Seorang gadis berambut panjang bernama Violetta, sedang duduk di atas kloset. Di tangannya kini sudah ada satu tabung kecil air seni dan sebuah alat tes kehamilan. Dia menelan ludah kasar sebelum memasukkan benda itu ke dalam tabung.
Vio berharap apa yang dia khawatirkan tidak terjadi. Perempuan itu sudah melewatkan siklus haid selama satu periode. Biasanya Vio tidak pernah mengalami hal tersebut.
Tangan Vio gemetar ketika mencelupkan test pack ke dalam wadah. Matanya tak lepas dari air seni yang mulai masuk ke dalam alat tersebut. Satu garis merah mulai tampak.
"Aku harap, aku tidak hamil," gumam Vio dalam hati.
Beberapa detik kemudian, mata Vio melebar. Sebuah garis lainnya tercipta sebagai indikasi bahwa urinenya mengandung hormon HCG. Kaki Vio lemas seketika.
"Ini pasti salah! Nggak mungkin aku hamil!" Vio membuang wadah serta alat tes tersebut ke atas lantai kamar mandi.
Perempuan yang baru saja lulus wisuda satu minggu lalu itu, tak habis pikir dengan apa yang tengah menimpanya sekarang. Dia kembali menatap nanar benda-benda yang dia buang itu. Bayangan kemurkaan sang ayah kini membayangi dirinya.
"Aku harus datang ke dokter untuk memastikannya melalui USG!" Vio beranjak dari atas kloset, kemudian membuka pintu kamarnya.
Jam menunjukkan pukul 10:00 sehingga suasana rumahnya terlihat begitu lengang. Sang ayah masih berada di kantor, sedangkan sang ibu tiri sedang ada di klinik kecantikan. Ayah Violetta adalah seorang pemilik perusahaan farmasi ternama, dan ibu tirinya merupakan dokter kecantikan terkenal di kota itu.
Vio segera melangkah menuju garasi dan memanasi mobil. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, jantungnya berdegup begitu kencang. Dia terus bergumam, berharap hasil tesnya salah.
Tak lama berselang, Vio pun sampai ke rumah sakit. Dia langsung mendaftarkan diri ke Poli Kandungan, lalu mengantri untuk menunggu giliran. Begitu namanya dipanggil, Vio langsung beranjak dari kursi dan masuk ke ruangan itu.
"Selamat siang, Nona," sapa seorang dokter bernama Theo.
"Si-siang, Dok." Vio terbata-bata ketika menjawab sapaan Theo, dia meremas kemeja yang kini membalut tubuhnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" Theo membuka sebuah map yang berisi data diri Violetta serta kertas laporan hasil pemeriksaan yang masih kosong.
"Be-begini, Dok. Tadi pagi saya mencoba melakukan tes kehamilan dan hasilnya ...." Vio menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kasar.
"Positif ... tapi saya merasa tidak pernah melakukan hubungan suami istri dengan siapa pun, Dok." Suara Vio gemetar ketika menjelaskan apa yang sedang dia alami kepada sang dokter.
Perawat yang membantu dokter tampan itu mengerutkan dahi. Di jaman sekarang untuk negara bagian Amerika, rasanya sangat tidak mungkin masih ada perempuan yang berpacaran tanpa melakukan hubungan suami istri. Terlebih lagi, bagaimana bisa seorang perempuan tiba-tiba hamil tanpa melakukan hubungan ****?
Theo pun akhirnya meminta Vio berbaring di atas brankar. Lelaki itu menuangkan gel dingin ke atas perut Vio dan mulai menggerakkan transduser. Mata lelaki berkacamata itu tak lepas dari layar komputer yang ada di meja.
"Mari kita lihat!"
Layar monitor yang menggantung pada dinding ruangan itu tampak gelap. Tak lama kemudian, mulai terlihat satu buah titik kecil sebesar kacang merah. Dokter mengambil gambar tersebut untuk dicetak setelah pemeriksaan selesai.
"Usia kehamilan Anda sekitar 8 minggu. Panjang janin sekarang ini sekitar 2 sentimeter dengan berat 1,25 gram. Sejauh ini kondisi janin yang Anda kandung sangat bagus. Selamat!" Dokter itu pun menghentikan pemeriksaannya, lalu kembali ke kursi untuk menulis hasil USG ke dalam lembar laporan hasil pemeriksaan.
Vio masih terdiam di atas brankar. Perempuan itu berusaha mencerna apa yang dikatakan sang dokter. Semua ini rasanya seperti mimpi buruk. Impiannya untuk menjadi segera menikah dengan sang kekasih sirna sudah.
Vio turun dari brankas kemudian berjalan gontai ke arah meja dokter. Tatapannya terlihat kosong. Ketika Theo memberi beberapa saran, perempuan itu hanya mematung.
"Ingat pesan saya. Perhatikan asupan gizi Anda, istirahat cukup, dan hindari stres." Sebuah senyum tipis terukir di bibir Theo.
"Bagaimana bisa saya melewati kehamilan ini tanpa stres?" gumam Vio.
"Dokter, apa Anda bisa membantu saya mengeluarkan bayi ini dari dalam perut?" Tatapan Vio masih kosong, tetapi matanya mulai basah.
Wajah datar Theo tetap tidak berubah. Lelaki tersebut seakan tidak memiliki perasaan atau semacamnya. Theo hanya menyodorkan hasil pemeriksaan kepada Vio, memintanya keluar.
"Aku akan membayar berapa pun jika Anda mau membantu saya."
"Ini bukan masalah uang. Di dalam profesi kedokteran ada kode etik yang harus kami pegang teguh! Terlebih lagi, di mana rasa kemanusiaan Anda? Mengeluarkan bayi yang tidak melakukan kesalahan apa pun! Jika Anda tetap melakukannya, di mana hati nurani Anda!" teriak Theo dengan tubuh bergetar karena amarah yang meledak.
"Di luar sana, banyak sekali pasangan yang menginginkan hadirnya bayi dalam kehidupan mereka! Lalu, bagaimana Anda bisa berpikir seperti itu? Ingat, rawatlah dia dengan baik! Saya rasa ... kelak Anda akan menyesal karena sudah berpikiran buruk untuk melenyapkannya!"
"Aku tidak akan pernah menyesal! Karena dia aku harus mengubur impianku! Apa ini adil? Dia juga hadir tanpa aku tahu! Kehadirannya sungguh tidak bisa kuterima secara logika!" Tangis Vio mulai pecah.
Dada Vio terasa begitu sesak ketika mengingat bagaimana dia berusaha mempertahankan mahkotanya demi pesan dari mendiang sang ibu. Tubuh perempuan itu bergetar hebat karena tidak sanggup menahan beban kesedihan yang saat ini menimpanya. Setelah sedikit lebih tenang, Vio melangkah gontai keluar ruangan itu.
Violetta langsung menghubungi Mathew, dan meminta sang kekasih menemuinya. Mereka pun bertemu di sebuah kafe tak jauh dari rumah sakit. Dia ingin memberitahukan kehamilannya kepada sang kekasih untuk mendapatkan jalan keluar atau paling tidak dukungan.
"Sayang, tumben mengajakku bertemu jam segini?" tanya Mathew seraya menarik kursi yang ada di hadapannya.
"Math, aku hamil." Tanpa basa-basi Vio mengatakan apa yang sedang dia alami sekarang.
Mathew mengerutkan dahi ketika mendengar pernyataan dari sang kekasih. Dia mengira Vio sedang bercanda karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Lelaki itu berpikir bahwa Vio ingin memberikannya kejutan di hari spesial tersebut.
"Kamu sedang bercanda, bukan? Ini adalah hari ulang tahunku! Apa kamu mau mengerjaiku dengan mengatakan hal ini?" tanya Mathew diiringi gelak tawa.
"Lagi pula kita tidak pernah melakukan kontak fisik berlebihan yang bisa menyebutkan kamu hamil, Sayang! Kita hanya berpegangan tangan, berpelukan, atau sekedar berciuman. Hanya sebatas itu!"
"Tapi sekarang aku hamil! Lihat ini!" Vio menyodorkan selembar kertas hasil pemeriksaan dengan sebuah foto USG yang menempel di sana.
Mathew menghentikan tawa. Dia meraih kertas tersebut, kemudian mulai membacanya perlahan. Mata Lelaki tersebut terbelalak seketika, dan sebuah pikiran buruk kini merasuki pikiran Mathew.
"Siapa lelaki yang menghamilimu? Katakan!" teriak Mathew seraya menggebrak meja.
"Aku tidak tahu, Math!" Vio meremas rambut frustrasi.
Kehamilan mendadak ini benar-benar membuatnya gila. Terlebih lagi tiga bulan ke depan dia hendak menikah dengan Mathew. Rencana bahagia yang sudah dia rancang sejak setahun lalu itu sepertinya tidak akan terlaksana.
"Jadi ... kamu sudah tidur dengan berapa banyak pria, sampai kamu tidak tahu siapa ayah biologis dari bayi itu, ha!" Pembuluh darah sekitar mata Mathew terlihat menonjol.
"Apa maksudmu, Math?"
"Kamu bersenang-senang dengan banyak pria lain di luar sana, tapi sok suci di depanku! Dasar egois!" Mathew mencondongkan tubuh ke arah Vio seraya menatapnya remeh dan tersenyum sinis.
"Math, serendah itu 'kah aku di matamu? Aku selalu menjaga pesan dari mendiang ibuku! Untuk itu meski kita berpacaran, kita tidak pernah melakukan hubungan badan!"
"Lalu bagaimana kamu bisa hamil, ha!" bentak Mathew.
Mathew si paling penyabar ketika menghadapi Violetta yang super manja, kini telah menjelma menjadi sosok lain. Kesabaran lelaki itu habis. Dia begitu frustrasi karena salah paham, dan mengira kalau Hayu selingkuh dengan pria lain hingga mengandung.
Di lain sisi, Vio merasa rasa percaya sang kekasih terhadapnya hanyalah setipis tisu. Dia benar-benar terhina dengan ucapan Mathew yang menuduhnya telah melakukan hubungan intim dengan lelaki lain.
"Kita putus." Suara Mathew yang biasanya hangat, kali ini terdengar begitu dingin.
Vio terbelalak. Dia tidak menyangka kalau lelaki dicintainya itu, dengan mudah mengakhiri hubungan yang sudah mereka jalin selama empat tahun. Niat awalnya memberi tahu Mathew agar mendapat jalan keluar. Namun, dia malah dicampakkan.
"Semudah itukah kamu mengucap kata pisah, Math? Apa kamu tidak cinta lagi kepadaku?" tanya Vio.
"Pikirkan saja semua sendiri!" Mathew membuang muka enggan menatap wajah Vio.
"Bisakah kamu antar aku menggugurkan bayi ini? Andai bayi ini tidak jadi tumbuh di rahimku, kita tetap menikah, 'kan?"
Mendengar ucapan Vio, tentu saja membuat Mathew kembali menatapnya. Lelaki itu menatap Vio penuh amarah. Rahangnya mengeras dan jemari lelaki tersebut mengepal kuat di atas meja.
"Kamu sudah gila? Bayi itu tidak salah! Perbuatanmu yang salah! Jika sudah begini, maka bertanggungjawab saja dengan hasilnya! Jangan malah melarikan diri!" seru Mathew. Dia tidak lagi memedulikan bagaimana pengunjung kafe lain menatap ke arah mereka berdua dengan tatapan aneh.
"Tahu sikapmu seperti ini, aku semakin tidak ingin menikah denganmu! Selama ini aku sudah banyak bersabar dengan sikap manja dan kekanakanmu itu! Tapi, malah berujung kecewa seperti ini!" Mathew beranjak dari kursi kemudian meninggalkan Vio yang mulai meneteskan air mata.
Violetta terus menangis sesenggukan. Air mata kini membanjiri pipi. Dadanya terasa begitu sesak melihat sikap Mathew yang sama sekali tidak percaya padanya.
Tubuh perempuan cantik itu bergetar hebat karena tangis yang pecah. Tak lama berselang, seorang laki-laki muda menghampiri Vio dan menyodorkan sapu tangan. Vio mendongak, lalu menatap lelaki yang tersenyum ramah di hadapannya itu.
"Ambil saja." Lelaki itu kembali menyodorkan sapu tangan merek mahal itu kepada Vio, dan dia pun meraihnya.
"Aku Jason, pemilik kafe ini. Maaf, tadi aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan lelaki itu. Awalnya aku ingin meminta kalian pergi, karena sudah mengganggu kenyamanan pelanggan saya. Tapi, saya mengurungkan niat karena tidak tega melihat kamu yang seperti sedang menahan tangis." Jason terus mengoceh sehingga membuat Vio merasa tidak nyaman.
Violetta pun akhirnya memutuskan untuk beranjak dari kursi. Dia meninggalkan Jason yang kini sedang menatap heran ke arahnya. Vio bergegas masuk ke mobil dan mengendarainya menuju ke rumah.
...****************...
Rasa mual pagi itu, membuat Vio mendadak bangkit dari ranjang. Perempuan itu berlari secepat yang dia bisa menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perut ke dalam kloset. Kakinya lemas tak mampu menumpu berat tubuh.
Vio kembali menangis. Dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Di tengah tangis, perempuan itu mengambil ponsel dan mencari cara untuk bisa menggugurkan kandungan. Vio pun memilih untuk pergi ke apotek dan membeli obat untuk meluruhkan janin.
"Cytotec satu strip."
Mendengar permintaan Vio, tentu saja membuat petugas apotek mengerutkan dahi. Perempuan berseragam mirip perawat itu menengadahkan jemari. Vio pun meletakkan beberapa lembar uang ke atas tangan si petugas.
"Bukan uang ini maksudku. Mana resepnya? Jika Anda ingin membeli Cytotec, harus dengan resep dokter." Perempuan itu menatap tajam ke arah Vio, lalu meletakkan kembali uang pemberian Vio ke atas meja.
"Re-resepnya ...." Vio tampak berpikir. Dia membuang pandangan sekilas, lalu kembali menatap sang petugas apotek setelah menemukan alasan yang dirasa tepat.
"Resepnya hilang ketika dalam perjalanan ke sini."
"Pulanglah! Aku sudah tahu niatmu! Jika tidak ingin hamil, maka gunakan balon pelindung ketika berhubungan badan! Apa Anda pemula?" Petugas itu tersenyum miring, kemudian meninggalkan Vio yang masih mematung di depan meja kasir.
Vio mengumpat dalam hati. Dia tidak tahu, mengapa semuanya terasa begitu sulit. Vio pun pulang dengan penuh rasa kecewa. Perempuan cantik itu pun memutuskan untuk membeli obat tersebut secara ilegal.
Dua hari kemudian, Vio sudah menerima paket berisi satu strip obat peluruh kandungan. Dia langsung mengambil satu butir obat dan menelannya. Sambil menunggu obat tersebut bekerja, Vio merebahkan tubuh ke atas ranjang.
"Empat jam lagi, kamu akan keluar dari tubuhku!" Vio mengusap perutnya yang masih datar.
Tiba-tiba kenangan indah bersama Mathew kembali terlintas di benak Vio. Air matanya kembali meleleh. Empat tahun, bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah hubungan. Terlebih bagi Vio, Mathew merupakan sosok lelaki idaman.
Mathew benar-benar sabar dalam menghadapinya. Dia seperti sedang melihat jiwa sang ayah dalam diri Mathew. Lelaki itu juga selalu menjaganya selama ini.
"Math, apa kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan saat ini? Apa cintamu hanya sebatas itu? Harusnya kamu mendukungku! Jika memang tidak ingin aku melenyapkan bayi ini, harusnya kamu menerima keadaanku apa adanya! Kenapa kamu tidak percaya dengan ucapanku!" Vio meringkuk di atas ranjang dengan tubuh bergetar karena tangis.
Jika lelaki lain akan memaksa Vio berhubungan badan, tidak dengan Mathew. Dia menghormati keputusan Vio dan ikut berkomitmen untuk menikmati semua setelah menikah. Kehilangan Mathew adalah salah satu momen tersedih dalam hidup Vio.
Empat jam berlalu, Vio kembali terbangun setelah tertidur karena lelah menangis. Rasa mual kini semakin menyiksa. Perempuan itu berlari ke arah kamar mandi dengan setengah nyawa yang baru saja terkumpul.
Lagi-lagi Vio memuntahkan isi perutnya. Setelah kelelahan, dia menyandarkan punggung pada dinding dingin kamar mandi. Perempuan itu memejamkan mata rapat.
"Bagaimana bisa obat itu belum bekerja? Bukankah seharusnya sekarang aku mengalami kram dan pendarahan? Tapi apa ini?" Vio bermonolog dengan dirinya sendiri.
Sedetik kemudian, Vio kembali membuka matanya lebar. Dia menyadari satu hal. Tak lama kemudian perempuan itu berteriak sambil mengacak rambut frustrasi.
"Sialan!"
"Obat yang aku dapatkan pasti palsu!" teriak Vio frustrasi seraya meremas rambut panjangnya.
Perempuan itu benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk bisa mengeluarkan calon anaknya tersebut. Tangisnya pecah seketika. Sampai akhirnya, Vio teringat dengan salah seorang temannya ketika duduk di bangku SMA.
Violetta melangkah gontai keluar dari kamar mandi, kemudian meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Dia pun menekan nomor ponsel Michelle, lalu menempelkan layar ponsel pada daun telinganya. Saat dering pertama, Michelle pun mengangkat panggilan tersebut.
Vio langsung menanyakan keberadaan praktik aborsi yang pernah didatangi oleh Michelle beberapa tahun lalu. Michelle pun menjelaskan letak klinik tersebut. Namun, akhirnya Vio meminta temannya itu untuk mengantar karena memikirkan banyak hal.
"Aku harus segera bersiap!" Vio meraih kunci mobil, kemudian bergegas menuruni anak tangga menuju garasi.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Michelle, jantungnya berdetak begitu kencang. Dia kembali teringat bagaimana Michelle menceritakan rasa sakit yang dia alami selama masa pemulihan. Waktu itu Michelle melakukan aborsi karena janinnya mengalami gangguan, sehingga harus dikeluarkan.
Tak lama kemudian, Vio tiba di rumah Michelle. Temannya itu ternyata sudah menunggu di depan rumah dengan wajah panik. Michelle pun segera masuk ke dalam mobil.
"Vio, apa yang terjadi?" tanya Michelle dengan wajah panik.
"Aku hamil dan tidak tahu siapa ayahnya," jawab Vio.
"Hei, apa kamu gila? Bagaimana bisa kamu hamil tapi tidak tahu siapa ayah dari bayimu? Astaga!" Michelle menepuk dahi kemudian kembali menatap Vio.
"Kamu akan berurusan dengan hukum jika nekat melakukan aborsi!"
"Kamu dulu juga melakukannya, bukan? Ayolah, tolong antar aku ke sana!"
"Vio, apa kamu lupa? Sekarang di Missouri sudah tidak diperbolehkan melakukan aborsi kecuali keadaan darurat yang mengancam kelangsungan hidup ibu hamil! Dulu ketika aku melakukannya, aborsi masih dilegalkan. Terlebih lagi aku dulu menggugurkan bayiku karena jika diteruskan, tidak akan baik! Bayiku mengalami kelainan!"
"Uang bisa berbicara. Antar saja aku ke sana!" seru Vio kemudian menginjak pedal gasnya.
Michelle membuang napas kasar. Akhirnya dia setuju untuk mengantar Vio, tetapi enggan ikut masuk ke dalam klinik. Hanya membutuhkan waktu selama 20 menit untuk sampai ke klinik tersebut.
Pada papan pengumuman, sudah tertulis jelas bahwa klinik tersebut sudah tidak melayani aborsi. Akan tetapi, Vio tetap nekat masuk dan mendaftarkan dirinya. Setelah menunggu selama 15 menit untuk sesi konsultasi, akhirnya nama Vio dipanggil.
"Silakan duduk, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya dokter bernama Judith itu.
"Baik, Dok."
Dokter di hadapan Vio itu mengerutkan dahi, usai membaca data dirinya. Sebelum mengungkapkan niat datang ke klinik tersebut, Vio menarik napas panjang lalu mengembuskannya kasar. Dia menatap serius ke arah Judith.
"Bantu aku mengeluarkan bayi yang ada di dalam kandunganku, Dok."
"Praktik aborsi, sudah dilarang di Missouri. Kami sudah tidak memberikan pelayanan itu untuk pasien. Jadi, pulanglah dan rawat bayimu dengan cinta." Judith tersenyum lembut seraya menunjuk pintu keluar.
"Berapa yang kamu inginkan." Violetta menyodorkan selembar cek kosong kepada Judith.
"Tulis berapa pun angka yang Anda inginkan, Dok."
Judith melirik ke arah lembaran kertas kecil itu. Dia menatapnya selama beberapa detik kemudian tersenyum miring. Perempuan itu langsung menyandarkan punggung pada kepala kursi kemudian tertawa.
"Astaga! Baiklah, tunggu di sini sebentar."
Judith masuk ke sebuah ruangan lain di tempat itu. Lima menit kemudian, dia kembali menghampiri Vio. Perempuan itu meminta Vio berbaring di atas brankar untuk melakukan USG.
"Bayimu sangat sehat, Nona. Jika gizinya terus terpenuhi, maka dia akan lahir menjadi bayi yang lucu dan sehat. Apa niatmu sudah bulat?" tanya Judith seraya tersenyum lembut.
"Aku tidak menginginkan bayi ini. Aku tidak menyukainya! Dia membuat impianku hancur seketika!"
"Apa pacarmu tidak mau bertanggungjawab?" Judith meletakkan transdusernya lagi ke tempat semula.
Perawat mendekati Vio, kemudian membersihkan sisa gel dengan tisu. Setelah selesai, dia membantu calon ibu muda itu turun dari brankar. Setelahnya Vio kembali ke meja Judith untuk melanjutkan konsultasi.
"Aku tidak tahu kenapa bayi ini bisa tumbuh dalam tubuhku, Dok."
"Jadi, kamu berselingkuh dengan berapa pria sejak menjalin hubungan dengan kekasihmu?" Judith terkekeh.
Mendengar pertanyaan dati Judith tentu saja membuat amarah Vio bergejolak. Dia bangkit dari kursi kemudian menggebrak meja di depannya. Semua orang ternyata memiliki pemikiran yang sama mengenai dirinya. Mereka menganggap bahwa dia penganut aliran **** bebas.
"Aku bahkan tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun!" teriak Vio frustrasi.
Tak lama kemudian, pintu ruangan itu terbuka secara kasar. Sontak Vio balik badan. Dia terbelalak ketika mengetahui siapa yang datang.
Ibu tirinya sudah berdiri di ambang pintu. Dadanya naik turun karena menahan emosi yang meledak-ledak. Mata perempuan itu melotot dan terlihat berair. Wajahnya merah padam karena amarah yang tengah membakar hati.
"Mama!" seru Vio yang kini sudah beranjak dari kursi.
"Ba-bagaimana bisa, Mama ...." Belum sempat Vio meneruskan ucapannya, sebuah tamparan mendarat pada pipi mulus perempuan cantik itu.
"Pulanglah!" seru Judith.
Vio memutar badan, kemudian melihat Judith yang kini mengangkat layar ponsel dalam posisi sedang melakukan panggilan. Dalam layar benda pipih itu tertulis nama Anna, ibu tirinya. Vio terbelalak seketika.
"Jangan lupa bawa kertas ini. Aku tidak membutuhkannya." Judith mengetuk kertas cek yang masih tergeletak di atas meja.
"Jadi, kalian saling mengenal?" tanya Vio dengan keterkejutan yang belum usai.
"Mama butuh penjelasan darimu! Ayo kita pulang!" Anna menarik lengan sang putri.
Langkah keduanya memenuhi lorong klinik bersalin tersebut. Beberapa pasang mata menatap keduanya dengan mulut yang saling berbisik. Sesampainya di tempat parkir, Michelle sudah tertunduk lesu dengan jemari yang saling meremas.
"Bawa pulang saja mobil Vio ke rumahmu. Aku akan meminta sopir untuk mengambilnya."
"Ba-baik, Bibi." Michelle mengangguk pasrah kemudian masuk ke dalam mobil.
"Vio, cepat masuk! Mama mau bicara denganmu!"
Vio pun segera masuk ke dalam mobil. Dia terus menunduk tak mampu menatap Anna lagi. Ada rasa bersalah yang kini bergelayut di hati Vio.
Meski ibu tiri, Anna sangat menyayanginya. Dia merupakan wanita yang penyabar dan penuh cinta. Baru kali ini sepanjang hidup, Vio melihat Anna terlihat sangat marah dan kecewa.
"Sekarang katakan, siapa ayah dari bayi itu!" desak Anna dengan tatapan tajam.
"Ma, aku benar-benar tidak tahu siapa orang yang sudah menitipkan benihnya ke rahimku." Suara Vio bergetar karena menahan tangis.
"Vio, tatap Mama jika sedang berbicara!"
Perlahan Vio mengangkat wajah. Dia menatap sang ibu dengan mata yang mulai memerah. Garis kekecewaan terlihat jelas di wajah cantik Anna yang sudah menua.
"Aku benar-benar tidak tahu siapa ayahnya, Ma. Aku bingung, kalut, dan sangat frustrasi. Kenapa tiba-tiba bayi ini ada di rahimku!" Vio menangis histeris.
Perempuan itu merasakan sesak yang luar biasa pada dadanya. Tidak ada seorang pun yang mempercayai ucapannya sekarang. Justru mereka semua menuding bahwa Vio perempuan murahan.
Rasa sedih kini menjalar di hati Anna yang lembut. Dia akhirnya memberikan pelukan kepada sang putri dan menepuk punggungnya pelan. Dia membiarkan Vio menangis sepuasnya hingga berhenti.
"Ibu sudah membeli ini sebelum pergi menjemputmu." Anna menunjukkan satu strip cytotec kepada Vio.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!