Di sebuah rumah kecil nan sederhana, seorang penghulu duduk menantikan sepasang mempelai yang sebentar lagi akan dinikahkan. Di hadapannya sudah duduk dua orang pria yang ditunjuk sebagai saksi dan seorang pria paruh baya yang tak lain adalah Dirgantara Sutrisno.
Dirgantara Sutrisno merupakan seorang konglomerat ternama di tanah air, dia adalah satu-satunya pemilik dan pendiri PT Oke Food Dirgantara Sentosa.
PT OFDS bergerak di bidang industri makanan sejak dua puluh lima tahun yang lalu, salah satu pemasok beberapa brand ternama yang sudah menjalar hingga pelosok negeri. Bahkan beberapa negara tetangga juga sudah mulai menyediakan brand tersebut, mereka mengekspor produk itu sesuai permintaan para WNI yang merindukan makanan buatan Indonesia.
PT OFDS memproduksi aneka mie instan. Tidak hanya itu, PT OFDS juga memproduksi makanan cepat saji lainnya, aneka minuman segar, bumbu dapur, beberapa cemilan ringan dan lain sebagainya.
Malam ini Dirgantara harus merelakan putri semata wayangnya menikah dengan laki-laki pilihannya. Ini seperti cambuk yang melukai sekerat raga Dirgantara, tapi dia tidak berdaya menolak keinginan putrinya itu.
...****************...
"Saya terima nikah dan kawinnya Dilara Ariesta binti Dirgantara Sutrisno dengan mas kawin tersebut, tunai."
Suara bariton Dafa Satria menggelegar memenuhi ruangan berukuran empat kali empat itu, dua orang saksi berkata sah dengan lantang. Dirgantara pun mengikutinya seraya tersenyum getir, banyak pertanyaan yang berkecimpung di benaknya.
Salahkah dia merestui pernikahan ini? Putrinya baru berusia dua puluh tahun sementara suaminya sudah berumur tiga puluh tahun. Tidak hanya perbedaan usia yang menjadi kekhawatiran Dirgantara, tapi juga status putrinya yang harus menjadi istri kedua untuk Dafa, seorang karyawan biasa yang bekerja di pabrik miliknya.
Sebenarnya tidak sulit bagi Dirgantara mencarikan pendamping hidup untuk Dilara. Putrinya itu cantik dan pintar, banyak pria kaya dan anak konglomerat yang tertarik padanya. Dia memiliki segalanya, tapi cinta sudah membutakan mata hatinya.
Ya, pertemuan pertama antara Dilara dan Dafa saat mengunjungi pabrik beberapa waktu yang lalu ternyata menumbuhkan benih-benih cinta di hati Dilara.
Meski awalnya sempat kecewa, tapi Dilara tidak mau menyerah sampai di sana. Sejak kecil dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Sekarang, dia pun harus mendapatkan laki-laki yang dia cintai, tidak peduli bagaimanapun caranya.
Dafa sendiri sebenarnya baru menikah sekitar enam bulan yang lalu. Awalnya rumah tangga Dafa dan sang istri yang bernama Mega berjalan dengan baik, tapi makin kesini sifat asli Mega semakin terlihat jelas. Mereka sering bertengkar karena hal yang tidak wajar, terlebih masalah uang.
Mega pikir Dafa memiliki pekerjaan yang cukup matang dan menghasilkan banyak uang setiap bulannya, tapi ternyata Dafa hanyalah seorang karyawan biasa yang digaji sekedar cukup untuk makan. Setiap pulang kerja, pasti ada saja yang dikeluhkan istrinya itu.
Tanpa Dafa sadari, setiap pulang kerja Dilara selalu membuntutinya. Dari situlah Dilara tau bagaimana kehidupan rumah tangga Dafa yang sebenarnya.
Lalu saat Dafa tengah berada di pabrik, Dilara dengan sengaja mengunjungi rumah suaminya itu. Dia menemui Mega secara pribadi dan mengungkapkan maksud kedatangannya.
Setelah melakukan tawar menawar, akhirnya Mega setuju untuk membagi suaminya dengan Dilara. Tentu saja dengan embel-embel yang cukup menggiurkan yang dijanjikan Dilara untuknya.
Dilara sebenarnya tidak ingin egois, tapi dia sudah terlanjur cinta pada Dafa sebelum tau bahwa suaminya itu sudah memiliki istri.
Mulai malam ini, Dilara yang akan tinggal di rumah sederhana milik Dafa. Sedangkan Mega akan pindah ke rumah barunya yang sudah disiapkan Dilara.
"Selamat untuk pernikahan kalian berdua. Sekarang tolong berikan apa yang sudah kamu janjikan!" ucap Mega seraya menyeret sebuah koper yang berisi barang-barang miliknya. Dia sudah jenuh tinggal di rumah kecil itu, panas dan pengap menurutnya.
"Kamu mau kemana? Ini rumahmu juga," tanya Dafa mengerutkan kening.
"Sekarang tidak lagi, mana mungkin kita bertiga bisa tinggal di bawah satu atap yang sama? Lagian aku sudah bosan tinggal di rumah kecil kamu ini, sumpek tau." sindir Mega dengan senyum mengejek.
"Lalu kamu mau tinggal dimana? Ingat Mega, aku masih suami sah kamu!" tegas Dafa penuh penekanan, keningnya mengernyit mengatakan itu.
"Aku sudah punya rumah baru, yang jelas lebih besar dan mewah dari rumahmu ini. Di sana juga ada pembantu, jadi aku tidak perlu repot-repot lagi menyiapkan keperluanmu." jawab Mega mengukir senyum lebar. Dia benar-benar sudah tidak sabar ingin menginjakkan kaki di rumah barunya.
Setelah lama terdiam mendengar obrolan Dafa dan istri pertamanya itu, Dilara kemudian berjalan mengambil sebuah tas yang tadi dia letakkan di atas lemari pajang.
Setelah kembali, Dilara mengeluarkan beberapa map dari tas itu. "Ini sertifikat rumah yang aku janjikan sebelumnya!" Dilara memperlihatkan sertifikat itu dan memberikan kunci rumah itu sekalian. "Lalu ini surat-surat mobil dan kuncinya!" Dilara kemudian memberikan nota pembelian mobil, stnk, bpkb beserta kuncinya. "Lalu ini rekening dan kartu atm untuk Mbak, setiap bulannya aku akan mentransfer uang senilai seratus juta rupiah. Jadi gaji Mas Dafa tidak perlu diusik lagi, itu akan menjadi hakku sepenuhnya!" jelas Dilara dengan sedikit penekanan.
"Tidak masalah, ambil saja uang itu untukmu! Lagian uang lima juta itu hanya cukup untuk membeli beras selama sebulan, aku tidak butuh." ucap Mega yang seakan meremehkan hasil kerja keras suaminya. Tentu saja uang seratus juta perbulan lebih berharga baginya.
"Ya sudah, kalau begitu aku pamit. Jaga suamiku dengan baik! Ingat, Senin, Selasa, Rabu jatahku, Kamis, Jum'at, Sabtu, Minggu giliranmu!" terang Mega mengingatkan pembagian hari untuk mereka berdua, lalu mengambil semua yang diberikan Dilara tadi.
"Baik Mbak, Senin akan aku antar Mas Dafa pulang ke rumah Mbak." angguk Dilara pertanda mengerti.
Setelah Mega menghilang dari pandangan mereka, Dirgantara menghampiri putri dan menantunya itu. "Tolong jaga Dilara dengan baik, perlakukan dia selayaknya istri! Kalau dia salah, tegur saja, tapi jangan sekali-sekali menyakitinya apalagi melakukan tindak kekerasan padanya. Kalau kamu tidak menginginkannya lagi, lebih baik kembalikan pada Papa!" pesan Dirgantara.
Dafa tidak menyahut, dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Situasi ini begitu membingungkan untuknya, dia seakan kehilangan harga diri sebagai seorang suami. Bisa-bisanya kedua wanita itu memperjualbelikan dirinya seperti sebuah barang dagangan.
Lalu Dirgantara pamit setelah memeluk dan mencium pipi putri kesayangannya itu. Meski sedikit sangsi meninggalkan Dilara di rumah kecil itu, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ini pilihan Dilara, gadis itu harus menanggung konsekuensi atas apa yang sudah dia pilih.
Setelah menutup pintu utama, Dilara melingkarkan tangannya di lengan Dafa lalu keduanya masuk ke dalam kamar pengantin yang sudah dihias seadanya.
"Tidak usah berharap lebih dari pernikahan gila ini!" tukas Dafa sesaat setelah keduanya tiba di dalam kamar. Dia pun menyingkirkan tangan Dilara dari lengannya dan menjauh beberapa senti.
"Mas..."
"Ingat, aku hanyalah sebuah barang yang kalian perjualbelikan seenaknya. Jadi jangan salahkan aku jika-"
"Mas, kamu salah paham. Aku tidak berniat membelimu, aku mencintaimu Mas. Apa lagi yang bisa aku lakukan?" potong Dilara, lalu berhamburan ke pelukan Dafa.
"Tolong mengertilah! Mana aku tau kalau cinta ini akan berlabuh pada pria yang sudah memiliki istri?" lirih Dilara seraya mempererat pelukannya.
"Kenapa harus aku, hah? Bukankah di luar sana masih banyak pria lajang? Apa matamu buta?" bentak Dafa meluapkan emosi yang sedari tadi dia tahan, lalu mendorong Dilara hingga lengannya membentur dinding.
"Aww..."
Sakit memang, tapi Dilara berusaha keras menahannya. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Dafa.
Dengan air mata yang sudah menetes di pipinya, Dilara berlari meninggalkan kamar. Tangisannya pecah sesaat setelah menutup pintu.
"Ya, aku memang salah. Aku membelimu dari istri pertamamu, tapi itu semua karena aku mencintaimu Mas. Aku ingin memilikimu, apa cinta ini salah?" isak Dilara mengulum ucapannya, dia tidak memiliki kekuatan untuk bersuara.
Dengan langkah gontai dan air mata yang masih berjatuhan, Dilara menjauh dari pintu kamar. Dia membaringkan diri di atas sofa dengan kebaya yang belum sempat dia buka.
Pagi-pagi sekali Dilara sudah bangun saat telinganya mendapat gangguan dari kokok ayam yang bersenandung di luar sana. Ternyata tinggal di rumah kecil dan padat penduduk tidak seindah yang dia bayangkan, berbeda dengan di rumahnya yang jika ada keributan tidak akan terdengar ke kamarnya.
Akan tetapi, ini adalah pilihannya. Dia harus berani menanggung konsekuensi atas tindakan yang sudah dia ambil.
Sambil merapikan rambutnya yang sudah acak-acakan, Dilara bergegas bangkit dari pembaringannya. Dia melangkah menuju kamar dan membuka pintu dengan pelan, takut tidur Dafa terusik olehnya.
Sesaat setelah kakinya menginjak kamar berukuran tiga kali empat itu, Dilara diam sejenak mematut wajah lelap suaminya. Tiba-tiba hati Dilara mencelos, wajah polos itu membuat darahnya berdesir.
Jika Dilara bisa memilih, dia tidak mau mengambil tindakan sebodoh ini. Tapi hatinya sudah terlanjur menginginkan Dafa, dia sangat mencintai suaminya itu.
Semua bermula ketika Dilara mengunjungi pabrik, waktu itu dia terlalu ceroboh dan nyaris terjepit mesin pembuat mie yang panasnya minta ampun.
Beruntung ada Dafa yang dengan sigap menarik pergelangan tangannya, pria itu membawa Dilara ke dalam pelukannya.
Disanalah Dilara melihat Dafa untuk pertama kali. Tatapan mata pria itu membuat jantung Dilara berdegup kencang tak menentu, kehangatan tubuhnya menimbulkan reaksi yang berbeda di diri Dilara.
Siapa sangka pandangan pertama itu telah menumbuhkan benih-benih cinta di hati Dilara. Entah dia yang bodoh atau memang takdir yang menuntunnya ke tangan Dafa.
Sejak saat itu, setiap hari Dilara tidak pernah absen mengunjungi pabrik hanya sekedar untuk melihat sang pria idaman. Diam-diam dia selalu mencuri-curi pandang ke arah pria itu. Dimana Dafa berpijak, maka disitu ada Dilara.
Hingga pada suatu hari, Dilara tak sengaja melihat dokumen pribadi milik Dafa yang saat itu sengaja dikumpulkan untuk mendata para karyawan. Disitulah hatinya hancur berkeping-keping, Dilara pikir Dafa masih bujangan tapi ternyata dia sudah menjadi milik orang.
Dilara tidak bisa menerima kenyataan itu, selama seminggu dia tidak pernah lagi mendatangi pabrik dan mengurung diri di rumah. Jangankan untuk bersolek, jalan-jalan, makan saja dia sangat enggan.
Setelah berusaha keras meyakinkan dirinya bahwa Dafa bukanlah jodohnya, Dara kembali bangkit dan mencoba memusnahkan perasaan itu dari hatinya.
Namun apa yang terjadi, dia justru mendapat kabar burung dari seorang karyawan pabrik bahwasanya rumah tangga Dafa tidak semulus yang orang-orang pikirkan.
Karena rasa penasarannya yang begitu besar, Dilara akhirnya memberanikan diri menguntit Dafa sampai ke rumahnya.
Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali Dilara melakukan itu dan selalu mendengar pertengkaran saat Dafa menginjakkan kaki di rumah itu. Jelas masalah ekonomi yang memicu pertengkaran tersebut.
Pada akhirnya, Dilara membuat keputusan untuk mendatangi istri Dafa. Dia sengaja mengunjungi rumah itu saat Dafa masih berada di pabrik.
Disanalah kesepakatan itu terjadi antara Dilara dan Mega. Embel-embel yang dijanjikan Dilara membuat mata Mega melotot tak percaya. Tentu saja wanita itu dengan cepat menyetujuinya, lagian penghasilan Dafa tidak akan pernah bisa mencukupi kebutuhannya.
...****************...
"Mas, ayo bangun! Ini sudah pukul tujuh," ucap Dilara sembari mengguncang lengan Dafa.
Setelah membersihkan diri tadi, Dilara langsung menyiapkan sarapan dan kopi untuk Dafa. Setelah itu barulah dia kembali ke kamar membangunkan suaminya itu.
Meski Dafa belum bisa menerima pernikahan ini, Dilara tidak akan pernah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Dia sendiri yang akan menyiapkan semua keperluan Dafa mulai detik ini.
"Mas..." kali ini Dilara mengusap pucuk kepala Dafa dengan sayang.
"Apaan sih?" Dafa meninggikan suara dan menyentak tangan Dilara dengan kasar. Sontak gadis itu terperanjat dengan air mata yang tiba-tiba menggenang di kelopak matanya.
Merasa air matanya sudah tidak bisa ditahan lagi, Dilara pun menjauh agar Dafa tidak melihat tangisannya. Dia tidak akan menangis di hadapan suaminya itu. Sesakit dan sejahat apapun perlakuan Dafa, dia akan berusaha kuat sampai batas kesabarannya benar-benar menipis.
Setibanya di luar, barulah air mata Dilara berjatuhan tanpa bisa dibendung. Inilah nikmat pernikahan yang harus dia jalani, entah sampai kapan dia sendiri tidak tau. Bisa jadi ini merupakan karma dari keegoisannya yang ingin memiliki barang kepunyaan orang lain.
"Tidak Dila, jangan menyerah! Ini belum satu hari, yakinlah bahwa suatu saat nanti Mas Dafa akan berbalik mencintaimu." batin Dilara menguatkan dirinya sendiri. Dia lekas menyeka wajahnya dan kembali ke kamar untuk berganti pakaian.
Setelah mengenakan pakaian rapi, Dilara pamit dan mencium punggung tangan Dafa yang masih berbaring di atas kasur. Setelah itu dia meninggalkan rumah dan lekas menuju pabrik.
Sebenarnya tidak ada yang perlu dia lakukan di sana, lagian Dafa juga sudah mendapat cuti selama satu minggu.
Tapi karena keadaannya yang tidak memungkinkan, Dilara lebih baik menghindar dan mencari kesibukan dengan bekerja. Kalau dia tetap di rumah, bukan tidak mungkin Dafa akan mempersulit dirinya seperti tadi.
Di rumah, Dafa baru saja keluar dari kamar mandi. Saat hendak memasuki dapur, matanya menyipit menangkap makanan dan secangkir kopi yang sudah tersedia di atas meja makan.
Dia tidak menyangka anak orang kaya seperti Dilara mampu melakukan pekerjaan rumah seperti ini. Apa ini akal-akalan istrinya itu untuk menarik perhatiannya?
Karena perutnya yang memang sudah sangat lapar, Dafa pun langsung duduk dan menyantap makanan yang masih panas itu. Saat sedang asik mengunyah makanannya, seketika mata Dafa menyipit melihat piring Dilara yang masih dipenuhi makanan, sedikitpun tidak ada bekas sendok yang terlihat.
Tiba-tiba hati Dafa mencelos memikirkan Dilara. Apa dia belum makan? Kenapa? Apa ini ada hubungannya dengan perlakuan kasarnya tadi?
Tapi apa yang bisa Dafa lakukan? Pernikahan ini terlalu mengejutkan dan menyakitkan baginya. Wanita yang dia cintai tega menjual dirinya hanya demi uang dan kemewahan, sedangkan wanita lainnya dengan gampang membelinya seperti sebuah barang. Dimana letak harga diri dan kehormatannya sebagai seorang suami?
Dengan perasaan bimbang serta penuh tanda tanya, Dafa kembali menyantap makanannya hingga tandas dan lanjut meneguk kopi yang dibuatkan Dilara untuknya. Kali ini Dafa tidak bisa berkelit, masakan Dilara benar-benar enak dan kopi buatannya juga pas dengan seleranya.
Dilara sangat berbeda dengan Mega yang lebih sering membeli makanan di luar dari pada memasaknya sendiri. Sekalinya memasak rasanya juga pas-pasan, tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan kopi yang dia buatkan, terkadang terlalu manis dan kadang kepahitan.
Mungkin di sinilah letak perbedaan seorang istri yang melakukan pekerjaan dengan ikhlas atau tidak. Jelas Dilara melakukan semuanya dengan hati yang tulus karena cinta yang dia miliki untuk sang suami.
Pukul dua siang Dilara sudah tiba di rumah. Mendapati Dafa yang tengah duduk di ruang tamu, Dilara pun menghampirinya dan menyalami serta mencium punggung tangan suaminya itu.
"Siang Mas, apa Mas sudah makan?" tanya Dilara mengukir senyum.
"Keluyuran kemana saja tadi? Jam segini baru pulang," bentak Dafa tanpa menjawab pertanyaan Dilara. Hal itu membuat Dilara tersenyum getir dengan mata sedikit berkaca.
Tanpa menjawab, Dilara langsung berbalik dan pergi begitu saja. Dia tidak ingin berdebat yang nantinya akan menimbulkan pertengkaran diantara mereka.
Dilara menaruh tasnya di atas meja makan, kemudian menyingsingkan lengan kemeja yang dia kenakan dan masuk ke dapur menyiapkan makanan. Dia tau Dafa belum makan setelah melihat meja makan yang masih rapi tanpa adanya bekas makanan ataupun piring kotor.
Setengah jam kemudian, Dilara menata masakannya di atas meja makan. Dia langsung menyiapkan piring dan mengisinya dengan nasi lalu berjalan menuju ruang tamu memanggil Dafa.
"Mas, makan dulu yuk!" ajak Dilara dari jarak kurang lebih dua meter. Dia tidak berani mendekati Dafa, takut suaminya itu bertindak kasar lagi padanya.
Tanpa menjawab, Dafa langsung bangkit dari duduknya sembari menilik Dilara dengan tatapan tajam menakutkan lalu duduk di meja makan dan menyantap makanannya tanpa bersuara. Dilara pun menyusul dan duduk di sampingnya tanpa memakan apa-apa. Matanya fokus menatap Dafa yang terlihat sangat tampan ketika mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya.
Andai saja Dafa mau menatapnya sedikit saja, pasti dia akan sangat bahagia dan berteriak sekencang-kencangnya lalu mengatakan bahwa dia sangat mencintai suaminya.
Akan tetapi hal itu hanya ilusi Dilara semata. Tidak mungkin Dafa mau melihatnya sebagai seorang istri setelah apa yang dia lakukan untuk mendapatkannya.
Usai menghabiskan makanan yang ada di piringnya, Dafa beranjak pergi tanpa berkata apa-apa. Jangankan memuji masakan Dilara, menatapnya saja Dafa sangat malas.
"Tidak apa-apa Dilara, kamu itu wanita kuat. Tahan semua rasa sakit ini sendirian, inilah harga yang harus kamu bayar karena melakukan kecurangan untuk mendapatkannya." batin Dilara menguatkan dirinya sendiri.
Untuk apa marah? Dafa tidak bersalah, dia hanya korban dari ambisi Dilara dan keserakahan istri pertamanya.
Setelah mengisi perut, Dilara merapikan meja makan dan membawa piring kotor ke dapur lalu mencucinya. Setelah itu dia masuk ke kamar meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Tidak hanya lelah fisik tapi juga lelah hati.
Apa Dilara sanggup menjalani pernikahan dingin seperti ini? Ataukah dia akan menyerah sebelum mendapatkan hati Dafa?
Entahlah, hanya Tuhan yang tau bagaimana hubungan ini akan berlanjut. DIA juga yang bisa membolak-balikkan hati manusia.
"Siapa yang menyuruhmu berbaring di sini, hah?" bentak Dafa sesaat setelah menginjakkan kaki di dalam kamar. Matanya membulat dan memerah melihat Dilara yang tengah selonjoran di atas tempat tidurnya.
"Mas..." lirih Dilara dengan tatapan mengiba.
"Turun!" hardik Dafa meninggikan volume suaranya.
Dilara tersenyum pahit dan menurunkan kakinya dari ranjang. Rasanya dia ingin marah tapi kekuatannya tidak cukup untuk melakukannya.
Setelah kedua kakinya menginjak lantai, Dilara lekas berjalan melewati Dafa dan meninggalkan kamar dengan perasaan tidak menentu.
Jangankan menyentuh orangnya, menyentuh kasurnya saja tidak diizinkan.
Lalu Dilara meninggalkan rumah dan duduk di halaman, tepat di bawah pohon jambu yang tumbuh dengan rindang. Dilara menyandarkan punggungnya pada bangku kayu yang terdapat di sana.
"Apa aku harus menyerah secepat ini? Ini terlalu berat untuk dijalani, tapi aku juga tidak mau berpisah dengan Mas Dafa. Jadi istrinya saja sudah cukup membuatku bahagia." gumam Dilara seraya menengadah menghadap langit. Perlahan matanya mulai terpejam dan tertidur saking lelahnya.
Tidak terasa hari semakin gelap dan Dilara masih tertidur dengan pulas. Bahkan rintik-rintik hujan yang berjatuhan serasa bagaikan selimut untuknya. Tidurnya semakin nyenyak dengan pakaian yang sudah basah di tubuhnya.
Sedangkan Dafa yang berada di dalam rumah tidak bereaksi apa-apa melihat hujan yang turun semakin lebat, dia malah menutup pintu dan mematikan lampu depan tanpa peduli dimana dan bagaimana keadaan Dilara sekarang.
"Permisi," sapa seorang pria yang tak sengaja melihat seorang wanita yang tertidur di atas bangku itu. Pria itupun memayungi Dilara dan memberanikan diri menepuk lengannya.
Sontak Dilara tersentak dan membuka mata lebar-lebar. "Siapa kamu?" tanya Dilara ketakutan sambil menjauhkan diri dari pria itu.
"Jangan takut, aku warga sini. Aku mau ke warung membeli kopi, tapi tak sengaja melihatmu di sini. Kenapa tidur di luar? Hujannya lebat loh, nanti kamu bisa sakit." ucap pria itu dengan suara lembutnya.
"Oh, ma-maaf. Aku ketiduran tadi," kata Dilara terbata. "Kalau begitu terima kasih, aku masuk dulu." imbuh Dilara menangkup tangan di depan dada.
"Silahkan!" sahut pria itu, kemudian meninggalkan Dilara sendirian.
Dilara mengusap wajahnya yang sudah basah dan berjalan memasuki rumah. Sampai di dalam dia dengan cepat membersihkan diri dan mengenakan pakaian bersih.
Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Dilara bergegas memasuki dapur dan menyiapkan makan malam. Setelah itu dia memanggil Dafa untuk makan bersama.
Sama seperti siang tadi, Dafa tidak sekalipun menatapnya dan malah asik dengan makanannya. Sepertinya kehadiran Dilara benar-benar tak berharga di matanya.
Karena Dafa hanya diam, Dilara pun tidak berani membuka suara. Biarkan Dafa menyantap makanannya dengan lahap, Dilara merasa tidak punya hak untuk mengganggunya.
Usai makan malam, Dafa lagi-lagi meninggalkan meja makan tanpa sepatah katapun. Dilara tersenyum getir dan melanjutkan makannya.
Setelah perutnya kenyang, Dilara bergegas merapikan meja makan dan mencuci piring kotor. Setelah itu dia meninggalkan dapur dan kebingungan harus kemana.
Mau duduk di ruang tamu, di sana ada Dafa. Mau ke kamar, dia takut diusir lagi seperti tadi. Akhirnya Dilara memilih diam di ruang makan, dia duduk di dasar lantai yang hanya beralaskan tikar.
Tidak berselang lama, ponsel Dilara tiba-tiba berdering yang ternyata panggilan dari Dirgantara. Segera Dilara berlari ke dapur dan menggeser tombol hijau lalu berbicara dengan sang papa yang ada di ujung sana.
"Iya Pa," ucap Dilara sesaat setelah panggilan itu terhubung.
"Dila, bagaimana kabar kamu Nak?" tanya Dirgantara.
"Dila baik kok Pa, Papa bagaimana?" jawab Dilara dengan pertanyaan pula.
"Papa juga baik, Nak. Bagaimana pernikahan kalian? Apa Dafa memperlakukanmu dengan buruk?" tanya Dirgantara penasaran.
"Tidak Pa, Mas Dafa sangat baik sama Dila. Papa tidak usah mikir macam-macam, Dila bahagia kok Pa." bohong Dilara, dia tidak ingin Dirgantara tau apa yang terjadi sebenarnya dengan pernikahan mereka. Dilara tidak ingin membebani sang papa dengan masalahnya. Bukankah ini pilihannya? Jadi dia harus menanggungnya sendiri.
"Kamu yakin?" Dirgantara mencoba memastikan.
"Iya Pa, Dila yakin. Sudah dulu ya Pa, Mas Dafa minta dibuatin kopi nih. Dila tutup dulu ya," alibi Dilara, dia tidak sanggup menahan air matanya setelah mendengar suara Dirgantara. Dia tidak ingin sang papa mendengarnya menangis.
"Iya sayang, salam untuk Dafa ya." ucap Dirgantara.
"Iya Pa, nanti Dila sampaikan. Dah Papa," sahut Dilara seraya mematikan sambungan telepon itu dengan cepat. Tenggorokannya terasa penuh dengan air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya.
"Maafkan Dila, Pa. Dila terpaksa berbohong, Dila tidak ingin Papa membenci Mas Dafa. Dila sangat mencintainya, Dila hanya menginginkan Mas Dafa. Kenapa cinta ini sangat menyakitkan? Dila rasanya ingin mati menanggung perasaan ini. Apa Dila mati saja agar semua kembali seperti semula?" isak Dilara meremas dadanya yang terasa sangat ngilu. Separuh nyawanya seperti melayang saking sakitnya dia menahan perasaan ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!