Malam ini, ada kegiatan yang sangat di tunggu oleh semua orang, bagaimana tidak di tunggu-tunggu.
Hari ini adalah hari reuni sekolah SMA yang sudah beberapa tahun mereka lulus, bahkan mungkin sebagian besar sudah menikah dan punya kehidupan yang mapan.
"Reino!" panggil seseorang.
Seorang pria tampan dan begitu tegap dan gagah menoleh pada pria yang memanggilnya.
"Fauzan," jawab pria itu tersenyum ramah.
Reino Mahardika, seorang pengusaha sukses yang memiliki hidup sangat berkecukupan.
Sudah menikah meski belum di karuniai seorang anak, tapi kehidupan mereka sangat bahagia.
Di sisi lain seorang wanita juga baru sampai, dia adalah wanita yang dulu di panggil primadona sekolah, bagaimana tidak, wajah cantiknya selalu menghiasi pamflet atau brosur sekolah.
"Naina!" teriak para wanita yang heboh melihat wanita cantik itu.
"Hai cantik...." kata Naina yang terlihat begitu cantik dan badannya bahkan masih terjaga.
"Aduh ibu pejabat ini kenapa telat," kata Rahayu.
"Hentikan, siapa yang ibu pejabat, kamu ini bisa saja," kata Naina dengan ramah.
Naina Ayuningtyas, seorang wanita yang terkenal sebagai istri lurah dan tetua di desa.
Memiliki kehidupan sederhana dan menjadi ibu dari seorang putri dan putra yang sudah berusia lima tahun.
Di balik senyum manisnya itu, tak ada seorang pun yang tau apa yang di lalui oleh gadis cantik itu.
"Wah... karena semua sudah datang, kita bisa mulai acaranya," kata salah satu teman mereka.
Semua pun berkumpul di tengah lapangan sekolah itu, kelompok wanita dan pria di pisah.
Tapi pandangan mata Reino terus melihat ke arah sosok wanita yang selalu jadi cinta pertamanya itu.
Fauzan mengetahui hal itu pun menepuk bahu temannya itu, "ingat bro kalian sudah berumah tangga,"
"Aku tau itu, tapi aku tak sangka dia tidak berubah, dan tetap ramah seperti dulu," kata Reino
"Aku tau kehidupannya bro, jika seandainya kamu masih sendiri, mungkin aku akan meminta pertolongan mu, tapi nyatanya itu mustahil, sudah lupakan saja," kata Fauzan
Reino sadar sesuatu, jika ada yang tak beres dengan kehidupan dari Naina.
Tapi apa itu, tak mungkin wanita yang begitu baik itu tersiksa selama ini.
Acara sangat meriah, tanpa di sadari, sosok suami Naina datang, dia adalah tamu istimewa di acara itu.
Ya pria itu adalah pria yang sangat di hormati di desa itu, atau lebih tepatnya dia menjadi lurah dan sesepuh desa itu.
Naina langsung bangkit dan mencium tangan pria itu, bahkan di depan semua teman sekolah istrinya, pria itu mencium kening Naina.
Itu membuat sebagian teman Naina kaget, pasalnya usia suami Naina kemungkinan seusia dengan ayah wanita itu.
"Dia suaminya?" tanya Reino pada Fauzan.
"Dia bukan orang sembarangan bro,meski kamu tau dia lurah, tapi nyatanya dia lebih dari itu, dan Naina adalah istri kesayangannya," jawab Fauzan.
Mendengar itu Reino merasa marah, bagaimana bisa wanita yang begitu anggun dan cantik seperti Naina harus berakhir dengan pria tua seperti itu.
Dia tak terima melihat itu, tapi dia tak bisa melakukan apapun, bagaimana pun ini takdir mereka.
"Baiklah, karena tamu kehormatan kita sudah datang, bagaimana kalau Romo Jalal memberikan sepatah kata, untuk menyemangati kami," kata ketua panitia.
"Mau pesan apa tole, sudah saya yakin jika lulusan sekolah SMA negeri ini sudah jadi orang semua, dan jika ada yang butuh suntikan dana bilang saja atau temui saya, jika saya bisa saya pasti akan bantu, tenang saja," kata Romo Jalal.
Jalaludin Rahmat, seorang tetua desa dan lurah seumur hidup, menjadi orang yang sangat di hormati oleh masyarakat di kampungnya.
Bahkan ucapan pria itu seperti hukum, selain itu pria yang sudah sepuh itu memiliki banyak istri.
Tapi hanya Naina yang menjadi istri kesayangannya karena yang berhasil memberikan dirinya seorang pewaris.
Ya, pria itu meski banyak istri tapi semua istrinya tak ada yang memiliki anak, dan hanya Naina yang sukses melakukan bayi tabung karena hanya wanita itu yang memiliki rahim yang sempurna.
Itulah kenapa Romo Jalal sangat menyayangi istrinya itu, Reino pun pamit kebelakang untuk ke toilet
Dan bertepatan dengan Naina yang juga ke toilet, dan di saat itulah Reino nekat memberikan sebuah kertas pada Naina.
Dan setelah itu Reino pun pamit karena beralasan ada pekerjaan yang tak bisa di tinggalkan.
Naina yang memang masih menyimpan rasa, memilih menyimpan kertas itu.
Dan kembali ke tempat duduknya, "kenapa lama sekali," gumam Romo Jalal dengan wajah dingin.
"Maaf kang mas, saya sedikit sakit perut, sepertinya tadi Siti membuat masakan terlalu pedas," jawab Naina.
Mendengar itu, Romo Jalal sangat marah, bagaimana bisa pembantu itu begitu lancang membuat istrinya sakit.
"Jul, tanya Siti siapa yang menyuruhnya memasak masakan pedas, sudah tau nyonya Naina tak bisa makan pedas," kata Romo Jalal.
"Baik Romo," jawab centeng yang selalu mengikuti pria itu kemanapun pergi
Bahkan sebenarnya Naina juga memiliki pengawal juga, tapi hari ini dia meminta dia pengawalnya itu untuk tidak ikut.
Acara itu pun berakhir saat sore hari, dan Naina harus ikut mobil Romo Jalal.
Tapi sebelum pergi dia bertukar nomor ponsel dengan seluruh teman-temannya.
Bahkan mereka juga di undang sendiri oleh Romo Jalal untuk datang ke rumah agar bisa melihat kediaman keluarga Rahmat itu.
Selama perjalanan menuju ke rumah mewah dan luas itu, Naina hanya diam, sedang Romo Jalal juga tau jika istrinya itu masih marah.
"Sudah toh dek, jangan manyun begitu, masak iya kamu mau memasang wajah begitu di depan anak-anak," kata Romo Jalal.
"Sudah ku katakan, aku tak bisa hidup seperti ini kang mas, karena mbak Lastri selalu membuat ku sakit," kata Naina yang langsung meninggalkan suaminya itu dan bergegas masuk kedalam rumah.
Terlihat dua anaknya baru selesai mandi, "aduh anak-anak ibu sedang mau makan ya," kata Naina dengan sangat lembut.
"Bu.. Bu.. mamam... apak!" teriak Dirga putra pertamanya.
"Iya putra bapak yang tampan," kata Romo Jalal yang ikut datang.
Naina merasa aneh dengan nasi yang di bawa oleh pelayan di rumah miliknya.
"Tunggu dulu, siapa yang memasak ini, sudah aku bilang jangan memberikan putra putriku makanan yang tak jelas, aku sudah membuatkan makanan itu di lemari es kalian tinggal memanaskan saja," kata Naina.
"Maaf nyonya, tapi tadi tak sengaja makanannya jatuh saat nyonya sepuh datang meminta garam," kata pelayan itu ketakutan.
"Terus siapa yang membuat makanan ini?"
"Ini masakan yang di berikan oleh nyonya sepuh karena kami tadi sibuk memandikan den dirga, dan neng Dewi," jawab pelayan itu gemetaran.
Naina mengambil makanan itu, dan mengaduknya, "sekarang makan ini di depan ku, jika kalian tak mau akan menjejalkan ke mulut mu," marahnya.
"Tidak nyonya,"
"Makan!!" bentak Naina.
Dia memberikan isyarat pada kedua pengawalnya. kedua pria itu langsung menjejali pelayan wanita itu.
Dan setelah makanan untuk kedua balita itu di makan, dia pun kejang dan mengeluarkan busa.
"Kamu lihat kang mas, aku tak tahan lagi! pilih aku dan anak-anak atau pilih istri tua mu itu!" marah Naina yang langsung mengendong dua anaknya pergi.
Naina kini sedang berada di kamar bersama kedua anaknya, dia membiarkan telur otak Arik dan pasta di kamarnya yang memang sangat luas.
Terlebih dia memiliki peralatan listrik di dalam kamarnya, jadi dia tak perlu pusing karena tidak bisa makan.
Dia melihat kedua anaknya makan dengan sangat lahap, dia pun seperti terseret kembali ke masa lalu.
Bagaimana dia yang baru saja lulus SMA di paksa menikah dengan pria yang usianya calon suaminya itu sama dengan ayahnya.
〰️〰️〰️〰️
Naina masih menangis bahkan saat perias pengantin datang untuk mempercantik dirinya.
Perias itu pun tak bisa melakukan apapun, karena dia tak pertama kali melihat hal seperti ini, "aku tak mau menikah Bu... tolong bujuk ayah...."
"Itu tak mungkin Nina, ibu dan ayah sudah menerima uang dari Romo Jalal, jadi nurut atau kami tak akan menganggap mu anak lagi, dan kamu akan melihat kami mati saat membatalkan pernikahan ini," ancam ibu Naina.
Naina pun tak bisa bicara lagi, jadi dia memutuskan untuk menurut dan mau di make up.
Bahkan Naina mematahkan kartu SIM miliknya agar kekasihnya Reino tak menghubunginya lagi.
Naina di rias cukup lama, karena calon suaminya ingin menunjukkan bahwa hanya wanita sempurna yang bisa menjadi istrinya.
Akhirnya akad nikah terdengar oleh Naina, dan kini dia pun telah sah menjadi istri dan sekarang dia di tuntun untuk menghampiri suaminya.
Saat berjalan menuju ke arah suaminya itu, Naina terus menunduk takut dan tak ingin melihat sosok pria itu.
Dan saat di depan pria itu, Romo Jalal mengangkat wajah istrinya itu dan membuat Naina sedikit kaget.
Karena pria di depannya itu tak terlihat seusia ayahnya, itu tak mungkin karena dia dengar dari omongan warga jika pria itu seusia ayahnya.
Naina mencium tangan pria itu dan resepsi pernikahan di lanjutkan hingga malam hari dengan sangat meriah.
Setelah pesta, sosok Romo Jalal memberikan uang satu tas besar pada orang tua istrinya itu.
Kini Naina sadar jika dia sudah di jual oleh orang tuanya sendiri pada pria yang lebih pantas jadi ayahnya.
"Sekarang ayo kita pulang sayang," kata Romo Jalal merangkul bahu istrinya itu.
"Inggeh..."
Mereka pun pergi dengan mengunakan mobil menuju ke rumah mewah kediaman Rahmat yang sangat terkenal di desa itu.
Saat memasuki halaman rumah itu sangat luas, hingga ada tiga bangunan berdiri di pekarangan itu.
"Kenapa ada tiga bangunan Romo?" tanya Naina takut
"Panggil aku kang mas, itu adalah bangunan utama milik ku, di sisi kanan milik nyonya sepuh istri pertama ku, dan sisi kiri milik istri kedua ku nyonya tua, dan bangunan utama menjadi milik mu yang harus melayaniku tanpa penolakan, jika tidak seluruh keluarga mu yang mati," kata Romo Jalal yang turun dari mobil.
Naina pun ikut turun saat salah satu pengawal suaminya membukakan pintu.
Beberapa pelayan berlari mengambil tas milik Naina yang memang barangnya memang tak banyak.
Romo Jalal merangkul bahu dari istrinya itu, dan berjalan menuju ke arah rumah utama.
Saat mereka sampai terlihat ada dua wanita yang menyambut mereka berdua dengan senyum ramah.
"Selamat datang kang mas, dan adik baru kami," katanya dengan ramah.
"Hem... perkenalkan Naina, dia adalah istri pertama ku yang bernama Sulastri kamu bisa memanggilnya mbak Lastri dan yang di sebelah kanannya adalah istri kedua ku, namanya Ningsih, dan aku harap kalian tidak melakukan apapun yang akan melukai Naina, mengerti..."
"Inggeh kang mas," jawab keduanya sambil tersenyum.
Romo Jalal mengajak Naina masuk kedalam rumah utama, karena selama tiga bulan kedepan dia harus bersama Romo Jalal.
Naina kaget melihat kamar uang begitu luas, bahkan ada ruang tamu yang lengkap dengan kulkas dan mini dapur dan juga TV yang begitu besar
"Ini kamar atau rumah di dalam kamar," kata Naina yang merasa takjub.
"Sudah mandilah dulu dan kenakan baju yang ada di atas ranjang, ingat jangan menolak atau membantah," kata Romo Jalal yang menuju ke dapur untuk membuat sesuatu.
"Baik kang mas,"
Naina mandi ke arah kamar tidur, dan dia mengambil baju yang terlipat di ranjang.
Setelah mandi dia bingung karena baju yang di siapkan begitu tak berguna menurutnya.
Pasalnya baju itu terbuat dari jaring-jaring berwarna merah,bahkan baju itu tak bisa menutupi seluruh tubuhnya.
Dia keluar dari kamar mandi dan melihat sosok suaminya sedang berdiri di depan kamar mandi dengan tatapan lain.
"Maaf mas, silahkan kalau mau mandi," kata Naina yang langsung menuju ke arah tas miliknya karena dia ingin mengambil baju lain.
Tapi tanpa di duga, Naina di tarik dengan kasar dan Romo Jalal langsung menindihnya.
"Tolong lepaskan... kamu menyakiti ku..." lirih Naina yang mulai menangis.
"Ingat jangan menolak atau..." ancam Romo Jalal yang kini melanjutkan menikmati tubuh indah dan seksi milik istrinya.
Bahkan dia tak mengampuni Naina yang sudah menangis karena rasa sakit di bagian intimnya.
Bagaimana tidak, pria itu terus meminta Naina melayaninya dengan tanpa henti.
Sedang di rumah bagian kiri, seorang pelayan mencampur sesuatu di jamu milik Ningsih.
Ya itu adalah jamu tradisional yang perlahan akan menggerogoti tubuh Ningsih dan membuatnya mati perlahan.
Ya karena Ningsih menjaga dirinya dengan minum jamu setiap hari, jadi melukainya dengan hal yang dia sukai itu terlalu mudah.
Itu adalah ulah dari Bu Lastri yang tak ingin kasih sayang suaminya di bagi terlalu banyak, jadi dia menyingkirkan Ningsih yang bahkan tak bisa memberikan anak meski sudah menikah tiga tahun.
Bu Ningsih pun minum jamu seperti biasa tanpa curiga apapun, "silahkan istirahat nyonya," kata pelayan yang selalu mengikuti wanita itu.
"Iya mbok," jawab Bu Ningsih yang merebahkan tubuhnya di ranjang.
Dan wanita itu pun memejamkan mata dengan tenang, "selamat jalan Ningsih, setelah ini aku akan segera mengirim Naina bersama mu, jadi yang sabar ya Ning," kata Bu Lastri di kamarnya
Sedang di kamar pengantin baru itu, Romo Jalal masih menikmati waktu olahraga panasnya.
Bahkan setelah tau istrinya masih perawan, staminanya seperti tak bisa terbendung lagi.
Bahkan Naina sudah pingsan karena tak bisa menahan rasa sakitnya karena paksaan dan kelelahan
Entah berapa kali pria itu menumpahkan semua benihnya di dalam rahim istri barunya itu.
"Aku bersumpah akan sangat menjaga mu, dan tak sembarang orang melayani mu karena kamu satu-satunya harapan ku untuk mendapatkan keturunan," lirih Romo Jalal.
Setelah itu, keesokan harinya, saat masih menikmati waktunya bersama Naina yang sedang di atas tubuhnya.
Tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk cukup keras, dan itu membuatnya terpaksa mengakhiri permainan paginya.
Dan dia memakai baju miliknya dan membuka pintu kamar, "mau apa kamu mengganggu pagi seperti ini, kamu lupa aturan rumah ini!" bentaknya.
"Maafkan kebodohan dan kelancangan saya Romo, tapi ada berita ketiwasan nyonya tua di temukan meninggal dunia dalam tidurnya," kata Alip yang langsung membuat Romo Jalal pergi ke rumah bagian kiri.
Romo Jalal sampai di tempat Bu Ningsih, dan Bu Lastri bisa mencium aroma tubuh suaminya yang masih sangat khas.
Dia melihat jasad dari Bu Ningsih yang masih di biarkan di atas ranjang.
Bahkan wajah teduhnya seperti tersenyum dalam tidur selamanya itu.
Di tubuh wanita itu, ada beberapa bercak berwarna kehitaman, dia tau jika Bu ningsih keracunan tapi dia tak ingin ada yang mengatakan apapun.
"Para pelayan wanita silahkan bersihkan mayat Ningsih dan nyonya tua meninggal karena sakit gagal ginjal akut," kata Romo Jalal.
"Tapi apa tak akan ada yang aneh kang mas," kata Bu Lastri mendekati suaminya dan merangkul lengan suaminya itu.
"Seharusnya tidak, karena ucapan ku adalah perintah," kata Romo Jalal.
Semua orang pun menurut dan mengatakan dan melakukan apa yang di perintahkan oleh Romo Jalal.
Sedang Bu Lastri terus mengikuti suaminya itu, dan tanpa di duga sebuah tamparan keras di berikan oleh Romo Jalal.
"Kang mas!!"
"Kamu kelewatan kali ini Lastri, kenapa kamu membunuh Ningsih," marahnya
"Tidak kang mas, bagaimana bisa aku membunuh Ningsih, dia itu sadari ku," kata Bu Lastri membela diri.
"Aku tak peduli sekarang padamu, kamu harus di hukum atas tindakan buruk mu, Jul, Alip, bawa wanita ini ke kamarnya dan pasung jangan ada yang berani melepaskannya tanpa izin dariku," kata Romo Jalal.
"Tidak kang mas, ini salah paham .."kata Bu Lastri berontak.
Tapi semua itu sia-sia karena kedua centeng itu selalu mengikuti setiap perintah dari Romo jalal.
Setelah melihat Bu Lastri di bawa pergi, Romo Jalal memanggil beberapa orang yang akan menjadi pengawal khusus untuk Naina.
Kini dia kembali ke kamarnya dan memilih mandi, tapi saat masuk ke kamar mandi dia malah menemukan pemandangan yang menggoda.
Jadi dia melakukannya sekali lagi bersama istri ketiganya di kamar mandi dan tak mengatakan apapun tentang apa yang terjadi.
Naina sedang terduduk lemas di lantai kamar mandi karena seluruh tubuhnya begitu lelah dan sakit terutama bagian pinggulnya.
"Kamu harus tetap di kamar, ingat jangan keluar apapun yang kamu dengar, mengerti..."
"Iya kang mas," jawab Naina yang memilih menonton tv sambil membuat mie di kamar.
Dia melihat semua persediaan makanan jadi dia membuat sarapan untuk memulihkan kondisi tubuhnya.
Setelah selesai, dia benar-benar menurut karena tau jika Romo Jalal itu selalu melakukan apa yang dia katakan.
Pria itu sarapan dengan roti isi yang sudah di buatkan oleh pelayan, dan semua yang di perintahkan sudah di laksanakan.
Para warga yang mengetahui tentang berita buruk itu pun berbondong-bondong datang untuk mengucapkan perpisahan.
Karena Bu Ningsih terkenal sebagai istri yang baik hati dan dekat dengan masyarakat sekitar.
Itulah kenapa para warga merasa kehilangan sosok yang begitu mengayomi itu.
Dan mereka juga tak menyangka di balik senyumnya itu Bu Ningsih menyembunyikan penyakit yang merenggut nyawanya.
Pemakaman pun berjalan dengan sangat cepat dan tepat, karena Romo Jalal tak suka dengan keterlambatan.
Setelah pemakaman, masih ada beberapa tamu yang datang, mereka bertanya karena atak melihat dua istri Romo Jalal yang lain.
"Ngomong-ngomong Romo dimana nyonya sepuh dan nyonya muda kok tidak kelihatan?" tanya Fauzan yang memang teman sekolah Naina.
"Mereka sedang pergi ke tempat saudara, lagi pula saat ada yang meninggal dunia di tempat ku, maka mereka harus tinggal di luar dulu," kata Romo Jalal.
"Begitu, maafkan aku karena lancang ya Romo, dan ini saya ingin memberikan beberapa berkas yang harus di tanda tangani sekarang," kata Fauzan.
"Terima kasih,"jawab Romo Jalal.
Setelah semua tamu pergi, Romo meminta para pelayan dan benteng berkumpul di aula besar.
"Bawa dua pelayan yang melayani Ningsih," perintah Romo Jalal.
Sorga dan Sarno datang memukul dua mayat dan meletakkannya di depan Romo Jalal.
"Kamu menemukan mereka mati di kamar masing-masing dengan kondisi yang sama dengan mayat nyonya tua," kata kedua centeng Romo Jalal.
"Jul, kamu bertanggung jawab atas nyonya sepuh, pastikan dia tak keluar selama tiga bulan, dan kalian kubur dua wanita itu, dan padukan tak ada yang curiga, mengerti," kata Romo Jalal.
"Baiklah kami semua mengerti Romo," jawab semua orang.
Mbok Siti yang sudah bekerja sangat lama kini menjabat sebagai kepala pelayan dan mengawasi dapur juga mendapat teguran keras.
Sekarang Bu Lastri harus menikmati hidupnya di dalam kamar dan di pasung selama tiga bulan kedepan.
Romo Jalal masuk kedalam kamar miliknya dan melihat tubuh indah Naina yang hanya mengenakan lingerie sesuai pesannya.
"Kamu sedang apa?" tanya Romo Jalal.
"Saya sedang membuat martabak Madura, tapi karena tak ada petis jadi saya membuatnya dengan sambal kecap," jawab Naina.
Tapi tanpa di duga Romo Jalal kembali menginginkan istri mudanya itu, dan Naina tentu tak bisa menolak.
Bahkan rasanya bagian intimnya juga sudah lecet, tapi dia takut jika suaminya itu marah.
Dan itu membuat Naina pingsan dan Romo Jalal merasa aneh karena Naina yang begitu mudah pingsan.
Akhirnya dia pun menahan diri karena kasihan pada Naina, dia memilih menonton tv sambil menikmati camilan buatan istrinya.
Tapi itu malah membuat dirinya tiba-tiba ingat dengan Bu Ningsih.
Bagaimana tidak, wanita itu yang meminta Romo Jalal menikah lagi karena merasa tak sempurna sebagai istri.
Bahkan dalam perjalan Romo Jalal memimpin desa, sosok Bu Ningsih yang selalu menjadi sokongan terbesarnya karena kepintarannya.
Dia merasa sangat buruk karena ulah dari istri pertamanya yang memang pencemburu berat, dia harus kehilangan wanita sebaik Bu Ningsih.
Dan dia tak tau harus bagaimana saat mulai bekerja membangun desa nantinya.
Bu Lastri sudah kehabisan suara karena dari tadi terus berteriak dan meminta di lepaskan.
Pasalnya wanita itu tak terima mendapatkan hukuman seperti ini, karena dia tak pantas di pasung dengan kejam seperti ini.
"Lepaskan aku kang mas, aku tak melakukan kesalahan," marah Bu Lastri.
Tapi dia ketiduran karena kelelahan, dan para pelayan wanita itu juga tak di izinkan masuk.
Sore menjelang, Naina baru bangun dan melihat sosok suaminya di sampingnya.
Jadi dia perlahan ke kamar mandi untuk membasuh dirinya karena terasa sangat tidak nyaman karena keringat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!