuh Shanum, mengunci tangan Shanum ke atas dengan sebelah tangan kekarnya sampai gadis itu tidak bisa berkutik.
"Jangan! Jangan begini… Aku tidak mengenalmu. Kumohon lepaskan aku. A–aku tidak memiliki kesalahan apa pun padamu, bukan?" Shanum menangis sejadinya, menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Tangisanmu membuatku semakin yakin kalau kau memang masih virgin, Baby. Aku semakin bersemangat," ucapnya tanpa memperdulikan tangisan Shanum.
Tangannya mulai meremas bukit kembar Shanum dari balik kemeja yang dikenakan gadis itu. Pria itu merasa kegirangan karena dia bisa menilai jika Shanum memanglah masih virgin.
"Ahh… aku bisa menebak ukurannya," ucapnya sambil tersenyum.
"Jangan bersikap kurang ajar. Apa kau memang memiliki kebiasaan, mengutip setiap gadis di pinggir jalan dan memperkosanya? Mesum kurang ajar!" maki Shanum, terlalu marah karena pria di atasnya terus menjamah tubuhnya tanpa henti.
"Ssstt!" pria itu meletakkan satu jarinya di bibir Shanum. "Jangan menuduhku sembarangan, Baby. Aku sudah membayar mahal untuk harga virginmu, dua milyar, harga yang fantastis, bukan?" pria itu membelai tubuh Shanum.
"Du–dua milyar? Jangan berdusta, aku tidak menerima sepeser pun!" bantah Shanum.
Pria itu sudah tidak mau banyak bicara lagi. Langsung merobek kemeja Shanum hingga kancingnya terlepas. Tangannya menyusup masuk ke dalam rok Shanum, dan bermain-main di area sensitif gadis itu.
Malam panjang pun terjadi. Meski sudah melawan sekeras apa pun, hal yang tidak diinginkan tetap saja terjadi. Mahkota yang selama ini selalu dia jaga, akhirnya direnggut paksa oleh seorang pria tidak dikenal. Bahkan, wajahnya saja Shanum tidak bisa melihatnya. Malam naas tidak bisa dia hindari.
Entah sudah berapa kali pria itu merudapaksanya. Sampai shanum lelah dan merintih pun, pria itu tetap tidak peduli.
"Besok pagi kau sudah bisa pergi!" ucap pria itu, setelah puas bermain, dia langsung mengenakan pakaiannya. Meninggalkan Shanum yang sudah terkulai lemah dengan tubuh yang terasa remuk.
Air mata Shanum mulai mengalir. Isakan menyayat ikut terdengar di dalam kamar gelap itu. Dalam sekejap, harta berharganya direnggut paksa oleh pria asing.
"Dua miliyar? Si–siapa yang menjualku?" Shanum meringis, bergerak sedikit saja dia tidak bisa. Tubuhnya terasa hancur.
Lelah menangis seorang diri dalam kamar asing yang gelap, Shanum akhirnya tertidur. Melupakan sejenak kepedihan yang sedang dideranya tanpa ampun. Mungkin, Tuhan sedang menguji kekuatannya.
***
Kicauan burung terdengar menggema hingga mengganggu tidur Shanum. Sinar keemasan mentari yang merangkak naik pun menyilaukan netranya yang masih terpejam. Rasa lelahnya membuat Shanum masih ingin tidur lebih lama lagi. Namun, ketika kejadiaan menyakitkan semalam kembali teringat olehnya, Shanum tersadar.
Shanum memandangi ruangan tempatnya tidur, dia merasa kamar yang ditempati sekarang terasa berbeda dengan kamar yang semalam. Shanum memeriksa tubuhnya, memang hanya bekas kissmark yang bertebaran di tubuhnya. Tetapi, Shanum sangat heran kala melihat dia sudah berpakaian lengkap.
"Siapa yang mengenakan pakaian ini padaku? Aku ingat, semalam aku tertidur dalam keadaan tela*Jang. Dan, ini juga bukan pakaian milikku. Berarti, aku dipindahkan ke sini saat aku tertidur?" gumam Shanum, matanya kembali berpendar ke segala penjuru. Kamar yang Shanum tempati sekarang juga sangat bagus. Gadis itu bisa bertaruh jika itu adalah kamar VIP.
"Tuhan, ujian apa yang kau berikan? Aku tidak sekuat harapanmu, Tuhan…." Shanum kembali menangis, matanya terasa perih karena dia terlalu sering menangis sejak semalam.
"Rio, maafkan aku karena tidak bisa menjaga kesucianku. Minggu depan kita akan menikah, tetapi aku…." Shanum menggantung ucapannya, tidak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri. Dia merasa dirinya adalah wanita paling hina karena tidak bisa menjaga kesucian untuk calon suaminya, Rio.
Dering ponsel Shanum berbunyi, mengagetkan wanita itu dari lamunannya. Shanum mencari-cari keberadaan ponselnya, mendapati benda pilihnya berada di dalam laci nakas.
"Selamat pagi, Sayang. Bagaimana kabarmu?" tanya Rio setelah Shanum menggeser icon hijau untuk menjawab panggilan kekasihnya.
"A–aku baik kok. Bagaimana denganmu?" tanya Shanum, berusaha terlihat baik-baik saja.
"Ah, baik?" nada suara Rio sedikit kaget. Namun, sejurus kemudian pria itu tertawa.
"Kamu sedang di mana? Kata Ibumu, semalam kamu tidak pulang ke rumah? Shanum, kamu pergi ke mana?" cecar Rio, nada suaranya terdengar begitu khawatir.
"Minggu depan pernikahan kita akan dilangsungkan, kenapa kamu malah suka keluyuran malam-malam?" tanya Rio lagi.
"Maafkan aku, Rio. A–aku hanya berniat mencari angin malam saja kok. Semalam aku menginap di rumah Rara, keasikan main sampai lupa pulang. Takut Ibu marah, aku menginap di rumah Rara," jawab Shanum. Entah mengapa, kebohongan bisa langsung terpikir olehnya.
"Benarkah?" tanya Rio memastikan lagi.
"Tentu saja."
"Kalau begitu, aku jemput kamu di sana, ya?" tawar Rio, sungguh-sungguh akan menjemput Rio untuk membuktikan sesuatu.
"Ti–tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri kok," tolak Shanum khawatir.
"Tidak apa, tunggu di sana. Aku akan menjemputmu sekarang juga," ucap Rio tanpa mau mendengarkan bantahan apa pun.
*****
Sambungan telepon mereka terputus. Saat memasukkan ponselnya ke dalam tas, Shanum menemukan ada beberapa ikat uang bernilai besar di dalam tasnya. Shanum sempat ragu dan bingung, akankan dia harus mengambil uang tersebut?
"Uang ini … sebagai bayaranku?" gumam Shanum bertanya-tanya.
Dia menyudahi pusingnya, memutuskan untuk menyimpan uang itu ke dalam rekeningnya saja, supaya bisa digunakan jika suatu saat dia membutuhkannya.
Shanum bergegas mengambil barang-barang miliknya dan keluar dari hotel tersebut. Berjalan menuju jalan raya, menyetop taksi dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Seiring supir yang dia tumpangi melaju, jantungnya berpacu kencang. Entah alasan apa yang harus dia berikan pada Ibunya nanti yang pasti aka mencecarinya dengan beribu banyak pertanyaan.
Ketika sampai di depan rumah sederhana miliknya, Shanum melangkah dengan pelan.
"Dari mana saja kamu?" tanya Mia, ibunya Shanum. Menilik penampilan Shanum dari atas sampai ke bawah.
"Bu, aku habis dari rumah Rara," jawab Shanum, berbicara sehati-hati mungkin karena takut salah bicara.
"Lihat! Rio sudah menunggu kamu sejak dua jam yang lalu. Barusan dia meminta untuk menjemputmu tapi kamu tidak mengizinkan, bagaimana sih kamu?!" sentak Mia, terlihat sekali jika dia tidak senang dengan putrinya itu.
"Satu Minggu lagi pernikahan kalian akan dilangsungkan. Sudah berapa kali Ibu katakan, jangan keluyuran malam, Shanum! Kenapa, sih, kamu masih keras kepala? Jujur saja, kamu dari mana?" omel Mia, masih kurang percaya dengan jawaban Shanum.
"Tadi malam Rio sudah mengecek toko tempat kamu bekerja, tutup. Terus kamu menginap di rumah Rara? Sangat tidak masuk akal. Kenapa tidak langsung pulang ke rumah saja, ha?" lanjut Mia, sedikit pun tidak memberikan celah untuk Shanum menjelaskan. Namun, seperti itu lebih baik bagi gadis itu. Jika dia diberi kesempatan untuk menjelaskan pun, entah alasan apa yang harus dikatakannya pada sang Ibu yang sejak tadi mengomel tanpa henti.
"Bu, sudahlah, kasihan Shanum baru saja pulang. Aku percaya dia semalam menginap di rumah Rara," ucap Rio menengahi. Masih duduk memantau pergerakan Shanum yang sejak tadi hanya mampu tertunduk.
"Rio, mau sampai kapan kamu mau membelanya? Jangan buat dia keras kepala karena pembelaan dari kamu." ketika berbicara dengan Rio, nada suara Mia berubah lembut.
"Tidak apa-apa, Bu," tukas Rio, menyunggingkan senyum manisnya pada calon Ibu mertuanya itu.
"Sudahlah, kalian lanjut bicara saja!" Mia berlalu masuk tanpa mengatakan apa pun lagi.
Melihat Mia sudah masuk ke dalam, Rio menghampiri Shanum yang masih mendudukan kepalanya, menatap lantai begitu lama dengan perasaan yang berkecamuk. Rasa takut yang menggumpal dalam hatinya, membuat Shanum senantiasa waspada dengan gerak-geriknya sendiri. Was-was jika apa ucapannya sendiri, malah akan mengungkap kebohongan yang sedang disembunyikan.
"Sha, ke mana kamu semalam?" pertanyaan calon suaminya mengagetkan Shanum. Bukannya menatap pria di depannya sembari meyakinkan, Shanum memilih untuk semakin menunduk diam. Tidak sadar jika perilakunya semakin mengundang kecurigaan dari lawan bicaranya. "Katakan dengan jujur, Sha. Jangan buat aku kecewa," lanjut Rio mendesak jawaban.
"Bukankah kamu yang mengajakku bertemu? Seharusnya, aku lah yang menanyaimu, ke mana kamu semalam? Kenapa kamu tidak datang menemuiku?!" tanya Shanum balik, diam-diam air matanya menetes tanpa henti.
"Aku sibuk, lupa mengabarimu. Maafkan aku. Tapi, mengapa kamu tidak pulang semalam? Apa kelupaanku kamu jadikan kesempatan untuk bertemu dengan pria lain di luar sana?" tuding Rio.
Shanum mengangkat kepalanya, namun tak langsung menatap netra hitam calon suaminya. Lantas, dia bertanya untuk membela diri, "Kamu … masih tidak mempercayaiku, Rio? A–aku benar-benar menginap di rumah Ra–"
"Jangan berbohong, Sha. Semalam, aku sudah datang ke sana, demi mencarimu. Kamu tidak ada di sana. Kedua orang tua Rara juga turut membenarkan," potong Rio, tidak mengizinkan Shanum terus berkelit.
Shanum memejamkan matanya, setetes air bening menetes dari sudut matanya. Dalam tundukan diam, Shanum menahan isakan dan ketakutannya. Bukan tidak mau mengadu dan berkata jujur. Jika harus jujur, banyak sekali konsekuensi yang harus Shanum tanggung nantinya. Satu hal yang paling dia takuti, adalah kehilangan Rio, calon suaminya.
Jika gadis itu sudah mengatakan yang sebenar-benarnya, tidak ada yang bisa menjamin pria itu akan tetap memilih tinggal dan melanjutkan pernikahan mereka, bukan?
"Jawab aku, Shanum. Kamu bukan orang yang pintar berbohong," desak Rio lagi.
"Aku … aku …." Shanum menggelengkan kepalanya pelan. Dia masih belum bisa untuk mengatakan yang sebenarnya. Masih shock dengan semua yang terjadi.
"Jadi, kamu memilih diam? Tanda Kissmark di lehermu terlihat sangat jelas, Sha," ucap Rio, suaranya terdengar getir, begitu menyakitkan Shanum. Kata-kata itu pula yang berhasil membuat Shanum menatap wajah calon suaminya.
"A–apa? Bekas kissmark?" Shanum langsung berusaha menutupi bekas-bekas kissmark yang tertinggal dengan tangannya.
"Percuma kamu menutupinya, bukan hanya di situ. Bekas tanda cinta kalian ada di mana-mana." Rio tersenyum kecut. "Satu Minggu lagi kita akan menikah. Apa sebelum itu kamu sudah menyerahkannya … untuk orang lain?" tanya Rio hati-hati.
"Siapa dia?" tanya Rio lagi. Setiap pertanyaan yang keluar dari pria itu, membuat Shanum semakin jatuh dalam kubangan rasa bersalah yang amat membelenggunya.
"Ti–tidak, Rio. Itu tidak seperti yang kamu pikirkan." Shanum menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Yang benar, aku dipaksa. Aku juga tidak tahu siapa yang merenggut kesucianku yang aku jaga hanya untuk kamu, suamiku kelak. Aku juga sangat tidak menginginkan hal ini terjadi. Tetapi, semuanya sudah terjadi. Hal apa lagi yang bisa aku lakukan untuk mencegahnya?' batin Shanum, meringis sembari menitikkan air mata.
"Sha, aku sangat kecewa padamu," ucap Rio, menatap Shanum dari atas ke bawah.
"Rio, ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak mengkhianatimu," terang Shanum, berusaha menggenggam tangan Rio untuk meyakinkan. Namun, Rio langsung menepis tangan calon istrinya itu.
"Pernikahan kita akan dilangsungkan secara sederhana, tidak ada pesta pernikahan seperti yang kita rencanakan di awal," ucap Rio, suaranya lirih. "Aku sudah membicarakannya dengan kedua orang tuaku dan juga Ibumu. Mereka semua setuju dengan rencanaku ini," lanjut Rio lagi.
Shanum merasa kecewa, bukankah semuanya sudah direncanakan sejak awal? Namun, mengapa semua perencanaan harus diubah tanpa persetujuan darinya. Yang akan menikah dirinya dan Rio, namun kenapa dia terlupakan, seolah menjadi tokoh tak penting dalam ceritanya sendiri? Harusnya, Shanum sendiri lah yang mengambil alih keputusan atas apa pun, dia yang menjadi peran terpenting dalam pernikahannya itu.
"Kenapa semuanya berubah? Apa … karena semalam aku pergi tanpa persetujuan darimu?" tanya Shanum lirih.
"Bukan, tidak ada sangkut pautnya dengan itu. Namun, semuanya karena kamu sudah berkhianat," jawab Rio.
"Berkhianat?" Shanum tersenyum getir. "Sejak kapan kalian mengetahui kalau aku berkhianat?" tanya Shanum. Namun, Rio tidak bisa mengatakan apa pun, hanya bisa terdiam.
"Itu buktinya, kissmark ada di mana-mana! Sudahlah, aku mau ke kantor. Kalau kamu masih mau menikah denganku, turuti saja. Kalau tidak, kita batalkan saja," ucap Rio, melenggang pergi meninggalkan Shanum seorang diri.
Shanum tergugu, sudah pasti dia tidak bisa menerima takdir yang buruk yang sedang ditimpakan Tuhan padanya. Sejak semalam, cobaan terus datang padanya. Rentetes kejadian tragis hingga ada yang merenggut kesuciannya, kini pernikahannya dengan sang pujaan hati pun berada di ambang kehancuran.
"Batalkan saja? Semudah itukah? Bagaimana dengan perasaan yang sudah terjalin selama beberapa tahun ini?" gumam Shanum dalam tangisnya.
*****
"Tuan, wanita itu sudah pergi dari hotel. Pak Rio juga sudah menagih janjinya. Dia berharap bisa menemui Anda secara langsung," ucap Leo, asisten pribadi Arthur Harisson.
Mata elang Arthur menatap tajam Leo. Tersinggung senyuman sinis di wajah pria berahang tegas dan tampan itu. Wajah bengisnya membuat siapa pun merasa ketakutan.
"Cih! Bertemu langsung denganku? Hanya perusahaan kecil, jangan berharap terlalu tinggi!" ucap Arthur, mengejek kemauan Rio yang meminta untuk bertemu secara langsung dengannya.
"Urus semuanya. Kemudian, jangan terima apa pun dari mereka lagi!" titah Arthur, melanjutkan pekerjaannya.
"Baik, Tuan." Leo undur diri. Barulah Arthur kembali membayangkan pergulatan panasnya semalam. Senyum tipisnya tersulam di wajahnya. Dia sangat senang dengan teriakan serta permohonan gadis yang dia gagahi semalam, ******* yang bercampur dengan seraknya suara tangisan, membuat tubuh Arthur kian meremang.
"Semalam, dia sempit sekali. Kelihatan jelas aku lah pria pertama yang menjamahnya. Ahhh… aku menginginkan yang seperti itu lagi," gumamnya, tergila-gila dengan pesona gadis yang sudah dia ambil keperawanannya secara paksa, namun wajah dan nama gadis itu pun Arthur tidak mengetahuinya.
***
Tiga Minggu sudah berlalu, kediaman Shanum dipenuhi oleh para tetangga dan sanak saudara yang hadir untuk memeriahkan hari pernikahannya. Pernikahan Shanum benar-benar dilakukan seadanya saja, jauh seperti yang pernah Shanum idam-idamkan selama ini. Bahkan, pernikahan ini juga sudah diundur beberapa kali oleh Rio. Entah apa yang Rio tunggu, Shanum pun tak terlalu paham dengan pemikiran pria itu.
"Katanya, pernikahanmu mewah. Tapi, kenapa kelihatannya biasa-biasa saja?" tanya seorang wanita bertubuh gempal pada Shanum yang menyandarkan tubuhnya di tembok.
Shanum tersenyum simpul. "Sekarang apa-apa serba mahal, Bu. Jadi, kami hanya mau menghemat pengeluaran saja," jawab Shanum dengan alasan yang sudah dipikirkan semalaman. Tebakannya benar, pasti banyak tetangga yang bertanya mengenai perbedaan yang cukup kentara itu. Untungnya, Shanum sudah memikirkan semua alasannya dengan rinci.
"Tapi, dua Minggu yang lalu Rio baru membeli mobil baru, loh. Masa, mobil barunya mahal, tapi dia tidak sanggup membiayai pernikahan kalian?" ucap wanita itu lagi, mengagetkan Shanum yang sangat mengerti tentang keuangan Rio, calon suaminya.
"Membeli mobil baru?" Shanum terkaget.
'Uang dari mana dia membeli mobil baru? Aku mengerti dia memiliki uang. Tapi, selama ini pun dia selalu mengeluh tidak punya uang. Bahkan, dua Minggu belakangan ini, alasan tidak punya uang itulah yang menjadi alasan utama mengapa pernikahan ini diundur-undur.'
"Sha, kamu tidak apa-apa, kan? Kenapa wajahmu sepucat itu?" tanya Rara, teman dekat Shanum. "Tapi, badanmu tidak panas," ucapnya lagi setelah mengecek suhu tubuh temannya menggunakannya punggung tangan.
"Anak aneh itu dari semalam juga mual-mual terus, seperti orang hamil saja. Pernikahan akan dilangsungkan, tapi dia malah sakit!" omel Mia, menatap Shanum sinis.
Melihat sikap Ibunya, Shanum hanya menunduk. Yang dikatakan Mia memang benar adanya. Namun, bukan berarti harus diungkit di depan umum dan diceritakan pada semua orang , bukan? Shanum yakin, dia hanya masuk angin. Lantas, mengapa seolah-olah dia mengidap penyakit serius?
"Besok Shanum pasti sudah jauh lebih baik, Bu," jawabnya dalam tundukan kepala yang dalam.
"Awas saja kamu kalau sampai membatalkan pernikahan kamu dengan Rio cuma karena kondisimu itu!" sungut Mia, berlalu pergi sambil menggandeng lengan suaminya, Luqman.
Shanum tersenyum getir. Perlakuan Ibunya sudah persis seperti seorang ibu tiri yang kejam. Entah kapan terakhir kali Ibunya itu berbicara lembut padanya pun Shanum tidak ingat. Hanya saja, dia menerimanya dengan tulus, sebentar lagi dia juga akan pindah ke rumah suaminya. Selama ini, keluarga suaminya menyayangi Shanum seperti anak kandung mereka sendiri.
'Tetapi, bagaimana jika mereka mengetahui kalau aku sudah tidak virgin? Bagaimana kalau Rio tahu? Apa mereka akan tetap bersikap baik padaku? Tuhan ... lindungi aku. Sesungguhnya, aku juga tidak mau berada disituasi sulit ini. Aku hanyalah hambamu yang lemah....' batin Shanum, setetes air matanya kembali menetes kala dia mengingat malam tragis itu. Dia benar-benar tidak tahu, kejadian itu akibat ulah serakah dari orang terdekatnya sendiri.
"Shanum! Shanum! Di mana kamu! Dasar wanita ****** sialan!" seseorang yang Shanum kenali suaranya berteriak-teriak memanggil namanya dari luar sana.
"Shanum! Keluar kamu!" teriaknya lagi.
"Rio? Itu suara Rio dan Tante Peni. Kenapa mereka berteriak-teriak seperti itu. Dan, apa tadi? ******? Apa maksudnya?" Meski kepalanya sangat pusing, Shanum memaksakan untuk keluar dan memeriksakan keadaan di luar.
"Rio, ada apa? Kenapa kalian berteriak-teriak?" tanya Shanum, yang masih belum mengetahui pokok permasalahan yang membawa calon suami dan calon mertuanya datang dengan wajah garang.
"Ada apa? Sini kamu!" Peni menarik kasar lengan Shanum supaya lebih dekat dengannya. Kemudian....
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Shanum sampai meninggalkan bekas kemarahan di pipi wanita berwajah pucat pasi itu. Shanum memegangi pipinya, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan sekaligus bingung akan situasi yang sedang menimpanya saat ini. Peni, calon mertuanya. Selama ini memperlakukannya seperti ratu. Namun, mengapa tanpa alasan bisa berubah hingga rela menampar dirinya?
"Ma, ada apa ini?" Kendati rasa perih menjalar di wajahnya, Shanum tetap bertanya dengan suara yang lembut. Tak ingin membesarkan masalah, apalagi dengan calon mertuanya yang selama ini terkenal penyayang.
"Ada apa?" Peni berteriak di telinga Shanum sambil berkacak pinggang. Matanya melotot tajam sampai nyaris hampir keluar. "******, kau pikir dirimu masih bisa bersembunyi dalam raut wajah polosmu itu?!" bentak Peni.
"Ma, aku tidak mengerti," ucap Shanum.
Peni merasa sangat geram dengan Shanum yang terus mengatakan tidak mengerti. Dia menganggap, itu hanyalah kepura-puraan semata. Apalagi, semua bukti sudah digenggamnya, tidak mungkin bukti-bukti yang dipegangnya itu salah.
Tanpa basa-basi, Peni menghamburkan beberapa lembar foto-foto Shanum yang sedang bercinta dengan seorang laki-laki.
Ada satu foto yang terjatuh di kaki Shanum. Melihat itu, barulah Shanum mengerti mengapa calon mertuanya datang marah-marah dan langsung menamparnya.
"Sekarang kamu sudah mengerti, kan? Sudah tidak bisa berpura-pura lagi kamu, kan!" ketus Peni, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Sebab, selama ini dia memang tulus menyayangi Shanum seperti putrinya sendiri.
Setetes air mata Shanum menitik di pipi tembamnya. Dia tak bisa menyangkal, bahkan mulai banyak para tetangga yang ikut menggunjingnya dan menyerukan Shanum sebagai seorang pelacur.
"Aku sangat kecewa padamu, Sha! Dugaanku semalam benar, kan? Kissmark di lehermu memang hasil dari pengkhianatanmu!" pekik Rio. Sontak, orang-orang pun langsung memperhatikan leher Shanum yang terbalut dengan sebuah selendang.
Membela diri pun percuma, tidak akan ada yang mempercayai cerita versi dirinya. Apalagi setelah foto-foto itu tersebar. Herannya, wajah pria bajingan yang sudah merenggut kesuciannya sampai membuat Shanum terpuruk, tetap tak terlihat meski dalam lembar foto sekali pun.
"Shanum Mahira! Aku membatalkan pernikahan denganmu. Besok, pernikahanku akan tetap dilangsungkan, tetapi aku akan menikah dengan Rara!" teriak Rio, menambah huru-hara di tengah biang gosip yang mulai mencibir Shanum yang tak dapat membela dirinya.
******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!