...Happy Reading...
Sad Boy?
Julukan yang tidak pernah terbayangkan sekalipun dalam kehidupan seorang Dr. Marvin Abimanyu SpKj.
Bertahun-tahun dia belajar untuk mendapatkan gelar dokter dan melanjutkan studi spesialis kejiwaan dengan dikelilingi wanita berparaskan cantik dan cerdas, namun perasaannya dipatahkan begitu saja hanya dengan seorang gadis sederhana yang bernama Niar, yang kini sudah bertunangan dengan kekasihnya yang sudah terjalin bertahun lamanya walau dalam status hubungan LDR.
Marvin merupakan dokter spesialis yang handal, itu mengapa dia direkrut kusus oleh keluarga Samuel secara pribadi, untuk menangani penyakit langka yang diderita Samuel.
Karena memang mereka seumuran, selain menjadi dokter pribadi Samuel, Marvin juga merupakan sahabat terdekat satu-satunya.
Hingga saat Marvin dalam keadaan terpuruk, Samuel lah satu-satunya sahabat yang akan menemaninya melewati masa-masa sulit dalam hidupnya.
"Uncle?"
Suara bocah kecil itu melengking memenuhi ruangan apartement milik Dokter Marvin yang hampir satu bulan ini kosong, karena dia tinggal pergi mudik ke kampung halaman Oma nya untuk menenangkan diri.
"Kenzo Rajendra Bramantyo, apa kabar kamu Cil?" Marvin langsung merentangkan kedua tangannya dan berjongkok untuk memeluk anak SD berambut keriting yang selalu membuat dirinya gemas itu.
"Panggil saja aku Yoyo, ribet banget sih uncle ini, huh!" Dan Nocah kecil itu seolah enggan dipeluk oleh dokter tampan itu, karena Yoyo lebih memilih menghindar dan duduk diatas meja tamu miliknya.
"Yoyo! sini peluk Uncle, kamu nggak rindu apa sama Uncle Marvin?" Umpat Marvin yang memang sering dibuat takjub oleh semua kelakuan Yoyo yang memang terkadang dewasa sebelum waktunya.
"No, uncle bau sampah!" Bahkan Yoyo sampai memencet hidungnya sendiri saat mencium bau Marvin yang memang dalam keadaan acak-acakan dan kucel, karena seharian ini dia hanya bermalas-malasan di tempat tidur saja.
"Pfffttthh!" Samuel yang mendengar umpatan dari anak kesayangannya itu hanya bisa menahan tawanya saja.
"Yoyo sayang, nggak boleh ngomong gitu, nggak baik nak, walau itu kenyataan sekalipun!" Rinjani pura-pura memperingatkan Yoyo, padahal dia pun ikut menyetujuinya.
"Tapi Uncle memang bau mom."
Anak dari kakak kandung Samuel ini memang sudah dianggap layaknya anak sendiri, bahkan Rinjani pun sangat menyayanginya, walau pada awalnya dia sering dikerjain oleh bocah yang masih bau ingus itu.
"Mommy tahu itu nak, dan kamu memang benar." Jawab Rinjani yang membuat Marvin semakin dongkol.
"Bahahaha!" Samuel dan Yoyo langsung tertawa bersamaan, bahkan mereka bertos ria dihadapan wajah kusut Marvin.
"Dasar kalian ini, orang tua macam apa kalian berdua ini, hah? ngajarin anak nggak bener?" Umpat Marvin yang langsung membanying tubuhnya di sofa empuk miliknya.
"Karena memang putraku tidak pernah berkata bohong, coba sini aku lihat?" Samuel langsung berjalan mendekati sahabatnya itu. "Aishh... pantesan Yoyo bilang bau sampah!" Umpat Samuel yang langsung kembali menjauh dari dokter itu.
"Benarkah? apa kamu habis bersih-bersih selokan Vin?" Ledek Rinjani.
"Dih, kurang kerjaan banget!" Dia langsung menutupi wajahnya dengan bantal sofa itu.
"Seluruh badannya bau alkohol yank, bahkan baunya menyengat sekali." Samuel memilih mencium istrinya untuk mengalihkan bau alkohol itu.
"Beuh... pantas saja anak gue bilang gitu! kalau begitu kita main diluar yuk nak, Uncle mu itu tidak ramah lingkungan, apalagi untuk anak Mommy yang tampan ini, lets go!"
"Hmm.. Baiklah!" Yoyo langsung berjalan santai keluar ruangan setelah mengibaskan rambut keritingnya itu.
"Jangan main jauh-jauh sayang, nanti aku rindu!"
"Yaelah... cuma didepan rumah aja, kakak urusin dulu itu sahabat kakak, biar nggak bau sampah lagi, suruh dia menerima kenyataan hidup, biar pahit sekalipun, ya kan Yo?"
"Betul.. Betul.. Betul!" Jawab Yoyo yang menirukan film kartun kesukaannya itu.
"Haish... kalian ini hanya menghujat aja bisanya, bisa nggak tobat sekali aja jadi netizen!" Umpat Marvin kembali.
"Diamlah, mandi dulu sana, sudah jam berapa ini, sudah sebulan cuti kerja, masih aja malas-malasan, mau gue mandiin sekalian?" Samuel langsung menendang-nendang kaki Marvin disampingnya.
"Mau banget, tolong mandiin Eyke dong Bang!"
"Dih, jijik aku dengarnya, berhembus sana, atau aku panggilkan petugas damkar biar mereka yang mandiin kamu dengan penyemprotnya itu!"
"Ckk... dasar pemarah, tunggu sebentar, aku mandi dulu!" Akhirnya Marvin berjalan lunglai menuju kamar mandi dikamarnya.
"Haish... Putus cinta memang bisa membuat orang menjadi gila, bahkan Dokter secerdas dia bisa jadi bodoh dalam sekejap mata."
Samuel hanya menggelengkan kepalanya saat melihat puluhan botol tergeletak berserakan dilantai kamar sahabatnya.
Hingga akhirnya Samuel memilih memanggil petugas kebersihan Apartement itu sambil menunggu Marvin selesai mandi.
"Wuidih... sudah bersih aja ini kamar? tumben anda baik sekali, mau membantu membersihkan kamarku?" Setelah menunggu beberapa saat Marvin sudah keluar dengan wajah yang lebih segar.
"Dih... sory! kalau orang lain bisa, kenapa harus gua?" Itulah semboyan yang selalu Samuel ucapkan.
"Jadi bukan kamu? baru saja aku ingin berterima kasih tadi, untung nggak jadi."
"Kenapa kamu harus pergi?" Tiba-tiba Samuel langsung mengalihkan topik pembicaraan mereka.
"Emang kenapa?"
"Kamu tidak tahu kan apa yang terjadi saat pertunangan Niar dan Dito?" Sedikit banyak, Samuel sudah mendengarkan cerita dari pihak Niar dari Istrinya.
"Apa mereka gagal bertunangan?" Marvin langsung mendekatinya dengan penuh harap akan mendapatkan kabar baik.
"Jangan mimpi kamu, bahkan Jani tadi membawakan undangan dari Niar untukmu!" Karena selainjngin melihat kondisinya, mereka juga mendapatkan titipan undangan dari Niar.
"Asiaall." Marvin langsung melempar handuknya mengenai sebuah foto kecil yang terpajang diatas meja miliknya.
"Kamu menyukainya!" Samuel merasa prihatin dengan nasip percintaan sahabatnya itu.
"Anda masih bertanya? cih... aku kira anda sahabatku yang bisa paham akan diriku, ternyata zonk!"
"Hais.. ternyata dalam dunia percintaan tampan saja tidak cukup, lalu kalau kamu menyukainya, kenapa kamu memilih pergi, harusnya kamu bertahan dan merebutnya, itu baru namanya berjuang?"
"Maksudnya?"
"Kenapa kamu tidak mendatanginya dengan gentle, bahkan kamu tidak tahu kan kalau aku tertembak disana?"
"Hah? Kamu tertembak? tapi kamu masih hidup, apa ini arwahmu?"Marvin memicingkan satu matanya.
"Kurang ajar kamu ya, jadi kamu harap aku mati? o... tidak semudah itu, kalau aku mati pun kamu yang akan menjadi tumbal berikutnya!"
"Aish... maksudku, siapa yang berani menembak seorang Samuel?" Kehidupan di kampung Omanya mengalihkan pikirannya di kota kala itu.
"Aku rasa bukan aku sasarannya, saat itu bahkan aku ingin melindungi Rinjani."
"Apa dia mengincar istri kamu?"
"Sepertinya bukan juga, karena posisi Rinjani saat itu tiba-tiba ingin pindah dari tempat duduknya." Samuel mengingat krmbalj kejafian tragis kala itu.
"Lalu menurut kamu, siapa yang dia incar?"
"Mereka menduganya kamu Vin, karena kamu adalah penghalang dari hubungan Niar dan Dito?" Ucap Samuel dengan praduga mereka selama ini.
"Hei... kenapa pula aku? aku bahkan berbesar hati untuk merelakan dia demi kekasihnya itu, walau hatiku seolah hancur tak bersisa kok!" Marvin langsung protes karenanya.
Dia yang merasa terlalu cinta dengan Niar, tidak tega jika harus mengacaukan acaranya dan menanggung malu hanya karena dirinya, itu mengapa Marvin memilih pergi untuk mengobati lukanya sendiri di kampung bersama Omanya.
"Sepertinya ada yang salah dengan calon suami dari wanita idamanmu itu!" Samuel sudah merasa curiga sejak awal dengan Dito, firasatnya mengatakan ada yang janggal saat baru melihat raut wajahnya saja.
"Maksud kamu dia punya musuh?" Marvin menaikkan kedua alisnya.
"May be yes, may be no!" Samuel menaikkan kedua bahunya.
"Awas saja, kalau sampai dia melukai gadisku, tidak akan aku biarkan pernikahan itu terjadi!" Marvin langsung mengepalkan kedua tangannya, dia yang sudah berkorban mati-matian untuk sekedar merelakan, tidak akan pernah terima jika akhirnya Niar terluka karenanya.
"Tapi ada baiknya juga saat musibah itu menimpaku." Terbesit satu senyuman di wajah Samuel yang tampan itu.
"Kok bisa, orang tertembak kok malah senang, punya nyawa cadangan kamu?" Marvin menaikkan satu alisnya.
"Akhirnya aku bisa mendapatkan restu dan kata maaf dari ibu mertuaku, hehe!"
Setelah tragedi pertunangan Niar dan Dito yang berakhir dengan kericuhan karena adanya tragedi penembakan yang menimpa diri Samuel, suami dari Rinjani, sahabat terbaik dari Niar itu, namun ternyata ada hikmah dari kejadian penembakan itu, karena sejak kejadian itu Ibu Rinjani mulai membuka pintu maafnya untuk anak mantunya yang ternyata adalah pelaku dari tragedi kecelakaan yang menimpa suaminya dulu.
"Hmm... jika pertunangan mereka saja kacau, bagaimana dengan pernikahan mereka nantinya? fuuh... aku percaya, jika Niar memang untukku, pasti akan ada jalan agar kita berjodoh kembali nantinya."
Terbersit sebuah senyuman, saat pertunangan Niar ternyata tidak berjalan dengan mulus, dan tidak menutup kemungkinan bahwa Marvin bisa masuk dicelah-celah hubungan mereka sebelum hari pernikahan, karena Godaan Sang Mantan terkadang memang lebih mengerikan daripada Godaan Setan.
Tuhan menempatkan seseorang di hidupmu karena sebuah alasan. Dan jika kamu kehilangannya maka itu karena sebuah alasan yang lebih baik.
Hai bestie-bestieku tersegalanya, jumpa lagi di lapak Dr.Marvin sama Niar, semoga menjawab rasa penasaran kalian dengan nasip Dokter Tampan kita.
Jangan lupa tekan Tombol Subscribe atau Favorit 💙 agar selalu mendapatkan Notif update selanjutnya.
Lanjut yok🥰
...Happy Reading...
Memang sakit rasanya, saat dulu kita sedekat Nadi, namun kini akhirnya harus sejauh Matahari, bahkan Matahari yang sudah tenggelam tergantikan dengan terangnya sinar Rembulan malam.
Dalam satu bulan ini Niar disibukkan dengan berbagai rangkaian persiapan pernikahannya, namun entah mengapa hatinya terasa hampa, tidak seperti pasangan lain yang begitu semangat dalam memilah-milah rangkaian acara dan segala embel-embelnya.
'Daniar Wening' dengan nama akhiran yang berarti tenang, namun tidak seperti hatinya saat ini yang kalut karena saat berdua bersama tunangannya pun dia masih merasa kesepian.
"Sayang.. besok aku harus balik lagi ke Kalimantan, jadi untuk pemilihan baju pengantin kita ajukan hari ini saja ya?"
Karena mata pencaharian Dito berada di pulau yang berbeda dari tempat tinggal Niar saat ini, jadi Dito hanya bisa membantu mempersiapkan pernikahan mereka sebagain saja, sisanya Niar dan keluarganya sendiri yang menyiapkan.
"Pernikahan kita tidak sampai satu bulan lagi loh yank, kenapa kemarin nggak sekalian aja ngambil cuti sampai bulan depan?" Tanya Niar yang sedikit merasa kecewa, pernikahan kan teejadi atas kesepakatan bersama, jadi harus dipersiapkan berdua, namun entah mengapa dia merasa berat sebelah.
"Nggak bisa yank, kalau harus selama itu, jadi nanti beberapa hari sebelum pernikahan aku akan minta izin pulang lagi." Dito mengusap kepala tunangannya perlahan.
"Huft... apa sesulit itu minta izin dari perusahaan?"
"Memang begitu aturannya yank, kamu yang sabar ya, tidak lama lagi kita akan selalu bersama, okey?"
"Hmm." Akhirnya hanya anggukan kepalanya saja yang bisa menggambarkan betapa kecewanya Niar kali ini.
"Kiss nya mana?" Dito mulai sedikit manja.
"Nggak mau, nanti kita malah nggak jadi berangkat, kacau lagi semua persiapannya." Tolak Niar.
"Halah... sebentar aja yank?" Renggek Dito.
"Kendaraan onlinenya sudah sampai tuh, kita berangkat ke Butik sekarang aja yuk, soalnya kalau sore pemiliknya ada janji dengan klien lain katanya."
"Ckk... ya sudahlah!"
Akhirnya mereka berdua naik mobil online yang mereka pesan menuju ke alamat Butik, yang beberapa waktu lalu dia kunjungi bersama Rinjani.
Tidak butuh waktu yang lama, akhirnya mereka sampai di sebuah Butik baju pengantin terbesar di kota itu.
"Selamat pagi mbak, selamat datang di Butik kami." Saat mereka datang pemilik Butik itu sudah menunggu didalam ruangan itu, dan memperlakukan Niar seperti tamu kelas VIP.
"Pagi bu, apa bajunya sudah siap?" Tanya Niar dengan tangannya yang selalu terpaut di lengan Dito walau hatinya entah kemana.
"Sudah, mari saya antar untuk mencoba gaunnya mbak." Ucap Pemilik Butik itu dengan ramah.
Dan disana sudah terlihat kebaya modern berwarna putih yang memanjang dengan full payet yang sangat indah.
Saat itu Rinjani yang memilih bentuk model dan bahannya dan membantu mengurus segalanya, Niar memilih menyerahkan semuanya kepada pilihan Rinjani, karena katanya Butik itu langganan suaminya kalau membuat jas untuk kerja di kantor.
"Bagus yank, kamu pinter milihnya." Dito mulai berkomentar saat melihat gemerlapnya pakaian itu dibawah sinar lampu.
"Mas suka?" Niar tersenyum karena pilhan Rinjani ternyata memang tidak pernah salah.
"Suka banget, lalu jas yang akan aku pakai nanti warna apa?" Tanya Dito sambil melihat-lihat koleksi jas berbagai merk yang terpajang lainnya disana.
"Warna kesukaan kamu lah, tuh yang ada disampingnya." Tunjuk Niar ke salah satu jas berwarna putih yang terpajang di samping patung kebaya pilihannya.
"Hah, sejak kapan aku menyukai warna putih yank?" Dito langsung memicingkan kedua matanya, karena dia memang tidak suka dengan warna putih, karena terlalu kontras dengan warna kulitnya yang memang sawo matang.
"Ehh?" Otak Niar kembali berputar, karena dia mulai melupakan sesuatu tentang kekasihnya itu.
"Dari dulu aku sukanya warna hitam, kalau enggak biru navi, masak kamu lupa sih yank?" Dito sering bercerita segala tentangnya ke Niar, walau hanya lewat telepon saja.
Astaga, kenapa aku sampai lupa, warna putih kan warna favorit dokter Marvin, habislah aku!
Niar mencengkeram ujung bajunya, bisa-bisanya disaat mereka sedang berdua, namun ingatannya selalu tertuju dengan dokter spesialis kejiwaan itu.
"Hehe... nggak suka ya? aku ingat sih yank, cuma bajuku kan warnanya putih, jadi aku pikir kalau jas kamu juga putih kan bisa senada gitu." Satu kebohongan mulai Niar terbitkan, untuk menutupi segala kekhilafan tentang dirinya.
"Tapi aku nggak suka putih yank, kurang macho gitu, boleh ganti yang hitam saja kan yank?"
Jika kekasihnya sudah seperti itu, Niar tidak lagi bisa menentangnya, walau memang pasangan kebaya miliknya dari awal berwarna putih.
"Hmm... boleh, hitam juga nggak masalah."
Niar memilih menyetujuinya saja, dia malas berdebat hanya karena masalah kecil saja pikirnya, apapun yang membuat kekasihnya itu bahagia dia tidak akan melarangnya.
"Baiklah mbak semua sudah pas ya, apa ada bagian baju yang perlu ditambahkan payet atau hiasan lainnya?" Karena baju inti dalam sebuah pernikahan itu memang terletak dari baju pengantin wanitanya, karena dia yang akan tersorot menjadi ratu sehari nantinya.
"Aku rasa cukup buk, kami juga hanya melakukan pernikahan sederhana saja." Jawab Niar, walau baju pengantin itu bahkan sangat cocok jika dipakai di gedung pernikahan mewah sekalipun.
"Kalau begitu, mbak mau melakukan pembayaran uang muka dulu, atau mau melunasinya sekaligus?" Tanya Pemilik Butik itu yang melakukan prosedur kerjanya.
"Lunasi aja sekalian mbak, berapa harganya?" Niar berpikir Dito sudah menyiapkan segalanya, karena dia bahkan yang mengajukan jadwal pemilihan baju pengantin ini pikirnya.
"Semuanya sepuluh juta rupiah mbak, dan karena mbak adalah rekannya mbak Rinjani istri dari pak Samuel salah satu langganan kami, butik ini memberikan bonus untuk rias pengantin kalian, dihari pernikahan nanti."
Selama ini Samuel tidak pernah menawar ataupun protes dengan segala rancangan baju hasil karyanya, bahkan dia sering sekali mengirimkan bonus jika baju itu sangat menarik baginya, jadi pemilik Butik itu ingin memberikan kesan yang baik untuk seseorang yang direkomendasikan oleh Samuel, jadi dia memberikan harga yang eksklusif bahkan dengan bahan yang eksekutif untuk Niar.
"Sssth... harga sewa baju itu sepuluh juta? mahal sekali yank?" Dito langsung menarik lengan tunangannya ke sudut ruangan dan mulai berbisik dengannya.
"Itu nggak sewa yank, tapi aku beli, lagian juga dapat free rias pengantin nantinya, sama aja kan dengan harga sewa keseluruhannya nanti?"
"Aku tidak mau!"
Degh!
Terlihat sangat jelas, Dito menolak mentah-mentah keinginan dan impian Niar sejak masa remaja dulu, yang sangat ingin memiliki baju pengantin sendiri dan akan mengabadikan baju pernikahan itu sampai tua nanti atau bahkan menurunkan kepada anak cucu mereka sebagai baju turun temurun.
Jadilah orang kecil yang berpikiran besar, jangan jadi orang besar yang selalu berpikir kecil dan Pelit.
Karena orang pelit kuburannya sempit ✌😊
...Happy Reading...
Untuk sekelas harga kebaya mewah itu, sepuluh juta tergolong sangat murah sekali, dan menurut Niar uang segitu tidaklah seberapa bagi Dito yang gajinya cukup besar di Kalimantan sana, bahkan jika dia banyak mengambil lemburan gajinya satu bulan bisa sampai puluhan juta lebih pikirnya.
"Ngapain harus beli yank, kita sewa aja, lagian juga cuma dipakai sekali?" Bisik Dito kembali yang terlihat sekali dari wajahnya kalau dia merasa keberatan.
Iya juga sih, tapi...
Memang benar kebaya itu hanya dipakai sekali, tapi menurutnya pernikahan itu adalah sesuatu yang sakral, jadi baju pengantin itu adalah saksi bisunya.
"Tapi kan buat kenang-kenangan yank, bisa juga dipakai anak-anak kita nanti." Niar pun segan, dia sebenarnya tidak ingin memberatkan pihak pasangannya, namun dia terlanjur memesan itu dengan Rinjani sejak awal.
"Kita sewa aja, buat apa kita buang-buang uang hanya untuk baju pengantin kan?" Dito kembali menolak keinginan calon istrinya.
Padahal itu adalah impianku sejak dulu, dan kamu tahu itu!
"Tapi aku sudah terlanjur memesannya hari itu yank, masak bilang nggak jadi?" Selain itu Niar pun malu jika harus mengatakan hal itu kepada pemilik Butik yang sudah menyelesaikan pesanannya.
"Aku nggak mau tahu, pokoknya kita sewa saja, lagian kita harus menghemat uang untuk biaya setelah pernikahan kita nanti sayang." Dito menghela nafasnya berulang kali seolah hal ini menjadi beban bagi dirinya.
Kok dia jadi begini? dulu saat masih pacaran royal banget, sekarang uang sepuluh juta aja itung-itungan, padahal itu sudah dikasih fasilitas rias pengantin free saat hari pernikahan nanti, kalau sewa di Salon pengantin juga kurang lebih segitu, aku rasa pemilik butik itu sudah memberikan diskon banyak banget dengan model kebaya secantik itu, karena pak Samuel yang merekomendasikan kami, padahal aku tidak meminta mahar apapun nanti, cukup seperangkat alat sholat juga nggak masalah, haduh.. gimana ya, aku kan nggak enak jadinya.
"Okey, mas tunggu di luar aja, biar aku yang mengurusnya nanti." Akhirnya dengan seribu pertimbangan Niar memilih menyelesaikan hal itu sendiri.
"Sewa aja ya yank, soalnya masih banyak yang harus kita beli kedepannya." Dito mengusap kepala Niar dan meninggalkan kekasihnya untuk keluar dari ruangan itu terlebih dahulu.
"Hmm."
Niar hanya bisa menggangukkan kepalanya dengan lemas dan satu persatu kebohongan sudah mulai dia tambahkan terus menerus dalam list dosanya, karena dia tidak mungkin membatalkan pesanan baju itu, sedangkan bajunya sudah siap untuk dipakai.
Niar:
Rinjani, boleh aku minta tolong?
Niar langsung mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Rinjani, tidak ada jalan lain selain meminta pertolongan dengan sahabatnya itu.
Rinjani:
Tentu, katakan saja Niar, kamu kayak sama siapa aja sih?
Tidak menunggu waktu yang lama, Rinjani langsung membalas chat dari sahabatnya itu.
Niar:
Tapi maaf sebelumnya, aku mau ngrepotin kamu nih?"
Rinjani:
Jangan sungkan, atau kamu mau aku datang ke rumahmu sekarang? aku lagi santai kok, main sama Yoyo ini.
Niar:
Tapi aku malu Jani?"
Rinjani:
Katakan Niar, jangan bikin aku penasaran, atau mau aku kirimkan santet ke rumahmu sekarang juga?
Niar:
Gila luu ya? aku cuma mau pinjam uangmu dulu, tapi sekarang, sepuluh juta, nanti setelah hari pernikahan aku langsung lunasi deh, soalnya aku nggak pegang uang banyak sekarang, bisa nggak Jan?"
Rinjani:
Kamu cek di mobile bankingmu sekarang, sudah masuk apa belum, sudah aku kirim.
Tanpa banyak bertanya, tanpa menunggu jeda, tanpa ba bi bu, Rinjani langsung mentransfer sejumlah uang bahkan tiga kali lipat dari permintaan sahabatnya itu.
Niar:
Astaga, kenapa banyak sekali Jani? sepuluh juta aja Jan, kalau sampai segini gimana aku mau bayarnya nanti?
Rinjani:
Nggak usah dibayar, itu untuk kado pernikahanmu, aku bayar di muka, hehe...
Niar:
Aku nggak mau, pokoknya nanti aku kembalikan.
Rinjani:
Jangan terlalu dipikirkan, anggap saja uang itu balasan dari mie instan yang sering kamu berikan untukku dulu saat kantongku kering, jadi kita impas nggak punya utang ya, hehe..
Niar:
Aku jadi nggak enak, makasih ya Rinjani, semoga Tuhan membalas akan semua kebaikanmu.
Rinjani:
Jangan melow begitu bisa nggak cuy, aku kok malah jadi merinding bacanya.
Niar:
Apapun itu thanks banget Jan, luph you sekebon deh.
Rinjani:
Dih najis, masak jeruk makan jeruk, hehe..
Niar:
Daripada sotong makan sotong?
Rinjani:
Haha... Ya sudah selesaikan dulu urusanmu, besok kita jumpa di tempat biasa, okey?
Niar:
Siap, makasih ya Sob.
Dulu susah senang mereka selalu bagi berdua, bahkan saat Rinjani belum mendapatkan kiriman uang makan dari ibunya, Niar lah yang selalu datang membantu, walau hanya mampu membelikan mie instant dan gorengan saja, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk mengisi perut mereka berdua yang kosong.
Dan saat ini bagi Rinjani, uang segitu banyaknya tidak begitu sulit, karena Samuel selalu memberikan uang bulanan melebihi semua kebutuhan keluarga mereka.
Dan di sebuah taman didepan Apartement itu, Rinjani termenung dengan segala tentang Niar sahabat terbaiknya itu.
"Pasti ada yang tidak beres dengan mereka, aku harus menemui Niar sekarang juga!" Rinjani langsung menenteng tas kecil miliknya dan bergegas ingin menemui sahabatnya itu.
"Woi mommy mau kemana! kenapa aku ditinggalkan begitu saja?" Teriak Yoyo yang sudah berkacak pinggang diatas meja yang terbuat dari batu di Taman itu.
"Ya ampun, maaf Yo, mommy lupa!" Dia menepuk jidatnya sendiri dna kembali berlari kearah Yoyo yang sudah bermuka masam.
"Mentang-mentang aku tidak sebesar Daddy, dengan mudahnya Mommy melupakan aku begitu saja, padahal kan aku lebih tampan dari Daddy!" Yoyo mulai protes keras karenanya, dia selalu tidak terima jika Rinjani selalu memanjakan Daddynya saat ada dirinya, bahkan mereka sering bersaing mencari perhatian dari Rinjani kalau sedang dirumah.
"Astaga, bukan begitu nak, sini Mommy gendong sayang." Rinjani langsung merentangkan tangannya, karena terlalu memikirkan nasip sahabatnya dia bisa lupa kalau sedang bersama putra manjanya.
"Tidak perlu, aku sudah dewasa dan bisa jalan sendiri, huh!" Yoyo langsung melengos dan memilih berjalan sendiri sambil bersidekap meninggalkan Rinjani terlebih dahulu dari Taman kecil itu.
"Tapi Yo?"
"Jangan sentuh aku Mom!" Yoyo mengangkat satu tangannya ke udara sebagai tanda penolakannya.
"Fuuh... kenapa lama-lama dia jadi mirip sama Daddynya, padahal mereka bukan sedarah, tapi ada juga mungkin sebagian ya?"
"Mommy mengumpatku ya?" Yoyo langsung mendelik keaal saat menolehnya.
"Ow... tentu tidak, Mommy mana berani sayang?" Rinjani langsung mengangkat kedua tangannya ke udara.
"Awas kalau Mommy berani mengumpatku ya, tidak akan aku biarkan Mommy tidur berdua dengan Daddy malam ini." Ancam Yoyo yang selalu jadi gangguan diantara mereka.
"Huh, kalau Mommy tidak masalah nak, tapi Daddymu yang bisa kumat kalau tidur berjauhan dari Mommymu ini!" Umpat Rinjani perlahan sambil mengelus dadaanya.
"Mommy, jangan mengumpatku terus bisa nggak!" Protes Yoyo kembali.
"Okey sayang, malam ini kita tidur bertiga deh, mau nggak!" Akhirnya dia punya cara jitu untuk merayu bocilnya itu.
"Cih, Mommy pikir aku anak kecil, tidak berani tidur sendirian? Lemah, huh!" Dia langsung mengibaskan rambut keritingnya itu dengan tingkah lucu nan menggemaskan.
"Woahaha... anak itu memang luar biasa!"
Akhirnya Rinjani hanya bisa mengikuti langkah bocah kecil yang mudah ngambekan, seperti suami kesayangannya yang bernama Samuel itu.
Jalan lupa, Author tetap menunggu dukungan kalian ya😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!