Wish.
Aku semakin mempercepat langkahku, tanpa menoleh kebelakang. Gerbang rumahku sendiri sudah terlihat, hanya sekitar dua ratus meter lagi. Kalau bukan karena ojek yang aku naiki pecah ban aku nggak akan berjalan kaki ke rumah.
Tapi bukan itu masalah, saat ini aku berjalan tidak sendiri. Ada yang berjalan dibelakangku, suara langkahnya pelan bahkan lebih pelan dari langkahku. Mulutku sendiri tidak berhenti menggumamkan doa sesuai dengan kepercayaanku. Bulu kuduk terasa berdiri dan pori-pori tubuh seakan semakin lebar membuat udara malam ini terasa lebih dingin.
Ini tidak baik, tengkukku mulai berat dan keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Aku memutuskan berlari, kenapa harus berlari karena sosok yang mengikutiku bukan manusia. Jika dia manusia pasti sudah menyapaku atau bahkan jalan berdampingan. Aku pun mengambil langkah seribu tapi ...
Srek.
“Hahh.” Aku terpaku di tempat saat sosok itu melewatiku dan sangat terasa menyentuh tanganku. Aku lalu berjongkok dan menelungkupkan wajahku sambil terengah. Tidak sanggup untuk membuka mata apalagi memandang ke depan.
“Pergilah! Disini bukan tempat kalian lagi tolong jangan ganggu aku.”
Hening sesaat, aku menduga makhluk itu sudah pergi. Aku pun mengangkat wajahku dan mulai membuka mata. Rasanya kedua mataku ingin keluar dari tempatnya saat memandang sepasang kaki melayang tepat didepan wajahku.
Lidahku rasanya kelu tidak dapat berucap. Kedua kaki putih pucat itu memperlihatkan urat nadi kehijauannya. Aku semakin mengangkat wajahku untuk menelusuri pandanganku. Gila, ini benar-benar gila. Dia perempuan, hantu perempuan yang mengenakan dress selutut berwarna putih dan sudah sangat usang.
Dia melayang aku semakin menatap naik dan ... rambutnya panjang lalu wajahnya ....
“Aaaaaa.” Aku pun jatuh terduduk.
Krek. Srekkkk.
“Non Yura!”
Aku menoleh akhirnya aku mendengar suara manusia.
“Pak Adi, tolong,” ujarku sambil mengulurkan tangan kiri. Tubuhku terasa sangat kaku dan berat tanpa sadar aku sudah berada di depan gerbang rumahku.
Pak Adi, yang menjaga keamanan rumah membantuku berdiri. Makhluk itu sudah tidak ada, aku dibantu berjalan oleh Bik Ela asisten rumah tangga.
“Memang Non Yura nggak bawa mobil?”
“Nggak Bik, aku malas kalau kena macet.”
Bukan itu alasanku sebenarnya tidak ingin bawa mobil, terakhir kali ada sosok yang ikut serta di kabin belakang. Akhirnya aku putuskan untuk naik kendaraan umum kalau harus pulang malam.
Saat aku keluar dari toilet, Bi Ela mengantarkan teh manis hangat dan meletakkannya di atas nakas. “Makasih Bik.”
“Iya Non. Mau makannya diantar juga?”
“Nggak usah Bik, aku sudah makan. Kayaknya mau langsung tidur.”
Mengeluarkan ponsel dari dalam ranselku lalu mencharge untuk mengisi daya. Menyesap teh manis yang dibawakan Bik Ela, tubuhku benar-benar lemas karena interaksi dengan mahluk tadi. Hanya diikuti dan melihatnya saja sudah membuat tubuhku begini, apalagi kalau aku bisa berinteraksi lebih.
Sebenarnya kelebihan untuk melihat makhluk lain yang aku alami bukan bawaan lahir tapi belum lama aku rasakan, tepatnya setelah aku jatuh sakit.
Saat itu aku demam tinggi bahkan bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang menyentuh kepalaku dan mengatakan, “Kamu tidak bisa menolaknya, semoga kamu bisa menerimanya.”
Setelah bermimpi aku terbagun dan menyadari berada di kamar rumah sakit.
“Yura, sayang. Kamu sudah sadar Nak.”
“Ibu ....” ucapku lirih.
Telingaku mendengar Ayah yang memanggil dokter dan perawat. Tidak lama dua orang perawat memeriksa keadaanku.
“Suhunya sudah normal ya, kondisi vitalnya baik, kita tunggu dokter visit.” Aku menatap perawat itu, bukan perawat yang sedang memeriksaku tapi perawat lain dengan name tag Marni. Dia tidak melakukan apapun hanya berdiri dan memandang ke arahku. Wajahnya sangat pucat, aku menduga dia sedang sakit sama sepertiku.
“Yura, apa yang kamu rasakan Nak?” tanya Ayahku saat kedua perawat tadi sudah meninggalkan kamar.
“Nggak ada Yah, hanya badanku rasanya pegal semua.”
“Pasti pegal, kamu berbaring sudah beberapa hari ini bahkan tiga hari tidak sadar. Tubuh kamu demam tinggi dan terus meracau,” terang Ibu.
Dokter yang memeriksa keadaanku mengatakan kondisiku mulai stabil tapi masih dalam observasi mengenai demam tinggi yang aku alami. Melihat kondisiku yang semakin membaik, Ayah meninggalkan rumah sakit meninggalkan Ibu yang masih menjagaku sepertinya kembali mengurus usahanya.
Perawat yang tadi datang lagi membawakan obat yang harus aku minum setelah makan dan dia hanya sendirian.
“Sus,” panggilku melihatnya akan pergi.
Perawat itu berbalik, “Iya. Butuh sesuatu?”
“Suster yang tadi kemana?” tanyaku.
“Suster yang tadi?”
“Iya yang datang bareng suster, kayaknya dia sedang kurang sehat.”
Perawat itu terlihat bingung dan menggaruk rambutnya.
“Kamar ini adalah termasuk tanggung jawab saya sendiri, jadi saya tidak ada ditemani perawat lain kecuali ada dokter visit dan saya harus menemani. Yang kamu maksud perawat shift sebelumnya atau ....”
“Suster Marni,” jawabku.
Mendengar nama yang kusebut raut wajah perawat itu langsung berubah pasi bahkan dia sempat menjatuhkan wadah stainless tempat obat yang tadi dia bawa.
“Maaf, saya permisi dulu.” Aku memandang perawat itu yang berjalan tergesa meninggalkan kamar.
Ibu yang baru keluar dari toilet menoleh ke arahku. “Dia kenapa?”
“Entahlah. Aku hanya tanya kemana suster Marni tapi dia malah ketakutan.”
“Suster Marni?”
“Hm. Temannya suster tadi, sebelumnya datang berdua eh tadi sendirian. Makanya aku tanya.”
Ibu terlihat bingung dengan penjelasanku lalu duduk di kursi samping hospital bed tempat ku berbaring.
“Kamu masih pusing atau demam?” tanya Ibu sambil menempelkan punggung tangannya di dahiku. Aku hanya menggelengkan kepala
“Perawat tadi beberapa kali memeriksa kamu memang hanya sendiri dan tidak ada suster lain yang menemani,” jelas Ibu. Tentu saja aku tidak percaya, jelas-jelas aku tadi melihatnya, karena suster Marni juga menatapku.
Aku memilih mengabaikan hal itu dan memejamkan mata, kata Ibu aku tidak sadar hampir tiga hari tapi entah mengapa aku merasa lelah dan tubuhku rasanya sangat berat.
“Yura.”
Ini pasti mimpi.
“Yura bangun dulu sayang.” Suara Ibu terdengar begitu merdu di telingaku. “Yura, sayang. Ini waktunya kamu makan dan minum obat.”
Aku pun membuka mata, tubuhku lebih segar dibandingkan tadi. Ibu menaikkan sandaran bed membuat tubuhku seakan bersandar lalu meminta aku minum dan menyuapi makanan tidak lupa dengan obat yang harus aku minum.
“Bu, ponselku mana?”
Ibu membuka laci bed cabinet lalu mengeluarkan ponselku dari tasnya dan menyerahkan padaku. Banyak notifikasi pesan dan beberapa panggilan tidak terjawab.
“Selamat malam.”
Aku menoleh.
“Selamat malam suster,” jawab Ibuku.
“Hai, Yura. Saya Rena, kepala perawat di sini. Bagaimana kondisimu sekarang?” tanya perawat yang terlihat seumuran Ibuku sambil mengecek infusanku.
“Baik,” jawabku pelan. Dia tidak sendiri ditemani perawat yang tadi ketakutan.
“Hm, tadi aku dengar kamu bertanya mengenai suster Marni?”
Aku menganggukkan kepala.
Suster Rena tersenyum, “Kenal dengan suster Marni?”
“Nggak. Aku tanya karena dia ikut masuk bareng suster itu.” Aku menunjuk perawat yang sejak tadi berdiri dengan raut wajah ketakutan.
“Hm, tidak ada perawat di bangsal ini yang bernama Marni. Pernah ada tapi dia sudah meninggal.”
Aku menelan saliva mendengar penjelasan itu. Jelas-jelas tadi aku melihat name tag seorang perawat bernama Marni. Aku sedikit mengarahkan pandanganku ke arah pintu, sosok itu berdiri di sana. Suster Marni yang sedang menatap ke arahku. Yang mengejutkan adalah dia melayang, kakinya tidak menapak. Artinya dia bukan manusia.
“Aaaaaaa,” teriakku.
“Dia ....” Yura menunjuk ke arah pintu yang mana sudah tidak ada lagi Suster Marni yang sedang melayang.
“Yura, kamu kenapa Nak?” Ibu panik melihat wajahku yang pucat dan nafas terengah bahkan tubuhku bergetar masih menunjuk ke arah pintu. Suster Rena menurunkan pelan tanganku dan berusaha menenangkanku.
“Yura, tenanglah. Terkadang kita bisa berhalusinasi melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa melihatnya.”
Aku menoleh. “Ini bukan pertama kali dia menampakkan diri. Anda tahu kalau aku bisa melihatnya, ini bukan halusinasi.”
Suster Rena hanya tersenyum, “Kamu baru melewati masa kritis karena demam tinggi, bisa jadi hal itu memicu otak kita untuk berhalusinasi dan melihat atau membayangkan sesuatu yang tidak biasa.”
“Tidak mungkin, aku ....” Aku menarik nafas dan berusaha menelan saliva karena leherku rasanya tercekat. Dia muncul lagi, suster Marni muncul kembali di kamar. Bahkan saat ini berada tepat di belakang tubuh suster Rena.
Aku membuang pandangan dan memejamkan mata.
“Bisa tinggalkan aku! Aku ingin istirahat.”
Kedua perawat itu pun pamit meninggalkan kamarku. Ibu terus bertanya mengenai apa yang aku rasakan dan apa yang aku lihat karena khawatir dengan kondisiku. Perlahan aku membuka mataku menatap sekeliling dan tidak melihat siapapun kecuali Ibu.
“Aku nggak apa-apa Bu.”
“Yakin? Kamu tadi ....”
“Sangat yakin Bu, aku nggak apa-apa.” Aku berusaha untuk meyakinkan Ibu bahwa aku baik-baik saja, padahal kejadian tadi benar-benar mengejutkanku.
Ibu menghela nafasnya. Terdengar suara perut yang aku yakin itu berasal dari perut Ibu.
“Ibu belum makan?”
“Belum, tadinya Ibu mau ke kantin untuk beli makan tapi melihat kamu histeris begitu ibu jadi ragu untuk pergi.”
“Lebih baik Ibu makan dulu, aku nggak akan kemana-mana,” titahku sambil mengangkat tangan yang masih tersambung pada infusan.
“Ibu tinggal sebentar ya.”
Aku memilih fokus pada ponsel setelah Ibu pergi, berusaha mengalihkan perhatianku. Di saat-saat begini aku merasa baiknya memilih kamar perawatan yang bergabung dengan pasien lain dari pada sendiri begini, agak takut juga.
Srek.
Aku menoleh ke arah pintu yang terbuka lebih lebar, sepertinya Ibu tidak menutup pintu terlalu rapat dan akhirnya terbuka lebih lebar karena hembusan angin. Konyolnya lagi, aku malah mendapatkan panggilan alam membuat mulutku memaki pelan.
Ingin menekan tombol darurat untuk memanggil perawat agar membantuku ke toilet tapi urung aku lakukan karena khawatir jika yang datang malah Suster Marni. Akhirnya aku putuskan untuk ke toilet tanpa bantuan siapapun. Pelan-pelan menuruni hospital bed dan berjalan sambil mendorong tiang infusan.
Menghela nafas lega saat berhasil membuang hajat dan tidak lupa mencuci tangan sebelum keluar dari toilet. Tanganku sudah menyentuh handle pintu saat terdengar suara.
“To-long.”
Deg.
Aku memasang benar-benar pendengaranku dan berusaha berpikir jernih kalau yang aku dengar adalah suara yang berasal dari luar ruangan.
Tapi ....
“To-long.”
Suara itu jelas berasal dari dalam ruangan, tepatnya dari arah belakangku. Bulu kuduk terasa berdiri tegak dan tengkuk rasanya merinding, tiba-tiba suasana toilet terasa begitu dingin. Aku perlahan menolehkan kepalaku karena suara itu lagi-lagi terdengar lirih dan menyayat hati.
“To-long.”
Rasanya jantungku melorot ke perut dan kedua mataku akan loncat keluar saat melihat sosok yang berdiri tidak jauh dari tubuhku. Dia ... suster Marni. Berdiri dengan kaki tidak menapak dan salah satu tangannya terjulur seakan meminta untuk digapai.
Mulutku ternganga melihat penampakannya, sangat menyeramkan setelah tahu kalau sosok itu bukan manusia. Aku ingin berteriak tapi lidahku rasanya kelu, bahkan aku sulit mengatupkan mulutku. Perlahan sosok itu mendekat, melayang ke arahku. Saat semakin dekat aku memejamkan mata masih sulit berteriak. Belum pernah ada manusia yang meninggal karena dimakan oleh setan, setahuku. Tapi dalam kondisi begini tetap saja aku ketakutan setengah hidup.
Ibu, maafkan aku. Sepertinya aku harus pergi lebih dulu. Tunggu, rasanya aneh. Kenapa aku harus mati karena ketakutan.
Aku pun membuka mataku.
“Aaaaaa.” Akhirnya aku bisa berteriak. “Pergi, aku belum mau mati.”
“Tolong aku.” Sosok itu tidak membuka mulutnya tapi suara itu jelas terdengar.
“Aku tidak bisa ikut denganmu.”
“Tolong sampaikan pesan untuk keluargaku.”
“Hahh.” Aku mulai mengatur nafasku yang sejak tadi rasanya sulit untuk menarik nafasku.
“Tolong aku, agar aku bisa pergi dengan tenang.”
Aku menelan saliva mendengar permintaan sosok di hadapanku. Walaupun dia terlihat tidak semenyeramkan tadi tapi tetap saja dia hantu, setan atau demit.
“Apa yang harus aku lakukan untuk menolongmu?"
Aku diam mendengarkan suara itu tanpa menatap sosok dihadapanku. Tubuhku masih gemetar dan bulu kudukku masih berdiri tegak walaupun tidak setegang tadi saat pertama melihatnya. Sosok itu menghilang setelah aku menganggukkan kepalaku tanda mengerti dengan apa yang dia sampaikan. Mendadak tubuhku melorot ke lantai dan aku jatuh terduduk.
Brak Brak
“Yura, kamu di dalam. Buka pintunya Nak!” Terdengar teriakan Ibu.
Aku masih memegang dadaku sambil mengatur nafas agar kembali normal lalu berusaha meraih handle pintu dan membukanya.
“Yura, kamu kenapa Nak?” tanya Ibu sambil memelukku.
Tubuhku sangat lemas, rasanya seperti lelah beraktivitas dan tanpa makan berhari-hari. Padahal aku belum pernah merasakan tidak makan berhari-hari. Ya, semacam itulah rasanya. Dua orang perawat membantuku kembali ke hospital bed, termasuk mengkondisikan jarum dan selang infusan yang sempat keluar darah saat tubuhku tremor. Aku memandang langit-langit kamar dan tidak lama terlihat gelap, sepertinya aku tidak sadarkan diri.
Sudah hampir tiga hari aku keluar dari rumah sakit dan saat ini sudah dalam perjalanan menuju kediaman suster Marni. Walaupun orang tuaku melarang aku keluar rumah karena masih khawatir dengan kesehatanku, aku memaksa dan berjanji tidak akan lama. Ibu mengizinkan tapi dengan syarat aku pergi diantar oleh supir.
Berbekal alamat suster Marni yang sebelumnya aku minta dari suster Rena. Walaupun awalnya Suster Rena ragu untuk memberikan, aku menceritakan alasan mengapa aku membutuhkan alamat itu.
Disinilah aku berada, kediaman yang masih cukup asri dengan pepohonan di sekitar rumah. Rumah sederhana dimana Suster Marni pernah tinggal semasa hidup. Aku mendorong pagar besi yang sudah berkarat dan melangkah menuju beranda rumah.
“Assalamu’alaikum, permisi,” sapaku.
Belum ada pergerakan pintu dibuka, aku pun kembali mengucapkan salam.
“Walaikumsalam.” Seorang wanita paruh baya membuka pintu dan menatap heran ke arahku. “Cari siapa?” tanyanya.
Aku tersenyum, sepertinya wanita ini adalah ibu suster Marni. Sepintas ada kemiripan wajah mereka.
“Saya Yura. Ada perlu dengan keluarga suster Marni,” ujarku.
“Tapi Marni sudah ....”
“Saya tahu, Bu. Boleh saya masuk,” pintaku.
Ibu itu akhirnya mempersilahkan aku masuk. Kami duduk berhadapan di ruang tamu dengan sofa yang terlihat sudah usang. “Eh, saya buatkan minum dulu.”
“Tidak usah Bu, saya tidak akan lama.” Ibu itu yang sudah beranjak berdiri pun kembali duduk.
“Jadi begini Bu, kedatangan saya ingin menyampaikan pesan dari Suster Marni yang mungkin bisa membantu Ibu dan Keluarga.”
Ibu itu hanya diam dan menyimak apa yang aku jelaskan. Awalnya raut wajahnya serius tapi kelamaan gurat kesedihan sangat terlihat bahkan dia sudah terisak dan air matanya sudah membasahi kedua pipinya.
“Marni ....” ujar Ibu itu sambil meraung.
“Boleh saya ikut ke kamarnya.”
Ibu itu mengantarkan aku ke kamar suster Marni. Mencari berkas asuransi yang sempat disampaikan oleh arwah suster Marni. Akhirnya ketemu juga berkas yang dicari.
Aku menjelaskan kepada Ibu itu bagaimana mengurus asuransi dan berkas yang dibutuhkan, juga meninggalkan nomor teleponku jika masih tidak mengerti proses pengurusan klaim asuransinya. Arwah Suster Marni masih penasaran karena tidak tega melihat keluarganya yang kesusahan, dia sebagai tulang punggung keluarganya dan kini sudah tiada bukan hanya meninggalkan duka tapi ada bekal untuk keluarga yang masih hidup.
Ternyata keluarganya tidak tahu dan tidak paham, arwah Suster Marni menggunakan kesempatan saat aku bisa melihatnya untuk membantu menyampaikan pesan terakhirnya.
Saat ini , aku sudah berada di depan pagar rumah suster Marni terdengar tangisan sang Ibu yang lebih kencang dari sebelumnya.
“Marni ... bahkan saat kamu pergi masih memikirkan Ibu dan adik-adikmu. Marni, Ibu doakan kamu tenang di sana Nak.”
Kedua mataku sempat berembun mendengar tutur kata dan tangisan Ibu itu. Saat menoleh kearah pepohonan yang ada di depan rumah, sosok itu ada di sana. Menatap kearahku dengan tersenyum, gerakan bibirnya jelas megucapkan terima kasih. Lalu melambaikan tangannya dan perlahan sosok suster Marni menghilang.
Author Pov
Yura menghela nafasnya mengingat kembali saat pertama kali dia bisa melihat makhluk lain selain manusia. Termasuk yang tadi mengikutinya, sudah berkali-kali menampakan diri. Belum bisa memecahkan misteri mengapa dia bisa melihat sosok atau arwah-arwah tersebut. Entah karena mimpinya atau hal lain.
Setelah menghabiskan teh manisnya, Yura mengeluarkan ponsel lain miliknya. Memutar lantunan ayat suci yang selalu diputar setiap malam ketika dia tidur. Membuat suasana lebih hangat dan mengurangi rasa takutnya. Sengaja menyiapkan ponsel khusus untuk hal tersebut, semenjak dia bisa melihat sosok yang bukan manusia.
“Ahhh, tubuhku rasanya lemes banget sih,” keluh Yura yang sudah berbaring di ranjangnya dan tidak lama kemudian akhirnya terlelap.
Esok Hari.
Yura baru saja turun dari angkutan umum dan berjalan melewati koridor menuju kelasnya.
“Yura.” Panggil seseorang, Yura pun menoleh.
“Tumben udah datang, biasanya telat mulu,” ujar Yura pada Nana.
“Ih rese, ya kali telat mulu. Aku ‘kan pengen lulus dengan prestasi dan kemampuan maksimal,” sahutnya. Yura hanya tersenyum, keduanya sama-sama satu kelas sejak semester satu jadi wajar saja kalau begitu akrab.
“Eh, Mail udah stay aja,” ejek Nana.
Yura memilih kursi yang tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang. Sedangkan Mail dan Nana masih asyik berdebat sambil berdiri.
“Hai Yura, siang ini ada acara nggak?”
Yura menoleh ke arah Refan yang duduk dua baris di belakangnya. Berkumpul bersama tiga rekannya, siapa yang tidak mengenal Refan CS. Mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengulang mata kuliah di kelas Yura dan selalu menggoda Yura ketika bertemu.
“Hm ....”
“Ada, Yura ada acara sama kita,” sahut Nana.
Refan langsung memasang wajah datar mendengar ucapan Nana . “Gue nggak tanya lo,” ujar Refan.
Nana pun duduk di samping kiri Yura, begitu pun Mail yang juga duduk di samping Nana. “Kamu jangan kasih Refan harapan, tahu sendiri dia track record-nya gimana,” bisik Nana.
“Siapa yang kasih harapan, justru aku mau menjawab biar dia nggak ada tanya lagi aku ada waktu atau nggak.”
Kelas mulai penuh, bukan hanya teman satu angkatan Yura tapi banyak juga angkatan lain yang mengulang di mata kuliah yang saat ini Yura ampu.
“Banyak banget kating pada ngulang sih, pada bego apa gimana?”
“Hush, nggak boleh gitu. Mungkin memang mereka belum ambil atau saat itu mereka sibuk jadi nilainya nggak maksimal.”
“Woi arah jam tiga dari Yura, Kaivan. Semester tujuh jurusan komunikasi juga, terkenal banget cool-nya,” gumam Mail.
“Iya ganteng banget cuy,” lirih Nana.
“Iya, betah banget dah aku ngelihatinnya,” sahut Yura. Ketiganya saling ucap tanpa menatap objek yang dimaksud, pria yang dimaksud duduk hanya terhalang dua kursi dari Yura.
Dosen sudah berada di depan kelas dan memulai perkuliahan. Saat sedang menyimak penjelasan dosen dan mencatat yang sekiranya penting, Yura dikejutkan dengan sosok yang semalam mengikutinya, saat ini sosok tersebut berada tepat di samping dosen.
“Astagfirullah,” gumam Yura pelan lalu menundukkan wajahnya. Tangannya mencengkeram erat pulpen yang sedang dia pegang. Perlahan memberanikan diri mengangkat wajahnya dan sosok itu sudah tidak ada, Yura pun menatap mahasiswa lain yang sepertinya tidak ada yang terganggu atau melihat sosok itu kecuali dirinya. Saat menoleh ke kanan, tampak Kaivan sedang menatap ke arahnya dengan sorot mata tajam membuat Yura bergidik ngeri.
Ganteng tapi serem amat tatapannya, setan yang tadi aja kalah, batin Yura.
Sampai kuliah berakhir, Yura tidak ada melihat lagi sosok itu di kelas.
“Yura, mau ikut kita nggak?”
“Kemana?” tanya Yura sambil merapikan buku dan alat tulisnya.
“Nonton, ada film Avat*r, ayok ikut Mail yang tanggung jawab deh.”
“Lo pikir Yura bunting pake gue yang tanggung jawab,” protes Mail.
Yura hanya tertawa mendengar kedua sahabatnya berseteru.
“Yura, tawaran gue masih berlaku loh,” ujar Refan yang masih duduk di kursinya
“Nggak usah usaha terus, susah banget dikasih tahunya. Yura mau pergi sama kita-kita,” ujar Nana, padahal Yura belum menjawab.
“Gue tanya Yura bukan lo,” pekik Refan. Yura menggelengkan kepalanya saat Nana dan Mail akan balas menjawab Refan.
“Kita cabut!” ajak Yura lalu meninggalkan kelas bersama kedua sahabatnya. Sempat melirik ke arah Kaivan yang masih berada di kelas dan saat ini menatapnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!