Aku kira, dengan menikah bersama orang yang aku cintai akan membuat hidupku bahagia. Namun, nyatanya aku salah besar. Hanya penderitaan, hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya pada akhirnya membuat impianku hancur.
Namaku Lidya, saat ini aku berusia dua puluh delapan tahun. Usia yang sudah tak muda lagi menurutku. Aku memiliki tiga orang anak perempuan dengan jarak yang berdekatan.
Anakku yang pertama berusia empat tahun, dia bernama Nadia. Sedangkan putri keduaku bernama Selvia berusia dua tahun. Dan si bungsu bernama Naura berusia dua bulan.
Bukan aku tak mau mengikuti anjuran pemerintah untuk memiliki dua anak dan memberi jarak. Namun, mama mertuaku menyuruhku untuk memiliki banyak anak perempuan. Dia hanya ingin cucu perempuan dariku.
Tadinya aku mengira mama menyukai anak perempuan. Hingga akhirnya aku mendengar sendiri bahwa dia ingin cucu perempuan agar bisa membantu membereskan pekerjaan rumah dan merawatnya saat usianya semakin senja.
Sakit sekali hatiku mendengar ambisi ibu mertuaku yang ingin menjadikan ketiga anakku sebagai babu gratis di rumahnya. Tidak cukupkah hanya aku saja?
Ya, semenjak menikah dengan Mas Radit, suamiku, aku tinggal di rumahnya bersama mamanya. Sedangkan papanya yang berprofesi sopir hanya akan pulang dua atau tiga minggu sekali. Di rumah ini, aku mendapatkan perlakuan egois dari mereka yang selalu menuntutku untuk memenuhi kebutuhan mereka meski itu diluar kesanggupan ku.
Mas Radit tidak pernah mau membantuku mengurus anak dan selalu memarahiku ketika anaknya rewel dan membuat istirahatnya terganggu. Dia beranggapan bahwa dirinya yang seorang manajer memiliki pekerjaan yang sangat banyak sehingga membutuhkan waktu istirahat yang cukup.
Sedangkan mama, dia sama saja seperti anaknya. Dia selalu menuntutku untuk membereskan rumah tanpa menolongku menjaga anak. Aku selalu bangun paling pagi dan tidur paling malam karena tekanan dari mereka.
Selain itu, gaji Mas Radit selalu dipegangnya dan dia tak membiarkan aku memegang uang sedikitpun. Kebutuhan dapur semua dia yang membeli. Sedangkan kebutuhan anak-anakku tak dipedulikannya. Diapers, susu, mainan, semua itu tak bisa didapatkan anakku karena ibu yang sangat perhitungan. Padahal benda-benda itu sangat aku butuhkan. Jika tidak memakai diapers, otomatis cucianku menggunung setiap hari. Anak keduaku tidak diperbolehkan minum susu formula dan hanya digantikan dengan air gula selepas cerai ASI. Katanya hanya akan membuat boros. Pakaian pun hanya dibelikan yang harga murah dengan kualitas rendah sehingga tidak nyaman dipakai.
Tubuhku yang dulu berbobot di atas delapan puluh kilo kini kian menyusut hingga aku mendapatkan bobot empat puluh lima kilo.
Sebenarnya bagi setiap wanita, kehilangan berat badan yang sangat drastis adalah impian kami. Namun, bukan begini caranya. Aku kehilangan berat badan secara drastis karena tekanan mental dari suami dan mertuaku. Aku kurang tidur dan cenderung kelelahan.
Apakah aku cantik? Tentu saja tidak. Wajahku bahkan lebih tua dari umurku. Tulang leherku sangat cekung, lingkar mataku menghitam, kulitku kusam, dan rambutku kasar.
Jika orang bertemu denganku, pasti mereka takkan mengenali aku sebagai Lidya karena perubahan drastis ini.
Ingin rasanya aku bercerai dari suami egois seperti Mas Radit. Tapi, kemana aku harus pergi? Aku tak memiliki pendidikan yang tinggi seperti adikku, Calya. Meminta tolong padanya pun adalah hal yang mustahil karena aku sangat malu memperlihatkan wajahku di depannya. Dulunya, Mas Radit adalah kekasihnya yang aku rebut dengan cara yang licik. Karena itu hubunganku dan dia sama sekali tidak baik.
Calya! Ah, sudah lama sekali kami tidak bertemu karena dia tinggal bersama Elang, suami yang sangat mencintainya dan memanjakannya. Aku tahu melalui orang-orang yang tidak sengaja bertemu dengannya di luar.
Iri sekali aku padanya. Namun, aku sadar bahwa apa yang aku dapatkan saat ini adalah buah dari kejahatanku sendiri yang tega mengkhianati adikku.
Ingin mengadu pada ayahku, tapi dia sedang berbahagia dengan istri barunya di luar kota. Sedangkan rumah yang ditinggalkan sudah dikontrakkan dan akulah yang menerima uangnya setiap bulan.
Namun, uang itu tidak bertahan lebih lama di tanganku karena mama akan langsung memintanya dengan berbagai alasan. Aneh sekali, bukan? Apakah gaji dua puluh juta Mas Radit masih kurang baginya sampai harus merebut uang kontrakan rumah ayahku sendiri?
Tak banyak yang percaya padaku saat aku mengatakan kejujuran karena mama sangat pandai memutar balikkan fakta. Hanya dia yang akan terlihat bagus di mata orang lain. Sedangkan aku, semua orang akan mencela ku karena ucapan mama yang menjelekkanku mereka percayai.
Oeeek oeeek, terdengar suara tangisan bayiku diikuti tangisan kedua kakaknya. Mereka baru saja terbangun karena mama lagi-lagi berkaraoke. Padahal Naura baru saja berhasil aku tidurkan. Tadinya aku ingin ikut istirahat sebentar karena pekerjaan sudah aku selesaikan. Namun, kalau Naura bangun, bagaimana aku bisa istirahat?
Aku pun menggendong dan mendiamkan Naura yang masih menangis kencang. Dengan terpaksa, aku pun keluar membawa serta merta kedua anakku yang lain keluar untuk menghindari kebisingan di dalam rumah.
Kami pun duduk di bawah pohon depan rumah. Tampak Nadia dan Selvia yang bermain pasir. Aku membiarkannya saja karena hanya itulah mainan yang bisa mereka mainkan sekarang ini. Miris, bukan? Untuk sebuah boneka saja aku tak bisa membelinya.
Aku masih berdiri sambil menggendong Naura dengan kain agar dia kembali terlelap tidur. Memang kebiasaan mama yang selalu berkaraoke di sore hari.
"Eh, Lid, lagi ngapain?" tanya seorang wanita separuh baya. Namanya adalah Bu Retno, teman dekat mama.
"Lagi nidurin Naura, Bu," sahutku sambil tersenyum ramah.
"Kamu itu lho kalau dibilangin mertuamu nurut dong, Lid, biar nggak repot." Bu Retno datang mendekat seperti ingin memberikan ceramah panjang lebar padaku.
"Memangnya mama mertua saya bilang apa, Bu?" tanyaku penasaran.
"Kata mama kamu, dia itu selalu nasehatin kamu supaya pakai jasa babysitter dan pembantu. Tapi kamu nggak pernah mau karena nggak percaya sama orang asing. Bahkan sama mertua kamu sendiri pun kamu enggan memberikan anak-anakmu. Jangan egosi, dong, Lid, nggak kasihan kamu lihat anak-anak kamu nggak keurus gitu? Kamu juga selalu disuruh buat nyalon dan perawatan diri, tapi kamu nolak. Pake diapers, susu, mainan anak pun kamu nggak mau beli karena takut berbahaya. Juga pakaian anak kamu katanya kamu nggak mau beli yang bagus karena takut yang suamimu habis. Jadi orang itu jangan katrok, dong Lid. Percuma punya suami manajer kalau kamu nggak mau nikmatin."
Aku termangu mendengar cerita dari Bu Retno. Jadi selama ini mertuaku juga memutarbalikkan fakta mengenai keadaanku di rumah ini? Mengapa dia jahat sekali? Jelas saja aku mau memakai jasa babysitter. Apalagi banyak sekali penjaga anak-anak yang ada di daerah ini aku kenal dengan baik. Dan perawatan? Siapa yang tidak mau? Aku pasti maulah. Dan aku sangat memimpikan jika ada pembantu di rumah ini yang bisa menggantikan seluruh pekerjaanku. Ah, mama, mulutmu manis sekali, ingin sekali aku merobeknya.
"Iya, Bu, saya akan dengerin nasihat Ibu." Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Berbicara yang sebenarnya pada wanita ini juga tidak ada gunanya karena dia tidak akan percaya.
Bu Retno pun segera pulang setelah puas mendengar jawabanku. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Mengapa aku harus hidup seperti ini? Apakah karma ini tidak keterlaluan?
Ku lihat mobil Mas Radit pun memasuki pekarangan rumah kami. Bertepatan dengan itu, musik dari dalam rumah pun mati. Terlihat mama keluar dengan raut wajah yang sangat bahagia. Jelas saja, hari ini kan Mas Radit gajian. Dan itu Sudah menjadi kebiasaan Mama untuk meminta semua gajinya dan berfoya-foya menyenangkan dirinya sendiri.
"Dit, kamu udah gajian, kan? Mana uangnya?" tanya mama sambil menadahkan tangan.
"Ini, seperti biasa, Ma. Mama pegang tujuh belas juta, aku yang pegang sisanya untuk mobil dan jajan." Mas Radit memberikan amplop cokelat pada mama.
"Makasih, ya, Dit. Nanti Mama mau belanja bulanan dulu. Habis itu Mama nyalon, ya sama sekalian bayar arisan. Eh, tadi Mama juga lihat tas dan baju keluaran terbaru." Mama terlihat sedang memikirkan barang-barang yang tadi disebutkannya.
"Iya, Ma, pake aja. Apapun yang bikin Mama seneng, pakai aja uangku." Begitulah jawaban Mas Radit.
Aku hanya bisa tersenyum getir. Ada rasa sesak di dalam sini. Aku melihat pakaian anak-anakku yang sangat lusuh. Bahkan daster yang aku pakai pun juga ada yang sobek.
"Mas." Aku menghampiri Mas Radit dan mencium punggung tangannya. Tak banyak yang aku katakan padanya. Dia hanya berlalu ke dalam tanpa melihat anak-anaknya. Nyeri sekali rasanya diperlakukan seperti itu. Bahkan pada anak sendiri pun dia tidak mau sekedar menoleh dan tersenyum.
Aku pun membawa anak-anakku ke dalam rumah dengan keadaan kotor karena habis bermain pasir. Sedangkan si bungsu aku masukkan ke dalam kamar agar dia bisa melanjutkan tidurnya.
"Papa, ayo aik mobil!" Nadia menghampiri Mas Radit yang sedang duduk dan hendak naik ke pangkuannya.
"Apasih, sana, ah! Badan kamu itu kotor banget, bau lagi! Sana jauh-jauh sama Papa!" Mas Radit malah mendorong Nadia dengan tatapan kesalnya. Tak lupa dia mengibas-ngibaskan tangannya ke baju yang tadi sudah dipegang oleh Nadia.
"Mas, anak kamu kan mau bermanja dengan papanya. Kok kamu gitu, sih." Aku mencoba menegur Mas Radit agar memperbaiki sikapnya pada Nadia.
"Ya kamu lihat sendiri dong kalau dia itu kotor! Pasti banyak kuman di badannya. Kamu gimana sih, kok bisa-bisanya biarin anak kayak gitu!" Dengan tatapan penuh kebencian, Mas Radit menatapku. Entah mengapa setiap melihatku rasanya dia seperti tidak suka.
"Ya wajar kalau mereka main pasir di luar. Mainan harga sepuluh ribu aja kamu nggak mau beli." Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Berupaya agar air mataku tidak tumpah.
"Ya terserah aku, dong. Namanya aku mau berbakti sama mama. Kalau mama ngelarang, maka aku nggak akan melakukannya!"
Si pria egois ini tak henti-hentinya melukai hatiku. Membuat bulir bening air mata membasahi pipiku.
"Nangis aja taunya! Udahlah, eneg aku lihat kamu! Mending aku nongkrong sama temen-temenku!" Mas Radit pun beranjak dari duduknya dan pergi keluar dengan mobilnya. Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu. Sesak sekali rasanya harus mengalami tekanan batin seperti ini setiap hari.
Aku pun langsung mengajak Nadia dan Selvia untuk mandi karena hari sudah sore. Setelah itu, aku pun memberikan mereka makan. Untung saja kebutuhan makan, mama tidak mengiritnya. Mungkin karena aku yang memasak, jadi dia terpaksa berbagi juga dengan kami.
Selesai mereka makan, aku menyuruh mereka menonton televisi saja karena Naura sudah bangun dan harus mandi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!