Siang hari di kota Doha-Qatar di sebuah rumah mewah keluarga Cailey. Terlihat seorang gadis yang baru keluar dari kamarnya dan duduk di sebuah sofa di ruang tengah dekat dengan kamar orang tuanya.
“Panas sekali hari ini.” gadis berkerudung hijau itu menyadarkan tubuhnya ke sofa. “klik.” karena dapat menahan suhu udara saat itu ia pun meraih remote yang ada di dekat meja dan menyalakan AC ruangan di suhu terdingin.
“brrr.... dingin sekali di sini.” seorang pelayan wanita di rumah itu melewati ruangan tersebut dengan tubuh yang merinding meskipun mengenakan pakaian yang tertutup.
“Fatimah Kebetulan sekali kamu lewat. Tolong buatkan aku es sirup atau lainnya yang dingin.” ucapnya memanggil dan menghentikan pelayan tersebut.
“Baik nona Afsha.” jawab pelayan itu singkat dan segera masuk ke dapur untuk membuatkan pesanan nona mudanya.
Pelayan tadi membuka kulkas dan menemukan jeruk kemudian memerasnya. “Aneh sekali nona minum yang dingin di tempat yang bersuhu dingin.” ucapnya sambil menggeleng dan membawa es jeruk yang sudah jadi.
“Ini nona minumnya.” pelayan menaruh segelas es jeruk kemeja yang langsung diminum oleh gadis itu.
Afsha kemudian menyalakan tv meskipun sebenarnya ia hanya ingin duduk sebentar di sana untuk mendinginkan suhu tubuhnya.
Lima belas menit kemudian ia kembali merasa haus dan menginginkan minuman dingin.
“Kemana Fatimah ?” gadis itu menunggu pelayannya lewat dan bermaksud memintanya untuk membuatkan minuman es kembali. “Sepertinya ia sedang mencuci baju di belakang.”
Karena benar-benar merasa haus, maka ia pun beranjak dari tempat duduknya.
“Kenapa kamar umi berisik ?” gumam Afsha saat mendengar suara keras atau tepatnya perdebatan di antara kedua orang tuanya saat melewati kamar mereka.
“Mungkin mereka tidak akan tahu jika aku hanya mendengarnya dari luar.” gumamnya penasaran pada percakapan kedua orang tuanya.
Afsha kemudian mendekatkan telinganya ke pintu untuk mencuri dengar pembicaraan orang tuanya.
“Ibu , Afsha sudah dewasa karena sudah lulus kuliah dan saatnya bagi dia untuk menikah.” ucap ayah .
“Ayah mau menikahkan putri pertama kita dengan siapa ?”
“Dengan Rayhan putra dari teman ku.”
“Ayah menurut ibu jangan terburu-buru menikahkan Afsha. Biarkan dia bekerja di perusahaan karena usianya juga masih muda.”
“Tidak bisa bu. Menikah nanti atau sekarang itu sama saja dan menurutku lebih cepat lebih baik. Usia 22 tahun sudah cukup untuk menikah.” ayah terlihat bersikeras dan tidak menurut saran dari istrinya.
“Apa.... mereka akan menjodohkan aku ?” pekik Afsha terkejut sekali mendengarnya dan tentu saja ia sama sekali tidak siap.
“Ayah sudah berjanji akan meninggalkan putri kita dengan Rayhan dalam waktu dekat ini.” tambah ayah menjelaskan.
“Apa ?” ibu terkejut dengan keputusan suaminya kenapa begitu mendadak.
“Lusa aku akan membawa Rayhan kemari dan mempertemukannya dengan Afsha.”
Sementara di luar pintu, Afsha terlihat gemetar mendengar percakapan kedua orang tuanya. Ia pun segera melanjutkan langkah kakinya menuju ke dapur sebelum kedua orang tuanya mengetahui dirinya telah menguping percakapan mereka.
“Astaga... kenapa ayah tiba-tiba ingin menikahkan aku dengan seseorang ? Bukankah sebelumnya dia ingin aku mengurusi salah satu perusahaan ?” ucap gadis itu duduk di dapur dengan lemas sambil menggigit bibirnya.
“Pernikahan ?” tiba-tiba Afsha menjadi pusing mengucapkan kalimat itu. “Aku tidak mau menikah dulu sebelum aku benar-benar stabil.”
Afsha menundukkan kepalanya yang terasa berat. Ia pun memutar otak bagaimana caranya untuk menolak perjodohan tersebut.
🌻Dear all readers
Ada event giveaway di novel ini. Ikuti event nya dengan memberikan comment juga dukungan. Satu pembaca beruntung akan di pilih di akhir kisah ini. Untuk giveaway nya masih penulis pikirkan, apa tepatnya.
Malam hari di kamar Afsha. Gadis itu maksud dari tadi terlihat gelisah setelah mendengar percakapan yang belum selesai antara kedua orang tuanya namun menurutnya sudah mewakili semuanya.
“Aku hanya punya waktu semalam di sini sebelum bertemu dengan pria itu.” Afsha berbaring di tempat tidur namun ia sama sekali tak bisa memejamkan matanya meski merasa ngantuk.
Ia pun berpikir keras bagaimana cara mengatasi ataupun menghindarinya.
“Kriek.” belum ia menemukan solusi untuk masalahnya seseorang masuk ke kamarnya.
“Rafi ? Ada apa kau menangis ?” tanya nya melihat seorang anak lelkai dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kakak... di kelas aku mendapatkan masalah.” jawabnya sambil menutup pintu kemudian duduk di samping Afsha.
Rafi adalah adik lelaki Afsha yang yang masih berumur 17 tahun. Entah kenapa setiap ada masalah adiknya itu lebih senang mencurahkan semua masalahnya pada dirinya daripada ke orang tua mereka.“Rafi ada masalah apa lagi ? Kau ini sudah dewasa tapi kenapa menangis ?”
Rafi kemudian menceritakan permasalahannya dengan salah satu temannya di kelas jika temannya ada yang mencuri ponsel nya, sebuah ponsel canggih keluaran terbaru dan berharga wow dan ia takut jika ayahnya sampai mengetahui hal itu. Mungkin saja bukan lagi jatah bulanannya yang akan dipotong tapi mungkin kena hukuman juga karena lalai menjaga barangnya sendiri.
“Jadi begitu masalahmu.” Afsha mengangguk mendengarkan cerita adiknya.
“Kak ini bukan masalah enteng, aku cek tabunganku belum ada sejumlah harga ponsel yang hilang.” Rafi masih bingung pada solusi dari masalahnya.
“Oh... gampang ! Kau bisa pakai ponsel ku selain setipe, warnanya pun juga sama.” Afsha terlintas sebuah ide begitu saja dalam pikirannya sekaligus sebuah solusi untuk dirinya sendiri jika ingin orang tuanya tak mengetahui kabarnya.
“Tapi kakak pakai apa ?” Rafi tiba-tiba tersadar jika solusi itu akan menjadikan masalah untuk kakaknya.
“Pakai saja ponsel ku. Aku bisa beli lagi nanti.” Afsha langsung mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya pada adiknya setelah mengambil SIM card-nya.
“Oh... terimakasih kakak. Kakak memang is the best.” Rafi tersenyum lebar lalu membawa ponsel kakaknya keluar dan masuk ke kamarnya.
Setelah kepergian Rafi, Afsha kembali teringat pada masalahnya. Ia tahu apa Ya sudah menjadi keputusan ayahnya tidak mungkin bisa ditawar ataupun ditolak.
“Lelaki keras itu... bagaimana bisa aku menang beradu pendapat dengannya ?” Afsha kembali menyerah setelah mengingat peringai ayahnya yang keras bisa diibaratkan dengan batu yang tak akan hancur dengan sekali pukulan.
“Apa yang bisa kulakukan dalam waktu semalam ?” Afsha berjalan mondar-mandir berulang kali di kamarnya.
“huft.... kurasa tak ada cara lain lagi selain itu.”
Afsha berdiri di depan lemarinya dan membukanya. Ia kemudian mencari koper yang ada di sana. Dengan cepat ia memasukkan beberapa baju dan hanya menyisakan sebagian saja.
“Berapa saldo atm ku ?” gadis itu mengingat lagi saldo terakhirnya setelah beberapa hari yang lalu menariknya. “Sepertinya cukup.”
Tentu saja cukup total saldo yang merupakan jatah bulanan kiriman orang tuanya itu sebesar 20 jt Riyal Qatar. Gadis itu merupakan tipikal hemat dan membiasakan menabung untuk keperluan mendesak seperti ini.
“Mungkin itu akan cukup sampai beberapa bulan ke depan hingga aku menemukan pekerjaan.” Afsha merasa lega mungkin rencananya kabur dari rumah bisa terealisasi dan setidaknya ia bisa bertahan di luar sana.
“Sekarang aku bisa tidur dengan tenang.”
Afsha akhirnya bisa tidur dengan pulas di tempat tidurnya setelah lama begadang.
Keesokan paginya Afsha bangun seperti biasa. Ia sarapan bersama keluarganya, ayah ibu serta dua adiknya.
“Bagaimana perkembangan ekspor gas ke India ?” tanya ibu pada ayah sambil mengupas jeruk.
“Baik, sejauh ini semuanya lancar saja bu.” terang ayah singkat.
Ya, keluarga Cailey adalah pengusaha di bidang gas dan minyak. Omzetnya besar dan sebagian besar omzet di ekspor ke luar negeri.
Tiba-tiba ibu menyentuh kaki ayah di bawah meja.
“Apa ?” tanya ayah pelan hampir tak bersuara dan hanya terlihat gerakan mulut saja.
“Afsha...” balas ibu dengan gerakan mulut mengikuti suaminya.
“Ehm...” ayah berdehem kecil sambil menatap Afsha. “Afsha besok akan ada putra dari teman ayah yang akan datang kemari.”
“Ya, ayah ada apa dengan putra dari teman ayah itu kemari ?” Afsha balas bertanya dan pura-pura tidak mengetahuinya.
“Tidak... teman ayah itu hanya mampir saja ke sini.” ternyata ayah tak berani berterus terang pada putrinya.
“Ya, ayah.” jawab Afsha dengan datar. “Lalu apa urusannya denganku ?”
“Kau tak punya urusan dengannya hanya saja ayah minta tolong besok temani putra teman ayah.”
Afsha hanya mengangguk saja dan mengumpat dalam hati, “Kenapa ayah tidak jujur saja pada ku ?” tentu saja ia tak berani menanyakannya langsung dan hanya menunduk melanjutkan makannya seperti mengetahui apapun rencana ayahnya.
Sore hari Afsha terlihat sudah rapi juga harum keluar dari kamar setelah beberapa menit sebelumnya ia melempar semua kopernya keluar rumah lewat jendela kamarnya.
“Ayah.. ibu aku mau pergi ke rumah Disya.” pamit gadis itu pada kedua orang tuanya yang sedang duduk di ruang tengah dan bersantai.
“Ya, cepat kembali.” balas ibu singkat.
Baru beberapa langkah berjalan gadis itu berhenti dan kembali masuk ke kamarnya. “Obat ku ketinggalan.
Ia pun mengambil tiga botol obat yang ada dalam kotak obat lalu memasukkan dalam tas kecil yang di bawanya.
“Kenapa kembali ?” tanya ayah saat gadis itu sudah berada di luar kamar.
“Obat ku ketinggalan, ayah.” Afsha tersenyum kecil pada ayahnya dan ia pun segera berjalan keluar rumah.
“Hampir saja tadi itu aku melupakan obatku. Apa jadinya nanti ?” ia bernapas lega karena obat itu sangat berarti sekali baginya.
“Nona Afsha mau di antar kemana ?” tanya seorang driver melihatnya keluar dan bersiap mengantar.
“Aku mau ke rumah Disya pak Umar. Tapi kali ini pak Umar tak perlu mengantar ku.” jawabnya segera menolak.
Afsha kemudian berlalu dan setelah melihat keadaan di luar rumahnya yang sepi, ia membawa tiga koper yang jatuh di balik tanaman setinggi 30 cm.
“Aku harus segera mencari taksi.” Afsha membawa semua kopernya dan berjalan dengan cepat sejauh mungkin dari rumahnya dan berhenti di tepi jalan raya.
“Taksi !” panggilnya saat melihat sebuah taksi melintas di depannya. Sebuah taksi berhenti dan Ia pun segera masuk ke dalamnya.
“Nona mau diantar ke mana ?” tanya driver segera melanjutkan taksi.
“Em...” Afsha sendiri tak tahu ke mana destinasinya. Iya hanya ingin pergi sejauh mungkin dari rumah. “As Sani, antar saja aku ke sana.” hanya nama kata itu yang saat ini terpikirkan olehnya.
“Tapi nona itu jauh sekali dari sini dan mungkin tarifnya akan berbeda.” driver menjelaskan tarifnya yang lebih mahal karena harus menempuh perjalanan sejauh 30 km.
“Tak apa... berapapun itu aku akan membayarnya.” Afsha menjelaskan jika dia tak keberatan sama sekali.
Taksi kemudian meluncur menuju ke kota As Sani. “Nona mau turun di mana ?” tanya driver beberapa saat kemudian setelah mereka sudah memasuki kawasan kota tersebut.
“Dimana saja. Emm... maksud ku di penginapan yang terdekat dari sini saja.”
Driver kemudian menurunkan Afsha di depan sebuah penginapan.
Malam hari di rumah keluarga Cailey.
“Sudah jam segini tapi aku belum melihat Afsha pulang.” ucap Ayah setelah melihat jam yang tergantung di dinding.
“Sebentar lagi mungkin pulang.” sahut ibu dengan tenang.
Satu jam kemudiam belum terlihat tanda-tanda gadis itu pulang ke rumah.
“Kemana dia sebenarnya ?” ayah terlihat mulai khawatir karena biasanya putrinya itu tak pernah pulang melewati dari jam yang sudah ditentukan. “Aku akan mencoba meneleponnya.
“Nomornya tidak aktif.” ucap ayah setelah menghubungi nomor Afsha.
Pria itu kemudian mencoba menelepon nomor Pak umar dan ternyata driver itu tidak mengantar putrinya keluar.
Cailey, ayah Afsha pun terlihat cemas dan berusaha mencari putrinya kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!