NovelToon NovelToon

Cuek Itu Normal

Awal

Masalah akan selalu ada selama manusia masih bernafas. Hidup harus terus berjalan apapun yang terjadi. Tidak perduli apa yang kamu fikirkan, apa yang kamu inginkan, apa yang dianggap orang dan apa yang kamu anggap, waktu akan memakan setiap episode umurmu. Begitulah dunia, tidak ada akhir, kecuali kematian.

Aku Zahira gunawan, berumur 26 tahun. Seorang yatim piatu yang sedang mencari siapa yang membuangku. Ibu panti hanya mengatakan bahwa ia menemukanku di atas jembatan. Dengan sebuah kain bedong batik dan sepucuk surat dari orang yang membuangku. Ibu panti bilang mungkin dia orang tuaku, tapi untuk sementara ini aku akan menyebutnya orang yang membuangku. perjalananku menemukan mereka masih jauh, meskipun aku sudah menghabiskan waktu selama 10 tahun lebih.

" Za ... waktunya makan siang. Kamu enggak makan?" Aku menoleh pada rekan kerjaku, namanya Rara, dia sekedar rekan kerja, aku tidak cukup dekat dengannya. Kulirik jam yang melingkar di tanganku, pukul 12.30. Waktunya makan siang.

"Pergilah duluan, aku akan jaga kasir."

Temanku tersenyum hangat dan menepuk lenganku pelan.

"Apa yang sedang kamu fikirkan? aku sedari tadi tidak di sini pun kamu tidak sadar? pergilah biar aku yang jaga."

Rara mendorongku punggungku untuk pergi. Aku tertawa kecil dan segera melangkah ke kantin sebelah butik ini. Bibi pemilik kantin memiliki menu yang aku sukai, nasi ayam dengan ciri khas cabe buatannya yang terkenal enak.

Biasanya aku membawa bekal makan siang untuk berhemat, hanya saja tadi sedikit terlambat bangun karena aku menyelesaikan berlembar-lembar novelku. Selain bekerja di butik, aku juga bekerja sampingan menjadi penulis. Masih pemula, novel yang aku terbitkan baru satu dan penjualannya cukup lumayan.

Hari ini cukup melelahkan, banyak pelanggan yang datang di butik ibu Karin, bosku satu itu memang terkenal. Selain perancang busana ia juga seorang youtuber terkenal. Meski ia sudah kepala empat dan memiliki suami kaya raya pengusaha sukses. Terkadang aku sangat terkesan dengannya yang masih mau bekerja keras.

Seseorang mengikutiku, beberapa hari ini aku menyadarinya. Orang itu entah pria atau wanita, saat aku pergi dan pulang, ia akan mulai mengawasiku. Sampai saat ini aku masih berpura-pura tidak menyadarinya. Hanya menunggu waktu yang tepat.

Aku berbelok ke arah kantor di mana detektif sewaanku bekerja. Kantornya tidak cukup besar, tapi cukup nyaman bagiku. Aku menyewa mereka setahun yang lalu, saat aku nyaris putus asa.

Saat aku melangkah masuk, saat itu juga penguntit itu berbalik arah dan menurunkan topinya. Ini pertama kalinya aku melihatnya meski hanya punggungnya saja. Ia seorang laki-laki dengan postur yang sangat tinggi. Berambut hitam, memakai jaket kulit hitam dan jins hitam. Aku masih terpaku di depan pintu kaca itu sampai seseorang menepuk pundakku.

" Apa yang menarik diujung jalan sana, Nona?"

Aku berbalik dan menghela nafas pelan sebelum melangkah ke sofa panjang di sudut ruangan. Total abai dengan sapaan Wewen yang aku tahu akan mengikutiku. Aku tahu dia berdecak tidak suka atas pertanyaannya yang tidak mendapatkan jawaban.

"Ada informasi baru apa?" tanyaku.

Dia jelas melirikku dengan sengit, seolah tidak menyetujui sikap acuhku. Sayang sekali aku tidak perduli.

Dia berjalan kemeja kerjanya, mengambil sebuah map dia atas meja dan memberikannya padaku.

"Apa ini?"

"Seseorang mengirimnya melalui paket padaku, tampa nama dan tampa asal. Aneh sekali. "

Aku membukanya, sebuah foto bayi. Juga foto jembatan yang sangat aku kenali. Ada gambar rumah sederhana, tapi aku tidak tahu itu rumah siapa.

"Menurutku bayi itu adalah kamu, karena kamu pernah bilang kamu ditemukan di jembatan itu. Meskipun keadaanya tidak sama lagi dengan foto lama ini. Tapi rumah itu, aku masih menyelidikinya. Aku tidak yakin tapi aku menebak itu mungkin rumah orang tuamu atau rumah pantimu yang dulu. aku dengar panti itu mengalami perbaikan beberapa kali."

" Aku ingat sejak berumur sepuluh tahun panti sudah direnovasi dua kali. Tapi ... siapa yang mengirimkan ini? Apa maksudnya? Kenapa tidak langsung menemuiku tapi malah bermain teka teki?"

Penguntit

Aku memiliki insting yang kuat, itu yang Wewen katakan padaku. Dia bilang kemampuanku menganalisa sesuatu sangat cocok bekerja sebagai polisi atau detektif sepertinya. Dia orang yang sedikit cerewet, tapi selebihnya dia orang yang sangat baik. Dia bersedia dibayar rendah olehku diawal karena saat itu aku belum menerima royalti dari buku. Sampai saat ini dia lebih seperti hanya membantuku dibandingkan aku membayarnya. Dia berulang kali menyuruhku berhenti di butik dan ikut bekerja dengannya, tapi tetap saja, aku tidak tertarik.

Ponselku berbunyi saat aku sedang menikmati makan malamku. Meletakkan sendok dipiring dan meraih ponsel di meja depan TV. Kenapa Wewen menelfon malam-malam?

"Halo."

"Za ... aku mendapatkan tawaran kerja sama dari polisi, bagaimana menurutmu? aku hebat, kan? hahahaha ... mereka pasti__"

"Selamat! jadi apa urusannya denganku? kalau kamu mau mengajakku, maaf ya ... aku tidak tertarik."

Aku memotongnya dengan jengah, aku sedang lapar tapi dia malah mengganggu.

"Hei wanita anti sosial! setidaknya berbaurlah dengan polisi-polisi itu ... kamu bisa mendapatkan akses informasi lebih mudah jika dekat dengan mereka."

Lagi-lagi dia memanggilku anti sosial. menyebalkan sekali. Aku bukan anti sosial. Aku hanya tidak suka orang berisik sepertinya.

"Kan, kamu ada."

Aku nyaris terkekeh mendengar dia berdecak dengan kesal.

"Bukan begitu ... aku hanya merasa kamu harus terjun langsung, bakatmu itu sangat disayangkan__"

"Aku sedang makan, su__"

Aku reflek berdiri saat menyadari ada seseorang yang melintas di dekat jendela. meski jendela tertutup tirai, aku jelas melihat ada bayangan di sana. Apa penguntit itu semakin berani?

"Za ... ! ada apa disana? hei!"

Aku total abai dengan panggilan Wewen, berjalan pelan mendekati jendela dan menyingkap tirai itu pelan-pelan. Aku melirik ke kiri dan kanan sisi jendela tapi tidak melihat apapun. Lampu di depan rumah tidak terlalu terang sehingga membatasi pandangan.

Apa aku harus memeriksanya keluar?

Aku merasa tidak aman lagi sekarang. Dia bisa saja masuk diam-diam saat aku tidur. Siapa sih sebenarnya laki-laki ini. Apa tujuannya, setelah nyaris dua bulan mengikutiku.

Kembali kedepan TV dan menyambar ponselku. Panggilan masih berlangsung dengan suara Wewen yang memanggil-manggil. Dia terdengar sangat kawatir.

"Seseorang di luar rumahku ... aku tidak tahu siapa."

Wewen sempat terdiam beberapa detik saat aku memberitahukan kekawatiranku. Dia memperingatkan saat aku mengatakan akan melihat keluar.

"Jangan sok berani dan keluar menghadapinya sendirian! Aku akan kerumahmu sekarang."

Telepon dimatikan. Aku bukan sok berani, tapi memang berani. Lebih tepatnya berani mati. Aku memang tidak memiliki rasa takut berlebihan, meski sedikit kawatir terhadap pelecehan, tapi selebihnya aku tidak takut. Aku menguasai beberapa seni bela diri sejak SMA, aku memang mengikuti beberapa club bela diri karena aku bertekat untuk menemukan orang yang membuangku. Aku sendirian, tidak ada yang bisa aku andalkan untuk melindungiku. Karena itu aku harus bisa melindungi diri sendiri.

Sejujurnya, Wewen tidak mengetahui itu. Dia hanya tahu aku wanita anti sosial kelewat berani tampa memikirkan resiko. Aku memang tidak mengatakannya pada siapapun, seperti yang dikatakan Wewen. Aku hidup dengan hanya mengenal segelintir orang.

Aku memutar kunci dan membuka pintu dengan pelan. Siaga pada apapun yang akan menyerangku. Tapi nyatanya, tidak ada seorangpun di depan pintu. Aku melangkahkan kaki keluar, saat itulah aku melihatnya. Dia berdiri disudut rumah, di daerah gelap yang tidak terkena cahaya, aku tidak bisa melihat wajahnya.

"Sangat berani."

Suara rendahnya membuat bulu kudukku berdiri. Apa-apaan dia ini. Kenapa hanya dengan mendengar suaranya aku jadi begini? ini tidak seperti aku yang biasa. Siapa dia?

"Hei! sudah kubilang jangan sok berani!"

Suara wewen mengalihkan atensiku. Wewen berlari dari motornya yang terparkir diluar pagar rumah dan melompati pagar yang aku kunci. Pagarnya tidak tinggi jadi dengan mudah dilompati.

Aku menoleh kembali pada sosok yang tadi berdiri disudut, tapi dia sudah menghilang. Aku kesal sekaligus bersyukur. Kesal karena kedatangan Wewen mengacaukan aku mengejar laki-laki itu, bersyukur karena bisa saja aku celaka karena keberanianku sendiri. Aku bahkan tidak tahu siapa yang sedang aku hadapi.

"Si anti sosial ini!"

"Akh!"

Aku meringis nyeri saat dia menjitak keningku cukup kuat.

"Sudah kubilangkn jangan keluar! dulu kamu bilang penguntitmu itu tidak ada lagi. Apa ini, membohongiku selama ini? "

Inilah kenapa aku memilih berbohong sebulan belakangan ini, dia sangat cerewet dan kekawatirannya berlebihan seperti nenek-nenek.

" Aku kawatir tahu. Cepat masuk! aku akan memeriksa sekitar rumahmu terlebih dahulu."

Dia mendorongku dan menutup pintu. Aku tahu dia pasti memeriksa sekeliling rumah bahkan jalan-jalan di sekeliling rumah ini. Terkadang aku berfikir kenapa dia bersikap sangat berlebihan padaku, tapi aku tahu jawabannya bukan karena dia menyukaiku sebagai wanita. Aku tahu ada sesuatu tapi aku tidak bisa menebaknya. Dia sangat suka mengaturku ini dan itu, cerewet seperti seorang ayah yang sedang menghawatirkan anak perempuannya.

"Aku akan memasang CCTV di setiap sudut rumahmu, juga di depan jalan masuk."

Dia berkeringat sangat banyak, Aku berjalan ke dapur, mengambil air putih dan memberikan kepadanya.

"Tidak perlu, aku akan mengatasi orang itu," jawabku acuh karena aku bertekat mengajak orang itu bicara bila ada kesempatan. Tapi sepertinya jawaban acuhku saat ini berada di situasi yang salah. Belum pernah aku mendapatkan tatapan sedatar dan semarah ini darinya.

" Apa keselamatan lelucon bagimu?"

Aku tahu, aku baru saja salah memilih kata-kata.

Pengasuh Dadakan Sikembar

Kenapa aku tiba-tiba menjadi kosong. Aku masih terpaku pada tatapan tajam tapi terluka milik Wewen sebelum ia meninggalkanku.

Sehebat apapun kamu bisa menjaga dirimu sendiri, tolong tetap jaga hati orang lain yang menghawatirkanmu. Karena yang ditinggalkan lebih menderita karena penyesalan.Tolong jaga keselamatanmu.

Perkataanya membuatku mengasihaninya. Aku tahu dia kawatir sebagai teman, kakak atau saudara. Tapi ada sesuatu yang membuatnya bersedih. Apa dia menganggapku sedalam itu dari diriku sendiri terhadapnya atau dia pernah kehilangan seseorang karena sesuatu dan trauma karenanya?

"Hmm ... sebaiknya aku segera tidur."

Aku baru saja sampai di depan butik tempatku bekerja saat Rara hanya berdiri di depan pintu. Tapi kenapa ia tidak masuk dan hanya menatap sesekali kedalam?

" Ngapain di sini? "

Rara menoleh dan menyuruhku untuk tidak bersuara. Dia dengan takut-takut melirik kedalam sebelum menjelaskannya padaku.

" Didalam ada bu Karin dan suaminya. ada Adik iparnya juga. Hmm... mereka sedang debat dan aku disuruh keluar."

"Kenapa mereka tidak di dalam ruangan bu karin saja?"

Rara mengajakku duduk di bangku panjang depan butik yang disediakan untuk pengunjung.

"Saat aku baru sampai, Butik sudah dibuka. bu' Karin sedang rapi-rapi, dia juga bawa sikembar. Di dalam ruang dia kan ada satu ruang istirahat. Sepertinya tadi malam dia tidur disana. Saat aku membantu, suami dan adiknya datang."

Aku tidak tahu siapa suami dan adiknya, tapi dari cerita Rara dulu, adik iparnya juga mendirikan perusahaan diluar milik keluarga. lalu kenapa ia seoalah ikut dalam masalah keluarga kakaknya?. Aneh sekali, tapi apa peduliku, itu urusan mereka kan?

Pintu butik terbuka dan seorang pria dengan tinggi sekitar 178 cm keluar dengan menggendong dua anak kecil. Aku tahu mereka anak bu' Karin, kami sering bermain dengan mereka. Vio dan Via, dua balita kembar yang menggemaskan.

Pria ini masih muda, aku rasa dia adik iparnya, tidak mungkin yang ini suami bu' Karin kan?. Tapi ... kenapa dia berhenti di depanku?

"Tolong gendong Via dan ikut denganku."

Apa-apaan orang ini. Aku menoleh ke Rara yang menggeleng pelan tidak mengerti.

"Ini perintah kak Karin!" tambahnya sebelum aku sempat menyela. Oh, oke ... jadi jika ini perintah bos ku aku harus menurutinya?

Dengan terpaksa aku mengambil Via dari tangan kanannya dan mengendongnya di dada. Pria ini berjalan ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan dan aku mengikutinya masuk kedalam.

Vio dan Via masih tertidur dengan pulas. Aneh sekali kenapa dua balita ini tidak terganggu sama sekali. Vio duduk di depan, dengan selfbel terpasang dan Via di pangkuanku duduk di belakang.

"Maaf ... kita akan kemana? kenapa anda membawa Vio dan Via dari orang tuanya?"

"Mereka lebih aman denganku saat ini. Jika mereka berhenti aku akan mengembalikan mereka."

"Lalu kenapa saya harus ikut?"

Dia melirikku dengan mata tajamnya namun tidak menjawab. Apa pertanyaanku salah?

Ah ... karena perintah bu Karin begitu?

"Saya hanya karyawannya, pekerjaan saya hanya di butik. Saya rasa hal ini tidak ada di kontrak kerja. Saya tidak terlalu nyaman terlibat dalam urusan pribadi orang lain."

Aku terhuyung mendadak kedepan saat mobil mendadak berhenti, dan ini di tengah-tengah jalan. Apa orang ini sudah gila?

"Apa kamu anti sosial? "

Kalimat itu lagi, kenapa aku mendengar kalimat itu dari dua orang sekarang?

"Tunjukkan empatimu sebagai manusia. Kakakku sedang minta tolong padamu. Apa aku perlu membayarmu juga untuk hal ini?"

Nada rendah dan datarnya sangat menohok. Apa aku terlihat sejahat itu? aku bukannya tidak mau menolong, hanya saja aku benar-benar tidak nyaman dengan masuk ke urusan orang lain. Aku tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Aku terbiasa sendirian.

Aku tahu dia melirikku sambil menginjak gas lagi, dia mengabaikan klakson mobil lain hanya untuk menjawab dengan sarkas ucapanku barusan.

"Panggil aku Kenzo."

Aku tidak peduli namamu omong-omong. Dia benar-benar pria menyebalkan yang pernah aku temui.

Sesampainya di dalam apartemen, kami disambut seorang wanita paruh baya yang sedang memegang vakum cleaner.

"Ah ... Tuan kembali lagi? maaf saya belum selesai membersihkan__"

"Tidak masalah, lanjutkan saja."

Aku menunduk sedikit memberi sapaan pada ibu itu sebelum mengikuti Kenzo masuk ke kamarnya. Membaringkan Via di samping Vio yang tampak terusik.

Oh tidak! anak ini bangun dan menangis. Via yang mendengar tangisan saudaranya terbangun dan ikut menangis juga. Aku buru-buru menggendong Via lagi dan Kenzo menggendong Vio. Kami berusaha menenangkan mereka.

"Aku akan menyuruh pengasuh mereka datang, tolong tetap bermain dengan mereka selagi aku pergi."

Aku melirik dua balita yang akhirnya bisa diam dan sedang menonton kartun sebelum bangkit dan menghadap pria ini. Apa-apan dia mau meninggalkan kami.

"Tidak bisa! aku tidak bisa menangani dua sekaligus. Aku tahu seberapa rewelnya mereka omong-omong."

Kenzo memijit pangkal hidungnya pelan sebelum kembali menatapku dengan pandangan geram.

"Mereka keponakanmu dan mempercayakan orang asing sementara kamu pergi? "

"Kamu karyawan kakakku!"

"Aku tetap orang asing!"

Dia menghela nafas. Aku tidak salah, aku masihlah orang asing meskipun karyawan kakaknya. Bagaimana bisa dia sembarangan begini.

Ponselku bergetar, Wewen menelepon. Kenzo tampak diam saja menunggu, memberiku waktu. Aku akhirnya mengangkat telepon itu tampa beranjak.

"Kenapa?"

"Apa kamu masih diikuti pagi ini?"

"Tidak, aku pikir dia berhenti karena kedatanganmu tadi malam."

"Jangan berbohong!"

"Aku tidak, dia benar-benar tidak muncul_ atau belum. Aku akan mengabari jika terjadi sesuatu, oke?"

Aku tidak mengerti kenapa aku harus meyakinkannya. Tapi dengan begini dia jadi bisa berhenti kawatir. Aku mematikan telfon dan menatap Kenzo lagi, masih dengan keras kepala.

"Kamu memiliki penguntit?"

"Bukan urusanmu! Jadi yang akan terjadi selanjutnya adalah ... kamu menunggu pengasuh sikembar baru pergi dan aku bisa berangkat sekarang karena aku harus bekerja."

Kenzo menatapku lama, seakan sedang memikirkan sesuatu. Aku mengernyit heran, ada apa dengannya?

"Butik ditutup hari ini. Aku harus ke kantor karena rapat penting. Kamu tidak punya pilihan."

Usai berbicara dengan tatapan yang aneh itu, ia segera pergi. Aku melirik sikembar yang tertawa-tawa karena kartun yang lucu. dengan lesu ikut duduk di dekat mereka.

Bagus sekali pria ini, aku tidak punya nomor teleponnya. Pengasuh yang dia bilang akan datang bahkan tidak kelihatan batang hidungnya sampai detik ini. Aku melirik jam di dinding dan sudah waktunya makan siang. Kabar baiknya sikembar tidak terlalu rewel, cukup penurut.

Aku berjalan ke dapur dan memeriksa kulkas, hebatnya tidak ada apapun disana kecuali minuman kaleng. Bibi yang bekerja tadi pagi juga sudah pulang karena tugasnya hanya bersih-bersih dan mencuci. Lalu aku harus apa? bahkan nomor bu' Karin juga tidak bisa dihubungi. Ibu macam apa dia?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!