"Koran... koran...koran...!" suara gadis cantik menyibak panasnya sang mentari di desa Ciganjur.
Gadis itu berjalan seraya menjajakan koran yang dipegangnya, gadis cantik itu bernama Alexa Setiawan.
Alexa berjalan menjajakan di bawah teriknya sang mentari, tanpa menghiraukan panas yang menerpa tubuhnya. Ia terus saja berjalan dengan harapan koran-koran yang dibawanya akan laku terjual semuanya.
"Pokoknya hari ini semua koran ini harus laku, aku harus menebus obat ibu di apotek," gumam Alexa seorang diri.
Sreeetttt......! Ttiiiiiiiiitttttt.....!!
"Oh, Tuhan...!" teriak Alexa seraya memejamkan kedua matanya. Suaranya melengking keras.
Suara rem dan klakson mobil bersamaan dengan suara teriakan Alexa.
DEG. DEG. DEG!
Suara jantung Alexa berdetak kencang, seperti genderang yang akan perang. Perlahan Alexa membuka kedua matanya setelah ia merasa tidak terjadi sesuatu kepada dirinya.
"Untunglah aku selamat." Alexa mengusap dadanya ketika ia melihat mobil mewah berhenti tepat di depannya, jarak antara mobil itu dan dirinya hanyalah beberapa centimeter saja.
"Hei! cari mati! jalan seenaknya saja." terdengar seseorang berteriak dari dalam mobil, sontak membuat Alexa kembali terkejut.
"Maaf," ucap Alexa, ia berniat mengalah walau Sebenarnya dialah yang hampir di tabrak.
"Cepat, minggir!" teriak suara itu lagi. Sepertinya orang itu sedang terburu-buru.
Namun, apa yang terjadi?
Alexa bukannya minggir, malah celingak-celinguk di tempatnya. Karena Alexa masih merasa syok dengan apa yang baru saja terjadi.
Merasa tidak digubris, orang yang mengendarai mobil itu segera turun, rupanya seorang pria tampan yang sangat gagah.
Saga Hawiranata Kusuma, pewaris tunggal Hawiranata Kusuma Corp. Pria bermata elang, memiliki manik mata kebiruan. Dengan langkah tegapnya berjalan menghampiri Alexa.
"Disuruh minggir kok malah bengong!" ucap pria yang bernama Saga, seraya menarik lengan Alexa dengan kasar, hingga membuat tubuh mungil Alexa terhempas ke pinggir jalan.
Tanpa memperdulikan Alexa yang hampir jatuh tersungkur, saga hendak memasuki mobilnya kembali.
Namun, dengan suara keras Alexa berseru kepada Saga.
"Hei, Tuan! apa Anda tidak punya sopan santun?"
Saga tidak menggubrisnya, saat itu ia telah memegang pintu mobil hendak membukanya.
Namun, diurungkan ketika kembali mendengar suara lantang dari Alexa.
"Apa orang tuamu tidak mengajarimu sopan santun?"
Saga langsung berbalik badan menghampiri Alexa. Lalu dengan angkuh ia berkata,
"Aku rasa sudah tidak ada lagi yang harus diperdebatkan, kau berdiri di tengah jalan, dan aku telah meminggirkanmu!"
"Tidak bisakah kau bersikap sedikit lembut Tuan? bukankah kau orang yang terpelajar?" ucapan Alexa benar-benar menguras kesabaran pria tampan itu.
"Aku tahu bagaimana bersikap lembut? dan kepada siapa aku bersikap lembut? yang jelas bukan kepada perempuan yang tidak tahu berterimakasih seperti dirimu!" jawab Saga mulai emosi, bagaimana mungkin seorang Saga Hawiranata Kusuma di tuding tidak memiliki sopan santun.
Selama ini banyak para wanita yang mengejarnya, bahkan berharap akan dijadikan pendamping hidupnya. Namun, tidak satupun yang mampu menarik perhatian Saga. Dan, Alexa adalah satu-satunya perempuan yang berinteraksi secara langsung dengannya.
Kebetulan hari itu, Saga sedang meninjau lokasi pemukiman penduduk yang akan ia jadikan sebagai lahan pabrik, yang akan beroperasi di desa itu. Tentunya ia akan membeli lahan itu dengan harga yang sangat tinggi.
"Memangnya kau anggap aku perempuan yang seperti apa?" Alexa masih saja bertanya dengan nada yang menjengkelkan.
Ya, bagaimana tidak akan jengkel, jika di saat syok hampir tertabrak mobil, dan belum juga rasa syok itu hilang, tubuhnya telah ditarik secara paksa dan hampir jatuh tersungkur.
Walaupun sebenarnya pria itu bermaksud baik dengan menarik tubuh Alexa ke pinggir jalan, agar tidak menghalangi jalan kendaraannya.
"Kau perempuan yang tidak tahu berterimakasih," jawab Saga dengan tegas.
"Cih, haruskah aku berterimakasih kepada orang yang hampir saja menabrak ku, harusnya kau yang meminta maaf!" Alexa tidak ingin kalah.
"Oh, benarkah begitu Nona? dasar perempuan tidak tahu diri," gerutu Saga lalu bergegas kembali memasuki mobilnya tanpa memperdulikan Alexa yang memanggilnya.
"Hei! Tuan, tunggu! kau belum meminta maaf kepadaku!"
Namun, kali ini Saga benar-benar tidak memperdulikan Alexa, saat ini ia telah kembali duduk di kursi kemudinya.
"Hei, Tuan! dengarkan aku!"
Alexa kembali berteriak dan tidak digubris sama sekali, membuat hatinya semakin jengkel. Terlebih lagi pria itu tidak meminta maaf sedikitpun.
Saga menghidupkan mesin mobil dan melajukannya dengan cepat. Membuat Alexa semakin bertambah geram
Akhirnya Alexa pun memutuskan untuk pulang, karena sinar matahari semakin menyengat.
Namun ditengah Jalan, Alexa bertemu dengan beberapa pelajar yang hendak pergi berwisata. Para pelajar tersebut memborong semua koran-koran yang di jual oleh Alexa.
"Syukurlah, semua koran ku sudah laku, sekarang aku akan pergi ke apotek untuk menebus obat ibu," bisik Alexa dengan memandangi beberapa lembar uang yang baru saja diterimanya.
Dengan langkah penuh semangat Alexa melangkahkan kakinya.
**********************************************
Hari mulai malam,
Alexa Setiawan, gadis cantik, mungil, berambut hitam, panjang dan lurus. Sedang menemani ibunya yang bernama Rianti.
Alexa gadis yang polos dan sangat lugu, ia selalu mematuhi apapun yang di perintahkan oleh ibunya.
Satu-satunya orangtua yang ia miliki di dunia ini.
Malam mulai merangkak menggelapkan suasana di desa itu, Alexa duduk di sebuah kursi kayu menghadap ke arah ibunya yang sedang terbaring tak berdaya.
Hanya sebuah lentera kecil yang menerangi rumah mereka.
"Tidurlah nak, sudah malam." Tangan Bu Rianti mengusap kepala putrinya dengan penuh kasih sayang.
Tangan yang terlihat lemas dan kurus. Namun, tidak mengurangi rasa kasihnya untuk sang putri tercinta.
"Ibu tidurlah dulu, kesehatan ibu harus tetap dijaga," sahut Alexa lembut, seraya memandang wajah Bu Rianti dengan rasa iba.
"Maafkan ibu nak, karena sebuah kebodohan yang ibu lakukan di masa lalu hingga membuatmu menderita begini." Bu Rianti meneteskan air mata yang jatuh bergulir di pipinya yang mulai keriput.
"Tidak Bu, ini sudah menjadi garis Takdirku, tidak ada yang perlu ibu sesali." Alexa mencoba menenangkan ibunya.
Tampak sebuah ingatan melintas di benak Bu Rianti, ingatan tentang tujuh belas tahun yang lalu.
Dimana ia berada di dalam posisi yang tidak seorang pun menginginkannya di dunia ini. Dimadu dengan adik kandungnya sendiri.
Hingga membuat Bu Rianti terpaksa pergi meninggalkan mansion mewah milik suaminya, Hendra Setiawan.
Pria yang sangat ia cintai hingga membuat Bu Rianti terpaksa meninggalkan kedua orang tuanya.
Namun, siapa sangka Hendra Setiawan justru menikah kembali dengan Lusi, adik kandungnya sendiri, disaat Bu Rianti sedang hamil tujuh bulan.
Lantaran tidak sanggup untuk menerima semua kenyataan pahit itu, akhirnya Bu Rianti terpaksa meninggalkan segala kemewahan di mansion suaminya.
Dengan menaiki sebuah bajai, Bu Rianti bertekad untuk pergi selama-lamanya. Hingga pada akhirnya ia sampai di pinggiran sebuah desa.
Bu Rianti berjalan kaki setelah turun dari bajai yang ia tumpangi sebelumnya. Bunyi bajai semakin menjauh meninggalkan Bu Rianti dalam kesendirian.
"Hiks… hiks… hiks… ," tangis kesedihan Bu Rianti memecah kesunyian di tengah gelapnya malam.
Di tengah malam yang sunyi, Bu Rianti berjalan seorang diri hanya dengan menjinjing sebuah tas kecil berisikan pakaiannya sehari-hari.
"Oh ayah, ibu maafkan aku, karma dari kalian telah aku dapatkan, mas Hendra Setiawan telah berpaling dariku, hiks… hiks… hiks…" Bu Rianti menangis meratapi nasibnya.
"Maafkan ibumu ini nak, mungkin keputusan ku akan merubah takdir hidupmu." Sambil mengelus perutnya yang membesar Bu Rianti menangis sejadi-jadinya, hingga membuat seluruh tubuhnya tergoncang.
Tidak mungkin baginya untuk kembali ke mansion orangtuanya, Bu Rianti merasa sangat malu jika harus kembali ke mansion itu.
Masih lekat didalam ingatannya, dimana disaat kedua orangtuanya menentang keputusannya untuk menikah dengan pria yang bernama Hendra Setiawan.
"Aku akan membawa luka ini sendiri, biarlah aku menanggung sendiri beban hidup ini," rintih Bu Rianti sembari terus melangkah.
Langkah yang membawanya menyusuri sebuah desa kecil, jauh dari keramaian kota. Desa yang akan memberikan kehidupan baru untuk dirinya dan juga bayi yang berada di dalam kandungannya.
Dalam kebingungan Bu Rianti terduduk di di pinggir jalan sembari bersandar di batang pohon dengan kedua mata terpejam, karena merasa letih setelah menempuh perjalanan panjang.
Tiba-tiba sebuah tangan memegang pundak Bu Rianti, diiringi dengan sebuah suara yang bertanya kepadanya.
"Hei, adik kenapa, dan hendak kemana?"
Bu Rianti menoleh ke arah datangnya suara, tampaklah olehnya seorang wanita setengah baya berdiri di sampingnya.
Dengan cepat Bu Rianti mengusap air matanya.
Kemudian, Bu Rianti berdiri perlahan.
"Tidak tahu," jawab Bu Rianti sejujurnya.
"Ini sudah larut malam, tidak baik adik sendirian disini, apalagi adik sedang mengandung."
"Maaf, anda siapa?" tanya Bu Rianti karena merasa tidak mengenali wanita itu.
"Kenalkan nama saya Mirah, warga kampung disini biasa memanggil saya mbok Mirah," jawab wanita itu memperkenalkan dirinya.
"Kalau boleh tahu, nama adik siapa?" lanjut mbok Mirah bertanya.
"Namaku Rianti."
Mbok Mirah memperhatikan penampilan Bu Rianti dari ujung rambut hingga ujung kakinya.
"Sepertinya adik dalam masalah," ucap mbok Mirah menerka-nerka.
Bu Rianti terdiam.
"Saya akan merasa senang jika adik ikut dengan saya, adik bisa beristirahat di rumah kecil saya," ucap mbok Mirah menawarkan.
"Tapi…," Bu Rianti merasa ragu untuk menerima tawaran dari mbok Mirah.
"Adik tidak usah khawatir, saya tidak berniat jahat, saya hanya kasihan melihat adik sendirian malam-malam, lagi pula saya tinggal sendirian," ucap mbok Mirah.
"Kemana keluarga mu?" Bu Rianti bertanya untuk mengetahui lebih dalam tentang mbok Mirah.
Karena ia khawatir akan tertipu kembali dengan sikap baik seseorang, pengalamannya bersama Hendra, memberikan pelajaran berharga untuk nya agar lebih waspada.
"Suami dan anak saya meninggal dua tahun yang lalu, karena sakit keras," jawab mbok Mirah dengan kepala tertunduk, terlihat sebuah kesedihan di wajahnya.
"Maaf, aku tidak bermaksud untuk membuat mu sedih," ucap Bu Rianti.
"Tidak apa-apa," jawab mbok Mirah.
Akhirnya Bu Rianti menerima tawaran dari mbok Mirah untuk bermalam di rumahnya.
Mungkin karena merasa senasib, lama kelamaan mereka semakin akrab seperti layaknya saudara.
Dan, sejak saat itulah Bu Rianti tinggal bersama mbok Mirah.
Hingga pada saat Bu Rianti melahirkan bayi perempuan cantik dan lucu, mereka pun membesarkan bayi yang di beri nama Alexa Setiawan itu bersama-sama.
"Seharusnya saat ini kau menikmati hidup yang serba mewah, karena ayahmu adalah seseorang yang kaya raya, tapi karena keegoisan ku, malah membuat mu hidup dalam serba kekurangan," gumam Bu Rianti setelah teringat bayangan masa lalunya.
Tangan Bu Rianti hendak menggapai sebuah gelas yang berisi air putih, namun, tangannya terlalu lemah untuk menjangkau gelas itu yang letaknya agak jauh dari tempatnya, hingga membuat tangan Bu Rianti kembali terkulai.
"Ibu mau minum?" Alexa yang melihatnya segera meraih gelas itu dan menaruh sedotan untuk memudahkan ibunya minum, agar tidak perlu di duduk kan.
SRUUUUTTT.
GLEK. GLEK. GLEK.
Bu Rianti perlahan-lahan menelan air yang memasuki kerongkongan nya. Benar-benar terasa segar, kerongkongannya yang kering kini telah di basahi oleh air yang ia minum.
"Masih kurang Bu?" Alexa menawarkan kembali kepada ibunya.
Bu Rianti menggelengkan kepala sembari berkata.
"Tidak nak, lebih baik kau tidur saja, apakah besok kau libur?"
Kata libur yang Bu Rianti maksud bukan untuk sekolah, melainkan ia bertanya tentang pekerjaan Alexa yang menjadi seorang penjual koran.
Ya, Alexa memang sejak kecil menjadi penjual koran, ia mengambil koran-koran itu dari salah satu temannya dan menjualnya kembali ke rumah-rumah orang yang berada dan beberapa toko.
Semua itu ia lakukan demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga ibunya yang memang sejak dulu sering sakit-sakitan.
"Iya bu, besok pagi-pagi sekali aku akan mengambil koran di rumah mbak Septi karena stoknya telah habis," jawab Alexa.
"Seharusnya kau tidak perlu bekerja banting tulang seperti ini Lexa, maafkan ibu karena sering sakit-sakitan jadi menyusahkan dirimu."
"Tidak Bu, sudah menjadi kewajibanku untuk merawatmu disaat sakit, dan menjaga di setiap hari-harimu!" ucap Alexa dengan tegas.
"Yang lalu biarlah berlalu jangan diungkit lagi Bu," lanjut Alexa.
Alexa lebih memilih untuk menerima apapun yang ditakdirkan Tuhan kepadanya, ia percaya dibalik semua derita yang dirasakan bersama ibunya, pasti akan berubah manis di kemudian hari.
Meskipun di dalam hati, Alexa sangat ingin mengetahui siapa ayah kandungnya, dan dimana keberadaannya. Namun, semua itu ia simpan jauh didalam lubuk hatinya demi menjaga perasaan ibunya.
"Benar apa yang dikatakan Alexa, kuburlah dalam-dalam masa lalumu, jangan diingat-ingat lagi."
Tiba-tiba saja sebuah suara terdengar di balik tirai yang tersingkap. Kemudian terlihatlah sosok wanita tua memasuki kamar Bu Rianti.
"Sudah diminum obatnya?" tanya mbok Mirah.
Ya, wanita tua itu adalah mbok Mirah, orang yang telah menampung Bu Rianti dan Alexa di rumahnya.
"Sudah mbok!" jawab Alexa segera.
"Sekarang lebih baik kamu istirahat dulu lexa, seharian kamu bekerja keras banting tulang dan sekarang kamu juga menjaga ibumu," ucap mbok Mirah menyarankan kepada Alexa.
"Tidak Apa-apa mbok, ini sudah menjadi kewajiban ku," jawab Alexa, walau bagaimanapun hanya dirinyalah satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh ibunya. Jadi kalau bukan Alexa siapa lagi yang akan menjaga ibunya.
"Ingatlah, usiamu sebentar lagi akan genap tujuh belas tahun, sisakan waktumu sedikit untuk merawat diri." nasehat mbok Mirah.
Jujur, mbok Mirah merasa tidak tega melihat Alexa yang bekerja sebagai penjual koran.
Setiap hari Alexa mengelilingi perkampungan untuk menjajakan koran-korannya. Dan hasilnya sebagian ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan sebagiannya lagi ia tabung untuk membeli obat ibunya seminggu sekali.
Memang penyakit liver yang diderita oleh Bu Rianti terbilang cukup parah, karena tidak ada biaya untuk memberikan perawatan secara medis, akhirnya Alexa memutuskan untuk menebus obat peredanya saja di apotek terdekat.
Mungkin obat ini tidak bisa menyembuhkan, tapi setidaknya dengan obat ini bisa meringankan rasa sakit yang di derita oleh ibunya.
"Lexa, tidurlah, biar mbok yang menemani ibumu," pinta mbok Mirah lagi, karena permintaan yang sebelumnya tidak di gubris oleh Alexa.
Mendengar permintaan dari mbok Mirah, akhirnya Alexa beranjak dari tempat duduknya.
"Baiklah mbok, Lexa tinggal dulu Bu." Alexa memandang lekat ke arah wajah ibunya yang hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban dari ucapan Alexa.
Karena merasa tidak enak hati kepada mbok Mirah jika harus menolak, akhirnya Alexa terpaksa meninggalkan kamar ibunya walau dengan perasaan terpaksa.
Sayup-sayup terdengar percakapan antara Bu Rianti dan mbok Mirah.
"Sampai kapan kau akan seperti ini terus dik? Ingatlah Alexa membutuhkan dirimu untuk menemaninya hingga dewasa." Mbok Mirah membuka percakapan.
"Lupakanlah semua masa lalu, di balik itu semua pasti ada masa depan yang lebih cerah," lanjut mbok Mirah.
Bu Rianti menghela napas perlahan.
"Sebenarnya logika ku ingin sekali melupakan semua itu, tapi, hati ini rasanya susah untuk melupakan dirinya walau hanya sedetik pun, walau terkadang aku masih teringat pengkhianatan yang di lakukan oleh nya kepada diriku!" jawab Bu Rianti yang membuat mbok Mirah geleng-geleng kepala.
"Pantas saja penyakitmu tidak sembuh-sembuh, kau terlalu menyimpan semuanya," celetuk mbok Mirah.
Bu Rianti memegang tangan mbok Mirah lalu berkata.
"Mbok, mau kah berjanji kepadaku?" Bu Rianti memegang tangan mbok Mirah.
"Janji apa?"
"Jangan pernah beritahu Alexa siapa ayah kandungnya," pinta Bu Rianti.
Mendengar permintaan dari Bu Rianti,
Membuat mbok Mirah mengerutkan kening.
"Kenapa?" tanya mbok Mirah kemudian.
"Aku hanya tidak ingin putriku mengalami nasib yang sama seperti diriku." Bu Rianti memalingkan wajahnya.
"Cukup aku saja yang tersakiti, cukup aku saja yang kecewa dengan perbuatan mas Hendra yang telah menduakan diriku dengan adikku sendiri." air mata mulai bercucuran mengalir bagai anak sungai di pipi Bu Rianti.
"Baiklah, aku berjanji tidak akan pernah menceritakan apapun kepada Alexa," ucap mbok Mirah.
"Terimaksih mbok, kau benar-benar banyak membantuku," ucap Bu Rianti dengan sebuah senyum penuh arti.
"Kalian berdua adalah bagian dari hidupku, jadi bagaimana mungkin aku tidak akan membantu kalian," sahut mbok Mirah.
Memang benar, sejak kehadiran Bu Rianti dan Alexa semakin membuat kehidupan mbok Mirah lebih berwarna. Ia tidak lagi merasa kesepian, apalagi Alexa adalah anak yang baik dan juga sangat menyayanginya.
Sedangkan didalam bilik kamarnya, Alexa tidak tidur. Melainkan ia sedang berdiri di balik pintu mendengarkan apa yang sedang dibahas oleh ibu dan mbok Mirah.
Dan, ketika mendengar permintaan dari ibunya kepada mbok Mirah, semakin membuat Alexa merasa penasaran tentang sosok ayahnya.
Berbagai macam pertanyaan berputar di dalam otaknya. Namun, Alexa sendiri tidak mampu untuk menjawabnya.
Alexa yang selama ini sangat merindukan tentang sosok seorang ayah, karena sejak lahir ke dunia ia tidak pernah sekalipun melihat seperti apa sosok ayahnya.
Rasa ingin tahu semakin kuat, namun, ia tetap akan memendam semua itu sendiri. Bertanya kepada Bu Rianti tentang sosok ayahnya adalah hal yang tidak mungkin. sebab, Alexa tidak ingin menyinggung perasaan ibunya.
Jika Bu Rianti merahasiakan semua itu darinya, pasti ada suatu hal yang telah terjadi di masa lalu. Dan Alexa tidak ingin mengungkit masa lalu ibunya yang terdengar sangat menyakitkan.
Tiba-tiba saja Alexa tersenyum. Sebuah ide terlintas di benaknya.
"Lebih baik aku tanyakan saja kepada mbok Mirah," bisik Alexa.
"Sepertinya mbok Mirah mengetahui sesuatu, lebih baik ku tanyakan saja kepadanya." kemudian Alexa merebahkan dirinya di atas tempat tidur.
Tempat tidur yang terbuat dari bambu hanya beralaskan sebuah tikar yang telah usang.
Alexa berusaha untuk memejamkan kedua matanya di tengah kegelapan.
Ya, kamarnya memang gelap karena mereka hanya memiliki satu lentera dan itu telah diletakkan di kamar Bu Rianti.
Kehidupan Alexa jauh dari kata mewah, hidupnya yang sederhana bahkan sangat sederhana hingga bisa dikatakan serba kekurangan. Namun, Alexa selalu saja bersyukur dengan apa yang dimilikinya saat ini.
Kesehatan dan kebersamaan dengan ibu dan mbok Mirah, merupakan harta yang terbesar baginya. Walaupun di setiap harinya ia menjadi bahan perguncingan di kalangan para gadis yang seusianya.
Bahkan mereka tidak segan-segan menghina dan mencemooh Alexa ketika ia sedang menjajakan korannya, namun, bagi Alexa semua itu tidak menjadi masalah.
"Kalian bisa bersikap seperti itu karena kalian belum pernah merasakan berada di dalam posisiku, jika saja kalian merasakannya sekali saja, apakah kalian bisa untuk bertahan hidup?" itulah kata-kata yang menjadi pembela Alexa.
Disaat para remaja di desa itu datang mencemooh dirinya.
Pagi-pagi sekali Alexa telah bersiap untuk pergi kerumah Septi, seperti biasa ia mengambil koran-koran itu di sana. Kemudian, menjualnya ke rumah-rumah warga dan beberapa toko.
"Sekali lagi Bu, Aaaa!" Alexa memberikan suapan terakhir kepada ibunya.
"Pinter," ucap Alexa ketika suapan terakhir berhasil memasuki mulut Bu Rianti.
"Sudah, sudah, ibu sudah kenyang," celetuk Bu Rianti setelah menelan kunyahan nya.
"Memang sudah habis Bu, kalau setiap hari ibu makan seperti ini terus, aku yakin ibu pasti cepat sembuh!" Alexa menyemangati Bu Rianti.
Memang kali ini Alexa mengambil sesendok nasi lebih banyak dari porsi biasanya, awalnya ia menduga kalau porsi kali ini tidak akan habis oleh ibunya.
Namun, pada kenyataannya Bu Rianti telah menghabiskan porsi itu walau dengan susah-payah.
Setelah memberikan air minum kepada ibunya, Alexa membereskan piring dan gelas yang kotor, lalu mencucinya.
Kini Alexa hanya tinggal menunggu kedatangan Mbok Mirah yang pergi ke pasar menjual kayu bakar untuk ditukarkan dengan bahan pokok.
Ya, walaupun sudah tua, Mbok Mirah masih giat bekerja. Ia mencari kayu bakar di ladang milik tetangganya yang merasa tidak keberatan. Mbok Mirah berniat membantu Alexa untuk mencari nafkah.
Walaupun hasilnya hanya sedikit, akan tetapi cukup untuk makan mereka bertiga tentunya dengan tambahan dari penghasilan Alexa.
"Aku pergi dulu ya Mbok, titip Ibu." pamit Alexa sebelum pergi. Saat itu Mbok Mirah sedang menurunkan beban yang dibawanya, berupa dua kilo beras, satu liter minyak goreng dan beberapa lauk pauk untuk simpanan selama tiga hari.
Sebenarnya Alexa ingin berpamitan kepada ibunya. Namun, karena Bu Rianti telah tertidur, akhirnya Alexa mengurungkan niatnya, karena tidak ingin mengganggu ibunya yang sedang tertidur.
"Tenang saja, aku pasti akan menjaga ibumu dengan baik," jawab Mbok Mirah seraya menuangkan air putih pada gelas plastik lalu meneguknya.
"Assalamu'alaikum." Alexa mengucapkan salam sebelum melangkahi pintu.
"Waalaikum salam," jawab Mbok Mirah dari arah dalam rumah.
Beberapa menit kemudian, Alexa tiba di rumah Septi, teman sepergaulannya, walau Septi lebih dewasa darinya. Septi orangnya baik dan ramah, ialah yang selalu membantu Alexa di saat kesusahan hingga pada akhirnya Alexa berprofesi sebagai penjual koran. Dan Septi sebagai agennya.
"Aku setor segini dulu ya mbak." Alexa menyodorkan tiga lembar uang lima ribuan dan lima lembar uang dua ribuan. itu adalah hasil selama tiga hari.
Septi meraih uang itu dengan tersenyum, lalu ia berkata dengan lemah lembut.
"Tidak apa-apa, walaupun sedikit kita harus tetap bersyukur."
"Ya Mbak, kita harus tetap bersyukur dalam kondisi apapun," sahut Alexa.
"Ya, benar, ini korannya, tapi jualnya jangan jauh-jauh ya," ucap Septi setelah memberikan setumpuk koran kepada Alexa.
"Ya Mbak, kalau begitu aku pamit dulu," ucap Alexa.
"Ya, Hati-hati!" sahut Septi.
Sepulang dari rumah Septi, Alexa langsung menjajakan korannya. Ia memasuki lorong demi lorong untuk menjual korannya.
Alexa melakukannya dengan senang hati, walaupun terkadang ia merasa tidak nyaman dengan perbincangan para gadis yang seumurannya.
"Lihatlah, si Alexa itu, apa dia tidak malu tiap hari keluar masuk rumah warga jualan koran!" seru Rini kepada teman-temannya, salah satu gadis yang berasal dari keluarga terpandang.
Pekerjaannya sehari-hari hanyalah bergosip dan mempergunjingkan Alexa.
"Merusak pemandangan saja!" seru Gina menambahkan.
"Yo'i jadi sampah masyarakat!" seru Via pun menyahuti.
Ketiga gadis itu seakan tidak pernah bosan bergosip tentang Alexa, bagaikan artis terkenal Alexa menjadi perbincangan hangat di kalangan mereka.
Alexa yang secara kebetulan melintas di depan mereka, secara langsung mendengar dengan jelas perbincangan mereka tentang dirinya.
Namun, Alexa tidak memperdulikan hal itu, biarlah mereka dengan puas menggosipi dirinya yang terpenting bagi Alexa adalah, ia mencari rizki dengan cara yang halal.
Disaat Alexa sedang menjajakan korannya, tiba-tiba sebuah suara memanggilnya dari kejauhan. Saat Alexa menolah tampaklah Septi sedang berlari ke arahnya.
" Hah… hah… hah…." Nafas Septi ngos-ngosan.
"Ada apa Mbak?" tanya Alexa ketika Septi telah berada di sampingnya.
Septi mengatur nafas, perlahan mulai membaik.
"Itu, Bude Rianti, hah… hah...," ucap Septi nafasnya masih sedikit memburu.
"Kenapa dengan Ibu, Mbak?" kini Alexa terlihat khawatir.
"Ayo cepat pulang, Bude…Bude sekarat!" Septi berusaha memberi tahu Alexa.
Dan benar saja, mendengar ucapan Septi yang terakhir, Alexa langsung berlari dengan tetap mendekap koran-korannya menuju ke arah rumahnya.
"Lex, tunggu… !" seru Septi.
Namun, Alexa telah jauh berlari di depan sana. Septi pun mengejarnya dengan sisa tenaga dan nafasnya yang sedikit ngos-ngosan.
Sejauh apapun Alexa berlari, sebanyak apa pasang mata menatap dirinya, Alexa tidak peduli. Hanya satu tujuannya yaitu, segera sampai di rumahnya.
BRAAAK.
Koran-koran yang di pegang Alexa terjatuh berhamburan begitu saja, saat Alexa tiba di depan rumahnya yang telah dipenuhi oleh para tetangga yang berdatangan.
Dengan langkah gontai Alexa memasuki
Rumahnya, terdengar suara Mbok Mirah menangis.
Seluruh tubuh Alexa terasa lemas, persendiannya terasa kaku ketika melihat sosok tubuh kurus kering terbujur tak berdaya dikelilingi para tetangganya.
Tubuh Alexa ambruk di samping jenazah ibunya, ia tidak kuasa menahan air mata yang tiba-tiba saja mengalir, menyeruak dari dalam kelopak matanya.
"Hiks… hiks… hiks… Ibu…!" suara tangis Alexa pecah di samping jenazah ibunya.
Alexa memeluk tubuh Bu Rianti yang telah terbujur tak berdaya, hanya sebuah kain yang menutupi tubuh itu.
"Ibu, mengapa tinggalkan Lexa," lirih Alexa tetap memeluk tubuh ibunya yang telah tidak bernyawa.
"Maafkan Lexa, seharusnya aku tidak pergi, seharusnya aku menjaga Ibu." Alexa menyalahkan dirinya sendiri.
"Sudahlah nak Lexa, mungkin ini jalan terbaik dari Tuhan untuk ibumu," bujuk Mbok Mirah setelah tangisnya mereda. Tangan Mbok Mirah mengelus pundak Alexa, berusaha untuk saling menguatkan.
"Ya nak Lexa, lebih baik kau doakan saja, semoga Bu Rianti tenang di alam sana," bujuk salah satu tetangga yang duduk di sampingnya.
"Bukankah keadaan ibu baik-baik saja Mbok, saat aku tinggalkan?" Alexa teringat sebelum ia pergi ibunya sedang tertidur pulas.
"Ya, kamu benar Lexa, saat itu ibumu sedang tertidur, tapi saat Mbok tinggal sebentar… Ibumu tiba-tiba berteriak dan saat Mbok telah kembali ibumu telah sekarat," tutur Mbok Mirah sejujurnya.
Memang keadaan Bu Rianti telah sekarat saat Mbok Mirah kembali dari halaman belakang rumahnya. Karena terkejut, Mbok Mirah langsung pergi kerumah Septi, karena ia menduga Alexa sedang berada di sana.
Oleh karena itu, Septi bersedia untuk menyusul Alexa dan menyuruh Mbok Mirah segera kembali ke rumahnya.
Dan, saat Mbok Mirah kembali, kondisi Bu Rianti telah tak bernyawa.
Alexa menangis dengan penuh rasa sesal di dalam hatinya. Ia menyesal karena tidak bisa menemani ibunya bahkan disaat-saat terakhirnya.
"Mengapa ibu pergi secepat ini, mengapa ibu tidak menunggu Alexa terlebih dulu," rintih Alexa dengan suara lirih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!