NovelToon NovelToon

Bersuamikan Pria Yang Kejam (Luka Reka)

Rahasia

Cerita ini murni khayalan penulis. Jika ada kesamaan nama, tempat, atau profesi itu tidak disengaja. Dan juga, harap tinggalkan jejak jempolnya, ya. Happy reading.

****

Di dalam kamar tidur yang tak begitu besar, tampak seorang gadis muda sedang menatap fokus layar laptop. Dia tersenyum, netranya berbinar dengan manik hitam yang bergerak liar. Sementara jemari tangan yang kecil, begitu cekatan menyentuh tiap tombol seakan sedang menari mengikuti bunyi suara keyboard. Gadis itu begitu asyik hingga tak sadar mega telah berubah menjadi jingga. Seharian dalam ruangan kecil bercat biru laut sama sekali tak membuat ia jemu. Bahagia, ia suka bermanja ria pada dunia yang tak pernah ada habisnya. Ketika gadis lain memilih mengistirahatkan pikiran dari lelah karena bekerja, ia malah menampung semua pekerjaan ke dalam otak. Gadis itu memang berbeda, berbeda dari wanita sebayanya.

Namanya Reka, atau yang akrab dipanggil kakak oleh anggota keluarga. Gadis perpenampilan biasa saja dengan tubuh kurus berwajah pucat. Reka adalah seorang guru honorer yang memegang mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah yang sama dengan sang ayah mengajar.

Reka, nama yang singkat dan terkesan norak untuk gadis di zaman modern ini. Nama yang terdengar sederhana namun tak sesederhana kehidupannya.

Ady Gustiawan dan Dewi adalah orang tua Reka. Mereka memilih nama yang simple untuk keenam anaknya. Reka, Riko, Rianti, Reza, Rosi dan Rony. Alasannya cuma satu, agar waktu ujian kelak, anak-anaknya tidak akan repot dan menghabiskan waktu lama hanya untuk mengisi kolom nama.

***

Azan magrib berkumandang. Reka keluar kamar hendak membersihkan diri dan melakukan kewajibannya sebagai seorang umat, yaitu salat.

Reka berjalan menuju ke arah dapur dengan membawa handuk berwarna hijau yang ia lingkarkan di lehernya. Dan di sana Reka bertemu dengan sang ayah yang baru saja selesai mengambil air wudu.

"Kak, nanti habis ini bisa kita mengobrol sebentar? Ada yang Bapak ingin katakan," ucap Ady yang baru keluar dari kamar mandi.

Reka hanya menunduk dan mengangguk pelan. Ia mencoba menerka topik apa yang akan ayahnya bahas kali ini. Apa Bapak mau bahas pernikahan lagi?

"Ya udah, Bapak mau ke masjid dulu. Kamu cepetan mandi, abis itu langsung solat," imbuhnya seraya mengembangkan senyuman, meninggalkan Reka yang masih berdiri di ambang pintu.

Waktu menunjukkan hampir jam setengah tujuh malam. Semuanya menikmati makan malam sederhana buatan sang ibu.

"Kak, setelah ini ikut Bapak ke luar. Kita bicara bentar," pinta Ady dengan ramah. Ia habiskan air putih dalam gelas, meletakkannya di atas meja kemudian langsung menuju teras.

Reka terdiam tanpa ekspresi. Beranjak dari kursi dan menolong ibunya membereskan meja makan. "Buk, Eka mau nyusul bapak. Eka tinggal bentar, ya. Nanti biar Eka aja yang nyuci piringnya." Reka berucap setelah meletakkan tumpukan piring di atas westafel. Kemudian menyusul ayahnya yang sudah terlebih dahulu berjalan ke arah depan.

Tibalah Reka di teras. Duduk bersebelahan dengan sang ayah di atas kursi rotan yang panjang. "Ada apa, Pak?" tanyanya dengan perasaan was-was. Reka pandangi wajah ayahnya yang sekarang lebih terlihat menua dari sebelumnya. Wajah yang sudah banyak keriput, tatapan mata sayu dan pipi yang sudah kelihatan tirus.

Ady menghela napas. "Bagaimana rasanya menjadi guru, Kak?" tanyanya tanpa menoleh Reka.

Reka tersenyum getir. Kini giliran dirinya yang menarik napas panjang, mencoba menetralisir perasaan yang mendadak tidak enak. "Lancar, Pak. Cuma sekarang sedikit sibuk, Kakak ditugasin bikin soal untuk ujian," ucapnya sambil menatap langit malam yang tidak berbintang.

Mereka kembali terdiam, hingga sepuluh menit pun berlalu. Ady terlihat masih menatap jauh ke depan, sementara Reka memilih diam, menunggu kata yang akan diucapkan oleh ayahnya.

"Kak, apa kamu gak mau nikah?" tanya Ady di sela tatapan kosongnya. Suara yang datar dan terdengar tenang, tapu mampu merobek hati Reka yang memang telah lama terluka.

Reka memejamkan mata sejenak. Sudah menduga itulah pertanyaan yang akan ayahnya katakan. Perbincangan yang begitu dan amat ingin dihindarinya. Namun, apalah daya, lagi-lagi orang yang ia hormati kembali mempertanyakan perihal jodoh. Sakit dan pedih menghampiri Reka saat ini. Tapi deritanya pasti tak sebanding dengan kesedihan dan kekhawatiran yang ayahnya rasakan.

"Bapak gak mau kamu jadi perawan tua, Kak. Usiamu udah cukup untuk berumah tangga. Usia yang pas, karena kamu masih bisa memilih kriteria yang kamu inginkan," ucap Ady yang masih menerawang jauh.

"Bapak takut jika kamu terlalu sibuk dengan pekerjaan, membuatmu melupakan kodrad sebagai perempuan yang memerlukan seorang imam," imbuh Ady lagi.

Reka terdiam. Keringat dingin mengucur dari keningnya. Ia menggenggam kuat jemarinya sendiri sambil memikirkan sesuatu.

"Apa kamu gak punya pacar?" Ady menoleh Reka. Dengan tatapan hangat ia pandang lekat mata anak gadisnya.

Reka mengeleng pelan lalu menundukkan pandangan. "Gak ada, Pak."

"Bagaimana kalau Bapak jodohkan sama anaknya temen Bapak, Kakak mau? Anaknya baik dan sopan, namanya Kris. Dia bekerja di dinas perhubungan," terang Ady, antusias.

Reka terdiam begitu juga Ady. Suasana kembali sunyi hanya suara kodok yang terdengar bersahut-sahutan.

"Bapak pengen cepet nimang cucu, Kak?"

Perih, Reka merasakan hatinya teriris lalu tersiram cuka. "E-eka belum siap, Pak," ucap Reka terbata-bata. Ia gugup bagaimana mencari alasan agar sang ayah tidak marah kepadanya.

Ady menghela napas. Reka yang mendengar desahan putus asa itu turut merasa bersalah.

"Tak bisakah Eka seperti ini saja, Pak. Eka nyaman hidup seperti ini," jujur Reka dan tampaklah kesedihan di wajahnya. Bukan sedih karena memilih melajang, malainkan karena telah menyakiti perasaan sang ayah atas keputusan sepihaknya.

Ady yang mendengar jawaban tak biasa itu tentu saja terkejut. Tak menyangka anak sulungnya memilih jalan hidup yang tabu seperti itu. Ia pandang paras cantik Reka dan juga menatap lamat matanya.

"Kamu sebenarnya kenapa, Kak? Udah dua tahun kamu aneh kayak gini dan sekarang mengapa begitu enteng kamu memilih untuk melajang?" tanya Ady yang terdengar lirih.

"Maafkan Eka, Pak. Ini keputusan yang sudah Eka pikirin mateng-mateng," ucap Reka yang kembali tertunduk, ia seka air matanya yang tak terasa sudah mulai berjatuhan. Dia jelas sedih, namun lagi-lagi bukan karena dirinya sendiri, malainkan karena telah mengecewakan sang ayah yang begitu berharap lebih padanya.

"Tapi Kakー" Perkataan Ady terputus karena Reka telah beranjak, berdiri dengan cepat.

"Pak, Eka mau nge-print soal ujian anak-anak dulu. Nanti percetakannya keburu tutup," sela Reka. Melangkahkan kaki, pergi meninggalkan ayahnya yang masih berada di teras rumah.

Sepanjang perjalanan Reka tertunduk lemas. Beberapa kali mengembuskan napas dengan kasar, memukul-mukul dadanya sendiri yang terasa sesak. Ia hentikan langkah dan duduk di bangku taman. Terngiang kembali dengan jelas perkataan sang ayah yang membuat aliran udara Reka kembali tercekat. Matanya mulai berkaca-kaca dan bibir mulai bergetar. Ia tak mampu menahan bulir air yang sudah memenuhi pelupuk mata. "Pak, buk, maafin aku. Aku bukanlah anak yang baik. Aku anak tidak berbakti yang hanya akan mencoreng nama baik kalian. A-aku aku ...."

Reka tak mampu melanjutkan berkataannya. Ia duduk meringkuk dan membenamkan wajah di lututnya sendiri. Berharap tidak ada orang yang menyadari kalau dirinya sedang menangis sendirian di taman yang gelap.

"Pak, buk, biarlah aku saja yang menderita asal kalian bisa mempertahankan harkat dan martabat kalian. Aku rela karena memang akulah yang salah."

*****

Di langkah adik

Semenjak keputusannya malam itu, Reka selalu menghindar dari sang ayah. Ia yang memang pendiam, menjadi lebih menutup diri dari kedua orang tuanya.

Tok tok tok.

"Kak, boleh Ibuk masuk?"

Reka yang sedang tiduran pun beranjak dari kasur kesayangannya, berjalan membuka pintu yang selalu tertutup rapat. Mempersilakan sang ibu masuk dan duduk di tepi ranjang.

"Kak, kamu kenapa? Seharian ini kok gak keluar kamar?" tanya Dewi yang memang tak tau perihal obrolannya dengan sang ayah.

"Tidak apa-apa, Buk. Eka cuma capek aja," ucapnya singkat sambil menundukkan pandangan. Ia memang selalu begitu seolah takut memandang mata orang lain termasuk orang tuanya sendiri.

Dewi yang melihat gelagat Reka menghela napas panjang, seakan terhimpit batu besar, begitu berat dan sesak.

Semenjak dua tahun lalu, sifat Reka berubah drastis. Ia yang selalu ceria menjadi mengurung diri dan membatasi pergaulannya dengan orang lain. Terkecuali anak didiknya. Reka begitu nyaman dengan profesinya sebagai guru sehingga tak mengganggu proses mengajarnya di depan kelas. Aneh memang, ia hanya gugup bila berdekatan dengan orang dewasa.

"Kak, hari minggu besok Riri pulang. Kita akan merayakan ulang tahunnya bersama-sama. Kakak bisa ambilin pesanan kue Ibuk di rumahnya Bu Lina?" tanya Dewi yang hanya dapat menatap pucuk rambut kepala anak sulungnya itu.

Reka masih tertunduk sambil memijit-mijit jemarinya sendiri yang terasa kaku.

"Iya, Buk. Nanti Eka ke sana," jawabnya singkat. Ia sebenarnya takut sang ibu akan bertanya perihal dirinya yang memutuskan untuk melajang seumur hidup. Tapi, beruntunglah hal itu tidak terjadi.

Dewi beranjak dari kasur. Ia kembali mengembuskan napas berat, menahan perasaan sedih yang sudah dua tahun belakangan menghampiri. Berharap keceriaan kembali menghiasi wajah cantik Reka. Namun, sepertinya sia-sia saja, karena semakin hari anaknya itu semakin menutup diri.

Kamu sebenarnya kenapa, Kak? Ibuk khawatir melihatmu seperti ini terus. Dewi membatin, melangkahkan kaki dan menutup kembali pintu kamar Reka.

****

Sabtu malam.

Reka pulang sambil membawa kotak kue ulang tahun. Ia begitu heran melihat rumah yang biasa sepi, kini mendadak ramai dengan berjejer dua mobil mewah memenuhi halaman.

Dengan perasaan aneh Reka memasuki rumah. Ia tenteng brithday cake yang bergambar Hello Kitty kesukaan Rianti.

"Asaalamualaikum," ucapnya memberi salam. Semua tamu memandang Reka kemudian menjawab, "Waalaikumsalam." Beberapa wanita paruh baya bahkan melebarkan senyum padanya yang berdiri di ambang pintu.

"Kak, tolong bikinkan minum buat tamu kita," pinta Dewi. Reka hanya mengangguk pelan kemudian berjalan menuju dapur.

"Kenapa rumah kita rame banget, Dek?" tanya Reka kepada Reza yang sedang duduk di kursi dekat meja makan.

Reza menggelengkan kepala pelan seraya mengangkat kedua bahunya. Sementara mata terfokus pada ponsel pintar yang ada di tangan.

"Udah lama?" tanya Reka lagi. Ia begitu penasaran siapakah orang yang datang dengan membawa rombongan serta banyak hantaran ke rumahnya.

"Baru, Kak. Sebelum Kakak masuk."

Tiba-tiba Reka teringat dengan obrolan dengan ayahnya tentang perjodohan. Seketika itu juga ia mendadak takut, tangan dan kakinya gemetar serta keluar keringat dingin dari tubuh.

Apa ini? Semoga ini bukan lamaran untukku. Tapi bagaimana kalau iya? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku harus menolaknya? Ya Tuhan ... apa ini? Bagaimana aku harus menghadapinya? Nanti kalau aku menolak, mareka pasti akan membenci keluargaku.

Untuk beberapa saat Reka terlihat gelisah. Ia berjalan mondar-mandir sambil menggenggam kuat tangannya sendiri.

"Kakak kenapa?" tanya Reza yang mulai keheranan.

Reka melemparkan senyum getir pada Reza yang sedari tadi memandangnya dengan tatapan aneh. Menarik napas dalam-dalam lantas mengembuskannya perlahan, Reka pun mencoba tenang dan melakukan yang diperintahkan, membuat teh hangat dan menyiapkan makanan ringan untuk para tamu yang datang.

Dengan perlahan Reka berjalan menuju ruang tamu, membawa nampan yang berisi minuman dan camilan.

Lha, itu Riri, ngapain dia duduk di situ? Apa ini lamaran untuknya? Batinnya bertanya-tanya. Akan tetapi, ada seulas senyum di bibir tipis miliknya. Mendadak ia menjadi lega. Reka suguhkan minuman dan camilan pada semua tamu dan memilih mendekati Shinta yang sedang duduk sendirian di pojokan.

"Ada apa ini, Shinta?" tanya Reka berusaha memastikan dugaan.

"Riri dilamar, Kak. Dilamar duda kaya," ucap Shinta sambil tersenyum.

"Oh," jawabnya singkat, menganggukkan kepala.

Reka akhirnya bisa tenang, karena ketakutan yang ia rasakan sebelumnya tidak akan menjadi kenyataan. Namun, ada sedikit kekhawatiran di dalam hati kecilnya kepada sang adik yang memutuskan untuk menikah muda. Apalagi melihat orang yang melamar itu bisa dikatakan cukup tua.

Tiba-tiba Dewi beranjak dari sofa dan diikuti oleh Rianti.

"Kamu ikut Ibu juga, Kak," titah Dewi.

Mereka bertiga duduk berhadapan di meja makan. Atmosfer horor mendadak menyeruak, membuat Reka sedikit mendelik takut ke arah ibunya yang terlihat melotot.

"Ri, jawab dengan jujur pertanyaan Ibuk! Apa kamu hamil?" sergah Dewi tanpa basa-basi. Terlihat jelas ada kemarahan di matanya.

Reka yang mendengar pertanyaan untuk adiknya menjadi gelisah. Ia merasa seolah sang ibu telah menuding dirinya dan bukan Rianti.

"Tidak, Bu. Riri bersumpah, Riri tidak melakukan hal yang dilarang agama," jawab Rianti yang terdengar lirih.

Reka masih terdiam, menyimak pertanyaan demi pertanyaan yang Dewi layangkan untuk Rianti.

"Apa kamu dipaksa atau kamu berhutang padanya?" cecar Dewi.

Suasana mendadak hening, hanya terdengar isakan tangis dari Rianti.

"Apa tidak bisa menunggu Reka dulu yang menikah?" tambah Dewi lagi.

Tak di pungkiri hatinya sakit mendengar anak gadisnya yang masih remaja menikah semuda itu. Delapan belas tahun bukan waktu yang tepat untuk membina rumah tangga. Dewi empaskan punggungnya di sandaran kursi. Tak tau harus bagaimana menyikapi situasi aneh ini.

Reka yang merasa ini bukanlah masalah tentu saja mulai membuka mulut. Tak tega melihat adik belianya itu tertunduk sedih. Rianti bahkan telah memutuskan sesuatu yang cukup ekstrem untuk menikah muda. Sedangkan dirinya, menghidari yang namanya pernikahan.

"Tidak apa-apa, Bu. Eka rela kok kalo Riri menikah duluan. Jodoh tidak bisa kita tunda, apalagi kita paksakan," ucapnya meyakinkan sang ibu.

Dewi menatap dalam padanya kemudian kembali menatap Rianti yang masih menunduk takut. "Ibu tanya sekali lagi, Ri. Apa kamu benar-benar mencintai dia dan ingin menikah dengannya?" tanya Dewi lagi. Kini suaranya sedikit tenang dari sebelumnya.

Rianti hanya merespon dengan anggukan pelan pertanyaan itu. Akhirnya, berakhirlah diskusi tiga wanita di keluarga Ady gustiawan. Dewi dan Rianti kembali menghampiri para tamu yang telah menunggu. Sementara Reka, kembali ke kamar untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.

***

Masa lalu Reka

Acara pernikahan sang adik tinggal menunggu hari. Anggota keluarga terlihat sibuk mempersiapkan segalanya, terutama Dewi. Dia yang sebelumnya begitu menentang, kini terlihat lebih antusias dalam merancang pernikahan sekali seumur hidup untuk Rianti. Sementara Reka yang lebih nyaman di kamar, kini mau tak mau harus ikut membantu.

Dengan kecepatan di bawah rata-rata, Reka kendarai motor metiknya. Menembus jalanan pasar yang mulai dipadati oleh pedagang dan pembeli.

"Dek, bisa cari ini?" pinta Reka sambil menyerahkan selembar kertas persegi empat kepada seorang gadis muda yang berdiri di dekat pintu masuk sebuah minimarket.

Sang gadis pun mengambil catatan kecil itu sembari tersenyum ramah. "Sebentar ya, Kak." Kemudian pergi berlalu mencari semua yang diperlukan Reka.

Setelah memenuhi semua daftar barang dari sang ibu, Reka pun membayar tanpa mengeluarkan suara. Tanpa menawar apalagi protes. Dirinya hanya ingin cepat pulang agar bisa berkasih mesra dengan guling kesayangannya.

Dengan langkah yang agak sempoyongan, ia berjalan keluar dari toko. Membawa kantong kresek yang beratnya hampir mencapai tujuh kilogram. Ya Allah, berat banget. Reka membatin seraya berusaha menyeimbangkan tubuh.

Tanpa Reka sadari, seorang pria berjalan mendekati dirinya. Pria tampan barwajah oriental dan bertubuh tinggi semampai.

"Hallo, apa kabar? Sudah lama kita gak bertemu," sapanya dari arah belakang. Suara yang terdengar berat dan mampu membuat jantung Reka seakan berhenti berdetak.

Reka mematung. Kaki dan jantung seolah mogok melakukan kewajibannya. *Dia ... apa jangan jangan ....

Memberanikan dirinya, Reka membalik tubuh. Dan dor*! Serasa ditembak mati. Tubuh Reka kaku dan lidahnya pun kelu tatkala melihat siapa sosok orang yang berbicara padanya. "K-kamu ...."

"Akhirnya kita ketemu. Aku gak tau ternyata kamu tinggal di Jogja." Pria itu tersenyum. Namun, bukan senyuman ramah yang terbentuk di bibirnya, melainkan seringaian yang tampak begitu menyeramkan.

Gleg!

Menelan saliva dengan susah payah. Melihat orang yang ada di hadapannya membuat mata Reka nanap seketika itu juga. Keringat dingin langsung membasahi tubuh. Jemari tangannya yang sedang membawa beban pun ikutan mendadak mati rasa. Sungguh, kengerian menjalar di seluruh tubuh. Hingga tanpa sadar kantong yang Reka pegang terlepas.

Reka langsung berlari, terus berlari seakan ada yang mengejar dan akan menguburnya hidup-hidup. Tidak peduli dengan tatapan aneh orang lain kepada dirinya. Netranya bahkan mengeluarkan bongkahan air yang mengalir begitu deras. Berguguran tanpa sempat ia seka karena otaknya terus saja mengatakan, 'lari Reka, lari!'

Pria itu kembali tersenyum, mengangkat sebelah ujung bibirnya. Pergilah! Pergi sejauh mungkin yang kamu mampu.

"Irwan! Ngapain lo di situ?" seru seorang wanita yang langsung membuyarkan tatapan jahatnya.

Pria yang berhasil membuat Reka ketakutan adalah Irwan syahputra. Seorang dokter bedah syaraf berusia 34 tahun yang terlihat begitu kharismatik. Mempunyai rahang yang tegas, bulu mata tebal dan hidung mancung. Irwan sendiri adalah anak tunggal dari seorang pengusaha perhiasan yang omsetnya bahkan sampai triliunan rupiah. Kinara Group, produsen dan penyedia emas terintegrasi dan terbesar yang berpusat di Jakarta. Sosok pria yang begitu sempurna, hingga para hawa berlomba ingin mendapatakan perhatiannya. Akan tetapi Reka, ia berlari, menjauh sejauh mungkin dari jangkauan Irwan. Ngeri, seolah Irwan akan menelannya bulat-bulat.

"Eh elo, Mel. Ngapain ke sini?" tanyanya kepada sahabatnya itu.

"Elo tuh yang ngapain? Tadi katanya mau beli minum?" tanya Melati balik seraya menaikkan alis.

"Gak jadi," ucap Irwan singkat sambil memungut isi kantong belanjaan Reka yang berserakan di tanah.

Melati semakin bingung akan sikap Irwan. Namun memilih mengabaikannya karena ada hal yang lebih penting daripada itu. Sebab tujuan awal mereka datang ke Jogja adalah untuk menghadiri sebuah seminar di salah satu hotel yang ada di sana.

"Kalo gitu, cepetan kita berangkat. Udah telat, ni." Melati berucap setelah melihat jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

"Sorry, Mel. Elo duluan aja, ya. Gue masih ada urusan," elak Irwan. Ia ingin berjalan mencari Reka namun tertahan karena Melati meraih lengan tangannya.

"Lha, gimana sih. Kita 'kan perginya barengan. Nanti gue pulangnya sama siapa?" cicit Melati sembari bergelayut di lengan Irwan.

"Ya ampun, Melati ... lo tu udah 30 taun. Masa iya masih manja, sih. Taksi ada, yang online juga banyak. Masih bingung juga mau pulang pake apa!" ujar Irwan yang langsung mendapatkan pukulan kuat di bahunya.

Irwan lepaskan tangan Melati dan berlari mencari gadis yang selama ini terus mengganggu pikirannya.

"Ck! Temen gak setia kawan," gerutu Melati.

Sementara itu, Reka bersembunyi di celah antara dua bangunan. Ia duduk seraya memeluk lutut. Tubuhnya gemetar hebat dan jantung masih bertabuh dengan cepat. Ia berkali-kali mengintip dari balik susunan keranjang bekas. Berharap tak akan ada yang menyadari keberadaanya di lorong sempit itu.

"Ibuk, Eka takut ..." lirihnya seraya menangis. Ia dekap lututnya dengan kuat dan sesekali menyeka air mata yang seperti tak ada habisnya.

Dua tahun lalu.

Reka dan temannya yang bernama Rania tengah tarik menarik di depan sebuah club ternama di Semarang.

"Ayolah, kita masuk sekarang. Udah lama kita kayak gini, Reka. Jangan bikin aku malu dong," rengek Rania, menarik lengan Reka agar mau masuk ke dalam club.

"Gak, Ra! Aku gak mau ke tempat beginian. Tadi katanya mau ngerayain kelulusan. Lalu kenapa ke sini? Aku udah bela-belain dateng dari Jogja hanya untuk ngerayain kelulusan kita. Tapi tetap aja aku gak mau ke tempat laknat ini, Rania ...." Reka tarik tangannya tapi gagal. Rania masih tak mau kalah. Membuat para pengunjung lain menatap aneh pada mereka.

"Astaga, Reka. Kita ini udah wisuda. Udah cukup umur untuk mencoba hal baru," cicit Rania lagi. Ia peluk tubuh sahabatnya itu dari belakang, berharap Reka mau mengabulkan permintaannya.

"Tapi, Ra. Ini tuh gak bener. Tempat ini banyak mudaratnya. Sekarang mending kita pulang ke rumahmu," ajak Reka, melepas tangan Rania dengan paksa.

Rania lepas paksa genggaman tangan Reka. "Gak bisa! Kesempatanku masuk ke sini cuma malam ini doang. Soalnya besok mami papi aku udah pulang dari Jakarta. Aku pasti akan disembelih kalau mereka tau aku ke sini. Mau, ya. Kita masuk, ya. Ayo dong," rengek Rania lagi dan sekarang ia malah berjongkok, memegang tangan Reka, mengiba.

"Maka dari itu, kita harus pulang Rania ... kamu enggak kedinginan apa, pakai baju kurang bahan begitu?" sindir Reka, berharap Rania mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam diskotik.

Namun mendapat penolakan dari Reka membuat Rania menjalankan aksi liciknya. Ia berdiri, memasang wajah masam. "Ya udah kalo kamu gak mau masuk. Biar aku aja yang ke sana sendirian. Kamu liat 'kan aku pake baju minim begini. Dan kalau aku sampai diperkosa, itu salah kamu!" ancam Rania, kemudian berjalan meninggalkan Reka, masuk ke diskotik seorang diri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!