NovelToon NovelToon

Dudaku Ternyata Miliarder Tampan

Perjanjian

"Saya benar-benar memohon bantuan Anda, Pak. Jika Bapak tak membantu, perusahaanku benar-benar bangkrut," ucap pria tua yang berlutut di hadapan seorang pengusaha.

Pengusaha kaya raya, usia keduanya sama-sama berada di atas 70 tahun. Namun, mereka masih bersaing di dunia bisnis, salah satu dari mereka harus menerima kenyataan jika perusahaan mereka harus bangkrut dan tak punya pilihan lain selain memohon kepada rekan bisnis lainnya untuk membantu suntikan dana di perusahaannya.

"Baiklah, aku akan memberikan dua kali lipat dari apa yang Pak Seno inginkan. Namun, dengan satu syarat," tanya Pak Septian pada rekan bisnisnya yang masih berlutut di hadapannya.

"Syarat? Syarat apa, Pak?" tanya Pak Seno.

Pak Septian pun berjalan menghampiri Pak Seno dan berusaha membantunya untuk bangkit.

"Pak Seno, jangan merendahkan dirimu dengan berlutut seperti ini, masih banyak carakan selain berlutut dan meminta seperti ini. Aku seperti tak mengenalmu, kamu bukanlah Pak Seno yang mau merendahkan dirimu seperti ini hanya demi uang," ucap Septian dan mereka pun duduk di sofa yang ada di ruangan itu.

"Apa aku punya cara lain lagi Pak Septian, jika tak mendapat suntikan dana, perusahaanku akan bangkrut. Aku mungkin akan kehilangan segalanya. Bagaimana dengan anak dan istriku, bagaimana dengan semua kehidupan yang selama ini kuberikan, aku tak akan mampu menjalaninya jika perusahaanku sampai bangkrut, Pak," lirihnya.

"Aku dengar kamu punya dua orang anak gadis, kan?" tanya Septian memulai pembicaraan mereka, setelah keduanya duduk disofa, Septian bahkan memberi isyarat kepada asistennya untuk membawakan mereka minuman dan juga cemilan.

"Iya, Pak. Aku punya dua orang putri, ada apa dengan putriku?" tanya Seno menatap rekan bisnis yang ada di depannya dengan tatapan curiga. Jangan bilang ia ingin menukar putrinya dengan uang yang ingin diberikan padanya.

Septian menyadari arti dari tatapan rekan bisnisnya itu, membuat dia pun berdeham.

"Anda jangan salah paham. Begini, aku mempunyai seorang putra. Aku ingin menikahkannya dengan salah satu putri Bapak, bagaimana?" ucap Septian menatap Seno yang kini merubah mimik wajahnya.

Seno tersenyum, ia tahu betul jika Septian memiliki dua orang Putra. Faris dan juga Farhan.

Faris adalah seorang duda yang berusia sekitar 40 tahun, sedangkan Farhan masih sangat muda, usianya baru 25 tahun dan ia belum menikah.

"Apa Bapak ingin menikahkan anak Bapak dengan putriku? Apakah itu syarat yang Pak Septian ajukan?" tanyanya membuat Septia mengangguk.

"Bagaimana, Pak?"

"Tentu saja," jawab Seno dengan wajah sumeringah. Siapa yang tak ingin menjadi besan dari keluarga Septian, tentu saja itu adalah tawaran yang sangat menarik.

"Baiklah, kita sepakat. Aku akan memberikan dana yang Anda inginkan dan sesegera mungkin kita bisa mengatur perjodohan mereka. Jika perlu kita bisa mengatur pernikahan mereka secepatnya," ucapan Septian membuat Seno pun mengangguk.

"Tapi, Pak Seno. Apa putri-putri Bapak mau menikah dengan Faris?" tanya Septian memastikan terlebih dahulu. Mendengar nama Faris disebut Seno mengubah raut wajahnya.

"Faris? Maksud Bapak, Bapak ingin menikahkan Faris?" tanya Seno terkejut. Semua orang tahu siapa Faris, dia seorang pria dingin yang tak pernah terdengar hubungan kedekatannya dengan seorang wanita sejak bercerai dengan istrinya. Ia tak pernah lagi mau menikah, rasa sakit yang ditorehkan oleh istrinya merupakan luka yang sangat mendalam. 10 tahun menduda tak membuat Faris berkeinginan untuk menikah lagi, ia sibuk dengan perusahaannya, sikapnya juga berubah kejam.

"Ada apa, Pak? Apa Bapak tak setuju?" tanya Septian melihat raut wajah Seno yang terlihat tak setuju jika salah satu putrinya menikah dengan Faris.

Seno hanya diam, Ia tak membayangkan bagaimana kondisi putrinya jika menikah dengan sosok pria seperti Faris. Namun, ia tak punya pilihan lain, ia sangat membutuhkan suntikan dana tersebut.

"Baiklah, Pak. Berikan aku waktu untuk berbicara kepada kedua putriku, siapa yang mau untuk menjadi menantu di keluarga Bapak," ucapan Seno akhirnya dan kesepakatan mereka pun terjadi.

Tak menunggu waktu lama, Septian langsung meminta asistennya yang baru saja meletakkan minuman di depan mereka untuk mentransfer sejumlah uang yang diinginkan oleh Seno dan akan mentransfer lagi dua kali lipat saat mereka sudah menikah.

Setelah mendapatkan transparan uang tersebut dan mencapai kesepakatan, Seno pun pulang meminta kedua putrinya untuk menemuinya.

Keduanya didudukkan di ruang tengah rumah mewah mereka. Seno memiliki dua orang anak, Nia anak tirinya dan juga Dits anak kandungnya. Ia menikahi Ibu Nia saat Nia berusia 15 tahun dan sekarang usianya sudah 21 tahun. Sedangkan, anaknya sendiri Dita, berusia 25 tahun.

"Nia, Dita, Bapak ingin salah satu dari kalian mengabulkan permintaan Bapak untuk menjadi menantu dari Pak Septian," ucap Seno melihat ke arah kedua putrinya secara bergantian.

"Pak Septian? Maksud Bapak Farhan?" tanya Dita yang tahu siapa sosok Farhan.

Seno hanya diam dan menatap putri kandungnya.

"Jika yang Bapak maksud menikah dengan Farhan, tentu saja aku mau, Pak," jawab Dita dengan senyum di wajahnya. Ia tak menyangka jika tawaran itu datang sendiri padanya. Padahal selama ini dia selalu mencoba untuk mendekati Farhan. Namun, usahanya selalu gagal.

Sementara itu Nia hanya diam, duduk memperhatikan mereka. Ia sama sekali tak tertarik dengan pria yang bernama Farhan, ia juga mengenal Farhan. Dia memang sosok pria yang tampan. Namun, ia sama sekali tak tertarik dengannya. Ia sibuk dengan pekerjaannya.

"Bukan Farhan, tapi dengan Faris," ucap Seno membuat senyum Dita menghilang.

"Tidak! Aku tak mau menikah dengannya," jawab Dita menyandarkan bahunya dan melipat tangannya di dada dan menyilangkan kedua kakinya dan memasang wajah tak suka. Sama halnya dengan Farhan, ia juga sangat mengenal sosok Faris dan walau diberi imbalan dia takkan mau menjadi istri dari sosok Faris yang dikenal sangat dingin. Bukan hanya itu, usianya juga sudah menginjak usia 40 tahun. Sangat jauh berbeda dengannya yang masih berusia 25 tahun, Dita langsung melihat ke arah Nia yang sejak tadi hanya diam. Nia yang melihat Dita menatapnya langsung menggeleng.

"Ayah, aku juga tak mau," tolak Nia. Walau dia adalah anak tiri, ia juga diperlakukan sama dengan Dita. Pak Seno sama-sama menyayangi mereka dan tak pernah membeda-bedakannya.

"Jika kalian berdua tak mau, lalu siapa yang akan menikah dengan Faris, hanya kalian berdua anak-anak Ayah," ucap Seno berusaha membujuk kedua orang putrinya. Bagaimana tidak Pak Septian sudah mentransfer uang dan ia juga sudah langsung menggunakannya untuk perusahaan.

"Ayah ini yang benar saja, mana mungkin Ayah setega itu menikahkan kami dengan Faris, apa tak ada pria lain?" ucap Dita.

Pak Seno tak punya jawaban atas pertanyaannya itu. Akankah ia menceritakan kepada anak-anaknya jika ia telah mengambil uang dan telah menyetujui permintaan Pak Septian.

Suasana Hening di ruangan itu, keduanya sama-sama menolak permintaan ayah mereka untuk menikah dengan salah satu anak Pak Septian, Faris.

Seno pun masuk ke kamarnya, disusul oleh istrinya. Nia dan Dita juga masuk ke kamar mereka.

Sama halnya dengan anak-anaknya, istrinya juga tak setuju dengan keputusan suaminya untuk menikahkan salah satu dari anak mereka dengan Faris.

Seno pun menceritakan kepada istrinya apa yang terjadi pada perusahaan dan kesepakatannya pada Pak Septian, membuat mereka tak punya pilihan lain selain memilih salah satu dari anak mereka dan setelah berdiskusi, pilihan jatuh pada Nia. Pak Seno meminta istrinya untuk membujuk Nia menikah dengan Faris.

Intan tak punya pilihan lain, selain menuruti apa yang diinginkan oleh suaminya, untuk menikahkan putrinya dengan Faris. Walau ia tahu jika putrinya pasti akan menolak dan ia juga tak yakin jika putrinya akan bahagia jika menikah dengan sosok Faris.

Faris pria tampan dan juga kaya raya. Walaupun, usianya sudah menginjak 40 tahun. Namun, masih terlihat seperti pria berusia 30 tahun. Namun, yang membuat mereka tak ingin menjalin hubungan dengan sosok pria yang bernama Faris itu karena sikapnya yang dingin. Bahkan ia terkenal kejam di kalangan para rekan bisnisnya.

Keputusan Akhir

Pagi hari saat sarapan, mereka semua sarapan bersama dan hanya terus terdiam. Pak Seno sama sekali tak membahas masalah pernikahan yang dibahasnya semalam, membuat Dita dan Nia pun merasa lega. Mungkin ayah mereka sudah menyadari kesalahannya dengan menjadikan Faris menjadi calon menantunya.

Kini Dita yang sudah selesai dengan sarapannya pamit untuk pergi bekerja, begitupun dengan Nia. Ia juga sudah mulai bekerja dan baru saja lulus kuliah.

Mereka berdua masing-masing bekerja di kantor yang berbeda. Pak Seno awalnya meminta mereka untuk bekerja di perusahaan keluarga mereka. Namun, keduanya menolak karena memiliki perusahaan tujuan mereka masing-masing.

Dita yang suka dengan elektronik memilih untuk bekerja perusahaan di bidang elektronik. Sedangkan, Nia sangat suka dengan hal-hal berbau desain perhiasan ia pun memilih untuk bekerja di perusahaan sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan, perusahaan ayahnya berbeda dengan tujuan mereka berdua.

Pak Seno sama sekali tak memusingkan hal itu, ia membebaskan anak-anaknya untuk bekerja di mana saja yang mereka inginkan.

Pak Seno dan Intan melihat anak-anaknya keluar dari pintu utama. Pak Seno melihat ke arah istrinya.

"Mengapa kamu tak mengungkapkan kesepakatan kita semalam? Pak Septian ingin mendengar jawaban langsung dan cepat dari kita. Kita hanya mempunyai waktu seminggu untuk menyetujui pernikahan itu, jika tidak Ayah harus memulangkan semuanya dalam satu minggu sedangkan, Ibu sudah tahu, Ayah sudah menggunakannya saat itu juga. Sekarang perusahaan kita sudah stabil," ucap Seno memijat pelipisnya. Sang istri hanya menghela nafas.

"Beri aku waktu, Yah! Untuk memberitahu Nia. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk berbicara padanya. Pagi ini bukanlah waktu yang tepat," ucap Intan memohon pada suaminya, membuat Pak Seno pun hanya mengangguk. Kemudian, ia juga memutuskan untuk pergi ke kantor.

Siang hari Intan mengirim pesan kepada putrinya Nia untuk pulang saat makan siang. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan, membuat Nia yang memang tak terlalu sibuk hari ini mengiyakan permintaan ibunya. Siang hari Nia meminta izin kepada atasannya untuk pulang lebih dulu, saat perjalanan pulang perasaan ia tak enak.

Apakah yang akan di bicarakan ada oleh ibunya adalah pembahasan tentang semalam, pikiran itu sangat mengganggu. Namun, ia berusaha untuk menepis fikirannya sendiri. Ibunya tak mungkin memaksa jika ia tak mau menikah.

"Assalamualaikum." Nia mengucap salam begitu sampai dirumah. Ia langsung menghampiri ibunya yang sudah duduk di ruang tengah, sepertinya ibunya sudah menunggunya di sana.

"Waalaikumsalam," jawab Intan yang melihat putrinya sudah datang dan langsung meminta putrinya itu untuk duduk di sampingnya. Intan berbasa-basi menanyakan bagaimana pekerjaannya hari ini.

"Pekerjaanku baik, Bu. Seperti biasanya. Ada apa Ibu memanggilku pulang lebih dulu?" tanya Nia walau ada perasaan curiga di hatinya, jika ibunya akan membahas masalah semalam dengannya. Namun, ia berusaha untuk tetap diam dan membiarkan ibunya untuk menjelaskan apa maksud dan tujuan ibunya memanggilnya.

Setelah beberapa lama terdiam dan seperti menyusun kata-kata, Intan pun mengambil kedua tangan putrinya dan menggenggamnya dengan erat.

"Ibu minta maaf jika apa yang Ibu sampaikan ini akan menyakitimu, Nak," ucapnya menatap putrinya. Mendengar kata-kata itu, Nia langsung menegang. Apakah apa yang ada di pikirannya itu benar.

"Ibu?" lirih Nia.

Intan pun mulai menceritakan semua yang terjadi, sama halnya dengan yang diceritakan oleh suaminya semalam. Bagaimana kondisi perusahaan mereka dan kesepakatan yang sudah disepakati oleh Pak Septian.

"Apa Ibu ingin menyerahkanku pada mereka?" tanya Nia yang kini sudah berkaca-kaca. Bahkan setetes air mata sudah jatuh dari sudut matanya.

"Maafkan Ibu, Nia. Ibu tak punya pilihan lain, ayahmu tak mungkin memaksa Dita, begitupun dengan Ibu,"

"Lalu, mengapa denganku, Bu? Aku juga tak mau menikah dengannya, mengapa Ibu memaksaku dan menjadikanku sebagai penebus syarat dari mereka?" Lirih Nia yang kini sudah terisak, ia tak menyangka ibunya mengatakan hal seperti itu. Ia mengorbankan dirinya demi kehidupan keluarga mereka.

"Ibu juga seharusnya menolak keinginan ayah, Bu," ucapnya di sela isak tangisnya. Intan menghapus air putri kesayangannya itu dan menariknya kepelukannya. Ia memeluk putrinya dan membiarkan Nia terisak di sana. Begitu Nia sudah mulai tenang, ia pun mulai melepas pelukan mereka.

"Sayang, kamu tahu kan kondisi Ibu sebelum Ibu menikah dengan ayah dari Dita, Ibu bahkan tak mampu membelikanmu makanan yang enak. Tapi, lihat apa yang diberikan Ayah Dita pada kita, Nak. Dia memberikanmu makanan yang enak, pakaian yang indah, mainan yang banyak, menyekolahkanmu hingga setinggi ini. Apa kamu pernah merasa jika ayahmu membeda-bedakan mu dengan Dita? Tidak kan, karena dia menyayangi kalian berdua dan tak ada salahnya kamu mengurangi beban ayahmu dengan menerima perjodohan ini," ucap Ibu. Ia juga merasa tak ikhlas membiarkan putrinya itu menikah dengan duda yang berusia matang, belum lagi sifatnya yang dingin dan juga kejam. Namun, Ibu tak punya pilihan lain, ia juga merasa sangat bersyukur menjadi istri dari Seno yang menyayangi mereka lebih dari yang diinginkannya.

Setelah mendapat bujukan dari Intan, akhirnya Nia pun mengiyakan apa yang diinginkan ibunya, walau dengan berderai air mata. Nia berlari ke kamarnya, menguncinya dan menangis sejadi-jadinya di dalam sana. Intan hanya mendengar dari balik pintu kamar, Intan hanya bisa berdoa jika putrinya akan bahagia dan memiliki rumah tangga yang bahagia dengan Faris.

Malam hari saat makan malam, mereka semua kembali berkumpul dan makan malam bersama dalam diam. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari keempat orang yang duduk di meja makan, mereka semua fokus pada makanannya. Dita sekali melirik ke arah Nia yang terlihat sesekali mengusap air matanya dan juga melirik ke arah ayah dan ibunya yang terlihat aneh. Pikirannya langsung tertuju kepada pembahasan mereka kemarin malam, apakah Nia yang terpilih untuk menikah dengan Faris. Ia ingin bertanya. Namun, ia berusaha untuk menahan pertanyaannya dan membiarkan salah satu dari mereka yang akan menjelaskannya.

Makan malam pun selesai, ibu pun mulai membuka suara dan memberitahu kepada mereka semua jika Nia bersedia untuk menikah dengan Faris. Mendengar itu, ayah bernafas dengan lega. Namun, tidak dengan Dita, juga merasa kasihan melihat Nia yang sejak tadi hanya menunduk.

"Nia, terima kasih dan maafkan Ayah," hanya itu yang bisa diucapkan oleh Seno membuat Nia pun mengangguk dan berdiri dari duduknya.

"Aku sudah selesai, aku ke kamar dulu," ucapnya berlari menuju ke kamarnya. Suasana di meja makan kembali diam, mereka hanya terus menunduk. Dita yang juga menyayangi Nia merasa kasihan. Namun, ia juga tak mau menikah dengan Faris dan menggantikan Nia.

Di saat keheningan terjadi di meja makan, suara deringan ponsel dari Seno membuat mereka semua melihat ke arah ponsel yang ada di meja makan. Seno pun mengangkat dan mengatakan jika salah satu putrinya sudah setuju. Mereka bisa bertemu besok malam, ucapan Seno membuat mereka semua mengerti siapa yang sedang berbicara dengan pemimpin di rumah itu. Itu pasti dari keluarga yang akan datang untuk meminang Nia, yaitu keluarga Pak Septian.

Keputusan Nia

Pagi hari seperti biasanya, mereka semua sarapan bersama. Namun, kehangatan yang biasa mereka rasakan kini tak terjadi di pagi hari ini. Nia tak ikut sarapan sedangkan Dita memilih untuk pergi lebih dulu bekerja. Ia hanya pamit melalui Bibi sedangkan Seno dan juga Intan kini duduk di meja makan sambil menatap makanan mereka.

Mereka hanya mengaduk-aduknya makanannya, tak ada niat sedikitpun untuk memakannya. Nafsu makan mereka tiba-tiba menghilang seiring menghilangnya kehangatan di pagi hari keluarga bahagia mereka.

Seno menghela nafas, "Aku minta maaf, semua ini terjadi karena ketidak sanggupanku menjalankan perusahaan dengan baik," lirihnya menyandarkan bahunya di sandaran kursi meja makan.

"Ayah, apa yang kamu katakan. Ayah adalah pria yang baik, pria yang bertanggung jawab. Aku yakin selama ini Ayah pasti sudah mengusahakan yang terbaik untuk keluarga kita," ucap Intan menggenggam tangan suaminya yang ada di meja makan. Mendengar itu, Seno hanya mengangguk. Setidaknya, ucapan Intan sedikit bisa mengurangi rasa bersalahnya dengan apa yang terjadi pada Nia. Ia seperti mengorbankan putri dari istrinya itu untuk dijadikan syarat agar mereka masih bisa memiliki perusahaan yang sedang mereka kelola saat ini dan sedang mendapat masalah.

Dimana perusahaan itu adalah sumber kehidupan mereka, jika kehilangan perusahaan itu Seno tak yakin apakah dia bisa memberi nafkah kepada mereka semua dengan mencari pekerjaan lain.

Mereka sebenarnya sudah memiliki banyak tabungan, Nia dan juga Dita sudah bekerja. Namun, tetap saja perusahaan itu sudah menjadi hidup dari Seno. Ia merintisnya sejak dari nol dan sekarang sudah sukses, tetapi karena kesalahan yang dibuat oleh bawahannya membuat ia terancam kehilangan perusahaan tersebut dan mau tak mau harus meminta bantuan kepada Pak Septian.

Keduanya kembali terdiam dan hanya menatap makanan yang ada di depan mereka. Lama mereka terdiam kemudian Pak Seno kembali menggenggam tangan istrinya.

Begini saja, Ayah akan mengembalikan uang pak Septian dan mencari pinjaman lain. Ayah tak mau mengorbankan kebahagiaan Nia, tak apalah toh perusahaan itu juga sudah memberi banyak. Ayah tak masalah jika sampai kehilangannya daripada Ayah harus kehilangan kebahagiaan keluarga kita," ucapan Seno membuat Intan pun mengangguk.

"Iya, Ayah. Di masa tua kita yang paling terpenting adalah kasih sayang anak-anak, rasa cinta dari anak-anak. Mereka sudah besar, sudah bisa mencari biaya hidup mereka. Sekarang kita hanya berdua, tabungan kita cukup, kok. Nanti kita buat usaha kecil-kecilan untuk menutupi kekurangan, Ibu nggak masalah hidup bersama dengan Ayah walau tak bergelimang kemewahan seperti yang dulu, yang penting kita bahagia, anak-anak juga bahagia," ucap Intan membuat Seno pun mengangguk dan memutuskan untuk membatalkan pernikahannya dengan Faris.

Nia mendengarkan semua percakapan kedua orang tuanya. Ia yang memang hari ini tak bekerja dan memutuskan untuk mengurung diri di kamar, ia keluar saat ingin mengambil air minum. Namun, tak sengaja mendengar apa yang dibicarakan oleh kedua orang tuanya.

Semalam, ia berpikir jika kedua orang tuanya itu benar-benar jahat padanya, karena telah mengorbankannya. Namun, setelah mendengar percakapan mereka, sekarang ia merasa jika dialah yang jahat. Nia merasa jika dirinya menjadi orang yang sangat egois, di saat kedua orang tuanya tengah dihadapkan dengan sebuah pilihan yang berat, ia tak mau membantu.

Ia melihat ayahnya mengambil ponsel dan akan menelpon seseorang. Ia pun berjalan dengan pelan dan ia melihat jika yang diteleponnya adalah Pak Septian, sepertinya ayahnya itu benar-benar akan membatalkan pernikahannya dengan Faris dan membatalkan perjanjian mereka.

"Ayah, tunggu!" ucapnya mematikan kembali panggilan tersebut.

"Nia?" ucap keduanya bersamaan menatap pada wajah cantik putri mereka itu yang walaupun dengan mata sembab masih terlihat sangat cantik.

"Nak, maafkan Ayah. Ayah sudah keliru, Ayah dibutakan akan keserakahan, Ayah tak ingin kehilangan perusahaan, Ayah sadar jika semua harta benda bukanlah segalanya yang terpenting adalah kehadiran kalian, cinta kalian, Ayah minta maaf. Ayah akan memperbaiki kesalahan Ayah, Nak," ucap Seno menggenggam tangan putri tirinya yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.

"Tidak, Ayah. Maaf jika Nia tak mengerti kondisi Ayah saat ini, maaf jika Nia telah salah berpikir yang tidak-tidak tentang kalian. Nia akan membantu Ayah, Nia setuju menikah dengan Faris, Yah," ucap Nia mantap ayahnya dengan mata berkaca-kaca,, membuat Seno dan juga Intan saling menatap. Mereka tak percaya melihat apa yang baru saja Nia katakan.

"Tidak, Nak. Jika kamu menikah secara terpaksa seperti itu, kamu tak akan bahagia, jika kamu tak bahagia kami pun tak akan bahagia," ucap Intan melihat ke arah putrinya dengan tatapan sendunya.

"Apa Ibu pikir jika melihat Ibu dan Ayah tak bahagia, aku juga akan bahagia? Tidak, Bu. Kalian adalah kebahagiaanku dan aku tahu perusahaan itu sangat penting untuk Ayah, aku nggak papa kok, aku akan coba menjalani rumah tangga bersama dengan Faris, kita tak tahu kan seperti apa sosok dia sebenarnya, kita hanya tahu dari luarnya saja, kita hanya melihatnya sekali dan hanya mendengar kabar. Mungkin saja kabar yang kita dengar tak seperti aslinya, mungkin saja aku akan bahagia bersamanya," ucap Nia mengatasnamakan kata mungkin untuk kebahagiaan masa depannya, menjadikan kata mungkin menjadi sebuah harapan. Setidaknya untuk saat ini ia akan menerima pernikahan itu walau tanpa cinta.

"Apa kamu yakin, Nak?" tanya Intan sekali lagi pada putrinya.

"Bismillah, Bu. Jika memang Faris bukanlah jodohku pasti pernikahan ini tak akan terjadi dan begitupun sebaliknya, jika Faris memang jodohku, sekuat apapun kita menolak pasti aku akan tetap menikah dengannya, cepat atau lambat. Aku percaya jodoh, maut dan rezeki sudah diatur oleh sang pencipta," ucap gadis manis berhijab itu. Wajah yang berusaha dibuat setenang mungkin walau hatinya saat ini bergemuruh, ada rasa sakit dan rasa keragu-raguan dengan apa yang baru saja diucapkannya.

Ponsel Seno kembali berdering, di mana panggilannya tadi sudah masuk ke ponsel Septian, mungkin Septian melihat panggilannya dan kembali melakukan panggilan balik. Ia pun melihat ke arah Nia dan Nia pun mengangguk.

"Aku ikhlas, Yah. Bismillah, doakan aku bahagia jika memang ini jalan yang terbaik untukku," ucapnya membuat ucapan itu menjadi sebuah ketenangan dan kekuatan bagi Seno untuk mengambil keputusan. Ia pun mengambil benda pipih penting miliknya itu, menekan tombol hijau di sana dan menempelkan di telinganya.

"Halo, Pak," ucapnya menyalakan lost speaker sehingga Nia dan juga Intan mendengar percakapan mereka, keduanya mendengar dengan seksama apa yang akan diucapkan oleh kepala rumah tangga di rumah itu.

"Ada apa, Pak Seno? Apa Bapak sudah memiliki keputusan?" tanya Pak Septian yang bisa didengarkan oleh mereka semua. Pak Seno kembali melihat ke arah Nia dan Nia kembali mengangguk.

"Iya, Pak. Aku sudah mengambil keputusan dan keputusanku akan menerima lamaran Bapak. Bapak bisa datang hari ini dan kita akan membicarakan semuanya, jika bisa sebaiknya Faris juga datang Pak, biarkan mereka bertemu dan berbicara berdua sebelum kita mengambil keputusan untuk langkah selanjutnya," ucap pak Seno yang disetujui oleh Pak Septian dan siang nanti mereka akan melakukan pertemuan di kediaman Pak Seno.

Mereka sudah membuat kesepakatan jika siang nanti Septian dan juga Faris akan menghadiri undangan mereka untuk makan siang sekaligus membicarakan peresmian tentang hubungan Faris dan juga Nia, setelah keduanya bicara empat mata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!