...Happy Reading...
"Akh, sial ini jebakan!" kesal Liora saat sadar jika ternyata gedung itu sudah dikepung.
"Kita lakukan rencana B," sambungnya lagi pada aerphone yang terpasang, hingga semua anggota yang ikut dalam rencana perampokan kali ini bisa mendengar perintahnya.
"Jaga diri kalian masing-masing, jangan sampai ada yang tertangkap!" pesan Eliora pada semua anak buahnya.
"Baik, Nona!" jawab mereka serempak, yang membuat senyum di bibir merah perempuan itu tampak mengembang.
Eliora yang sudah berada di ruang brankas hotel mewah tersebut pun akhirnya bersiap untuk ke luar sendiri, tentu saja sambil menghindari penjagaan petugas kepolisian.
Liora berhasil ke luar dengan memanjat saluran udara lama yang sudah tidak digunakan. Menggunakan tubuh rampingnya dia merangkak menyusuri lorong sempit itu, hingga akhirnya kini dia berdiri di salah satu kamar hotel yang terhubung dengan ruang brankas.
"Heh, kalian pikir mudah menangkapku? Mimpi saja!" ujar Liora begumam sendiri.
Wanita itu tampak berjalan santai menuju jendela kaca di salah satu sisi ruangan, Liora begitu yakin jika dirinya hanya tinggal selangkah lagi untuk terbebas, hingga semua rasa percaya dirinya labgsung jatuh ke dasar saat tiba-tiba suara seseorang mampu menghentikan langkah perempuan itu dengan jantung yang seakan berhenti sejenak.
"Kamu pikir kami begitu bodoh hingga tidak bisa menangkapmu?"
Deg!
Liora menghentikan langkahnya dengan mata yang melebar, dia sudah sangat mengenal suara itu. Nada bicara berat dengan intonasi yang terdengar begitu jantan dan dingin hingga tidak bisa dia lupakan.
Liora menoleh ke arah kursi yang tidak jauh dari tempat dirinya berdiri, dia bisa melihat seorang laki-laki dengan pakaian khas kepolisian khusus tampak sedang duduk santai di sana.
Untuk sesaat Liora selalu terpesona oleh raga laki-laki itu, wajah tampannya semakin sempurna dengan postur tubuh yang gagah. Mata tajam bak leser itu justru menambah aura seksi pria di depannya.
Akh, sayang sekali dia adalah musuh terbesar Liora. Charly -- agen rahasia yang terus mengejarnya, ambisi terbesar Charly adalah menangkap Liora dan membubarkan gengster yang dipimpin oleh perempuan itu.
"Hai, Mr. Charly, senang bisa berjumpa lagi dengamu," sapa Liora sambil tersenyum menggoda.
Bibir merah merekah, bentuk tubuh yang sempurna dan kulit mulus menjadikan Liora adalah satu-satunya pemimpin gengster tercantik di seantero California. Dia banyak menjadi rebutan para pemimpin gengster lainnya, tetapi sayang sekali tidak ada yang mampu menarik hatinya untuk berlabuh.
"Saat ini, kamu sudah tidak bisa kabur lagi, Nona Liora. Ruangan ini berada di lantai tiga belas, saya jamin kamu akan mati jika nekat melompat dari jendela lagi," ujar Charly dengan wajah mengejeknya.
Dia masih mengingat pertemuan mereka terakhir kali, di saat wanita itu sedang melakukan transaksi senjata ilegal di sebuah hotel bintang lima, wanita itu berhasil kabur dengan melompat jendela.
Liora masih mempertahankan senyumnya, walau dalam hati dia sedang memikirkan bagaimana caranya kabur dari singa kelaparan di depannya, sedangkan kaca yang berada di belakangnya sepertinya sangat tebal, itu tidak akan bisa hancur dengan sekali tendangannya saja, apa lagi bobot tubuhnya tidak lebih dari enam puluh kilogram.
"Benarkah?" tanya Liora dengan wajah dibuat seolah terkejut.
"Ah, bukannya jika seperti ini akan terasa sangat membosankan?" sambung Liora tanpa ada takut sama sekali.
Charly tampak beranjak berdiri laki-laki dengan postur tubuh tinggi mencapai seratus delapan puluh tujuh sentimeter itu berjalan pelan menghampiri Liora, dia sudah merasa yakin jika kali ini Liora tidak akan bisa lolos dari genggamannya.
Namun, Charly tidak tahu jika saat ini Liora tampak sedang menimbang sesuatu, hingga di saat dia berucap.
"Sekarang!"
Charly dibuat terkejut dengan kaca tebal di salah satu sisi ruangan itu tiba-tiba saja pecah menghambur ke seluruh ruangan, laki-laki itu refleks langsung menundukkan tubuhnya menghindari pecahan kaca.
Sementara itu, Liora memanfaatkan situasi untuk segera kabur dari Charly. Wanita itu tampak tersenyum pada laki-laki di depannya sebelum berlari melewati pecahan kaca.
"Sampai jumpa lagi, Mr.Charly!" ujarnya sebelum melompat ke luar dari jendela yang sudah hancur.
"Liora!" Charly refleks langsung mengeluarkan senjata api dan mengejar Liora menuju ke jendela dengan wajah khawatir bercampur marah.
Namun, ternyata semua itu tidak terbukti, saat dia melihat Liora sudah berada di balkon salah satu kamar dengan tubuh masih selamat, bahkan wanita itu sempat menatapnya sambil tersenyum mengejek sebelum melarikan diri.
"Akh, sial! Bagaimana mungkin dia bisa turun dari sini dengan secepat itu!" kesal Charly, laki-laki itu tampak langsung berkomunikasi dengan para anak buahnya untuk mengejar Liora dan memberi tahu keberadaannya.
Sementara itu, Liora langsung mengambil motornya yang terparkir di belakang gedung dan segera kabur melalui rute acak dan berbeda dari anggota gengster yang lain. Rencana untuk mengambil sebuah berlian langka yang disimpan di hotel itu akhirnya gagal karena ternyata itu hanya sebuah jebakan dari Charly dan anak buahnya untuk menangkapnya.
Liora mengendarai motor sambil terus menghindar dari banyaknya suara tembakan di belakangnya. Ya, sekitar tiga mobil kepolisian tampak sedang berusaha mengejarnya. Namun, sepertinya mereka memang tidak berniat membunuhnya hingga peluru itu tidak ada yang mengenai tubuhnya sama sekali.
Lama berkendara Liora kembali dibuat terkejut saat melihat sebuah motor menyalip ketiga mobil itu dan kini mulai mendekat padanya. Mata Liora memicing menatap pengendara yang ada di sana.
"Charly," gumamnya sambil tersenyum, laki-laki itu memang tidak pernah menyerah. Liora kagum dengan tekadnya yang sangat kuat.
"Liora, sebaiknya kamu menyerah saja!" ujar Charly dengan optimis, dia sudah sangat percaya diri bisa menangkap Liora saat ini.
Namun, tanpa keduanya sadari ada satu mobil lagi yang memang mengincar Liora, mereka sengaja menyusup dalam kekacauan untuk membunuh Liora. Mereka adalah musuh dari gengster yang dipimpin oleh Liora. Mereka memanfaatkan rencana Charly untuk membunuh Liora.
Hingga di pertengahan jembatan Golden Gate sebuah suara tembakan yang cukup mengejutkan semua orang itu berhasil menembus dada Liora, wanita itu langsung kehilangan kendali motornya yang sedang dalam kecepatan tinggi, hingga menabrak pembatas jalan dan terjun bebas ke dalam lautan.
Charly melebarkan matanya saat kejadian yang tidak dia duga itu terjadi begitu saja di depan matanya sendiri. Liora, target buruannya selama beberapa tahun ini kini diambil oleh orang lain.
"Kejar mobil itu sekarang!" teriak Charly penuh emosi.
Dia menghentikan motornya di tempat Liora tertembak kemudian terjun ke lautan bebas di bawah mereka, matanya memicing melihat sekiranya terlihat riak air yang menandakan jika wanita itu masih hidup dan berusaha berenang. Namun, harapannya terbantahkan saat dia melihat hanya air laut yang tenang di sana.
"Aku butuh bantuan–"
.
Liora mengerjapkan matanya perlahan, suara mesin deteksi jantung terdengar jelas di telinga membuatnya meringis menahan rasa bising. Kepalanya terasa berdenyut hebat, hingga membuatnya sulit untuk hanya membuka mata.
Cahaya terang dengan warna putih mendominasi membuat Liora harus memicingkan matanya, menahan silau.
Apa aku sudah mati? Aku berada di syurga? gumam Liora dalam hati, dia masih berusaha beradaptasi dengan tempatnya saat ini.
Ah, aku kira aku akan masuk neraka? gumamnya lagi sambil mengedarkan pandangannya.
Rasa sakit? Itu sudah biasa Liora rasakan, hingga setelah beberapa saat terdiam kini Liora beranjak duduk dan membuka alat bantu kesehatan yang menempel di tubuhnya.
"Eh, tunggu ... kenapa kulitku jadi seperti ini?!" tanya Liora pada dirinya sendiri. Dia merasa warna kulitnya kini berubah.
Namun, kebingungannya kini semakin bertambah saat tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan menampilkan orang-orang yang sama sekali tidak dia kenal.
"Ibu Tiara sudah bangun? Syukurlah," ujar laki-laki tua dengan jas putih khas seorang dokter membalut tubuhnya.
Liora bisa menebak jika itu adalah dokter yang selama ini sudah merawatnya. Namun, kenapa dia memanggilnya dengan nama Tiara? Siapa itu? Dan, dia juga berbicara dengan bahasa yang berbeda?
Liora berkedip pelan, dia masih belum bisa ke luar dari kebingungannya.
"Mari berbaring dulu, biar saya periksa keadaan, Ibu," ujar dokter itu lagi.
"Apakah, Anda, bisa berbahasa inggris? Saya kurang mengerti bahasa itu," ujar Liora, walau masih mengikuti arahan dokter.
Namun, dokter itu tidak menanggapi, dia hanya tersenyum sambil mulai memeriksa keadaan Liora.
Tidak berselang lama, pintu ruangan kembali terbuka, kini dengan cukup kasar hingga terdengar suara yang nyaring di telinga, akibat benturan antara pintu dan tembok rumah sakit.
Seorang wanita muda dengan rambut sebahu dan pakaian yang terlihat formal tiba-tiba masuk dengan napas yang menderu, sepertinya dia berlari cukup lama.
"Tiara! Akhirnya kamu sadar juga!" ujarnya dengan wajah sumringah, matanya sampai terbuka lebar seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi.
"Tiara? Siapa Tiara?" tanyanya bingung sendiri.
Bukan hanya bahasa yang berbeda dari negaranya, tetapi namanya juga sudah berganti. Kenapa bisa begitu? Apa yang terjadi setelah kecelakaan itu terjadi? Dan, berada di manakah dirinya kini?
...****************...
Selamat datang di karya aku yang satu ini, semoga kalian suka dan terhibur dengan ceritanya. Jangan lupa dukungannya ya, like, komen, dan gift-nya ditunggu🥰🥰
"Apa yang terjadi pada Tiara, Dok? Kenapa dia seperti orang linglung dan tidak ingat dirinya sendiri?" tanya Serena –sahabat Tiara– dia adalah seorang guru di sekolah anak Tiara.
"Ibu Tiara sudah satu bulan ini mengalami koma setelah kecelakaan, sepertinya ini hanya efek dari benturan keras di kepalanya. Kami membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikannya," ujar Dokter yang juga merasa bingung dengan kondisi pasiennya.
"Baiklah, Dok. Tolong lakukan yang terbaik untuk sahabat saya," ujar Serena dengan wajah yang tampak sangat khawatir.
"Tentu, itu memang tugas kami," jawab dokter itu.
Sementara itu, di ruang rawat Liora mulai menuruni brankar setelah melihat Serena dan para petugas kesehatan meninggalkan ruang rawatnya, dia berjalan menuju ke kamar mandi yang berada tidak jauh dari sana.
"Astaga! Siapa ini?" Liora yang kini sedang berdiri di depan washtafel terkejut bukan main saat melihat orang lain di pantulan cermin.
Tubuhnya bahkan sampai terdorong ke belakang, saking terkejutnya. Dia mengira orang di cermin itu adalah hantu.
"S–siapa kamu?!" tanya Liora pada wanita berwajah pucat di dalam cermin.
Liora memperhatikan sosok didalam cermin itu, bajunya sama dengan yang dia pakai, tubuhnya kurus tanpa terlihat ada lekukan sama sekali, wajahnya pucat dengan lingkar hitam di bawah mata. Bibirnya kering, hidung sedikit mancung walau terlihat mungil, matanya sayu tanpa ada cahaya semangat di sana.
"Aku adalah dirimu."
"Kya!" Liora berteriak saat dia melihat bayangan di cermin itu seolah berbicara padanya, tubuhnya kembali terhempas ke belakang dengan jantung yang berdebar hebat.
Brak!
Bersamaan dengan itu pintu dibuka dengan keras oleh seseorang, Liora mengalihkan pandangannya pada pintu, dia melihat Serena tengah berdiri di sana dengan wajah paniknya.
"Ada apa, Tiara?" tanya Serena panik.
"Siapa kamu sebenarnya? Ada di mana aku? Apa kamu anak buah Charly?!" tanya Liora yang belum mengerti dengan situasi saat ini, kini dia berbicara masih dengan menggunakan bahasa internasional.
"Aku Rere ... Serana, sahabat kamu. Apa sekarang kamu juga lupa dengaku?" tanya Serena sambil melangkah menghampiri Liora.
"Aku bukan Tiara! Aku Liora!" bantah Liora yang sudah merasa jengah dengan orang-orang yang terus memanggilnya dengan nama lain.
Liora mengernyitkan keningnya, dia bukan Tiara, dirinya juga tidak mengenal siapa pun di sini, termasuk wanita di depannya.
Serena tetap mempertahankan senyumnya, dia menganggap jika sahabatnya hanya sedang mengalami efek samping setelah koma.
"Aku tau kamu bingung dengan keadaan saat ini, dokter bilang ini hanya efek dari benturan keras di kepalamu, juga karena kamu sudah terlalu lama mengalami koma," jelas Serena sambil membantu Liora untuk bangun.
"Koma?" Liora semakin bingung, dia menatap Serena dengan kening berkerut dalam.
"Iya. Ayo kita kembali ke luar dulu, nanti aku ceritakan semuanya," ujar Serena sambil merangkul pundak Liora kemudian membantunya berjalan kembali menuju ke kamar.
Liora tidak melawan, kenyataan jika tubuhnya saat ini masih lemah membuatnya harus mengakui jika dia membutuhkan bantuan.
Liora juga sadar jika saat ini dirinya belum tahu situasi di luar sana, mungkin saja Charly masih mencarinya saat ini, atau bahkan mungkin ini salah satu cara laki-laki itu menghukumnya?
Segala kemungkinan bisa saja terjadi, hidupnya masih terasa abu-abu hingga Liora merasa sulit untuk membedakan mana yang benar dan salah, juga jahat atau baik saat ini. Satu-satunya pilihan, dia harus mendengarkan cerita dari wanita di depannya sambil mencari tahu kebenarannya.
"Tunggu." Liora menghentikan langkahnya saat mereka berada di depan cermin kembali, dengan kening berkerut dalam dia memperhatikan pantulan mereka berdua di sana.
"Ada apa, Tiara?" tanya Serena sambil mengikuti arah pandangan Liora.
"I--itu aku?" tanya Liora sambil melihat dua orang yang berada di balik cermin, salah satunya persis seperti sosok yang tadi berbicara padanya.
"Iya, itu kamu, Tiara. Apa sekarang kamu juga lupa wajah kamu sendiri?" Serena mendesah berat, dia tidak menyangka jika akibat dari kecelakaan itu begitu berdampak besar bagi sahabatnya.
Jadi itu aku. Wajahku, tubuhku, ke mana semua itu? Kenapa sekarang aku berada di tubuh wanita bernama Tiara ini? Apa yang sebenarnya terjadi padaku? batin Liora terus bertanya.
Begitu banyak pertanyaan yang kini bersarang di kepalanya, hingga membuatnya tidak bisa berpikir. Semua ini terlalu mendadak dan begitu mengejutkan, kejadian ini sama sekali tidak masuk akal.
.
"Kamu mengalami kecelakaan saat mau menjemput Deva di sekolah. Waktu itu, ada sebuah mobil truk yang tiba-tiba datang dan menabrak kamu ketika kamu menyerang jalan."
Bayangan perkataan Serena beberapa saat lalu terus terngiang di ingatan, hingga rasa penasaran semakin menggebu, untuk mengetahui masa lalu wanita yang memiliki tubuh ini, dan kenapa dirinya bisa terjebak dalam tubuh orang lain.
"Berarti wanita ini sudah menikah dan mempunyai anak? Tapi, kenapa sampai sekarang tidak ada yang datang ke sini selain Serena?" gumam Liora dengan kerutan halus di keningnya.
Wanita itu kini tengah duduk di bangku taman rumah sakit, tiang infus pun terlihat berdiri di sampingnya.
Sudah tiga hari setelah dirinya sadar dari koma, tetapi tidak ada satu orang pun yang menjenguknya selain Serena yang hampir setiap hari datang. Sepanjang itu juga, dia terus menggali informasi dari Serena tentang Tiara.
Untung saja, dirinya bisa menguasai beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Walau masih kaku, setidaknya dia bisa mengerti setiap orang yang sedang bicara di sekitarnya.
"Mama!" Sejanak Liora terpaku saat tiba-tiba ada anak laki-laki yang berlari ke arahnya kemudian memeluk tubuhnya erat.
"Mama udah sembuh sekarang? Kapan Mama mau pulang lagi ke rumah?" ujar anak laki-laki itu lagi sambil mengeratkan pelukannya.
Liora terdiam dengan wajah bingung, dia menatap kepala anak yang masih melingkarkan kedua tangan di pinggangnya.
"Dia Deva, Tiara. Anak kamu." Serena yang baru sampai langsung menjelaskan keadaan itu. Serena tentu tahu jika saat ini Liora tengah kebingungan karena kehadiran Deva.
Liora mengalihkan pandangannya pada Serena yang kini berdiri tepat di hadapannya, wanita itu sedikit mendongakkan kepala demi menjangkau wajah sahabat Tiara.
"Aku berusaha keras membujuk suami kamu untuk mengizinkan membawa Deva ke sini," sambung Serena lagi yang bahkan tidak direspon oleh Liora.
"Deva mau di sini sama Mama, boleh ya? Deva enggak mau pulang," ujar anak itu sambil menyusupkan wajahnya pada perut Liora.
Liora bingung harus bersikap bagaimana, dia belum pernah menghadapi seorang anak sebelumnya, wanita itu hanya menatap Serena, meminta bantuan. Jujur saja, jika sikap manja anak itu membuatnya merasa tidak nyaman.
Namun, entah mengapa dia juga merasakan ada yang berbeda di dalam hatinya, hingga ketika matanya bersitatap dengan mata hitam milik Deva yang menatapnya sendu, tiba-tiba saja air di pelupuk jatuh begitu saja.
Aku menangis? Tapi, kenapa? batin Liora, bingung dengan perasaannya sendiri.
Awalnya dia mengira kalau ini adalah rekayasa Charly. Mungkin saja laki-laki itu sengaja merubah penampilannya dan menempatkannya di sini, untuk menjauhkannya dari semua anak buahnya.
Namun, setelah tiga hati ini mencari tahu secara diam-diam, tidak ada yang mencurigakan sama sekali. Apa lagi saat perasaan aneh karena anak ini tiba-tiba terasa di dalam hati, Liora kembali dibuat bingung oleh situasi yang terjadi.
"Iya, Deva boleh kok main di sini sama Mama, Mama juga pasti kangen banget sama Deva." Serena tampak melerai tangis anak kecil itu hingga anak itu menatap Liora penuh binar.
"Beneran, Mah? Deva boleh main sama Mama?" tanya anak itu penuh semangat.
Liora kembali melirik Serena, dia kemudian mengangguk ragu setelah mendapatkan kode dari wanita di depannya.
"Tuh kan, Mama mau main sama Deva. Tapi, Deva enggak boleh bikin Mama terlalu capek ya, Mama kan baru sembuh," peringat Serena pada anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun itu.
"Iya, Tante," angguk Deva penuh semangat.
"Baguslah kamu sudah sadar, jadi gak ngabisin uang anakku lagi," ujar seorang ibu berusia sekitar lima puluh tahunan yang datang ke rumah sakit bersama dengan wanita muda lainnya.
Dari foto yang pernah dia lihat di ponsel milik Serena, Liora tahu kalau itu adalah mertuanya dan istri muda suami Tiara yang saat ini tengah mengandung.
"Aku istrinya, jadi memang sudah kewajibannya untuk merawatku," jawab Liora acuh, dia sudah mendengar semua cerita tentang mertua dan madu Tiara itu dari Serena dan sekarang di mulai percaya.
Wanita paruh baya itu melotot mendengar jawaban dari Liora, dia tidak menyangka jika menantunya sekarang sudah berani menjawab perkataannya, padahal sebelum kecelakaan itu terjadi Tiara tidak pernah membantah apa pun yang dia katakan.
Liora bersidekap dada, dia sama sekali tidak takut melihat tatapan mengerikan dari dua orang wanita di depannya.
"Dasar tidak tahu diri, sudah di tolong dan dibiarkan hidup sama anakku, sekarang kamu malah berani menjawab ucapanku! Awas saja nanti, aku laporkan sikap kamu ini pada Dery!" ancam mertua Tiara.
Bukan takut, Liora malam tersenyum remeh sambil memutar bola matanya.
"Aku tidak pernah meminta untuk dibiarkan hidup sama kalian semua. Kalau kalian menyesal, ya itu urusan kalian sendiri!" Liora kembali menjawab hingga membuat mertuanya semakin berang.
"Ah, dan satu lagi--" Liora menatap wajah kedua wanita di depannya itu tajam.
"Laporkan saja kalau kalian berani. Aku tidak takut!" sambung Liora lagi, kemudian memilih untuk merebahkan diri dan menarik selimut.
"Ini waktunya aku istirahat, jadi sebaiknya kalian pergi saja." Liora mengibaskan salah satu tangannya sebelum mulai menutup mata.
"Kamu!" Mertua Tiara tampak menahan emosinya saat melihat sikap Tiara yang sekarang sudah berani melawannya.
Tangannya yang menujuk Liora penuh amarah kini mengepal erat kemudian membuang muka. Dia beralih melihat menantu keduanya yang begitu dia sayangi.
"Ayo kita pergi, bisa-bisa darah tinggi Ibu kumat kalau terlalu lama di sini!" ujarnya sambil mengajak wanita yang tengah hamil itu berjalan ke luar dari kamar rawat Liora dengan menghentakkan kaki.
Liora mendengkus kesal begitu mendengar suara pintu tertutup, dia membuka selimut dengan kasar kemudian beranjak duduk kembali.
"Ternyata benar kata Rere, sepertinya mereka memang memperlakukan wanita ini dengan tidak baik," ujar Liora mulai percaya pada ucapan Serena.
"Cih, berani sekali mereka menindasku seperti itu! Kalau saja mereka tau siapa aku sebenarnya, aku jamin dua wanita tidak tau diri itu akan berlutut meminta maaf di bawah kakiku," gerutu Liora tidak suka.
Sebelum dirinya terdampar di tubuh wanita lemah ini, dia adalah ketua gengster yang cukup ditakuti di California. Tidak ada orang yang berani berkata kasar di depannya, apa lagi menindasnya seperti tadi.
Mereka memegang beberapa wilayah di negara itu yang tentunya berada di dalam kekuasannya. Misi mereka bukanlah perampokan biasa, mereka hanya akan mengambil beberapa misi penting dan itu pun harus memiliki keuntungan yang sangat besar bagi dirinya dan kelompok yang dia pimpin.
Memikirkan itu, Liora jadi teringat pada anak buahnya di California yang dia tinggalkan.
"Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah sepeninggal diriku, Charly sudah menangkap mereka semua lalu membubarkan gengster yang sudah lama aku pimpin?"
"Bagaimana aku bisa lupa pada mereka? Akh, aku harus segera menghubungi mereka untuk mengetahui situasi di sana," ujarnya sambil kembali beranjak dari barnkar dan berjalan cepat ke luar dari ruang rawatnya.
Sebenarnya dia merasa kalau tubuhnya sudah baik-baik saja, tetapi tim dokter masih belum memperbolehkannya pulang karena ingin melihat perkembangan tentang ingatannya.
Sekarang dia ingin mencoba meminjam ponsel perawat untuk menghubungi anak buahnya di California. Namun, beberapa kali mencoba ternyata nomor yang dia tuju sama sekali tidak bisa tersambung.
"Ada apa ini? Kenapa mereka tidak bisa dihubungi?" gumam Liora dengan kerutan halus di keningnya.
Liora menghembuskan napas pelan kemudian mengembalikan ponsel milik salah satu perawat yang biasa menanganinya, seraya berkata, "Terima kasih."
Liora pun akhirnya memilih untuk kembali ke ruangannya dengan wajah lesu dan pikiran melayang pada semua anak buahnya. Mereka telah berjuang bersama-sama memajukan genster itu hingga akhirnya bisa menjadi salah satu gengster yang dipandang di seantero California.
Namun, kini dia terdampar di sini, terpisah dari semua anak buahnya, tanpa tahu bagaimana kondisi mereka. Apakah dia memang harus melupakan semua masa lalunya kemudian menjalani hidupnya yang baru dengan tubuh ini?
Liora menghembuskan napas kasar, sambil menghentikan langkahnya di depan sebuah kaca, dia pandang pantulan wajah dan tubuh tempatnya terdampar. Tidak ada cara lain, selain mencoba untuk bertahan. Setidaknya dengan tubuh ini dia tidak perlu terus berlari dari kejaran Charly.
"Ya, mungkin aku harus menerima tubuh ini dan memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan hidupku yang ke dua," ujar Liora dengan pikiran yang sudah mulai terbuka.
Rasanya tidak mungkin juga dia memaksa untuk menolak takdir ini. Karena dia tahu jika pun dia memaksa untuk pergi ke California terus menemui anak buahnya, itu juga tidak menjamin mereka akan langsung mempercayainya, apa lagi sekarang dia bukanlah Liora yang dulu.
Bisa-bisa dia hanya dianggap sebagai mata-mata dan berakhir dikurung dan dibantai oleh para anak buahnya.
"Tidak ada salahnya menjadi Tiara, setidaknya sampai aku tau caranya kembali ke tubuhku sendiri," lirih Liora menyemangati dirinya sendiri.
Namun, beberapa saat kemudian dia menutup rapat mulutnya dengan pandangan sendu, dia ingat jika sebelum dia bangun di tubuh Tiara, dirinya tertembak di dada dan mengalami kecelakaan hingga masuk ke lautan.
Kini dia mempertanyakan, apakah dirinya selamat? Apakah dia ditemukan? Atau mungkin sudah mati?
Tangannya bergertar saat mengingat itu semua, dia mengepalkannya agar tidak terlihat oleh orang lain, walau mata yang goyah itu tidak bisa dia sembunyikan.
Untuk beberapa saat dia berada di dalam lamunan, hingga suara brankar yang didorong cepat melintas, mengejutkannya. Dia menoleh sekilas melihat salah satu pasien rumah sakit itu. Hatinya semakin gusar kala matanya melihat pasien itu telah meninggal, dengan beberapa orang yang sedang menangis mengikuti di belakang.
Ada rasa sakit di dalam hatinya ketika melihat pemandangan yang melintas begitu saja, walau itu hanya bertahan beberapa detik saja. Liora menarik napas dalam hingga rongga dadanya terasa mengembang, kemudian menghembuskannya kasar, berharap rasa sesak itu segera menghilang.
"Semangat Liora, siapa pun dirimu sekarang, setidaknya kamu masih memiliki kesempatan untuk hidup," gumamnya menyemangati dirinya sendiri.
Mengedipkan mata cepat, Liora kembali melanjutkan langkahnya menuju ke kamar rawat. Mulai saat ini, dia harus bisa hidup dengan tubuh dan identitas yang baru ini. Setidaknya, di sini dia memiliki sahabat yang setia padanya, walau sepertinya Tiara tidak beruntung dalam keluarga.
Sesuai dengan apa yang diceritakan oleh Serena selama ini, Tiara sudah yatim piatu sejak remaja, kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dan hanya meninggalkan dirinya yang masih hidup.
Sejak saat itu pula, Tiara dirawat oleh keluarga suaminya yang merupakan sahabat dari kedua orang tuanya dan memutuskan menikah setelah lulus kuliah. Ya, Tiara dan Dery memang sudah dijodohkan sejak kecil. Namun, perlakuan mereka yang awalnya baik dan manis berubah menjadi kasar setelah penikahan itu terjadi.
Tiara tidak bisa melakukan apa pun selain pasrah karena dirinya memang tidak memiliki sandaran lain, selain keluarga suaminya. Posisinya yang hanya seorang ibu rumah tangga, membuat Tiara sulit untuk melawan ketidakadilan yang terjadi dalam rumah tangga mereka.
"Sepertinya aku harus segera kembali ke rumah, untuk melihat secara langsung, apa sebenarnya yang dilakukan mertua dan suami Tiara padanya?" ujar Liora mulai bertekad.
"Heh! Bahkan sampai saat ini aku tidak pernah melihat suaminya datang ke rumah sakit. Benar-benar keluarga yang bahagia," sambungnya lagi tersenyum miris, melihat kondisi keluarga tempat Tiara selama ini menyandarkan hidupnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!