"Tidak! Aku tidak akan pernah setuju untuk menikah dengan Jonathan."
"Tapi, Mila. Dia itu pewaris satu-satunya keluarga Wijaya, Nak. Dia tuan muda yang tampan, Mila. Kita akan punya kedudukan tinggi jika kamu bersedia menikah dengan Jona."
"Aku tidak peduli dengan semua itu, Ma. Jona memang tampan, kaya, juga punya segalanya. Tapi sayang, dia pria dengan mental yang sakit. Dia sakit jiwa, Mah. Apa mama tega menikahkan aku, anak mama yang cantik ini dengan pria sakit mental seperti dia?"
"Aku memang butuh harta, Ma. Tapi tidak akan bersedia jika harus menikah dengan pria sakit mental seperti dia hanya karena harta. Yang ada, aku bukannya bahagia. Eh, tapi malah tersiksa akibat tinggal serumah dengan suami gila seperti dia," kata Mila lagi sambil menghempaskan bokongnya ke atas kasur empuk kesayangannya.
Emily selaku mama hanya bisa menarik napas dalam-dalam atas penolakan keras yang anaknya berikan. Rencana pernikahan itu datang langsung dari keluarga Wijaya. Keluarga nomor dua di kota itu setelah keluarga Kusuma.
Tawaran pernikahan yang lebih mirip lamaran itu dilayangkan oleh keluarga Wijaya karena keluarga Emily punya hutang yang cukup besar. Mereka menginginkan istri sekaligus penjaga, alias pelayan untuk anak mereka yang sudah mengalami gangguan mental sejak beberapa tahun belakangan ini.
Tentu saja Mila tidak ingin menikah dengan pria yang sedang sakit mental. Apa tah lagi banyak kabar yang beredar kalau Jonathan itu suka ngamuk. Atau bahkan, dia sering kali bersikap ekstrim saat sakit mentalnya datang. Seperti, melukai orang yang ada di sekitarnya.
Jonathan juga sudah beberapa kali mencoba melakukan bunuh diri. Tapi untungnya, karena penjagaan yang ketat. Dia selalu bisa diselamatkan tepat waktu.
Sebenarnya, Emily juga tidak setuju jika anaknya menikah dengan pria sakit mental seperti Jonathan. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa menolak lamaran itu. Karena selain hutang yang besar, keluarga Wijaya juga punya kekuasaan yang sangat besar. Kehidupan mereka pasti akan dibuat sulit jika berani menolak lamaran itu.
Emily berjalan mendekat ke arah ranjang. Lalu duduk di samping Mila yang kini sedang fokus dengan menatap lantai.
"Sayang. Mama tahu ini sangat berat buat kamu, Nak. Tapi coba kamu pikir baik-baik, Mila. Keluarga kita akan jadi taruhan jika kamu tidak bersedia."
"Apa kamu sanggup hidup melarat karena sudah menolak lamaran ini? Kamu tahu siapa mereka, bukan? Keluarga kita tidak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan keluarga Wijaya, Mila. Coba pikirkan itu, sayang."
Emily bicara dengan nada paling lembut. Semua kesedihan dia perlihatkan agar Mila mau mengikuti apa yang dia katakan. Sedangkan Mila yang sepertinya tetap tidak setuju itu, langsung memperlihatkan wajah kesal.
"Tapi aku tidak ingin menikah dengan pria sakit mental itu, Ma. Tolong, Ma. Tolong jangan korbankan aku. Mama tidak sayang lagi padaku? Aku ini anak mama, bukan?"
"Mila, kamu itu anak mama. Mama tidak ingin mengorbankan kamu, nak. Mama sayang anak-anak mama. Mama hanya punya dua anak, Mila. Kakak kamu laki-laki. Mana mungkin mama nikahkan kakak kamu dengan tuan muda keluarga Wijaya itu."
Mila terdiam membisu. Apa yang mamanya katakan itu sangat benar. Mereka hanya dua bersaudara. Kakaknya laki-laki, mana mungkin bisa dinikahkan dengan Jonathan. Sementara ....
Ya ... seketika wajah Mila langsung cerah. Dia ingat akan seseorang. Seorang perempuan yang mungkin akan bisa dia jadikan pengganti untuk menikah dengan pria sakit mental itu.
"Aku punya ide, mama!" Mila langsung berteriak kegirangan. Hal itu sampai membuat mamanya terperanjat akibat kaget.
"Ide apa sih? Kamu ini, Mil. Bikin mama kaget aja di saat seperti ini pakai main teriak-teriak segala."
"Aku punya ide cemerlang soalnya, Ma. Ide yang bikin hatiku sangat bahagia. Aku tidak perlu menikah dengan Jona. Tapi, keluarga kita juga tidak akan kena masalah hanya gara-gara aku tidak menikah dengan pria sakit mental itu."
"Ide apa sih? Langsung bicara saja! Jangan berbelit-belit karena mama juga sedang sangat pusing sekarang ini." Emily bicara sambil memijit keningnya.
Sepertinya, dia sedikit tidak percaya kalau ide yang Mila punya memang benar-benar bagus dan bekerja seperti apa yang mereka inginkan. Karena selama ini, anak itu hanya memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri saja.
Sementara Emily bingung, Mila malah tersenyum lebar karena hatinya sangat bahagia. Bahkan, anak itu terus senyum meski mamanya terlihat tidak bahagia sekarang.
"Jangan terus-terus tersenyum seperti itu, Mila. Cepat katakan apa ide yang kamu punya!"
Mila masih tersenyum. Lalu, dia berucap dengan terus mempertahankan senyumannya.
"Mm ... mama kan punya satu anak lagi. Jadi, nikahkan saja anak mama itu dengan Jona. Dengan begitu, aku aman. Keluarga kita juga aman."
Sontak saja, kata-kata Mila barusan langsung membuat Emily langsung menatap wajah Mila. Seperti yang sudah dia duga, anaknya ini tidak akan pernah memikirkan keluarga apalagi orang lain. Yang dia pikirkan hanyalah kebahagiaan dirinya sendiri.
"Kamu bilang apa barusan, Mil? Anak mama yang lain? Maksud kamu Jesika?" Emily berucap sambil terus menatap Mila. Dia juga berusaha keras menahan rasa terkejutnya itu agar tidak berubah jadi kesal.
"Tentu saja. Bukankah dia juga anak mama? Meskipun anak angkat saja. Tapi tetap, dia itu juga masih bagian dari keluarga kita, ma. Dia sudah mama rawat dengan baik sejal kecil. Sekarang saatnya mama minta imbalan dari apa yang sudah mama berikan padanya."
"Tapi Mila, dia bukan darah daging mama. Bagaimana jika keluarga Wijaya tahu akan hal itu? Mereka akan marah besar pada kita. Mereka mungkin tidak akan pernah memaafkan kita karena hal itu. Mereka .... "
"Lalu? Mama ingin mengorbankan aku, hah? Mama ingin anak mama ini hidup menderita?"
"Jika mama pintar bicara, maka kita tidak akan dapat masalah. Lagipula, Jesika juga bagian dari keluarga kita, kan? Aku rasa tidak ada salahnya jika dia yang menerima lamaran itu. Lagian, keluarga Wijaya mencari istri untuk pewaris satu-satunya itu juga bukan buat benar-benar mereka jadikan menantu. Melainkan, untuk mereka jadikan pembantu yang siap mengurus semua kebutuhan anak mereka."
Kata-kata Mila barusan langsung dicerna dengan baik oleh Emily. Dia juga tahu kalau keluarga Wijaya memang sedang mencari pembantu untuk merawat anak mereka. Bukan sebenarnya menantu seperti pada umumnya.
"Baiklah, sayang. Mama akan coba untuk menukar kamu dengan Jesika. Mama akan berusaha sebisa mungkin agar mereka menerima Jesika nantinya."
Seketika, senyum manis langsung terkembang di bibir Mila. "Gitu dong, Ma. Itu baru mama aku."
Sementara itu, di depan pintu kamar ada sepasang telinga yang menangkap semua pembicaraan yang ada di dalam kamar tersebut. Lalu, pemilik dari sepasang telinga itu langsung menggenggam erat tangannya. Kemudian langsung beranjak meninggalkan pintu kamar tersebut.
....
Di taman belakang rumah. Seorang gadis cantik dengan kulit putih, mata hitam yang indah, juga rambut panjang ikal yang hitam pekat sedang sibuk dengan hobinya merawat tanaman. Siapa lagi dia kalau bukan Jesika.
Putri Jesika adalah anak angkat dari almarhum suami Emily yang meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu. Jesika diadopsi oleh suami Emily saat anak itu masih bayi.
Jesika bayi di temukan di samping pagar rumah mereka. Di mana tempat sampah berada di sana.
Sebenarnya, niat untuk mengadopsi Jesika waktu itu sangat di tentang oleh Emily. Karena saat Jesika datang ke rumah itu, dia sedang mengandung anak perempuan yang sekarang bernama Mila.
Namun, suami Emily yang penuh kasih tentu saja tidak akan membiarkan bayi mungil yang tidak berdosa itu mereka telantarkan. Karena kegigihannya, Jesika tetap ia rawat hingga tumbuh jadi gadis cantik seperti saat ini.
Sekarang, umur Jesika sudah menginjak dua puluh dua tahun. Sejak kepergian papa angkatnya, dia sering tak dianggap ada di rumah tersebut.
Karena sang mama angkat yang sejak awal tidak suka padanya, tentu saja tidak akan memberikan perhatian buat Jesika. Sedangkan Mila, sejak kecil hingga dewasa seperti sekarang, dia selalu benci dengan Jesika karena dia iri dengan semua yang Jesika miliki.
Meskipun tidak memakai pakaian mewah, Jesika tetap cantik. Dalam segi kepintaran, Jesika lebih unggul dibandingkan Mila. Hal itu tentu saja membuat Mila sangat iri dengan Jesika.
Sementara Jesika yang tahu siapa dirinya. Tentu saja dia akan selalu mengalah. Tidak akan pernah membuat Mila kalah darinya adalah hal terbaik bagi Jesika. Karena dengan begitu, dia akan hidup dengan sedikit kedamaian.
"Jesi!"
Teriakan itu membuat Jesika yang sedang sibuk dengan tanaman hiasnya seketika menoleh. Dia bangun dari duduk, karena kedatangan seseorang yang baru saja memanggil namanya tadi.
"Kak Jaka. Ada apa sih? Kek orang dikejar sama tawon aja kamu, kak." Jesika menggoda kakak angkat yang baru saja datang.
Jaka adalah satu-satunya orang yang dekat dengan Jesika setelah papa angkatnya. Dia adalah anak pertama Emily.
"Jesi, mama sama Mila punya rencana buruk buat kamu. Kamu dengarin kakak yah," ucap Jaka sambil memegang kedua bahu adik angkatnya.
Dengan wajah serius, Jaka terus menatap Jesika. Lalu, Jesika yang mendengar ucapan itupun langsung ikut memasang wajah serius pula. Karena sejak dulu, si kakak angkat ini adalah orang yang selalu peduli padanya. Jadi, jika dia bicara begitu, pasti ada yang tidak beres akan terjadi.
"Ada apa sih, kak? Rencana apa yang mereka punya buat aku? Kalau itu yang bikin mama sama Mila bahagia, aku akan ikuti rencana mereka."
"Ada apa sih, kak? Rencana apa yang mereka punya buat aku? Kalau itu yang bikin mama sama Mila bahagia, aku akan ikuti rencana mereka."
"Jesika! Ya Tuhan .... Kapan sih kamu mau mengikuti apa yang kakakmu ini katakan, Jesi? Kaka capek lho kalo kamu begini terus." Jaka langsung memasang wajah putus asa saat mendengar jawaban Jesika.
"Ya udah ya udah. Aku dengerin kak Jaka deh kali ini. Tapi, kalau emang bisa aku nolak, maka aku akan nolak yah."
Percuma dong kalo kek gitu ucapan kamu. Ujung-ujungnya, gak akan dengerin juga. Karena kamu itu mana mau nolak apa yang mama inginkan."
"Kak. Kamu gak tahu bagaimana posisi aku. Aku dengan kakak sama Mila itu beda jauh. Kalian anak kandung mama. Mau bagaimanapun, kalian tetap akan mama anggap sebagai anak jika bikin ulah. Tapi aku .... "
Jesika terlihat sedih saat mengucapkan kata-kata itu. Jaka yang tahu apa yang Jesika rasakan, langsung mengambil tangan adik angkatnya ini untuk dia genggam.
"Maafkan kaka, Jesi. Kaka tahu kehidupan kamu sangat sulit di rumah ini. Apalagi setelah kepergian papa. Kamu semakin merasa tidak tenang lagi di rumah ini, bukan?"
"Tapi, kamu tenang saja. Selagi kakak ada di sini, kakak tidak akan membiarkan kamu disakiti oleh mama sama Mila. Kaka sudah berjanji pada papa untuk menjaga kamu dengan baik. Maka kaka tidak akan melupakan janji itu."
Jesika tersenyum manis dengan apa yang kaka angkatnya katakan. Sungguh, dia merasa tidak sendirian saat dia punya seorang kaka angkat seperti Jaka.
"Lalu ... apa rencana mama buat aku, kak? Katakanlah sekarang supaya aku bisa mempertimbangkan permintaan kakak."
Jaka tidak langsung menjawab. Dia tatap kedua mata adik angkatnya dengan lekat.
"Mama ingin menikahkan kamu dengan Jonathan."
"Apa?"
Seketika, tubuh Jesika langsung lemas. Karena terkejut sekaligus takut, Jesika tidak bisa memikirkan apapun selain kata-kata yang Jaka ucapkan barusan.
"Ya. Mama ingin mengantikan Mila dengan kamu. Ini semua atas saran Mila. Dia tidak ingin menikah dengan Jonathan yang sekarang sedang sakit mental. Maka dia menyarankan pada mama untuk menukar dia dengan kamu."
Jesika tidak mampu menjawab apa yang Jaka ucapkan satu patah katapun. Karena sekarang, ada banyak rasa yang menguasai hatinya. Sedih, kesal, takut, kecewa, dan putus asa. Semuanya dia rasakan di satu detik yang sama.
Ini adalah permintaan besar. Entah bagaimana caranya dia akan menolak permintaan itu. Karena sejak kecil, Jesi tidak pernah bisa menolak apa yang mamanya katakan. Termasuk, memberikan pacarnya untuk Mila. Semua itu dia lakukan demi baktinya pada keluarga angkat yang sudah membesarkan dia sejak kecil.
"Jesika. Dengarkan kaka yah. Kali ini saja. Tolak permintaan mama. Kaka tidak ingin kamu hidup menderita dengan pria sakit mental yang sangat berbahaya seperti Jonathan. Jesi, kamu sudah sangat menderita selama ini. Maka kaka tidak ingin kamu menderita lagi." Jaka bicara dengan wajah serius. Sepertinya, dia sangat tidak ingin Jesika menikah dengan Jona yang di kabarkan sedang sakit mental yang parah.
Jesika menundukkan wajahnya. Sungguh, dia sangat ingin menolak. Tapi bagaimana caranya? Sedangkan hal kecil saja tidak bisa ia tolak. Lalu bagaimana dengan hal besar? Semakin tidak mungkin lagi untuk dia tolak, bukan?
Melihat adik angkatnya sedang bingung, Jaka langsung membuang napas secara kasar. Lalu, dia angkat wajah adik angkatnya ini dengan cara mengangkat dagu si adik angkat.
"Kamu dengar apa yang kaka katakan, kan Jesi?"
"Aku dengar, kak. Tapi ... bagaimana caranya aku bisa menolak? Ini permintaan besar yang pastinya akan membuat mama marah besar jika aku tolak, kak."
"Kamu selalu mengikuti semua yang mama katakan. Tapi, apakah mama pernah mengikuti apa yang kamu inginkan? Mama bukan papa, Jesi. Dia tidak sayang padamu. Ingatlah! Yang merawat kamu dari kecil hingga tumbuh dewasa seperti sekarang ini bukan mama. Tapi papa."
"Jadi, kamu berjasa hanya pada papa, yah. Bukan pada mama. Lagipula, kali ini saja, tolong dengarkan kakak. Aku kakakmu, bukan? Kamu selalu mendengarkan apa yang Mila katakan. Tapi tidak pernah mendengarkan apa yang kakak katakan. Kamu sebenarnya sayang kakak atau tidak sih?"
Pertanyaan Jaka barusan langsung membuat Jesika berkaca-kaca. Dia langsung menghambur ke dalam pelukan kakak angkatnya dengan cepat.
"Aku sayang kamu, kak. Tentu saja sangat sayang. Karena selama ini, sejak aku kecil sampai sebesar sekarang. Hanya kakak yang aku punya selain papa. Jadi, tentu saja aku sayang pada kakak."
"Kalau kamu sayang kakakmu ini, tolong dengarkan dan ikuti apa yang kaka katakan. Bisakah?" Jaka berucap sambil membelai lembut rambut adik angkatnya itu.
Namun, ada yang tidak Jesika dan Jaka sadari. Dibalik pot besar tanaman hias yang rimbun, ada sepasang telinga yang sedang mendengar pembicaraan mereka berdua.
Si pemilik telinga terlihat sangat kesal dengan obrolan itu. Dia menggenggam erat tangannya. Juga memukul daun tanaman hias dengan kasar karena kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!