NovelToon NovelToon

Mak Comblang Dube (Duda Beken)

Bab 1# Kandidat Ibu Tiri

Bunga itu mahasiswi cantik, kerudungan, rajin sholat dan mengaji plus sayang Emak. Tapi sering mengeluh jodoh. Pacaran satu tahun sama perjaka, uang jajannya sering diporotin. Ngenesnya, putus pula di tengah jalan seperti layangan dua ribuan. Hingga sang Emak sering mengomel. Seperti saat ini, "Kamu mending nyari duda deh, Unga. Yang tajir melintir seperti duda di samping rumah sana."

"Kayak Unga kagak laku aja deh, Mak. Nanti Unga mau sama duda kalau perjaka di dunia ini sudah jadi monyet semua." Bunga, gadis yang mengenakan pashmina hitam itu, menjawab seraya menuangkan air panas ke dalam termos. Sudah rutinitas, Bunga si anak yatim dari kelas enam SD itu membantu sang Emak mempersiapkan jualan jamu mereka sebelum berangkat kuliah.

"Perjaka aja masih banyak yang kece badai, ngapain nyari jodoh duda coba?" Emaknya memang aneh. Uh... Sabar.

"Perjaka emang banyak beut. Tetapi kelakuannya kayak setan yang sering ngeghosting." Si Emak gaul juga cara ngomongnya. Ya, jangan heran. Dulu, si Emak adalah wanita kece membahana katanya. "Dan kamu memang laku, tapi bodoh. Hasil jual jamu Emak, kamu belikan panci buat tuh pacar kere mu," cibir Dahlia - Emaknya seraya sibuk menyaring sari sari rebusan jahe bercampur gula merah.

Mantan, Mak. Elah.

"Dari pada minta mecigom, Emak, hayoo!"

Bunga langsung kabur dari dapur setelah berceletuk ke Emaknya. Takut parutan kunyit nemplok di wajah imut imut cantiknya. Lagian, kejadian satu tahun, si Emak masih ingat saja. Pancinya mungkin sudah bolong kali di pakai sama tuh mantan kere.

"Nanti ke kios jamu selesai nguli ya, Unga!" teriak sang Emak memberitahukan. Takut anaknya itu pikun.

Dari ruang tengah, Bunga manyun-manyun. Lalu menyahut dengan balas berteriak , "Kuliah sama nguli itu jauh beda, Mak!"

"Bodo amat. Suka suka Emak. Toh, mulut mulut Emak." Dahlia, si Emak gemoy yang ceritanya dulu pernah kurus seksi seperti personil ciwi ciwi dari korea itu, hanya menyahut lirih. Takutnya, dagangan jamunya kurang laris kalau pagi pagi sudah adu bacot sama anak semata wayangnya. Pamali kata orang zaman beheula.

"Emak, Unga berangkat ya." Selesai memakai sepatu kets warna putih bercorak hitam, Bunga berteriak. Bukan tidak sopan, mau ngajak salaman juga, tangan si Emak nya lagi kuning kuning kena kunyit alami yang masih segar. Kalau kecipratan ke kemeja putihnya, alamak nanti dibilang cebok kagak bersih sama teman temannya.

"Iya. Jangan lupa, tebar pesona sama Dube di depan sana ya? Emak uda kebelet pingin punya mantu cakep seperti tuh Dube."

Issh ... Bunga mendesis seperti ular kejepit ekornya. Malas meladeni si Emak lagi, gadis itu segera melangkah pergi. Semoga, ia tidak bertemu dengan Dube (Duda beken) yang dimaksud si Emak. Ribet nanti, ah maksudnya ribet ketemu anaknya yang bernama Arpina bla bla. Bunga juga kurang hafal nama lengkapnya yang panjang sekali. Intinya, si anak Dube itu sangat menyebalkan. Padahal, si bocah berumur delapan tahun itu baru tinggal satu mingguan di area komplek sederhana itu. Tetapi si anak sudah curi star comblangin dirinya bersama Dube yang bernama Pak Dibi - polisi yang mempunyai perut roti sobek yang hot banget. Tampan sih, tetapi bagi Bunga harus punya calon suami yang perjaka. Bukan duda anak satu pula. Mana nakal lagi anaknya. Bukan apa apa, takutnya nanti dia akan jadi Ibu tiri yang kejam gara gara toko sabar tidak ada diperjual belikan.

"Tante Bunga!"

Alamak. Si anak yang Bunga hindari muncul di depannya. Perasaan, komplek itu panjang deh. Kenapa harus bertemu nih bocah. Ah, Bunga baru sadar dari pikunnya kalau mereka itu tetanggaan lima langkah kalau kata lirik dangdut 'pacar lima langkah'.

"Mau kuliah ya?" Arpina, si bocah iseng itu bertanya di balik pagar besi yang tingginya cuma se-dada Bunga.

"Kamu nanyeek?" Jangan bayangkan kalau Bunga itu mirip si Capmek. Bunga cewek jadi nggak mirip.

Sayangnya, meski di ketusin. Anak Dibi sang polisi itu tidak pernah sakit hati. Justru semakin suka kalau melihat tante cantik itu bersungut-sungut kesal.

"Papa ku polisi loh."

"Sudah tau. Malah pernah ditilang dan surat pentingku masih ditahan." Itulah sebabnya, Bunga kurang senang sama tuh polisi. Meski sudah bertetangga dengan tuh pria pendiam yang aslinya hanya pendatang karena tugas Negara-nya dekat dengan komplek itu, ia masih saja di tilang. Tidak ada akhlak memang jadi tetangga.

" Oh, kirain lupa. Kalau begitu, mau dipenjara atau ditembak nggak? Ditembak dan dipenjara cinta maksudnya!"

"Arpina badung! Sini lu, gue godok kepala lu!" Untung ada pagar yang halangin Bunga. Kalau tidak ada, tetap ia tidak akan gorok kepala itu bocah. Lah, bisa dipenjara sama Bapaknya langsung.

"Papa...! Tante Bunga mau dilamar, katanya!"

Tuh 'kan, memang kurang ajar anaknya duda itu. Baru mau copot sepatu yang berniat melempar kepala Arpina tapi bocah itu ngacir cepat ke arah teras rumahnya. Untung si Dube tidak mendengarnya. Aman lah.

"Bleeekk...!"

"Dih, melet melet lagi. Eh, Pianooo dosa lu ngejek orang tua. Lidah lu nanti dipotong sama Tuhan, mau?" Tadinya, Bunga ogah ngeladeni. Tapi tuh bocah nantangin terus. Kebetulan Papanya yang di teriaki tidak keluar. Kesempatan bisa khultum pagi pagi.

"Arpina, Tan. Bukan Pianooo!"

Sabodo teuing.

"Kalau Tante mau Arpina nurut manis, cukup Tante mau sama Papa Arpina. Kasihan tau, Tan. Papa Arpina uda duda lama. Mau ya?"

Bocah ya. Baru delapan tahun tapi laganya mirip Emak-Emak yang lagi cari mantu.

"Arpina...!" Suara Dube terdengar berteriak di dalam rumah. Bunga tidak jadi melontarkan kata kata pedasnya. Mending kabur saja.

"Iya, Pa. Sini deh, dipanggil Tante Bunga. Ada perlu katanya."

Eh, sableng tuh bocah.

Bodohnya, Bunga yang sudah membalik tubuhnya, kembali lagi ke posisi semula. Dan terlihat lah si Dube berdiri di dekat Arpina dengan pose berkacak pinggang macho. Gleekk... Cakep amat ya. Itu otot kok seksi ngejimbul dari balik kaos seketek nan ketat hitamnya. Keringatnya yang mungkin habis olahraga kian menambah keeksotisan si Dube.

"Ada apa?"

Buyar sudah lamunan indah indah Bunga mendengar suara dingin tuh Pria. Cakep sih, tetapi si polisi itu tingkahnya dingin. Ihh, Bunga mah ogah punya calon suami yang sikapnya dingin.

"Hah...?"

"Katanya mau bertemu saya?"

Bunga menggeleng geleng. "Arpina cuma iseng, Pak Dub ... Pak Dibi." Hampir saja keceplosan ganti nama pria itu. Emak sih, lata manggil tuh Pria, Dube.

"Arpina, eh..." Dibi keheranan. Anaknya sudah ngilang. Tanpa permisi ke Bunga, pria yang sudah menduda sekitar tujuh tahun itu, masuk begitu saja. Dan tutup pintu langsung.

"Huu... Nggak anak, nggak Bapak, kelakuannya bikin sakit kepala." Bunga lanjut berjalan.

Kenapa sih, Arpina tiba tiba datang ke kampungnya? Dan kenapa pula waktu pertemuan pertama ia harus menolong Arpina yang sedang dikejar kejar orang gila. Dan saat itulah Arpina terus nyari gara gara padanya. Andai ia bertingkah tega dan ceuk ke bocah itu saat si orgil narik narik Arpina, maka bocah itu tidak akan menganggapnya orang baik dan otomatis si bocil rese itu tidak akan main mak comblang-comblangan. Bukan apa apa, di sini ia yang malu karena pak polisi itu pasti menganggapnya genit atau hal negatif lainnya. Wong si Dube aja nggak ada respon baik dicomblangin. Dasar si Arpina aja yang sok kerajinan.

"Tante namanya siapa? Mau ya jadi calon kandidat Mama tiri Arpina?" Begitulah tembakan Arpina saat pertama kali berinteraksi setelah menolong bocah itu dari orgil. Bukannya berterima kasih atau hal hal manis lainnya, ini malah di daftarkan jadi kandidat list mama tiri katanya.

"Neng Unga, mau berangkat ya? Ayo, biar abang anter ke kampus."

Adu biyung, tadi anak duda nya yang meresahkan. Sekarang, duda anak dua yang langsung turun tangan menggodanya. Perjaka mana?

"Hehehe, iya Mas, Unga mau kuliah. Terimakasih tawarannya, tapi 'pacarku' uda jemput di depan. Mari!" Pacar? Alasan aja. Jomblo kok ngaku ngaku.

Bab 2# Awal Pemberian Misi

Beberapa hari yang lalu...

Masih lengkap dengan seragam sekolahnya, Arpina yang baru pulang langsung menghampiri Mamanya yang sedang sibuk bercanda gurau sama dua neneknya berikut Sky- adik beda bapak.

"Loh, muka kok cemberut begitu?" Pelangi - Mamanya menerima salam hangat dari Arpina. Semuanya pun di beri ciuman hangat kecuali adiknya yang ogah ogahan padahal nafasnya harum permen karet. Bukan bau jigong. Songong memang adiknya itu, tetapi ia sayang kok.

" Ma, Papa nggak bisa pulang katanya di hari ulang tahun ku!"

Oh, itu sebabnya?

"Papa yang mana, Arpina?" tanya Oma Bintang. Menggoda orang yang sudah cemberut. Yaak, tidak salah juga sih bertanya demikian. Arpina kan punya dua Papa. Satu Papa Dibi dan satunya Papa Guntur - Papa tirinya yang sekarang lagi perjalanan bisnis ke arab, sekalian pulang kampung katanya.

"Papa Dibi atau Papa Guntur?" Oma Mentari menimpali sampai memperjelas nama.

"Papa Guntur pasti pulang, Sayang," imbuh mamanya. Memang tidak diragukan, Papa Tirinya juga sangat menyayanginya. Pokoknya, tidak ada dusta lagi sama kekompakan mereka berdua. Namun di sisi lain, Arpina juga rindu berat sama Papa kandungnya.

"Papa Dibi juga pasti pulang, Sayang." Kembali Mamanya menghibur. Katanya dan memang bukti nyata, meski ada perceraian di antara kedua orang tua kandungnya, mereka semua masih menjalin tali silaturahmi yang baik. Entah apa sebabnya kedua orang tuanya itu bercerai, Arpina pun tidak tau dan tidak mau tau urusan yang sudah dikubur lama. Intinya kalau maksa mau tau, baca saja kisah Mama Papanya di novel, "REGRET! (Saat Istriku Pergi) Sediakan ujung daster kalau mau baca karena ceritanya mengandung bawang (Duh, jadi promo)

"Papa Dibi yang nggak datang. Katanya, Papa sibuk. Paling hadiah saja yang akan dikirim."

"Nih, Kak. Tissue, lap dulu ingusnya." Sky, adiknya mengerti saja kalau ia hampir ngeluarin ingus karena nahan tangis.

Lantas, Mamanya dan kedua Omanya kompak berseru, "Kamu saja yang samperin Papa Dibi."

Wah... Ide bagus. Arpina tidak jadi menangis. Tissue yang diberikan Sky, ia lempar kembali ke adiknya dan jatuh sempurna ke gelas jus adiknya. Bodo amat sama Sky yang menggerutu, terpenting ia sudah senang.

"Terus, sekolah Arpina, bagaimana?"

Betul juga apa kata anaknya. Pelangi dan Mentari juga Bintang kompak saling lirik. Kira kira saling berpikir untuk mencari jalan tengahnya. Masalahnya, Arpina memang bersekolah yang berfasilitas Internasional yang terkenal keunggulannya. Apa iya mereka harus mengambil cuti demi menyenangkan hati Arpina?

"Arpina rela deh pindah sekolah. Cukup satu semester atau dua, boleh ya, Ma, Oma? Lagian, di mana pun sekolah itu, terpenting niat kita yang bersungguh-sungguh belajar." Arpina memasang tampang memohon. Berharap tiga orang dewasa di depannya memberinya izin. "Boleh ya, Ma. Anggaplah ini kado ulang tahunku. Sekali kali Arpina ingin punya juga happy time sama Papa Dibi." Arpina memang juara kalau soal rayu merayu. Tiga orang dewasa di depannya jadi terenyuh karena Dibi yang menyibukkan tugas Negaranya sebagai polisi, jarang pulang. Alhasil, Arpina yang kasih sayangnya penuh kata adil itu, hanya beberapa kali bertemu Papa kandungnya dalam satu tahun. Terang saja, Arpina rindu berat sama Papa Dibi. Meski ada Papa Guntur yang memberinya kasih sayang seorang Ayah, tetap saja ada yang kurang di sudut hatinya.

Bintang tau, kalau Dibi-anaknya itu masih susah move on sama Pelangi - mantan menantunya ini, jadi Dibi sengaja mengambil tugas di kota lain demi membunuh rasa penyesalan anaknya itu yang pernah melukai hati Mama Arpina.

"Gimana, Pe?" tanya Bintang ke mantan menantunya yang masih punya kekerabatan keluarga. Jadi, meski ada kata mantan, Dibi dan Pelangi masih terbilang satu kerabat dari para tetua.

"Baiklah, Mama beri izin!"

Lantas Arpina refleks memekik senang sembari membentur tubuh mungilnya memeluk sang Mama cantiknya.

"Mama memang terbaik!" puji Arpina.

"Tapi dengan satu syarat!"

Arpina dan tiga kepala lainnya kompak menatap Bintang. Sky yang tadinya sibuk main rubrik yang mirip kubus itu, ikut kepo.

"Apa tuh, Oma?"

"Oma berharap, Arpina di sana bisa membantu Papa Dibi dapat jodoh. Kan asyik tuh, kalau kamu punya mama dua dan papa dua juga."

Arpina tersenyum lebar. Setuju sekali dengan ide Omanya.

"Kudu pilih yang menurut Arpina cocok sama Papa ya! Jangan sembarangan!" Pelangi ikut mendukung. Mantan suaminya itu memang harus di tuntun terlebih dahulu agar tidak sesat menjomblo melulu. Ianya saja uda punya anak lagi dari pernikahan keduanya, masa mantannya itu masih betah menyendiri sih? Kan kasihan, nanti mengkarak.

"Hehehe, beres itu, Ma. Jadi istilahnya, Arpina akan jadi Mak comblangnya Papa nih?"

"Betul sekali...!"

Begitulah awal Arpina pindah sekolah dan tinggal bersama Dibi di luar kota.

Kalau Arpina gagal, itu tandanya mati dalam peperangan. Malu dong sama Mama dan dua Omanya yang sudah memberi kepercayaan penuh padanya kalau ia gagal memilihkan kandidat jodoh buat si Papa. Masalahnya buat Arpina, Papanya itu loh nggak mau kerja sama seperti setuju gitu di pilihkan pendamping. Huh... Jadi piye toh?

Broomm...

Lamunan Arpina buyar akan suara motor yang berhenti di depan rumah Bunga. Ah, kandidat pertamanya sudah pulang kuliah rupanya. Godaain ah... Ish, tunggu dulu, yang bonceng calon Mama tirinya siapa itu? Wah, nggak bisa dibiarkan. Papanya nggak boleh dong ditikung.

"Selamat sore, Mama!"

Eh, sapaan apa itu?

Bunga mendelik horor ke samping. Di mana Arpina terlihat kepala berikut wajah devilnya doang karena ada tembok pembatas rumah yang menghadang.

"Eh, Om. Situ apanya Mama?" Arpina mana peduli delikan horor Bunga yang tidak seram seram amat menurutnya. Kecuali bola mata Tante Bunga itu copot dan menggelinding, baru deh bisa dibilang ... oh seeeraaam.

Si Om hanya tersenyum. Dalam hati berkata, orang tuanya ngidam apa ya, kok kayak boneka hidup. Cantik. Tidak tau saja ketengilannya tuh bocah bikin Bunga sakit kepala dalam satu pekan ini. Cantik tapi mirip setan bagi Bunga.

"Om ini, pacarku lah." Bunga tersenyum setan melihat Arpina menganga lebar. Entah apa yang dipikirkan tuh bocah, Bunga tidak peduli.

"Eh, Om. Apa Om tidak tau kalau Tante Bunga itu calon Mama tiri ku. Om mau kah berurusan sama Papaku yang polisi. Mending putusin deh. Daripada motor kena tilang karena pajak mati, spion cuma satu, terus...." Arpina masih mencari cari kesalahan motor matic si Om. Nah, itu helm nya juga bukan SNI. Panggil papa nih! Arpina yakin, pasti SIM atau surat kendaraannya sudah kadaluwarsa juga."

Duh, kok anak cerewet itu benar semua ya tebakannya. Kaburlah kalau gitu. "Dek, Om bukan selingkuhan calon Mamamu, Om cuma tukang ojek. Permisi ya?" Broomm...

"Hahahaha..." Arpina tertawa tawa girang sembari mendelik ke Bunga yang menutup malu separuh wajahnya pakai ujung pashmina. Tukang ojek doang!

"Anak setan!" umpatnya dalam hati. Lalu segara melangkah meninggalkan Arpina yang masih tertawa girang.

"Tanteeee!"

"Berisik!" bentak Bunga tanpa menoleh yang sudah berada di depan terasnya. Ia malu karena tukang ojek yang dianggap pacar di depan Arpina malah mematahkan kebohongannya.

"Hahaha... Ngaku-ngaku nih yeee! Padahal tukang ojek. Hahahaha... Nggak ada vibes-nya sama sekali, Tan. Ada Papa loh yang masih nganggur. Sebelum laku, lebih baik Tante Bunga tekan kontrak sini."

"Serah lu deh bocah, seraaah!" Bunga membanting pintu. Membiarkan Arpina berceloteh seperti burung beo.

Bab 3# Salah Paham

Tok ... Tok ... Tok ...

Siapa sih yang ganggu acara makan Bunga. Tidak tau apa, kalau nasi di depannya belum sama sekali tersuap ke dalam perut. Lapar! Demi kata ngirit, uang jajannya di kampus ia sisihkan buat jaga jaga keperluan mendadak. Kasihan Emak juga kalau dirinya boros. Bunga yang sholehah tapi bar bar ini harus tau diri sama ekonomi keluarganya yang serba ngepas. Ibarat baju mah, kesempitan. Gerak sana gerak sini, tercekik. Jadi, Bunga harus hidup lurus seperti paralon yang mengesampingkan dunia mudanya. Tidak seperti teman temannya, habis ngampus sedikit dikit ngecafe taria. Ngopi - ngopi cantik sambil bahas percintaan atau hal lainnya.

Lagian, Bunga juga sudah tidak mau di cap bodoh sama Emaknya, gara gara ketahuan beliin panci buat mantan pacarnya dulu, dikira ia mau saja diporotin uangnya. Yaelak, Emak kate kolor kali diporotin. Padahal itu sebenarnya sekali kalinya doang. Meski dulu, Ricky memang kere di mata Emak, karena tiap minggu dirinya selalu di rumah. Tidak pernah malam mingguan katanya.

Tok tok tok...

"Iya, iya. Ini juga mau buka pintu. Sabar napaaa!" Bunga sedikit lama karena jilbab yang ia pakai tadi sudah dilepas. Jadi harus memakainya. Ribet, silang sana silang sini kain panjang hitam itu dengan asal asalan yang penting terlilit di leher dan menutupi bagian kepalanya. Meski bar-bar, gadis itu paham sekali arti dari menutup mahkota kepalanya.

Ceklek...

Nyesal dah buka pintu. Taunya si bocah tengil, siapa lagi kalau bukan Arpina yang memasang muka nelangsa. Kenapa ya ni bocah?

"Tan, laper!"

Oh...

Eh, dikata dirinya Emaknya nih bocah?Ngerengek lapar kok ke dirinya. "Makan sono. Masa kemari?"

"Nggak ada makanan." Percayalah, Arpina cuma ngibul. Mana mungkin Dibi meninggalkan anaknya tanpa ada makanan. Meski pembantu rumahnya di kata sedang izin, Dibi tetap menomer satukan keperluan Arpina.

"Bibi Muna lagi sakit bisul di bagian bokongnya. Jadi izin nggak masuk. Papa belum pulang. Arpina kesepian juga." Arpina menimpali cepat demi bisa menguji pilihan kandidat calon Mama Tirinya.

"Duh, bocah. Kasihan amat ya idup mu. Sini masuk deh. Kebetulan aku memang juga mau makan."

Toplah pilihannya. Meski sering ditolak dan ucapan si Tante terkadang kadang nyelikit, tapi Arpina tau kalau Tante Bunga ini punya hati baik. Wajarlah si Tante nolak Papanya, Arpina paham kalau si Tante ingin kejar cita cita dulu. Itu cerita Emak Dahlia padanya.

"Terimakasih ya, Tan. Arpina jadi 'enak hati' nih gangguinnya."

Cepat cepat Bunga mendelik ke muka jelita menggemaskan tapi songong sekaligus, mendengar celetukan Arpina yang 'enak hati' alih alih berkata 'tidak enak hati.' Kampret lah. Mana uda duluan lagi tuh bocah ngacir ke meja makan. Terpaksalah mengalah.

"Ini nasi nya. Makanlah." Piring berisi nasi telor ceplok dikecapin, disodorkan ke hadapan duduk Arpina.

"Punya Tante mana? Katanya mau makan juga."

"Nasi cuma ada satu piring. Emak juga belum nyolok mecigom. Nggak apa, Tante masih sedikit kenyang. Makanlah daripada kamu pingsan karena belum makan." Kalau Dibi sudah pulang ngantor, Bunga berencana untuk menegur pak polisi itu, agar Arpina tidak dilantarkan. Kasihan, nakal nakal juga manusia yang perlu diperhatikan.

Sikap alami keibuan dan apa adanya yang dirasakan hati suci Arpina dari Bunga sekarang inilah, yang membuat bocah itu tertarik mencomblangkan pakai ngebet Papanya dan Bunga. Meski nyamplak dan sedikit sableng, Arpina tetap suka kandidat satu ini. Justru penolakan Bunga malah menjadi tantangan tersendiri untuk Arpina. Kan pesan Mamanya, jangan nyari calon ibu tiri gampangan. Nah, si Bunga inilah yang sekarang bukan gadis 'mauan' di mata Arpina.

By the way, Arpina jadi merasa berdosa nih kalau ia tega memakan jatah makan sore Bunga. Masih kecil juga, Arpina punya otak cerdas kalau si Tante pasti belum makan.

"Eh, Tan. Dengar nggak ada suara teriak 'paket' di rumah Papa? Tunggu ya, Arpina cek dulu. Tunggu, oke! Jangan dimakan nasi telor yang uda jadi milik Arpina."

Bocah itu ngacir. Percayalah, kalau Arpina bohong lagi tentang teriakan 'paket' mirip khas panggilan kurir di depan pintu, bocah itu cuma mau akting yang niatnya mau mengambil kotak makan yang di kirimkan Papanya lewat gofoo* yang sudah datang satu jam lalu.

Kruyuukk...

Perut Bunga berbunyi. Kalau sedang lapar, nasi telor kecap pun terasa menggiurkan di mata. Ingin rasanya Bunga makan nasi yang awalnya miliknya. Ah, Arpina sih, pakai datang memelas 'laper' hatinya yang sebenarnya lembut lembut sutra itu kan jadi tidak tega.

"Boleh nyicip nggak sih?" Toel... Biar kata kena kecapnya juga, sudah seperti angin segar buat Bunga. Cepat cepat dia menjilat ujung telunjuknya manakala derap langkah lari Arpina terdengar kian mendekat.

"Hai, Tan." Arpina langsung duduk di meja makan yang kapasitas kursinya ada empat. Kotak yang ada di tangan ia sodorkan ke Bunga.

"Ini, apa?"

"Buka saja!" Tidak mau menunggu lama, Arpina segera menyendok satu suap nasi telor kecap itu. "Astaga, Tan. Itu bukan bom, tapi makanan. Kita tukeran!"

"Yaak, mana tau kotak ini isinya aneh aneh yang berniat ngeprank aku. Kamu kan orangnya songong," cibir Bunga penuh kata curiga. Lah, ia tidak salah sepenuhnya kok. Arpina kan memang badung. Eh, ralat dikit. Arpina badung tapi baik karena sudah memberinya kotak berisi sushi bermacam macam isi. Kapan lagi coba makan enak ala ala Jepang. Santap ah. Tanpa ada jaim jaim di depan Arpina, Bunga sudah melahap satu potongan sushi yang pas di mulutnya.

Arpina yang melihat itu, jadi tersenyum simpul di sela sela kunyahannya.

"Oh ya, Tan. Boleh tidak, aku ikut ke kios jamu Emak?" Arpina sudah hafal betul jadwal Bunga. Selepas pulang kuliah, istirahat sebentar, maka si Tante pasti sibuk bantuin Emak dagang jamu yang kios kaki lima itu terletak di depan jalan raya. Banyak pedagang kaki lima lainnya yang berjejeran kalau malam.

"Nggak boleh!"

"Ish, pelit. Boleh ya. Lagian, apa Tante nggak kasihan? Kan hari ini papa pulang malam. Ada kasus pembunuhan yang sedang diusut. Jadi, Arpina pasti sendiri. Bibi Muna juga nggak ada. Boleh ya, Tan? Please!"

Bunga berpikir keras. Sedetik sampai sepuluh menit sembari makan, baru ia menjawab. "Tetap nggak boleh!"

Arpina mencibik cemberut. Lama lama berpikir, si Tante tetap saja kekeuh. Huu...! Bukan Arpina namanya kalau malam ini ia tidak datang ke kios.

"Jangan mendelik begitu. Sono pulang ke rumah sendiri. Kan uda selesai makannya, " usir Bunga tanpa dosa. "Lagian aku sibuk, mau kerjain tugas dulu baru ke kios." Bunga memang tidak berbohong. Tugasnya numpuk, tapi modem laptopnya menipis. Andai wifi tetangga bisa dibobol passwordnya, adem deh.

"A __" Arpina terjeda. Ada suara bariton Papanya yang memanggil dari pekarangan rumah.

"Arpina...!"

"Hayoo... Ketahuan ngibul lu bocah. Katanya papa mu pulang malam. Itu suara siapa?" Bunga melotot ke gadis kecil yang tersenyum senyum gaje di depannya.

"Iya, Paaaa ...! Pina di sini. Masuk aja kata Tante Bunga...hmpptt!"

Sekate kate mulut nih bocah.

Sayangnya, Bunga telat membekap mulut jahil Arpina. Dibi yang memang lagi nyari nyari cemas Arpina yang tidak ada di rumah, langsung memastikan keberadaan anak tersayangnya.

"Eh, itu kamu apakan anak saya? Lepasin tanganmu! Kalau sesak kehabisan nafas bagaimana? Mau saya penjarakan, hah?" Dibi salah paham. Ia kira, Bunga menyakiti Arpina dengan cara membekap hidung beserta mulut anak tengil itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!