NovelToon NovelToon

Ayah Untuk Ayasya

Bab 1. Ayo Menikah!

Owen Nikolas adalah seorang dokter muda dari Rumah Sakit Pelita Harapan yang sedang menjalankan tugas sukarela di Desa P. Bukan tanpa alasan, pria tampan itu memilih menjalankan tugas di desa yang cukup terpencil ini. Ia ingin mengobati luka hatinya. Hati yang terluka karena memendam cinta pada seorang wanita yang kini telah menjadi istri dari sahabatnya.

Sesuai dengan harapannya, selama hampir tiga minggu bertugas, Owen menjalani hari-hari tenang nan damai di Desa P. Hingga tiba suatu hari, tanpa sengaja Owen mendengar perbincangan Bu Ida Si Pemilik rumah kontrakan dengan seorang wanita yang bernama Tessa.

“Tessa?” gumam Owen lirih dari balik pintu kamarnya.

Apa mungkin wanita itu adalah Tessa yang kukenal? Tanya Owen dalam hatinya.

Owen menggeleng. “Tidak mungkin!”

Selebgram bar-bar semacam Tessa, mana mungkin mau mengunjungi desa ini, pikirnya.

Namun, suara wanita yang menjadi lawan bicara Bu Ida terasa tak asing di telinga Owen. Hal itu sungguh mengusik pikirannya hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk keluar dari kamarnya agar bisa melihat lawan bicara Bu Ida.

Sayang sekali, saat Owen membuka pintu kamarnya wanita itu telah masuk kembali ke dalam kamarnya. Owen hanya bisa menghela napas, menahan kekecewaan karena tak berhasil melihat siapa wanita itu.

“Bagaimana jika dia benar Tessa, selebgram bar-bar itu? Aku yakin ketenanganku di Desa ini akan terancam,” monolognya.

...…………...

Tessa Stephani, selebgram yang terkenal dengan sikap bar-barnya itu memang sudah terang-terangan mendekatinya sejak beberapa waktu terakhir. Wanita yang tak lain adalah sahabat dari wanita yang Owen cintai, selalu saja mengusik ketenangannya tiap kali mereka bertemu.

Tak ingin menerka-nerka seorang diri dan berakhir pusing sendiri, Owen pun bertanya pada Si empunya rumah. “Bu Ida, apakah gadis yang baru saja mengobrol dengan Ibu, bernama Tessa?” tanyanya.

“Iya bener, Mas Dokter.” Jawaban Bu Ida membuat Owen tercengang.

Mau apa Tessa di Desa terpencil seperti ini, tanyanya dalam hati.

“Eh, Mas Dokter kenal?” tanya Bu Ida yang dijawab oleh Owen dengan anggukan lemah dan senyuman.

“Eh … Mas Dokter tahu nggak, gadis itu bertanya mengenai jalan menuju hutan,” ungkap Bu Ida dengan sangat pelan layaknya seseorang yang sedang berbisik.

“Semoga dia gadis baik-baik, ya … bukan seperti gadis-gadis yang sebelumnya,” lanjut Bu Ida seraya berjalan menjauh menuju dapur rumahnya.

Tanpa membuka suara, Owen sekali lagi mengangguk sebagai tanda jika ia setuju dengan ucapan Bu Ida. Di Desa P, ada seorang wanita paruh baya yang terkenal menjalankan praktik aborsi ilegal.

Wanita itu biasa dipanggil Mbok Atun, tinggal seorang diri di tengah hutan. Tindakan kejahatannya tak pernah terciduk, sebab tak ada bukti yang dimiliki para warga untuk melaporkannya.

Di dalam hati Owen kini sedang terjadi pergulatan hebat. Tak mungkin ‘kan dugaan Bu Ida, benar? Tapi jika benar, apa yang harus kulakukan?

Berselang beberapa menit, Owen masih bergeming di tempatnya. Pria itu terus memikirkan ucapan Bu Ida. Sampai Reno, rekan sesama dokter yang turut serta dalam kegiatan sukarela ini menghampirinya.

“Dokter Owen!” Seru Reno. “Anda melamun,” imbuhnya.

“Ah, ya … ada apa?” tanya Owen.

“Bisa kita berangkat sekarang? Suster Ara dan Suster Luna sudah menunggu,” ucap Reno.

“Ya, ya, tentu. Ayo, berangkat sekarang.” Dengan hati yang masih gusar, Owen pun akhirnya beranjak pergi dari rumah menuju ke Puskesmas untuk bekerja.

Meski kakinya melangkah menjauh, namun pandangannya tetap tertuju pada pintu kamar yang di dalamnya ada seorang wanita bernama Tessa.

Semoga saja dia adalah Tessa yang lain, batin Owen berharap.

...…….....

Meninggalkan Owen dan tiga rekannya yang tengah sibuk menjalankan tugas sukarela di sebuah Puskesmas Desa P. Tessa … wanita itu tak henti-henti berjalan mondar-mandir di dalam kamar yang luasnya tak seberapa.

Tadi … setelah makan siang, berbekal informasi dari Bu Ida, akhirnya ia berhasil menemukan rumah Mbok Atun. Wanita paruh baya yang akan membantunya keluar dari masalah yang ia hadapi saat ini. Masalah yang timbul setelah dirinya terlibat One Night Stand dengan seorang pria, hingga akhirnya kini ia mengandung.

Tessa sangat menyadari jika menggugurkan janin yang kini berada dalam kandungannya adalah perbuatan dosa dan keji. Tapi, tak ada solusi lain yang terpikirkan olehnya. Pria yang seharusnya menjadi Ayah dari janinnya, tak akan bisa bertanggung jawab. Dirinya pun belum siap untuk dihujat oleh banyak orang karena hamil di luar nikah. Satu-satunya jalan adalah mengugurkan janin yang ia taksir baru berusia 6-8 minggu.

Waktu berlalu begitu cepat tanpa terasa. Gelapnya langit malam akan menutupi jejak Tessa untuk melakukan perbuatan dosa besar ini. Setelah memakai jaket tudung kebesaran miliknya, ia pun mulai bergegas untuk pergi ke rumah Mbok Atun yang berada di dalam hutan.

Di kamar lain, Bu Ida tak kalah gelisahnya. Sebenarnya, siang tadi Bu Ida mengikuti Tessa yang berjalan masuk ke dalam hutan. Gelagat aneh Tessa membuat wanita itu curiga. Benar saja, dari apa yang ia dengar, malam ini Tessa dan Mbok Atun sudah berjanji untuk bertemu.

Maka ketika malam tiba dan ia tak mendapati Tessa di kamarnya, Bu Ida mendadak panik. Tanpa memikirkan apa pun, Bu Ida segera berlari keluar rumah hendak menyusul Tessa ke dalam hutan.

Sebuah kebetulan yang sangat diharapkan oleh Bu Ida. Di depan pintu rumahnya ia bertemu dengan Owen yang baru saja pulang.

“Mas Dokter, ayo ikut Ibu!” Tanpa penjelasan apa pun, Bu Ida menarik tagan Owen agar ikut dengannya.

“Bu Ida, sebenarnya kita mau ke mana?” Tanya Owen.

“Kita harus menyelamatkan nyawa Neng Tessa!” jawab Bu Ida.

“Nyawa Tessa?” tanya Owen sekali lagi meyakinkan apa yang didengarnya.

Sayangnya Bu Ida tak menjawab. Wanita itu semakin mempercepat langkahnya.

“Di sana!” Tunjuk Bu Ida pada sebuah rumah. “Neng Tessa ada di sana!”

“Untuk apa Tessa ke sana?” Owen masih tak mengerti.

“Untuk apa lagi?! Pasti dia ingin menggugurkan kandungannya!”

“Bu Ida, jangan asal menuduh! Tessa tak mungkin-“

Bu Ida menepuk lengan owen. “Mana berani aku menuduh! Aku yakin dengan ucapa-“ belum selesai ucapan Bu Ida, Owen sudah berlari menuju ke rumah yang tadi ditunjuk olehnya.

Brak!!!!

Pintu rumah yang terbuat dari kayu milik seorang wanita yang akrab di sapa Mbok Atun, dibuka dengan paksa oleh Owen. Tak ada seorang pun yang ia temui di ruang tamu. Hal itu semakin menambah kecemasan Owen.

Sedetik kemudian, Mbok Atun muncul dari sebuah kamar. “Hei! Siapa kamu?! Kenapa kau masuk ke rumahku tanpa izin?!” Antara gugup dan marah, Mbok Atun berucap.

“Di mana Tessa?!” balas Owen dengan berteriak.

“Tessa si-siapa? Orang yang kau cari tak ada di sini.”

Tak ingin membuang waktu dengan berdebat bersama Mbok Atun, lantas Owen memaksa masuk ke dalam kamar.

“Awas. Minggir!” Dengan kasar ia mendorong tubuh gempal Mbok Atun agar tak menghalangi langkahnya.

Sontak saja sepasang netra Owen terbelalak saat melihat Tessa berbaring di ranjang dan hanya menggunakan sarung untuk membungkus tubuhnya.

“TESSA!!” Teriaknya.

“O-Owen?!” balas Tessa ikut memekik.

Tessa terlihat membenahi sarung yang melilit tubuhnya. Ia bangkit dari posisi berbaringnya. Dengan derai air mata, wanita itu duduk di tepian ranjang. Kepalanya terus menunduk, mana berani ia menatap wajah tampan pria yang ia kagumi di hadapannya.

“Ayo!” Owen melemparkan jaket yang ia pakai ke pangkuan Tessa. “Kita harus segera pergi dari tempat ini!”

Tessa akhirnya mengangkat kepalanya, pandangannya lurus menatap Owen. Tatapannya menyiratkan jika kini ia dilanda perasaan malu, marah, menyesal, dan putus asa.

Tessa menggeleng. “Lu aja yang pergi! Gue gak akan ke mana-mana.” Tessa tak berniat mundur. Tak ada harapan lagi baginya, pikirnya.

“Lu udah gila?!” Bentak Owen. Wajah lelahnya ia usap dengan kasar.

“Tessa … ini bukan waktunya untuk bersikap kekanakan!” imbuhnya.

“Apa pedulimu, huh?! Lu gak tahu apa yang sudah terjadi pada gue!” balas Tessa dengan teriakan yang tak mau kalah dari bentakan Owen.

“Gue gak peduli sama lu. Sama sekali gue gak peduli,” ungkap Owen.

“Yang gue pedulikan adalah perbuatan gila lu yang bakal ngorbanin nyawa janin tak berdosa yang ada di rahim lu!”

Dengan kedua tangannya Tessa menutupi wajahnya. Sementara ia semakin terisak di baliknya. “Gue emang gila! Semua yang terjadi di hidup gue emang gila. Puas?!” Ego Tessa memaksanya mengatakan hal yang tak betul-betul diinginkan hatinya.

“Jangan ikut campur pada pilihan hidup gue,” ujar Tessa.

Suaranya mulai melemah, sebab jauh dalam lubuk hatinya ia sedang meronta, meminta tolong untuk diselamatkan dari tempat itu.

“Selagi lu gak punya solusi yang lebih baik dari ini, mending lu pergi aja. Anggap saja malam ini gak pernah ada. Lu gak tau apa yang terjadi malam ini, sebab kita tak pernah bertemu.”

“Aaarrgghh!” Owen tak lagi tahan untuk tidak menggeram. Tessa adalah wanita paling egois dan keras kepala yang pernah ia temui.

Kedua tangannya berkacak di pinggang. Owen mengatur embusan napasnya saat menatap ke arah Tessa.

“Solusi?” tanyanya.

“Yang lu mau cuma solusi, kan?” tanya Owen sekali lagi.

Raut wajah pria itu menyiratkan keraguan. Entah apa yang terpikir olehnya. Tessa hanya bisa menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Sebagai seorang dokter, gue menghormati kehidupan. Sekecil apa pun itu. Jadi jangan berpikir jika gu-gue melakukan ini karena alasan lain,” ujar Owen.

“Jangan gugurin kandungan lu. Tugas lu hanya menjaganya selama dia berada di kandungan lu,” Owen terdiam sejenak. Pria itu terlihat menarik napas panjang lalu mengembuskannya kasar.

“Lahirkan bayi itu. Setelahnya, bayi itu akan menjadi urusan gue. Setelah lahir, dia akan menjadi tanggung jawab gue.”

Sontak saja kedua netra Tessa membelalak mendengar apa yang baru saja dikatakan Owen. Tessa tertawa, “Bukan gue yang gila, tapi lu!”

Tessa merasa semakin kesal pada Owen. Pria itu telah mengacaukan semua hal yang telah ia rencanakan. Semuanya menjadi sia-sia.

“Andai saja mengandung dan melahirkan semudah itu, gue gak akan pernah terpikirkan untuk melakukan hal gila ini!” ucap Tessa tanpa menatap Owen.

Tessa mengenakan kembali celana panjangnya. Tak ia pedulikan tatapan tajam Owen padanya. Malam ini adalah salah satu malam terburuk di sepanjang hidup Tessa.

“Mengandung tak hanya soal membiarkan janin ini tetap berada dalam perutku saja. Kau tak pikirkan bagaimana aku akan dipandang sebelah mata oleh orang lain?!”

“Gue butuh solusi, bukan omong kosong!” Tegas Tessa sebelum ia mulai melangkahkan kakinya hendak keluar dari kamar.

Sementara Owen tetap bergeming di tempatnya. Kedua netranya tampak memejam sesaat. Ia butuh meyakinkan dirinya dengan keputusan yang akan diambilnya saat ini.

“Gue yang akan tanggung jawab!” ucapnya menghentikan langkah Tessa.

Berganti Tessa yang bergeming. Tiba-tiba saja kakinya terasa sulit untuk melangkah.

“Lu dengar? Gue yang akan TANG-GUNG JA-WAB!” Owen kembali berucap, pria itu bahkan semakin menekankan kata tanggung jawab berharap Tessa tak akan bergeming lagi.

Namun Tessa masih sama. Wanita itu masih berdiri, diam membeku di tempatnya. Jantungnya berdegup kencang, mengapa tiba-tiba ia sulit bernapas, pikirnya.

Entah ke mana pikiran Tessa tengah melayang, yang pasti ia bahkan tak menyadari jika Owen sudah berdiri di hadapannya.

“Jangan katakan lu gak paham maksud gue?” tanya Owen berubah lembut.

Owen menarik napas panjang, memenuhi seluruh rongga dadanya dengan oksigen. Ia yakin setelah satu kalimat ini ia akan merasa sesak dan sulit untuk bernapas.

“Ayo kita menikah!” Ungkap Owen.

“Me-ni-kah?” akhirnya terdengar juga sura Tessa.

“Ya. Aku dan kau menikah. Kita akan menjadi sepasang suami istri,” jawab Owen.

“Kita … suami istri?” tanya Tessa seolah tak yakin jika semua ini nyata.

“Ya. Lu butuh solusi, kan?” tanya Owen.

“Ini solusi yang gue tawarkan. Kita pergi dari sini. Kembali ke kota, menikah, menjadi pasangan suami istri. Lu akan mengandung bayi kita. Lu dan gue akan menjaganya selama ia berada dalam kandunganmu. Hingga ia lahir dan menatap dunia ini,” lanjut Owen.

“Ta-tapi ….” Tessa hendak membantah, namun lebih dulu Owen menarik tangannya.

“Tak ada tapi. Ayo pulang!” ajak Owen.

“Lalu kita menikah,” imbuhnya.

...………....

Dua minggu berselang, malam ini Tessa yang dilanda keraguan mengenai keputusannya untuk menikah dengan Owen kembali membuat ulah. Entah dari mana datangnya pemikiran untuk pergi sejauh mungkin dari semua orang yang mengenalnya.

Tessa sudah mempersiapkan segalanya. Pakaian, uang tunai, dan kebutuhan lainnya. Namun entah bagaimana bisa, Owen mengetahui rencana Tessa. Kejar-kejaran di jalan raya pun tak terelakkan lagi. Beruntung Owen masih lebih cepat dari Tessa. Ia pun berhasil mencegah Tessa untuk kabur.

“Apa lagi kali ini, huh?!” Kali ini Owen tak membentak Tessa.

Dari caranya berbicara jelas sekali jika pria itu sudah hampir putus asa dalam menghadapi kelakuan ibu hamil di hadapannya.

“Gu-gue gak bisa menikah dengan lu.” Tessa menunduk, tak sanggup rasanya menatap kedua netra Owen.

“Terima kasih, tapi cukup masa depan gue yang hancur,” imbuhnya.

Owen menarik napas panjang. “Masa depan lu gak akan hancur. Gak akan pernah hancur.”

“Dan juga, asal lu tahu … pantang bagi gue untuk ingkar janji.”

“Sekarang antar gue untuk nemuin kedua orang tua lu!” suruh Owen.

“Hah? Orang tua gue?”

“Ya! Malam ini juga gue akan melamar lu!”

...——————————...

Bab 2. Pindah

Setelah memaksa Tessa untuk mempertemukannya dengan kedua orang tua wanita itu, Owen sudah memutuskan untuk mengakui segalanya. Tak ada yang ia sembunyikan dan pada awalnya semua berjalan lancar.

“Perkenalkan, saya Owen Nikolas.” Dengan sopan juga hormat, Owen memperkenalkan dirinya di hadapan kedua orang tua Tessa.

Melihat ada pria yang dibawa oleh putri semata wayangnya, kedua orang tua Tessa merasa sungguh bahagia. Mereka menyambut kedangatangan keduanya dengan senyum merekah. Meski selalu sibuk dengan urusan perusahaannya, Tuan Stephen dan Nyonya Fhanie selalu berusaha untuk mengetahui pergaulan putrinya.

Selama ini, setahu mereka tak ada pria yang dekat dengan putrinya. Hanya kedua sahabatnya, Phila dan Seanna yang sering menghabiskan waktu bersama Tessa. Jadi saat ada pria yang datang bersama Tessa, kedua orang tuanya memiliki harapan yang besar.

“Saya Stephen, Papi-nya Tessa.” Papi Stephen menyambut uluran tangan Owen.

“Dan ini istri saya,” imbuhnya setelah melepas jabatan tangannya.

Sementara kedua orang tuanya menyambut Owen dengan ramah, Tessa terus menunduk. Tak berani menatap netra kedua paruh baya yang telah membesarkannya. Tessa tahu beberapa saat lagi, kebanggaan mereka akan berubah menjadi kekecewaan.

“Jadi … apa yang membawamu ke mari, Owen?” tanya Papi Stephen. Bagi seorang pebisnis sepertinya, setiap detik sangat berharga.

“Kau menemui kami tiba-tiba di malam hari. Kau bahkan tak membuat janji temu sebelumnya .” Sebagai seorang yang sudah memiliki banyak pengalaman, Papi Stephen dan Mami Fhanie sadar kedatangan Owen memiliki maksud dan tujuan yang penting.

“Sebelumnya saya mohon maaf, jika kedatangan saya menggganggu waktu istirahat Anda.”

“Namun, akan lebih baik jika saya menemui Anda lebih cepat,” lanjut Owen.

Terlihat kening kedua orang tua Owen mengernyit. Keduanya menatap Tessa dan Owen bergantian. “Ada apa? Kalian jangan menakuti kami,” ucap Mami Fhanie. Kedua tangannya saling meremat.

“Saya sungguh memohon maaf jika apa yang saya sampaikan ini akan mengecewakan Tuan dan Nyonya,” ucap Owen setelah berkali-kali ia menarik napas panjang.

“Saya bermaksud untuk melamar putri Anda,” lanjutnya.

Kedua orang tua Tessa tersenyum sesaat, kemudian saling menatap. Ada binar bahagia dari sorot mata keduanya. Namun, suara isak tangis Tessa tiba-tiba saja memecah keheningan.

Sorot mata bahagia itu menghilang seketika. “Katakan pada kami, jika tangisan Tessa adalah tangisan bahagia karena kamu baru saja melamarnya,” ucap Mami Fhanie.

“Maaf,” hanya satu kata itu yang terucap dari bibir Owen.

Isak tangis Tessa semakin menjadi-jadi. Mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi, sang ibunda pun turut menangis. Teramat sedih dan kecewa pada putri semata wayangnya.

Saat melihat air mata berlinang dari netra wanita yang melahirkannya, Tessa tak kuasa untuk tak berhambur ke hadapan ibu-nya. Ia duduk bersimpuh, memeluk kedua kaki ibunya.

“Maaf … maafkan aku, Mi.” Berkali-kali Tessa memohon maaf dari sang ibu, namun Mami Fhanie bergeming. Wanita paruh baya itu tak henti menitikkan air matanya dan enggan menatap ke arah putrinya.

Sementara itu Papi Stephen sudah berdiri. Kedua tangannya berkacak di pinggang. “Kau! Jelaskan apa maksud ucapanmu!”

“Jangan bicara panjang lebar. Katakan apa intinya!” tekannya.

“Maafkan saya, Tuan. Saya menemui kalian untuk meminta restu. Memohon agar saya diizinkan untuk menikahi Tessa,” ucap Owen dengan hati-hati.

“Mengapa kau pikir aku akan memberikan restuku semudah itu?” tanya Papi Stephen dengan suara yang mulai bergetar. Dalam lubuk hatinya ia berharap agar apa yang ia pikirkan itu salah.

“Karena Tessa kini dalam kondisi hamil. Putri Anda, sedang mengandung.” Jawab Owen.

Bisa Owen lihat kedua tangan ayah Tessa yang mengepal. Dia sudah menduga apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian. Dan benar saja, kepalan tangan Papi Stephan mendarat tepat di wajahnya.

Bugghh!!

Bugghh!!

Bugghh!!

Entah sudah berapa banyak pukulan yang diterima Owen pada wajah tampannya. Pria itu bahkan sudah tersungkur di lantai. Jeritan dari Tessa pun tak menghentikan sang ayah. Pria paruh baya itu terus memaki Owen.

Owen tak membalas semua perlakuan Papi Stephen. Kemarahan orang tua Tessa telah ia perkirakan sebelumnya. Ia biarkan ayah Tessa melampiaskan amarah dan kekecewaannya.

Bahkan rasanya ia tak memiliki cukup banyak kenangan dengan masa-masa di mana Tessa beranjak dewasa. Bagaimana mungkin ia bisa menerima kenyataan jika kini putrinya sedang mengandung? Pikir Papi Stephen.

Setelah puas memaki, meluapkan segala rasa yang bergejolak dalam dadanya, akhirnya Papi Stephen kembali duduk. Berkali-kali ia menghela napasnya saat Tessa kini bersimpuh di hadapannya.

“Ma-afkan a-aku, Pa-papi,” mohon Tessa seraya menangis di pangkuan sang ayah.

Papi Stephan memalingkan wajahnya. Ia tak ingin setetes air mata yang berlinang dari pelupuk matanya terlihat oleh putrinya.

“Kau mengecewakan Papi dan Mami,” ucapnya.

“Ya, ya, aku memang putri yang tak berguna. Katakan apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan maaf.” Tessa kembali memohon.

“Menikahlah!” Perintah Papi Stephen.

Owen berusaha agar tak tersenyum, meski dalam hatinya ia sungguh bersyukur. Tak sia-sia ia mengorbankan wajah tampannya untuk dibuat babak belur oleh calon mertuanya. Berpikir tak pantas jika ia tersenyum dalam situasi seperti ini, Owen hanya bisa menghela napas lega.

“Untuk sementara jangan muncul di sekitar kami, pergilah menjauh!” Lanjut Papi Stephen.

Air mata yang tadinya sudah berhenti berlinang, kembali membanjiri wajah Tessa. Ini yang ia takutkan, orang tuanya mengusirnya. Orang tuanya tak menginginkan kehadirannya lagi.

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Owen akhirnya ikut berbicara. “Terima kasih telah merestui kami.” Ungkapnya.

“Saya mengerti, bukan karena Anda tak menyayangi putri Anda hingga memintanya pergi. Saya paham, semua itu karena Anda tak ingin Tessa menerima gunjingan dari orang-orang di sekitarnya.”

“Izinkanlah saya bertanggung jawab, Tuan. Izinkan saya membawa Tessa ke kota X, tanah kelahiran saya,” pinta Owen.

“Kau akan membiarkan putriku seorang diri di tempat yang jauh?” Kini Mami Fhanie yang buka suara.

Owen menggeleng. “Di sana ada Ibu dan Adikku, Tessa tak akan sendiri. Saya sudah siap melepaskan karirku sebagai seorang dokter di sini. Saya yakin, bisa mendapatkan pekerjaan di Kota X secepatnya.”

“Segera setelah saya mengurus semuanya, saya akan membawa Tessa ke sana. Tessa akan melewati masa-masa kehamilannya dengan tenang. Setelah melahirkan, barulah kami akan menikah,” lanjut Owen.

Ucapan Owen barusan sebenarnya menimbulkan tanya di benak Papi Stephen. Mengapa harus menunggu putrinya melahirkan baru mereka akan menikah, pikirnya.

“Percayalah Tuan, saya akan bertanggung jawab pada Tessa. Saya tak akan pernah memutus komunikasi dengan kalian. Silakan awasi saya, perhatikan apa yang kami lakukan. Saya tak akan ingkar dengan janji yang saya ucapkan,” ujar Owen.

“Saya akan bertanggung jawab pada Tessa,” ucapnya sekali lagi dengan tegas.

Mendengar dan melihat keyakinan dari Owen, malam itu Papi Stephen dan Mami Fhanie memberikan restu pada keduanya. Kedua paruh baya itu akhirnya mempercayakan kehidupan putri mereka pada seorang pria yang baru pertama kali mereka temui.

...…………...

Tak ingin membuang banyak waktu, keesokan harinya Owen segera menghubungi seorang kenalannya di salah satu rumah sakit swasta di Kota X. Seolah semesta turut memberi restu, hari itu juga lamaran pekerjaan Owen mendapatkan jawaban yang sesuai dengan harapannya.

Segera ia mengabari Tessa, ia meminta wanita itu mulai berkemas. Tak lupa pula Owen memberi kabar pada kedua orang tua Tessa. Setelah itu semua, barulah Owen mengajukan surat pengunduran dirinya di Rumah Sakit Pelita Harapan.

Bagi Owen, berat rasanya meninggalkan rumah sakit itu. Sejak menyelesaikan pendidikan kedokterannya, di sanalah pertama kali ia memulai karirnya sebagai seorang dokter.

Namun, menikahi Tessa tak kalah pentingnya. Menjadikan sumpahnya sebagai dokter sebagai alasan utama, Owen mencoba ikhlas untuk merelakan semua yang akan ia tinggalkan nanti.

Hari berganti, lima hari telah berlalu. Owen telah menyelesaikan semua urusan administrasi untuk kepindahannya. Tessa pun sama, ia sudah mengemasi barang-barang penting miliknya yang akan ia bawa. Saat keduanya bertemu, mereka akhirnya sepakat untuk menemui sahabat-sahabar mereka besok.

Besok, mereka akan mengakui segalanya juga rencana pernikahan mereka. Dan dari itu semua, hal yang paling sulit karena besok juga mereka akan berpamitan pada sahabat-sahabatnya.

...…………....

Setelah menghubungi sahabat-sahabatnya, sore ini Tessa dan Owen sudah lebih dulu tiba di sebuah restoran steak yang telah mereka sepakati untuk bertemu. Owen menyadari kecemasan dari raut wajah Tessa. Menurutnya, itu bukanlah hal yang baik jika ibu hamil untuk selalu cemas.

“Mereka sahabat-sahabatmu. Mereka menyayangimu, jangan berpikir buruk. Akan berdampak buruk pada kehamilanmu,” peringat Owen sementara Tessa hanya berdecih saja.

Sampai detik ini, jauh dilubuk hati Tessa, ia belum sepenuhnya setuju dengan semua rencana Owen. Bahkan, terkadang ia merutuki kejadian saat Owen memergokinya saat akan menggugurkan kandungannya.

Banyak hal yang dipikirkan oleh Tessa. Baik dirinya ataupun Owen, hanya bungkam. Hingga Noah dan Sea, sepasang suami istri itu yang lebih dulu tiba. Kemudian Phila yang di susul Sandy di belakangnya. Jelas keempatnya menatap Tessa dan Owen dengan raut wajah heran.

“Hai, kalian sudah datang.” Seperti biasa, Tessa yang periang menyambut kedatangan sahabat-sahabatnya.

“Maaf, jika kami meminta kalian datang dengan tiba-tiba.” Meski tampak pucat, senyuman Tessa tetap terlihat sangat cantik.

“Kami?” Sandy cukup terkejut dengan kata ‘kami’ yang diucapkan oleh Tessa.

“Sejak kapan lu dan dokter Owen menjadi kami?” tanya Phila dengan kening yang telah mengerut.

Sementara Sea dan Noah hanya bungkam, keduanya seperti sudah bisa mengetahui tujuan Tessa dan Owen mengumpulkan mereka di sini.

Tanpa diduga, Owen merangkul pundak Tessa. “Sejak Tessa mengandung anak gue,” ucapnya santai tanpa beban.

“Apa?!” Pekik Phila dan Sandy bersamaan.

Meski terkejut dan sedikit tak percaya, keempat sahabat Tessa dan Owen, akhirnya mulai mengerti setelah mendapat penjelasan dari pasangan yang sebentar lagi akan menjadi orang tua.

Sehari setelah berpamitan, tibalah hari keberangkatan Tessa dan Owen ke Kota X. Kedua orang tua Tessa juga keempat sahabatnya mengantarkan hingga ke bandara. Tessa sungguh berbeda, akhir-akhir ini ia banyak sekali mengeluarkan air mata. Tak pernah terlihat Tessa yang periang, bar-bar seperti dulu.

Butuh dua jam perjalanan udara untuk tiba di Kota X. Setelah itu, keduanya masih harus menaiki mobil selama satu jam lamanya agar tiba di kampung halaman Owen. Sebuah desa di Kota X, tempat kelahiran pria itu.

Mobil travel yang keduanya tumpangi kini berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana. Bangunan rumah tak begitu besar namun halaman rumah sangat luas. Sangat rindang sebab banyak pepohonan di sana.

Tok ... Tok ... Tok ...

Hanya beberapa menit menunggu, pintu berbahan kayu itu terbuka. Seorang gadis cantik yang diperkirakan Tessa adalah adik Owen yang membuka pintu.

“Bang Owen?!” Pekiknya.

“Qanita ....” Owen membalas sapaan gadis itu kemudian memeluknya.

“Bu ... Ibu ... Bang Owen pulang, Bu!” Teriaknya meski masih dalam pelukan Owen.

Tak lama seorang wanita paruh baya muncul dari dalam rumah. Tessa yang sejak tadi hanya berdiri mematung, menelan salivanya karena gugup. Owen melerai pelukannya bersama wanita yang bernama Qanita.

“Ayo masuk. Kamu pasti lelah, Nak,” ucap wanita paruh baya itu.

Owen mengangguk, sebelum masuk ke dalam rumah pria itu sempat menoleh pada Tessa dan memberinya instruksi dengan kepalanya agar Tessa mengikuti langkahnya. Kini ke empatnya sudah duduk berhadapan di kursi ruang tamu yang terbuat dari rotan.

“Ibu ... kenalin ini Tessa,” ucap Owen lembut dan tenang.

Wanita bernama Damira itupun tersenyum ramah pada Tessa. Tessa pun segera menyalami Ibu Damira dengan sopan.

“Aku dan Tessa akan tinggal di sini, Bu,” ucap Owen.

Raut wajah Bu Damira perlahan berubah, “Maksud kalian? Jelaskan!”

“Aku sudah mengundurkan diri dari Rumah Sakit Pelita Harapan. Setelahnya aku akan bekerja di salah satu rumah sakit di Kota X.” Owen bisa melihat betapa terkejutnya sang Ibu.

Lalu sedetik kemudian, Ibunya tampak sangat kecewa. “Benarkah ? Tapi apa alasanmu memutuskan hal itu?”

“Ka-karena aku dan Tessa akan menikah,” akunya.

“Hah? Apa? Menikah?” Betapa terkejutnya Ibu Damira dan Qanita.

“Ya, kami akan menikah setelah bayi dalam kandungan Tessa lahir,” jawab Owen.

“Bayi?” Ibu Damira semakin shock. Apakah putranya sedang bercanda? Mungkinkah ia iseng lalu menjahilinya? Batin Ibu Damira.

“Ya, Tessa mengandung anak kami.” Jawab Owen tanpa ragu seraya menoleh ke arah Tessa yang menunduk.

Ibu Damira begitu terkejut. Rasanya jantungnya ingin melompat keluar setelah mendengar pengakuan putranya. Ibu Damira bungkam cukup lama. Setelahnya ia menatap Tessa dengan tatapan yang sulit di artikan.

“Hei! Kau ... dasar wanita murahan!” Bentaknya sambil menunjukki Tessa.

“Kau ... wanita tak tahu diri yang telah merusak masa depan putraku!” Lanjutnya memaki Tessa yang kini mulai terisak.

“Bu ... kumohon tenanglah,” pinta Owen.

“Diam kau! Wanita murahan ini harus tahu, kehadirannya hanya akan membawa kesialan untukmu!”

...--------------------...

Bab 3. Menjadi Orang Tua

Jika amarah kedua orang tua Tessa telah ia perkirakan, namun respon Ibu beserta Adiknya sungguh tak pernah terbayangkan olehnya. Respon Ibu dan Adiknya sungguh di luar dugaan Owen.

“Tinggalkan dia!” Suruh Ibu Damira pada putranya.

Tessa dan Owen saling bertukar pandangan. Tanpa Tessa sadari, kepalanya menggeleng. Mau ke mana lagi dirinya. Ia sudah setuju untuk menjauh sementara dari kehidupan kedua orang tuanya, pikirnya.

Owen pun sama, dirinya tak menyangka jika sang Ibu tega berkata demikian. Pikirnya, Ibunya mungkin akan kecewa, tapi sebagai sesama wanita sedikitnya sang ibu memiliki rasa iba pada Tessa.

“Apa yang kau pikirkan, Nak. Apa yang bisa kau harap darinya. Wanita yang tak dapat menjaga kehormatannya,” ucap Ibu Damira dengan sinis.

“Wanita ini sudah merusak masa depanmu. Hal terbodoh yang kau lakukan adalah melepaskan karir cemerlangmu demi wanita murahan sepertinya!”

Samar-samar Owen bisa mendengar isak tangis Tessa. Hatinya sungguh mengiba. Dirinya seperti melihat sosok Tessa yang lain, atau mungkin inilah sosok Tessa yang sebenarnya. Wanita rapuh yang bersembunyi di balik sikap cerianya.

“Ibu, Stop!” Owen menegur Ibunya dengan tegas.

“Maaf, Bu. Aku tak akan meninggalkan Tessa,” putusnya.

Pria itu membawa satu tangan Tessa untuk ia genggam. “Semua ini sudah kupikikan, Bu.”

“Kami akan tetap menikah setelah Tessa melahirkan. Aku membawanya ke mari karena kupikir rumah ini adalah tempat di mana aku pulang dalam keadaan apa pun.”

“Jika ibu tak menerima kami, aku tak memaksa. Aku akan pergi bersama Tessa,” lanjut Owen dengan tegas.

Mendengar penuturan putranya, Ibu Damira sontak diserang panik. Begitu pun Qanita, gadis berambut panjang itu seketika berbisik kepada sang Ibu.

“Bu, sepertinya Bang Owen serius dengan ucapannya. Bagaimana nasib kita, jika Bang Owen benar-benar pergi?” bisik Qanita pada ibunya.

Ibu Damira yang tadinya berapi-api mendadak bungkam. Selama ini, Owen lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Meski ia percaya putranya tak akan mungkin mengabaikan keluarganya, namun kehadiran Tessa cukup membuatnya khawatir. Bisa saja Tessa menghasut Owen hingga putranya akan membencinya, pikir Bu Damira.

“Baiklah! Terserah apa katamu saja,” putus Bu Damira terpaksa mengalah.

“Biar bagaimana pun anak yang dikandungnya adalah darah dagingku juga,” imbuhnya dengan gaya angkuh.

“Tapi jangan mengira aku sudah menerima wanita itu,” gumamnya lirih.

Akhirnya Owen bisa kembali tersenyum. Setelah menghela napas lega, pria itu berpindah duduk ke sisi ibunya. Ia peluk dengan erat untuk mengobati rasa rindunya. “Terima kasih, Bu. Semua akan baik-baik saja, tenanglah.”

“Kumohon belajarlah untuk menerima Tessa, dia wanita yang baik,” imbuhnya.

...……….....

Saat ini Tessa sedang mengeluarkan kosmetik miliknya dari dalam koper untuk ia tata di atas meja rias. Dalam hati Tessa bersyukur, sebab Ibunda Owen masih mengizinkannya untuk menempati salah satu kamar tamu di rumah itu.

Padahal ia sudah sempat berpikir mungkin saja dirinya akan tidur bersama gadis angkuh yang selalu menatapnya sinis. Atau yang terburuk, dirinya akan dibiarkan tidur di sofa. Jika hal itu benar terjadi, entah bagaimana nasibnya.

Gerakan tangan Tessa sangat lambat. Hal itu karena sebenarnya kini ia sedang berpikir. Apa tak masalah jika Owen terus mengaku sebagai ayah dari janin yang berada di dalam rahimku? Tanyanya dalam hati.

Disibukkan dengan banyak pertanyaan dalam benaknya, Tessa tak menyadari jika sosok Owen kini berdiri di belakangnya. Owen hanya bisa menggeleng saat melihat Tessa yang melamun di depan meja riasnya.

“Ekhem,” Owen berdeham dan berhasil mengejutkan Tessa.

Tessa terperanjat saat melihat sosok Owen pada pantulan cermin di hadapannya. “Astaga! Lu ngagetin gue,” gerutunya seraya mengusap dadanya.

“Apa lu nggak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk ke kamar seorang wanita?” gerutu Tessa tanpa berbalik, ia hanya menatap Owen melalui pantulan cermin.

“Gue sudah mengetuk berkali-kali, tapi karena tak ada jawaban gue langsung masuk saja,” jelas Owen. “Bahkan saat gue berdiri di sini, lu belum nyadar juga.”

Tessa tak menjawab, ia hanya mendengus. “Lu mau apa?”

“Gue ingin memberitahumu satu hal yang cukup penting,” jawab Owen. Raut wajahnya berubah serius.

“Besok gue sudah mulai bekerja di Rumah Sakit Cipta Medika. Lokasinya di pusat Kota X. Mungkin sekitar 1 jam perjalanan dengan mobil,” ujar Owen.

“Karena status kita yang belum resmi menikah, gue memutuskan untuk tinggal di mess yang disiapkan oleh pihak rumah sakit,” lanjutnya.

“Apa? Lu akan ninggalin gue di sini, sendiri?” tanya Tessa memastikan.

“Tidak, Owen. Tidak sepeti itu perjanjiannya.” Tessa sudah pasti akan keberatan dengan keputusan Owen. Jika pria itu pada akhirnya akan meninggalkannya sendiri, mengapa dia membawanya sejauh ini.

“Gue berjanji untuk bertanggung jawab atas diri lu, juga kandungan lu. Lu pikir jika gue nggak bekerja, lalu bagimana gue bisa bertanggung jawab atas kalian.” Owen berusaha untuk tetap bersabar menghadapi ibu hamil yang emosinya sedang tak stabil.

“Dan untuk menghindari omongan warga desa, memang sebaiknya kita tak tinggal serumah.”

“Gue nggak peduli dengan omongan orang. Jika pertimbanganmu sangat banyak, mengapa lu susah-susah ingin bertanggung jawab, huh?!” Tessa mulai terpancing emosi.

Sebenarnya dirinya belum siap untuk tinggal serumah dengan Ibu dan Adik Owen. Siapa pun bisa melihat bagaimana kilatan kebencian itu terpancar dari sorot mata keduanya saat menatap Tessa.

“Gue nggak pernah meminta lu untuk nikahin gue. Kupikir Ibu dan Adikmu juga begitu, mereka tak pernah setuju dengan ide pernikahan konyol ini,” lanjut Tessa.

“Pernikahan konyol katamu?” Suara Owen sedikit meninggi.

“Lalu jika bukan di sini, lu mau ke mana? Apa lu lupa, kedua orang tuamu bahkan memintamu menjauh?” Pertanyaan Owen membuat Tessa menunduk.

“Atau lu berniat kabur lagi? Menggugurkan kandunganmu, menghilangkan nyawa bayi tak berdosa? Kenapa tak sekalian saja lu juga bunuh diri!” Owen yang sudah terlanjur kesal tak lagi menyaring ucapannya.

Tessa kembali terisak. Melihat itu, Owen sadar jika dirinya sudah terlalu keras pada ibu hamil yang biasanya memang lebih sensitif.

Owen mengusap wajahnya kasar. Lalu perlahan ia memeluk Tessa yang masih dalam posisi duduk di depan meja rias. Ia belai lembut puncak kepala wanita itu.

“Bertahanlah Tessa, kumohon,” pinta Owen. “Hanya sekitar 7 bulan lagi. Gue berjanji padamu, kedepannya semua akan jauh lebih baik.”

Tessa tak menjawab. Ia hanya mengangguk dan semakin terisak. Tanpa keduanya sadari, Ibu Damira mendengar semua perdebatan antara Tessa dan putranya dari celah pintu yang tak tertutup rapat.

Wanita paruh baya itu semakin membenci Tessa. Ia kembali salah paham setelah menguping pembicaraan keduanya. Di pikirannya, jika putranya terus bertahan bersama Tessa, bisa-bisa karir Owen akan hancur.

Jika tak bisa mengusirnya, maka akan kubuat dia yang memohon untuk pergi, batin Ibu Damira.

...……….....

Keesokan harinya, Owen benar-benar pergi kepusat Kota X untuk bekerja. Dalam seminggu Owen hanya pulang pada akhir pekan saja. Namun, pria itu tak pernah memutus komunikasi dengan Tessa. Dalam sehari Owen tak pernah absen menghubungi Tessa, baik melalui panggilan suara juga panggilan video.

Meski begitu, bukannya keseharian Tessa menjadi lebih baik. Kepergian Owen menjadi mimpi buruk baginya. Hal itu karena Ibu Damira dan Qanita memanfaatkan kesempatan itu untuk berlaku buruk padanya.

Seperti suatu pagi, setelah sebulan bertahan dengan perilaku tak menyenangkan calon mertua dan adik iparnya, pagi itu Tessa terlambat bangun karena tiba-tiba saja ia merasa mual dan kepalanya pusing. Setelah mual dan pusingnya mereda, barulah Tessa beranjak menuju ke ruang makan untuk sarapan. Sayangnya, tak ada satu pun makanan yang bisa ia makan untuk sarapan.

“Permisi, Bu ... apakah sudah tak ada lagi makanan untuk sarapan?” tanya Tessa pada Ibu Damira yang sedang sibuk bermain ponsel bersama Qanita.

“Makanan?! Kau kira di sini hotel! Bangun tidur seenaknya,” jawab Bu Damira dengan ketus.

“Kau sudah dewasa. Buat anak saja kau mampu, kalau kau mau makan ... ya, kau masaklah!” Bentaknya.

Tessa menarik napas panjang guna memenangkan dirinya. Jika ia masih dirinya yang dulu, tentu dia tak akan tinggal diam. Sayangnya tak ada lagi Tessa yang dulu. Ia sudah berjanji pada dirinya untuk berubah, ada kehidupan lain di dalam rahimnya yang menuntut untuk ia jaga.

“Baiklah, Bu. Jika begitu, apa ada bahan makanan yang bisa kumasak?” tanya Tessa lagi. Meski tak seramah sebelumnya, namun Tessa masih berusaha tetap sopan.

“Kau cari saja sana! Tapi awas saja jika kau mengambil bahan makananku! Aku tak rela membagi makananku dengan wanita murahan sepertimu!” Ibu Damira lagi-lagi menghina Tessa.

Sejak saat itu, berbekal pengetahuan dari video yang ia tonton di internet, Tessa mulai belajar memasak. Pada awalnya ia harus berjalan mengitari desa untuk menemukan warung yang menjual bahan makanan. Saat memasak pun, Tessa yang tak pernah bekerja di dapur terus mengalami kesulitan. Mulai dari makanan yang hangus, makanan yang terlalu asin, hingga tangannya yang terluka karena teriris pisau.

Tak hanya soal makanan, Ibu Damira dan Qanita juga tak mengizinkan Tessa menggunakan mesin cuci hingga wanita yang perutnya semakin hari semakin membesar itu harus mencuci pakaiannya sendiri. Hal ini pun turut ia pelajari dari menonton video di internet.

Melihat Tessa yang mulai pandai mengerjakan pekerjaan rumah, membuat Ibu Damira dan Qanita memanfaatkan hal itu. Keduanya mulai memaksa Tessa untuk mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Jika Tessa menolak, Ibu Damira tak segan-segan berlaku kasar dan menyakitinya.

Tessa sendiri sudah pernah mengadukan hal ini pada Owen. Pria itu juga sudah menegur Ibu dan Adiknya. Namun keduanya selalu berkilah, beralasan jika semua yang mereka lakukan bertujuan untuk mengajar Tessa menjadi ibu rumah tangga yang baik nantinya.

Namun di samping itu semua, hal yang paling menyiksa Tessa adalah gunjingan dari para warga desa. Perutnya yang semakin hari semakin membuncit, kehamilannya tak bisa ia sembunyikan lagi. Tapi tak ada jalan lain, untuk makan ia masih harus berjalan keluar rumah untuk membeli bahan makanan.

Tatapan jijik dan meremehkan dari para warga, juga bisik-bisik mereka yang terdengar oleh Tessa menjadi hal yang paling menyakitinya dibanding semua penyiksaan yang ia terima. Dirinya merasa dianggap sebagai sampah masyarakat dan hal itu begitu melukai hati Tessa.

Waktu terus berlalu, mau tak mau Tessa harus hidup dengan semua penyiksaan fisik juga mentalnya. Ia merasa sebentar lagi akan gila jika terus seperti ini. Tubuhnya menjadi lebih kurus dan tak terawat. Kulit wajahnya kusam dengan kantung mata yang terlihat jelas.

Menyadari hal itu, Owen dilanda rasa bersalah. Apa aku sudah salah meninggalkannya seorang diri di sini? Tanya Owen dalam hati.

.......................

Tak terasa usia kandungan Tessa telah memasuki usia 40 Minggu. Owen sengaja mengambil cuti untuk mendampingi Tessa di masa-masa akhir kehamilannya.

Pagi itu, saat menjemur pakaiannya, tiba-tiba saja Tessa merasakan perutnya seperti melilit. Rasa sakit yang tak bisa ia tahan membuatnya berteriak menyerukan nama Owen.

“Owen ... Owen ... kemarilah cepat!”

Tak lama Owen muncul dengan berlari, “Ada apa?”

“Gu-gue rasa anak ini akan lahir!” pekik Tessa.

“Hah? Anak akan lahir? Maksudnya lu akan melahirkan?” Owen mendadak panik saat Tessa mengangguk sebagai jawabannya. Salahnya yang belum menyiapkan apa pun untuk keperluan persalinan juga untuk keperluan bayi Tessa.

Pagi itu dibantu dengan seorang bidan di desa, Tessa melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik seperti ibunya. Bayi bertubuh gempal dengan kulit putih kemerahan sungguh berhasil mencuri hati Owen pada pandangan pertama.

Tangan pria itu bergetar saat pertama kali menggendong bayi Tessa. Tangis harunya berlinang tanpa permisi saat ia melantunkan adzan di telinga bayi itu. Bayi yang ia beri nama Ayasya Putri Swan.

Tak hanya Owen, Ibu Damira juga Qanita pun sama. Keduanya memuji kecantikan baby Ayasya yang ia kira adalah putri kandung Owen. Rasanya mereka juga sudah jatuh cinta dan sayang pada bayi itu.

Orang tua Tessa yang juga turut hadir dan membawa banyak sekali barang yang dibutuhkan Ayasya. Owen sampai tak tahu harus meletakkan di mana semua perabotan untuk putrinya.

Ya, Ayasya adalah putriku. Aku harus segera menunaikan janjiku, batin Owen.

Maka tepat sebulan setelah kelahiran Ayasya, Owen melamar Tessa untuk kedua kalinya. Malam itu, saat Tessa sedang menyusui Ayasya ... Owen datang dan duduk di sisinya.

“Tes, izinkan gue memenuhi janjiku sekarang. Izinkan gue untuk menikahimu. Meski belum ada cinta di hati kita, tapi mari lakukan semua ini demi Ayasya. Cukup kita yang menerima gunjingan orang-orang, jangan biarkan Ayasya merasakannya. Dia harus memiliki keluarga yang utuh yang menyayanginya,” tutur Owen.

Tessa bungkam cukup lama sebelum akhirnya ia mengangguk setuju. Meski hatinya kembali perih karena mengetahui jika belum ada cinta di hati Owen untuknya, namun ia tak peduli. Yang ia pedulikan kini hanya Ayasya.

Rupanya begini rasanya menjadi orang tua. Aku bahkan akan rela mengorbankan nyawaku demi kamu putri cantikku, Ayasya. Batin Tessa.

...-----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!