"Namanya adalah Alika Rahman, Pak. Dia adalah salah satu pramugari kita dan satu-satunya yang selamat dalam kecelakaan tersebut. Tapi ... kecelakaan itu membuat penglihatannya terganggu, sekarang Alika mengalami kebutaan." Terang Romi, dia adalah seorang asisten pribadi dari CEO Aditama Air, Ryan Aditama.
Aditama Air adalah perusahaan yang bergerak di bidang penerbangan, sewa pesawat Jet pribadi terbesar di negara ini.
Namun naas di penerbangan kali ini menuju Dream Island untuk menjemput tamu VIP armada Aditama Air mengalami kecelakaan.
Pesawat Jet August Spring D37 yang dinaiki oleh seluruh Tim 1 hilang kendali dan jatuh ke hutan. Semua orang dalam pesawat Jet itu dinyatakan tewas dan hanya Alika yang selamat.
Kecelakaan itu tentu menimbulkan luka yang begitu mendalam bagi semua orang, menambah kasus pahit di dunia penerbangan.
Perusahaan Ryan bahkan dibekukan sementara untuk kembali dilakukan uji kelayakan.
Namun Ryan tak mempermasalahkan hal itu, kini hatinya pun tengah teriris mengingat kecelakaan tersebut.
Para pekerjanya tewas dan hal itu teramat menyakitkan bagi Ryan. Dia sadar, berapapun jumlah tunjangan yang diberikan sebagai ganti rugi tidak akan mampu menghapus. semua kesedihan ini.
Ryan benar-benar merasa sangat bersalah.
Terlebih saat kecelakaan itu terjadi, Ryan sedang tidak berada di kota ini, dia masih memiliki urusan di luar negeri. Dan kini 3 hari telah berlalu sejak kecelakaan itu terjadi, Ryan baru bisa kembali.
Dan di sinilah kini Ryan berada, setelah mendengarkan semua penjelasan Romi secara langsung, dia segera mendatangi Alika.
Di sebuah kamar rawat rumah sakit Medistra.
Menyaksikan seorang gadis yang meronta ingin menyakiti dirinya sendiri.
"Bunuh saja aku! BUNUH!!" pekik Alika. Dia tidak ingin hidup seperti ini, lebih baik dia mati saja. Sejak dulu Tuhan seperti tidak pernah adil pada hidupnya.
Alika dibuang dan hidup di panti asuhan, dia mencari hidupnya sendiri dengan banting tulang. Lalu kini setelah dia bisa menikmati hasil kerja kerasnya, lagi-lagi Tuhan membuat hidupnya sengsara.
Penglihatannya diambil dengan paksa.
"Argh!!" pekik Alika, tidak ada sedikitpun titik cahaya yang mampu dia lihat.
Semuanya hitam, sampai Alika merasa kesulitan untuk bernafas. Daddanya begitu sesak.
Alika memukul kedua matanya dengan frustrasi, dua orang perawat bergerak untuk mencegah.
"Jangan Nona! jangan lakukan itu!"
"MENYINGKIR!!" pekik Alika, dia bergerak asal, mengayunkan kedua tangannya dengan kuat ke sembarang arah. Alika tidak ingin disentuh oleh siapapun.
Namun keterbatasan dalam penglihatan itu membuat Alika tak tahu arah, saat mundur kakinya menabrak kursi dan berakhir dia yang jatuh.
Brug!
Kepalanya membentur pinggiran meja hingga terluka. Namun Alika tidak mengeluh kesakitan.
Dua perawat itu kembali bergerak ingin menolong, namun Alika makin beringas menolak.
"Pergi!!"
"PERGI!!"
Tangis Alika pecah. Dia terduduk di lantai.
Sementara Ryan hanya mampu melihat itu semua dengan tatapan nanar.
"Pergi! PERGII!!" pekik Alika lagi, suaranya bahkan sampai terdengar serak. Hidupnya sudah sebatang kara sejak lama, dan sekarang entah bagaimana nasibnya?
Bukankah mati lebih baik?
Sampai akhirnya ada seorang dokter wanita datang dan segera mencekal Alika dengan kuat, sekali gerakan dia menyuntikkan obat penenang.
Alika menangis dengan pilu, tangisnya bahkan sampai mampu membuat 2 perawat di sana ikut menangis.
Betapa malangnya wanita cantik tersebut.
Ryan masih berdiri di sana tanpa suara, dia seperti patung yang hanya diam. Hanya terus mengawasi dengan hati yang terasa ngilu.
Setelah cukup tenang, Alika kembali dibaringkan di atas ranjangnya.
Kedua manik mata gadis itu terbuka, namun tatapannya nampak jelas kosong.
Bagaimana tidak kosong, gadis itu sudah tidak mampu melihat apapun. Bahkan cahaya matahari sore yang masuk ke dalam ruangan itu dan menerpa wajahnya tak mampu membuatnya terpengaruh.
Alika hanya mampu merasakan wajahnya yang hangat.
"Harusnya kamu bunuh saja aku Ya Allah," lirih Alika, mengadu pada sang pencipta yang membuatnya hidup seperti ini.
Ryan lantas mundur perlahan, membuka pintu ruangan itu seolah dia baru masuk ke dalam sini.
Alika mendengar jelas pintu yang terbuka, namun dia memilih acuh.
Mendengar pula saat ada langkah kaki yang berjalan mendekat.
"Selamat sore Mbak, perkenalkan nama saya adalah Erlan, saya diperintahkan oleh Pak Ryan untuk jadi pelayan Anda," ucap Ryan, di hadapan Alika dia bukan lagi seorang CEO. Sudah diputuskan oleh Ryan untuk jadi orang lain, nama Erlan adalah yang terpikir di benaknya.
Sementara Alika yang mendengar kalimat itu hanya diam, tak ada minat untuk menanggapi. Hanya cukup mengerti tentang nama Ryan yang disebutkan oleh orang tersebut, Ryan Aditama CEO ditempatnya bekerja.
Alika hanya diam, bahkan kepalanya tak bergerak sedikitpun.
Dan Ryan hanya mampu menatap nanar, sudah bulat tekadnya bahwa di hadapan Alika dia akan jadi seorang pelayan.
Ryan akan buat Alika bisa bertahan dalam keadaan sulit ini.
Ryan akan buat Alika mau melanjutkan hidupnya.
Ryan akan membuat Alika tidak merasa sendirian.
Ryan bahkan akan berusaha untuk menyembuhkan dua mata itu.
Saat Alika tertidur karena pengaruh obat penenang, Ryan pun keluar dari dalam ruangan tersebut.
Romi sudah menunggunya di sana, menyampaikan informasi yang belum sempat dia utarakan pada sang Tuan.
"Alika hidup sebatang kara Pak, dia tinggal di sebuah rumah kontrakan," jelas Romi.
"Sekarang dia akan tinggal di rumahku, aku akan bilang itu tunjangan yang dia dapat."
"Baik Pak."
"Kamu tunggu di sini, pastikan bahwa Alika tidak membahayakan dirinya sendiri. Aku akan menemui Aresha," titah Ryan pula, Aresha adalah dokter yang menangani Alika di rumah sakit ini.
"Baik Pak," jawab Romi patuh.
Sore menjelang malam saat itu Ryan mendengar semua tentang kondisi yang terjadi pada Alika.
Yang paling memprihatinkan pada gadis itu bukanlah kedua matanya yang buta, namun depresi dan trauma yang dialami oleh Alika. Dua hal tersebut lah yang memungkinkan Alika mengakhiri hidupnya sendiri.
"Harus ada banyak orang yang mengawasi dia, atau bahkan menemani selama 24 jam. Sampai Alika bisa menerima hidupnya yang seperti ini," terang Aresha, dia juga Iba. Tapi keadaan rumah sakit justru memperparah kondisi batin gadis tersebut.
Pulang dan perawatan di rumah adalah keputusan yang tepat.
"Baiklah, jadi besok pagi aku sudah bisa membawa dia pulang?" tanya Ryan pula dan Aresha pun menganggukkan kepalanya.
"Kamu yakin akan merawat dia Ryan?"
"Tentu saja, aku tidak ingin ada karyawan ku lagi yang meninggal."
"Aku turut berduka atas kecelakaan itu," balas Aresha. Hubungan diantara mereka berdua memang cukup dekat, mengingat pertemanan diantara kedua orang tua mereka.
Ryan hanya mampu mengangguk. Di dalam hatinya, Ryan merasa telah jadi pembunuh dan dia tidak ingin Alika pun berakhir sama.
"Jika butuh bantuan apapun, katakan padaku," jelas Aresha dan Ryan mengangguk lagi.
Malam itu Ryan dan menyusun sebuah rencana. Awalnya mereka akan membawa Alika untuk pulang ke rumah Ryan, disana akan ada banyak pelayan yang bantu mengawasi. Namun tak akan ada satupun pelayan yang menunjukkan diri, tak ada yang boleh bersuara.
Dan semua perabot tidak penting di rumah itu pun akan disingkirkan.
Romi bekerja semalaman untuk memenuhi keinginan Tuannya itu.
Sampai akhirnya pagi datang, dan Ryan kembali menghadap Alika sebagai pelayan.
Beberapa saat lalu Aresha juga dari ruangan ini, mengatakan pada Alika bahwa dia sudah diperbolehkan pulang.
Tapi Alika hanya diam, tidak memberikan respon apapun.
Dia seperti hidup sendiri di dunianya yang gelap.
"Mbak ayo kita pulang, Pak Ryan sudah memberi anda rumah, jadi tidak perlu lagi tinggal di rumah kontrakan Anda," jelas Ryan, tidak, saat ini dia adalah Erlan.
Alika masih terdiam, dia masih duduk membatu di atas ranjangnya.
"Saya akan bantu anda untuk turun," ucap Erlan.
Dia mendekat dan coba menyentuh Alika, namun gadis itu menepisnya dengan sangat kuat.
"Jangan berani-beraninya menyentuh ku!!" pekik Alika.
"Aku tidak butuh rumah itu! aku tidak butuh pelayan seperti mu!! apa Ryan itu bodoh! memberikan aku pelayan seorang laki-laki! MENJIJIKKAN!!" Alika bahkan sampai berteriak saat mengucapkan kalimat tersebut.
Erlan berdiri di sebelah kirinya, tapi tatapan Alika lurus kedepan, lengkap dengan tatapannya yang kosong.
"Pak Ryan sengaja memberi anda pelayan seorang pria, agar bisa melindungi Anda juga, saya akan sangat menghormati Anda."
"Berhenti bicara! berhenti membual!! Akh!!" pekik Alika, dia benci semua yang terjadi di dalam hidupnya.
Dia ingin mati saja.
"Mari Mbak, saya bantu turun," ucap Erlan lagi. Kali ini dia memegang cukup kuat, memeluk erat Alika yang berontak.
"Lepas!!"
"Saya akan melepaskan Anda jika anda tenang."
Alika tidak menjawab lagi, tapi dia menangis.
Sampai membuat dadda Ryan terasa sesak, dengan sendirinya dia melepaskan cekalannya yang cukup kuat.
"Dimana tongkat ku?" tanya Alika dengan suaranya yang bergetar.
Ryan memberikan tongkat jalan untuk Alika dan gadis itu menerimanya dengan tangan yang gemetar.
Semuanya gelap, Alika tidak tahu kemana arah yang akan dia tuju. Apa harus ke kanan? apa harus ke kiri? apa maju atau mundur dan berbalik?
Dia masih menangis sampai tenggorokannya terasa tercekat, air mata seperti tak pernah kering dari kedua matanya yang bening. Di dalam kegelapan ini, Alika benar-benar merasa sendirian.
Berulang kali dia katakan pada dirinya sendiri jika mati adalah yang terbaik.
Tak! Alika coba mengayunkan tongkat itu hingga membentur lantai.
Ryan mengusap wajahnya frustrasi, menahan diri agar tetap kuat melihat pemandangan menyesakkan dadda ini.
"Itu adalah suara lantai," ucap Ryan, meski daddanya pun sesak namun dia tetap coba bicara dengan suara yang biasa, jangan sampai bicara dengan suara yang bergetar.
"Jangan takut untuk melangkah, saya akan selalu memberi anda petunjuk," ucap Ryan lagi.
Alika menggigit bibir bawahnya kuat, menahan agar tangisnya tidak pecah.
"Mulailah melangkah maju, pintu tak jauh dari tempat anda berdiri, sekitar 7 langkah."
Tanpa banyak tanya Alika mulai melangkahkan kakinya, meski tak tau kemana arah yang dia tuju, semuanya tak bisa dia Bayangkan.
Tiap coba menerka semuanya berubah jadi gelap.
Langkah Alika tidak lurus, membuatnya salah arah dan hendak membentur meja di dekat pintu.
Ryan buru-buru menahan tubuh Alika, namun gadis itu selalu menepis semua sentuhannya.
"Lepas!!" pekik Alika, dia tetap maju dan akhirnya menabrak meja itu. Satu kakinya terbentur dan nyeri, namun dia tidak mengeluh sedikitpun.
"Geser ke kiri dan maju, itu pintu keluarnya," ucap Ryan.
Sungguh Alika tak ingin hidup seperti ini, di bawah belas kasihan orang lain. Terbiasa hidup sendiri membuat Alika merasa bisa mandiri, dia tidak butuh siapapun untuk hidupnya.
Tapi apa yang terjadi sekarang?
Alika hanya mampu mengutuk hidupnya sendiri.
Alika sudah berhasil keluar dari ruangan tersebut, tapi tetap saja dia tidak merasakan perubahan apapun. Tongkat ini bahkan membuatnya merasa kesulitan untuk melangkah.
Alika lantas berjongkok dan meletakkan tongkat itu di lantai, dia meraba lantai yang saat ini jadi tempatnya berpijak.
Alika meninggalkan tongkat itu dan mulai melangkah pelan dengan tangan sebagai penunjuk jalan.
"Jangan begini Mbak, harus biasakan pakai tongkat," ucap Ryan, beberapa pasien di rumah sakit itu melihat Alika dan hanya mampu merasa Iba.
"Diamlah, aku bisa menentukan apa yang terbaik untukku!" balas Alika dengan sengit. Dia berjalan dengan berjongkok, namun malah menyentuh dinding.
"Ke kanan," ucap Ryan.
Satu tangan Alika menyentuh dinding, sementara tangannya yang lain meraba lantai, dia terus berjalan dengan cara seperti itu.
Sedangkan Ryan mengikuti di sampingnya dan memegang tongkat gadis itu.
Romi yang ada di sana pun mengamankan tempat, meminta tolong yang lain menyingkir saat Alika lewat. bahkan kursi tunggu pun Romi pindah agar tidak ditanyakan gadis malang itu.
Cukup lama berjalan dengan cara seperti itu membuat Alika lelah, telapak tangannya pun sudah hitam kotor.
Tapi Ryan tidak mencegah atau pun membantu Alika bangkit, kata Aresha ikuti dulu semua keinginan gadis itu. Ryan hanya perlu selalu ada di sampingnya.
"Sudah habis, ayo kita menuruni anak tangga, ambil sisi kiri," ucap Ryan.
Alika terpaksa mengikuti perintah itu, meski rasanya ada bagian di sudut hatinya yang terluka.
Namun akhirnya mereka berdua benar-benar berhasil keluar dari rumah sakit itu. Di depan pintu masuk Alika mulai mendengar suara kendaraan yang jelas.
Bibirnya tersenyum kecil, rasanya ingin berlari ke jalanan dengan asal dan sebuah mobil menghantam tubuhnya dengan kuat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!