Setiap wanita, ingin memiliki suami yang bertanggung jawab, juga setia.
Setiap orang juga, ingin memiliki pasangan yang menemaninya hingga tua.
Namun apa daya, jika takdir malah tak sesuai dengan yang di inginkan.
Setiap orang memiliki hak untuk memilih, namun tidak sedikit pula yang dapat bertahan pada pilihannya.
Seperti apa yang di alami oleh seorang gadis bernama Gania Zalendra Atmaja.
Gania memiliki hasrat yang menggebu, memaksakan dirinya untuk menikah muda.
Dia di butakan oleh cintanya, bahkan sampai rela menentang restu kedua orang tuanya.
Gania anak ketiga, dari tiga bersaudara. Seharusnya saat ini Dia masih berjuang meraih cita-citanya untuk menjadi seorang perawat, namun karena nafsunya, Ia harus mengubur cita-citanya itu dalam-dalam.
Gania menikah di usia dua puluh lima tahun, suatu kejadian membuatnya harus menikah saat itu juga.
Namun siapa sangka, dalam hatinya pernikahan itu memang hal yang sangat di inginkan oleh Gania.
Dia menikah, tanpa restu kedua orang tuanya. Restu orang tua sangat berperan penting dalam kehidupan seorang anak, terlebih doa-doa orang tua adalah berkat dalam menjalani kehidupan salah satunya berumah tangga.
Gania menentang restu orang tuanya, bahkan berucap bahwa Ia bisa hidup mandiri tanpa bantuan orang tuanya. Gania memutuskan komunikasi dengan orang tuanya, namun tidak dengan kedua kakaknya.
Gania terlahir dari sebuah keluarga terpandang, ayahnya seorang polisi dan ibunya seorang dokter. Gelar yang pastinya sangat keren di mata orang banyak, termasuk kedua kakaknya. Kakak pertama Gania seorang laki-laki yang berprofesi mengikuti jejak sang ibu, yaitu seorang dokter. Kakak kedua Gania perempuan, Ia berprofesi sebagai polisi mengikuti jejak sang ayah.
Sekilas seperti terbalik, harusnya yang laki-laki seorang polisi dan yang perempuan seorang dokter. Namun memang nyatanya seperti itu, intinya keluarga Gania terlahir sebagai keluarga yang di idam-idamkan setiap orang.
Setahun, dua tahun, Gania menjalani rumah tangganya dengan baik. Sang suami yang bernama Zavir Yusuf Firdaus, bekerja sebagai staff akunting di sebuah perusahaan tekstil di kota Bandung. Keluarga Zavir memang tidak sekaya keluarga sang istri, namun pekerjaan orang tuanya pun cukup terpandang di lingkungannya.
Sang ayah berprofesi sebagai kepala desa, dan ibunya seorang guru. Zavir anak tunggal, sehingga hal itu membuat Zavir sedikit manja.
Namun selama berumah tangga, Zavir termasuk suami yang romantis juga bertanggung jawab terhadap istrinya.
Gania berpacaran dengan Zavir sejak usianya tujuh belas tahun, Keduanya tak sengaja bertemu dalam sebuah acara di pusat kota. Zavir adalah cinta pertama Gania, hal itu pulalah yang membuat Gania nekat menentang restu kedua orang tuanya. Hal yang membuat kedua orang tua Gania tak memberi restu bukan karena soal ekonomi, namun karena orang tua Gania melihat Zavir yang terlalu menyukai club motor. Selama berpacaran pun, Gania sering ikut touring hingga pulang larut malam. Tentunya hal itu sangatlah tidak baik bagi seorang anak perempuan, terlebih pada saat itu keduanya belum menjadi pasangan yang halal.
Empat tahun pernikahan, Gania di karuniai dua orang anak. Terbilang jarak dekat memang, namun Gania menikmati perannya sebagai seorang ibu dua anak di usia yang masih terbilang muda. Gania mengurus kedua anaknya sendirian, tanpa bantuan baby sitter atau pun asisten rumah tangga. Zavir tak masalah tentang istrinya yang sering tak sempat masak, karena kerepotan mengurus kedua anaknya. Bahkan di tahun-tahun itu, Zavir masih menyempatkan untuk membantu pekerjaan rumah di kala Ia libur bekerja.
Anak pertama Gania berjenis kelamin perempuan, bernama Senja Zalendra Firdaus yang usianya kini menginjak 4 tahun. Anak kedua berjenis kelamin laki-laki, bernama Nidji Yusuf Firdaus yang usinya kini 2 tahun. Ya, usia yang kini tengah aktif-aktifnya. Rumah seakan tak pernah beres ketika kedua anaknya masih terbangun, Gania bisa membereskan rumah jika kedua anaknya tengah tertidur, itupun tak berlangsung lama. Setelah sang anak terbangun, rumah kembali seperti kapal pecah.
Gania yang dulu rajin perawatan, keluar masuk klinik kecantikan. Kini hanya bisa merawat dirinya sebisa mungkin di rumah, tanpa sentuhan-sentuhan tangan dokter dan racikan skincarenya.
Untuk saat ini, Ia lebih mementingkan kebutuhan keluarganya di banding perawatan dirinya. Memang hal itu lumrah terjadi pada hampir semua perempuan yang sudah berumah tangga, Mereka akan mendahulukan kebutuhan anak juga dapur sebelum memenuhi kebutuhan pribadinya.
Di tahun ke lima pernikahan, Gania kembali di karunia seorang anak perempuan, bernama Nila Zalendra Firdaus. Di tahun itu pula lah, Ia merasa sangat lelah. Bukan lelah karena mengurus tiga orang anak degan jarak usia yang berdekatan, Ia merasa lelah karena kini sang suami jarang sekali membantunya saat Ia kerepotan.
Gania sempat merasa menyesal karena telah menikah muda, namun nasi sudah menjadi bubur. Gania dengan sabar menjalani kehidupan rumah tangganya, walau penat sering menghampirinya.
Di tahun ke lima ini, Gania merasa ada perbedaan pada sikap sang suami. Zavir memang masih bersikap manis, namun ada satu hal yang membuat Gania bertanya-tanya. Di tahun ke lima ini pula, Gania merasa sang suami sudah sangat jarang sekali menyentuhnya. Gania memikirkan apa yang menjadi penyebab sang suami hilang selera padanya, walau sang suami tidak pernah gamblang berucap bahwa Ia sudah tak berselera, namun Gania merasakan hal yang sangat signifikan. Gania berprasangka, bahwa sang suami memiliki wanita idaman lain di luar sana. Hal itu juga menbuat Gania sering sakit, karena memikirkan perubahan sikap suaminya.
"Lagi-lagi, Mas Zavir pulang malam. Masa iya, lembur sampai selarut ini." Gania bolak balik di depan pintu rumahnya, menunggu kepulangan sang suami dari tempat kerja.
Suara tangisan si bungsu, membuat Gania harus segera masuk ke dalam rumah. Dengan pikiran semraut, Gania masih berusaha untuk tenang dalam mengurus ketiga anaknya.
Gania menggendong anak ketiganya yang masih bayi, tak sengaja Ia menatap cermin dan melihat pantulan dirinya.
"Apa karena sekarang Aku udah gak menarik, ya? Apa karena tubuhku yang gak sebagus dulu, yang bikin Mas Zavir melirik wanita lain?" Gania masih bertanya-tanya.
"Tapi, apa benar Mas Zavir sampai tega selingkuh dari Aku? Selama ini sikapnya begitu manis," gumam Gania.
Dalam lamunannya, Gania membayangkan hal yang seharusnya Ia jalani saat ini.
"Kalau aja dulu Aku nurut sama Ayah dan Ibu, mungkin sekarang Aku sudah menikmati gelarku sebagai perawat. Berkumpul bersama Mereka, dan mungkin juga masa depanku lebih baik." Gania menangis, meratapi nasib dirinya. Gania tak menyesal telah memiliki anak-anak yang lucu, yang Ia sesali adalah keras kepalanya yang bahkan telah menghancurkan hidupnya sendiri.
Gania tengah menunggu di halte bis, Ia tak berani menunggu Zavir di depan rumahnya. Setiap kali Ia meminta izin pada sang ibu, setiap kali itu pula Ibunya tak memberi izin untuk Gania pergi bersama Zavir. Namun, walaupun begitu Gania tak pantang menyerah. Ia memilih pergi diam-diam, agar bisa bertemu dengan sang kekasih.
"Zavir mana, sih? Lama, deh." Gania menggerutu.
Gania melirik ke arah jam yang melingkar di lengannya, kakinya menghentak karena sudah merasa kesal.
"Tahu gini Aku gak bakal bolos kuliah!" Seru Gania.
Ya, saat ini Gania tengah menempuh pendidikan di bangku kuliah, Ia mengambil Fakultas Akademi Perawat. Gania menolak, ketika sang ibu memintanya untuk masuk ke Fakultas Kedokteran. Gania merasa gelar Dokter terlalu berat baginya, lagi pula di keluarganya sudah ada dua orang yang berprofesi sebagai Dokter, yaitu sang ibu dan kakak laki-lakinya.
Kekesalannya hampir memuncak, Gania berniat untuk pulang karena Zavir tak kunjung datang.
Namun saat hendak beranjak, Zavir pun tiba.
"Lama banget!" Bentak Gania.
"Iya, maaf. Tadi kan abis masukin dulu lamaran kerja yang," ucap Zavir.
Pada saat itu, Zavir masih menganggur. Zavir menyelesaikan pendidikannya hingga bangkus sekolah menengah kejuruan, Dia tak melanjutkan untuk kuliah dengan alasan malas berpikir lagi. Namun Zavir memiliki keahlian dalam bidang akuntansi, dan Dia memilih untuk mencari pekerjaan di usianya saat itu.
Saat ini Zavir sangat menyukai club motor, Ia juga menjadi salah satu anggota club motor yang namanya cukup besar di Bandung.
"Kamu bolos kuliah lagi?" Tanya Zavir.
Gania mengangguk, "iya. Abis kalah gak bolos, gimana mau ketemunya? Pulang Kuliah pasti Ibu nyuruh supir buat jemput Aku." Gania menuturkan.
Zavir terdiam, sebenarnya Ia tak menyukai jika Gania bolos kuliah. Namun tak dapat di pungkiri, Ia juga sangat ingin memiliki waktu untuk jalan berdua dengan sang kekasih.
"Ibu sama Ayah Kamu masih gak suka sama Aku?" Tanya Zavir.
Gania mengangguk, "iya."
Keduanya terdiam, Zavir juga sangat merasa tak enak hati saat itu.
"Kenapa bengong?" Tanya Gania.
Zavir memarkirkan motornya, lalu duduk di halte bersama Gania.
"Sebenarnya Aku gak enak kalau harus pacaran ngumpet-ngumpet gini terus, kucing-kucingan terus. Padahal Kita kan gak pernah aneh-aneh selama pacaran," ucap Zavir.
Gania pun terdiam, "iya, sih. Mungkin karena Ayah sama Ibu tahu Kamu suka club motor, makannya Mereka gak terlalu suka." Gania menjelaskan.
"Apa salahnya sama club motor? Aku gak pernah mabok-mabokan, kok. Kalau ngerokok ya wajar, kan? Kamu sih suka pengen ikuti touring segala," ucap Zavir dengan nada sedikit kesal.
Gania mengerutkan keningnya, Ia merasa tak enak mendengar ucapan Zavir.
"Kamu nyalahin Aku? Kamu jadi gak suka kalau Aku suka ikut Kamu pergi sama teman-teman club motor Kamu? Vir, di club motor Kamu itu ada banyak perempuannya juga, jadi..."
"Jadi Kamu takut Aku selingkuh, gitu?" Zavir menebak.
Gania terhentak, Ia diam tak menjawab.
"Ya ampun, Nia. Kita tuh pacaran udah lama, Kamu masih gak percayaan sama Aku. Aku bukan gak suka Kamu ikut touring, tapi kan Aku touring pulang suka malam. Itu yang bikin orang tua Kamu semakin gak suka sama Aku!" Seru Zavir.
Gania menunduk, Ia merasa sedih mendengar penuturan Zavir.
Zavir mengusap wajahnya kasar, bagaimana pun Ia sangat menyayangi Gania dan tak suka melihat kekasihnya itu bersedih.
"Jangan nangis! Ya udah Aku minta maaf, udah marah-marah. Ya udah Kita pergi sekarang, anak-anak udah nunggu di tempat biasa."
Gania mengangguk, Mereka pun menaiki motor dan segera melaju menuju tempat tujuan.
***
Sesampainya di tempat tongkrongan, Gania dan Zavir menghampiri teman-teman yang lain.
"Halo, Bro. Lagi pada ngapain, nih?" Tanya Zavir sembari berbaur dengan teman-temannya yang lain.
Gania duduk, di tempat yang dimana juga terdapat perempuan di sana.
"Mau?" Tanya teman perempuan Gania sembari menyodorkan sebatang rokok.
Gania menggelengkan kepalanya, "nggak. Aku gak ngrokok, kak." Gania menolak.
Walaupun Ia suka ikut nongkrong dengan teman-teman club motor, tetapi Gania tak pernah sekalipun ikut mencicipi rokok atau bahkan minuman keras.
"Biasalah Kita lagi bahas rencana buat event minggu depan, Vir." Salah satu teman Zavir menuturkan.
"Oh, ulang tahun club Kita? Jadinya gimana?" Tanya Zavir yang memang Mereka berencana akan mengadakan sebuah event untuk merayakan ulang tahun club motor yang sudah berdiri bertahun-tahun itu.
"Iya rencananya sih Kita mau galang dana juga, buat korban bencana gempa. Yang di Cianjur itu," ucap salah satu teman Zavir yang lain.
"Setuju, tuh. Tapi yang pasti satu sih yang harus di jaga," ujar Zavir.
"Apa tuh?" Tanya teman Zavir.
"Jangan sampai di acara nanti, di antara Kita ada yang konsumsi miras, atau bahkan ngobat." Zavir menegaskan.
Teman-teman Zavir sempat terdiam, hal itu membuat Zavir bertanya-tanya.
"Kenapa pada diem?" Tanya Zavir sembari menatap satu persatu teman-temannya.
"Jangan bilang, di antara Kita ada yang konsumsi narkoba?" Zavir mulai berprasangka.
"Ng-nggak, Vir. Kita gak make, kok. Kita kan udah sepakat gak bakalan nyoba narkoba!" Seru salah satu teman Zavir.
Zavir mengangguk, "baguslah kalau gitu, jangan sampai nama club motor ini hancur karena ulah orang-orang yang gak bertanggung jawab, jangan sampai bikin malu para senior terdahulu yang udah membesarkan nama club motor Kita ini."
"Iya, Vir."
"Ya udah, Kita lanjutkan pembahasan event minggu depan. Mau di adain di lapangan terbuka, atau Kita mau sewa gedung?" Tanya Zavir.
Saat tengah berkumpul, dan berdiskusi. Tiba-tiba saja semua terkejut, ketika beberapa orang petugas kepolisan datang dan mengejutkan semuanya.
"Jangan bergerak! Kalian sudah Kami kepung!" Teriak salah satu polisi.
Zavir dan Gania terkejut, Mereka tahu apa yang terjadi.
"Ada apa, Pak? Kenapa Kami di grebek?" Tanya Zavir.
"Kami beberapa kali menerima laporan tentang penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh anggota club ini," jawab salah satu petugas.
Zavir terkejut, Ia menoleh ke arah teman-temannya yang menunduk.
"Tapi yang Saya tahu, club Kami gak mengkonsumsi narkoba, Pak." Zavir menuturkan.
"Jelaskan nanti di kantor saja. Sekarang Kalian ikut Kami ke kantor!" Seru petugas kepolisian dan langsung memborgol semua termasuk Zavir dan Gania.
"Vir. Aku takut, Aku gak tahu apa-apa." Gania menangis ketakutan.
Zavir tak bisa berbuat apapun, saat ini Ia hanya bisa mengikuti prosedur pemeriksaan.
Satu persatu naik ke atas mobil tahanan, Gania masih menangis karena Ia sangat ketakutan dan tak tahu harus berbuat apa.
Tangisnya semakin kencang, saat mobil tahanan itu mulai melaju.
"Jangan nangis, Nia. Kamu tenang aja, Kita gak bersalah. Kita gak ikut-ikutan make bareng itu," ucap Zavir berusaha untuk menenangkan kekasihnya.
Lalu ia menatap ke arah teman-temannya, dan berucap dengan penuh kekecewaan.
"Gua kecewa sama Kalian semua!" Seru Zavir.
Gania menutup matanya, Ia membayangkan bagaimana jika kabar itu sampai ke telinga orang tuanya. Akan semarah apa Mereka, walaupun Gania memang tak memakai barang haram itu.
"Gimana ini? Ini mobil jalannya ke mana, ya? Polsek atau polres? Gimana kalau Aku ketemu sama Kak Rania?" Gania semakin ketakutan, pasalnya sang Kakak kini tengah bertugas di kota Bandung. Ia akan habis jika sampai bertemu dengan sang kakak di kantor polisi nanti, dan pastinya jika sang kakak mengetahui hal itu, kabar itu pun akan sampai ke telinga sang Ayah.
"Zavir, Aku takut. Gimana kalau nanti Kak Rania tahu? Gimana kalau nanti Ayah tahu?" Tanya Gania.
Ia mengusap air matanya dengan sikut, karena kini pergelangan tangannya tengah di borgol.
Zavir tak menjawab, Ia juga tak menyangka akan terjadi di luar dugaannya.
Sesampainya di polsek, semua yang ada di mobil tahanan di mintai untuk turun. Semuanya masuk ke dalam ruangan, dan duduk di depan penyidik.
Satu persatu di berikan pertanyaan, Mereka di minta untuk berkata jujur.
Tak ada yang mengaku, membuat penyidik melakukan tindakan selanjutnya.
"Bawa ke ruangan, Kita akan melakukan tes urine." Perintah penyidik.
Petugas lain menuruti perintah penyidik, semuanya kini berbaris untuk melakukan tes urine.
Wajah Gania tampak begitu pucat, apalagi saat sampai di ruangan hal yang Ia takuti menjadi kenyataan.
Seorang polisi wanita, membukatkan matanya menatap ke arah barisan yang kini tengah berjalan secara beruntun.
"Gania!" Teriak polisi wanita itu.
Sontak Gania menoleh, alangkah terkejutnya Ia ketika mendapati sosok yang berteriak memanggilnya.
"Kak Rania," ucap Gania dengan gemetar.
Zavir ikut menoleh, lalu kembali menundukkan wajahnya setelah melihat kakak dari Gania.
Bripda Rania Zalendra Atmaja, atau biasa di panggil Bripda Rania. Ia sangat terkejut ketika sang adik di giring sembari memakai borgol di lengannya, sekilah Ia juga menatap ke arah Zavir yang juga ada bersama sang adik.
"Maaf, Bripda Rania. Apa Anda mengenal salah satu dari Mereka?" Tanya anggota polisi yang tengah membawa Gania bersama yang lainnya untuk melakukan tes urine.
Bripda Rania mengangguk, "ya. Perempuan itu, adik Saya. Mereka terlibat kasus apa?" Tanya Bripda Rania.
"Siap. Mereka terjerat kasus penyalahgunaan narkoba," jawab petugas itu.
"Innalillahi. Gania!" Bentak Bripda Rania.
Gania memejamkan matanya, lalu Ia memberanikan diri untuk menghampiri sang Kakak dan menjelaskan semuanya.
"Kak. Percaya sama Aku, Aku gak salah. Aku gak terlibat, Aku gak make barang haram itu. Sumpah demi Allah, Kak." Gania berusaha untuk meyakinkan sang Kakak.
Bripda Rania mengabaikan penjelasan sang adik, Ia tampaknya begitu terkejut dengan apa yang di lihatnya saat itu.
"Nggak. Jelaskan semuanya ke penyidik, dan ikuti prosedurnya!" Tegas Bripda Rania.
Gania terisak, lalu Ia kembali menuju barisan dan ikut melakukan tes urine.
Satu persatu, mulai melakukan tes.
Dengan perasaan gelisah, sang Kakak menunggu hasil yang akan du dapatkannya.
"Semoga aja Gania berkata jujur, kalau Dia sampai pakai barang haram itu, bisa habis Dia di amuk sama Ayah." Bripda Rania bergumam.
Bripda Rania merogoh ponselnya, Ia bermaksud untuk memberitahu suaminya tentang hal ini.
"Duh, kok gak di angkat. Apa lagi sibuk, ya? Padahal kan ini bukan jam Dia sibuk," gerutu Bripda Rania. Ia memiliki suami yang berprofesi seorang pengusaha batu bara, keduanya tengah menjalani hubungan jarak jauh. Sang suami tengah berada di Kalimantan, dan Rania tengah bertugas di Bandung. Keduanya sangat harmonis, namun sampai saat ini keduanya belum kunjung di karuniai keturunan.
"Ya udahlah, nanti aja Aku ceritainnya. Sekarang fokus dulu sama Gania," ujar Rania.
Satu persatu selesai melakukan tes urine, dan hasilnya memang menyatakan bahwa Gania dan Zavir negatif narkoba. Gania dan Zavir sudah yakin akan hal itu, kini Mereka tengah menunggu hasil akhirnya.
Gania kembali menghampiri sang Kakak, dan meminta tolong agar di urus kepulangannya.
"Kak. Bantuin Aku, Aku mau pulang. Gak mau lama-lama di sini," bujuk Gania.
Sang Kakak tak menimpali, namun Gania yakin bahwa kakaknya itu tak akan membiarkan dirinya berada di tempat yang tak semestinya.
Benar saja, Rania membantu sang adik agar bisa di pulangkan. Gania dan Zavir kini bebas, sementara yang lain berlanjut karena memang positif sebagai pengguna narkoba.
"Kamu ikut Kakak pulang sekarang!" Suara Rania terdengar sangat keras.
Gania menolak, Ia tak ingin pulang ke rumah karena takut menghadapi kedua orang tuanya.
"Nggak. Nia takut," ucap Gania.
"Terus Kamu mau kemana lagi?" Tanya Rania sembari melirik ke arah Zavir.
"Kamu. Pulang sana!" Seru Rania pada Zavir.
Zavir tak bisa melawan, Ia hanya mengangguk lalu dengan cepat Ia pergi meninggalkan Gania bersama kakaknya.
"Zavir!" Panggila Gania.
"Nia. Kamu nurut, dong. Kalau Kamu kayak gini terus, Ayah sama Ibu bakal tambah marah sama Kamu." Rania menuturkan.
"Kak. Pulang atau pun nggak, Ibu sama Ayah bakal tetep marah sama Aku. Selama Aku sama Zavir Mereka gak akan berhenti marah sama Aku." Gania merengek.
Rania menghela nafasnya, sebenarnya Ia tak memiliki waktu banyak untuk menghadapi masalah sang adik.
"Nia. Minggu depan, Kakak bakal pindah tugas ke Surabaya. Jadi Kakak mohon, selama Kakak di sana Kamu jangan bikin masalah lagi."
Gania menatap, "Kakak pindah tugas? Terus yang belain Aku di sini siapa?" Tangis Gania tak tertahan lagi.
"Ada Kak Gio. Tapi Kamu jangan repotin Dia, Kamu harus lebih dewasa lagi Nia. Selesaikan masalah Kamu dengan bijak," ujar Rania.
Gania terdiam, Ia hanya menundukkan wajahnya sembari mengusap pipinya yang basah karena air mata.
"Sekarang Kakak antar Kamu pulang," ucap Rania.
Gania mengangguk, dan pasrah mengikuti arahan sang kakak.
Rania pun membawa Gania pulang, selama di perjalanan Gania terus merasa gelisah.
"Duh. Bakal habis di ceramahin ini mah," ucap Gania dalam hatinya.
***
Sementara itu di jalan arah pulang, Zavir membawa motornya dengan pikiran melamun.
Ia masih tak percaya bahwa teman-temannya memakai barang haram, padahal Zavir sering mewanti-wanti untuk tidak menyentuh barang haram itu.
Di karenakan Zavir yang tak konsen dalam melajukan kendaraanya, tiba-tiba saja Ia menabrak sebuah mobil yang berhenti di depannya.
Braakk!!!
"Astaga!" Teriak Zavir.
"Duh, pake nubruk segala lagi." Zavir menggerutu.
Pintu mobil terbuka, seseorang mulai keluar dari mobil untuk menemui Zavir.
"Bisa bawa motor, gak? Gak lihat di depan lampu merah?" Bentak supir mobil mewah yang tak sengaja tertabrak oleh Zavir dari arah belakang.
Zavir menyetandarkan motornya, lalu meminta maaf atas kelalaiannya.
"Ya ampun, maaf. Saya gak sengaja, Pak." Zavir menundukkan kepalanya.
"Gak sengaja. Ini gimana mobil bos Saya ketabrak, kalau lecet bisa ganti rugi besar Kamu." Supir itu berucap dengan kesal.
Zavir melirik ke arah mobil, lalu Ia berinisiatif untuk meminta maaf langsung pada pemilik mobil.
"Boleh Saya minta maaf langsung sama bosnya, Pak?" Tanya Zavir.
Supir itu sempat terdiam, lalu Ia mengizinkan Zavir untuk menemui atasannya.
Zavir berjalan cepat, dan mengetuk jendela mobil dengan hati-hati. Saat kaca mobil terbuka, alangkah terkejutnya Ia ketika mengetahui siapa pemilik mobil mewah yang tak sengaja di tabraknya.
"Om, Bagus." Zavir berucap dengan gemetar, Ia merasa terkejut ketika pemilik mobil mewah itu adalah ayah dari Gania. Ia merasa, hari ini adalah hari sialnya. Kejadian di kantor polisi tadi saja masih membuatnya lemas, di tambah sekarang Ia harus berurusan dengan Ayah Gania.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!