"Mas, Malik. Giska mau bicara!" ujar Giska pada Malik yang sudah siap untuk pergi.
Malik tak menjawab atau sekadar menoleh pada Giska, yang dari tadi duduk di atas ranjang menanti dirinya berganti pakaian. Ia bahkan lantas berjalan menuju ke arah pintu, membuka pintu dan berhenti saat suara sang istri kembali terdengar.
"Giska tidak se-sabar Siti Sarah, Mas Malik! Giska Juga tidak se-tegar Umi Sulaim, apalagi se-tabah Hajjar dan tidak seteguh Siti Masyitoh. Jadi, tolong. Kasih tahu Giska, apa alasan Mas Malik jadi dingin seperti ini? Jangan membuat Giska jadi salah paham. Jika memang Mas Malik tidak menginginkan Giska. Talak Giska sekarang juga!" teriak Giska dengan kesal pada sang suami yang selangkah lagi keluar dari kamar mereka.
Malik terdiam di tempatnya. Tidak membalik badan atau bahkan menjawab apa yang di katakan sang istri. Perempuan yang baru ia nikahi selama seminggu ini.
Alika Giska Anugrah, wanita cantik itu menatap kesal punggung Mas Malik yang kini menjadi suaminya itu. Mas Malik yang dulu sangat baik padanya, yang entah kenapa setelah menjadi suami malah berubah menjadi lelaki yang tidak lagi ia kenali.
Mata perempuan itu berembun, sekali kedip saja, bisa di pastikan butiran bening kristal akan jatuh dari matanya.
Dan ternyata, benar. Satu tetes air mata jatuh saat mas Malik melanjutkan langkah keluar dari kamar mereka. Tanpa sepatah katapun padanya.
Entah apa kesalahan Giska, sampai mas Malik yang dari dulu begitu baik padanya kini jadi seperti itu.
Giska tersenyum sinis saat lagi-lagi tak mendapat jawaban apapun dari sang suami. Sungguh, ia tidak mengerti kenapa mas Malik nya jadi aneh seperti itu. Padahal dulu, pria itu selalu sabar menghadapi dirinya yang cerewet dan tidak sabaran. Tapi, kini ... entah ke mana perginya Mas pria yang baik hati, sampai akhirnya muncul Mas Malik yang dingin bak malaikat penjaga pintu neraka. Menakutkan.
..._-_-_-_-_...
Setelah tak mendapat jawaban apapun dari sang suami. Giska memutuskan pergi ke toko nya. toko baju usahanya.
Ia pergi dengan menaiki motor matik kesayangannya. Menuju bangunan dua lantai, yang dua tahun ini menjadi tempat Giska menghabiskan hari-harinya dengan berdagang.
Giska yang sejatinya mengalir darah bisnis dari orang tua dan neneknya, akhirnya membuka toko baju khusus muslimah di daerah ibukota.
Tak sulit untuk Giska memulai bisnis jualan nya, karena selain teman nya yang banyak, ibunya juga jualan. Jadi, dia tidak susah untuk mencari di mana barang bagus yang bisa ia jual kembali.
Giska memakirkan motornya, membuka helm dan mencabut kunci, lantas turun dari motor menuju Toko 'Anugrah Muslimah'.
Di depan Toko, sudah ada dua orang karyawan yang tengah menunggu dirinya dengan senyum yang lebar.
"Assalamu'alaikum," sapa Giska pada dua karyawan nya. Lisa dan Rere.
"Wa'alaikumsallam, Bu Bos." jawab keduanya dengan senyum yang merekah.
Giska melebarkan senyum. Setidaknya, dengan bertemu dua karyawannya itu ia sedikit lupa akan sang suami yang memiliki sikap dingin bak balok es.
Giska lalu mengambil kunci toko di dalam tas, lalu memberikannya pada Lisa. Perempuan itu dengan sigap menerima dan membuka pintu. Sementara itu, Giska mengambil ponselnya. Lalu menunjukan gambar pada Rere yang berdiri di sebelahnya.
"Re, menurut kamu, ini bagus, tidak?" tanya nya pada Rere.
"Bagus, Bu Bos! Ini model baru?" tanya balik sang karyawan.
"Aku mau lihat dong, Bu," ucap Lisa yang sudah membuka pintu, lantas memutar tumit mendekat ke arah sang bos. Ingin melihat model baru yang akan datang.
Rere lantas memberikan ponsel Giska pada Lisa. "Wih, bagus banget Bu. Aku mau ini nanti, kalau sudah datang. Buat calon mertua." ujar Lisa tersenyum puas pada bosnya.
"Cie-cie, calon mantu idaman." ledek Giska. "Tapi, jangan kaget ya, sama harganya." sambungnya.
"Wih, berapa Bu? Jadi penasaran." tanya Rere.
"Setengah gaji bulanan kalian." jawab Giska.
Sontak keduanya langsung melebarkan kelopak matanya. "Ampun, mahal banget, Bu." kata Lisa, sembari memberikan kembali ponsel sang Bos.
"Iya, makanya nanti aku nggak stok banyak. Cuma beberapa, setiap size hanya satu. Kalau banyak peminat bisa tambah lagi." ujar Giska.
Kedua karyawan nya itu pun mengangguk.
"Ya, sudah. Ayo masuk! Pesanan Bu Hajjah belum siap semua 'kan?" ajak Giska pada dua karyawannya itu. Ia juga menanyakan pesanan gamis seragam pengajian yang di pesan Ibu Hajjah yang sering sekali belanja di toko nya.
"Oh, iya." ucap Lisa, yang lantas masuk dan naik ke lantai dua. Sementara Giska dan Rere menyiapkan toko di bawah.
Di bawah memang tempat nya baju-baju yang terpasang rapi untuk di jual. Sedangkan di atas tempat istirahat Giska dan karyawannya, tempat shalat dan tempat stok baju-baju.
..._-_-_-_-_...
Giska dan Malik memang sudah lama tidak berhubungan secara dekat seperti dulu saat mereka masih SD sampai SMA. Karena, setelah SMA Giska memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Ia sudah jarang menghubungi Malik maupun Mika. Lagi pun semakin bertambahnya usia, perempuan cantik itu semakin memperdalam ilmu agama. Dan setelah masuk kuliah, ia lantas memutuskan untuk memakai cadar.
Begitupun dengan Malik yang lantas kuliah. Dan selesai kuliah, ia langsung membuka usaha dengan berjualan cilok, resep dari sang mama. Namun ia mencoba dengan varian baru yang akhirnya di sukai banyak orang lantaran rasanya yang unik. Dan setelah sukses di satu kedai, ia mencoba membuka cabang di ibukota dengan mengajak sang adik.
Dan, baru beberapa minggu ini Giska kembali dekat dengan Malik karena perjodohan yang di lakukan oleh orangtua mereka.
Mengingat bagaimana dekatnya antara orangtua Malik dan Giska, kedua orangtua mereka pun memutuskan untuk menjodohkan anak masing-masing, agar semakin mempererat kekeluargaan.
Namun, siapa sangka, ternyata kedekatan di masa anak-anak tidak bisa menjamin akan dekat sampai besar dan dewasa.
Padahal niat antara Keanu dan Anugrah juga Yuni dan Reno, menjodohkan Giska dengan Malik agar hubungan persaudaraan mereka tidak tercerai berai, agar semakin rekat dan tidak terlupakan saat mereka menjadi besan. Tanpa tahu, bagaimana kedua anak-anak mereka.
Mungkin, Giska sangat setuju. Karena dirinya memang sudah memiliki rasa sayang pada Malik dari kecil, namun Malik? Siapa yang tahu? Lalu, Mika? Apakah dia juga tidak memiliki rasa pada Giska? Secara mereka selalu bersama saat kecil.
Dan semua itu masih jadi tanda tanya, terlebih pada Giska yang semakin bingung dengan sikap dingin suaminya. Mas Malik yang dulu menjadi malaikat tak bersayap nya, yang selalu ada untuk dia dan kini, terbalik. Mas Malik nya itu sekarang bak badai salju. Dingin dan menyakitkan.
Kesibukan memang bisa mengalihkan pikiran dari suami yang memiliki sikap dingin. Namun, setiap baru selesai dari shalat, Giska kembali mengingat perubahan suaminya itu. Air mata sebening embun itu selalu menetes, setiap kali mengingat bagiamana sikap Malik padanya. Sikap cuek dan dinginnya. Bahkan, pria itu seolah bukan orang yang pernah ia kenal.
Seperti saat ini, ia masih duduk dengan menghela napas kasar di atas sajadah. Dadanya selalu sesak tiap kali mengingat suami.
Masih jelas teringat oleh Giska, saat ijab qabul terucap. Di pesta mewah yang di gelar di rumah orangtua, di Desa. Penuh suka cita, bahkan Malik pun terlihat begitu manis padanya. Menggenggam erat tangan, tersenyum manis bahkan gula saja kalah dengan senyum manis mas Malik nya waktu itu.
Tapi, kini ... dinginnya es saja kalah dari sikap dingin mas Malik. Alasannya? Entahlah.
Giska lagi-lagi menghela napas beratnya, sudah cukup untuk memikirkan suami yang dingin itu. Lebih baik sekarang ia kembali memeriksa barang-barang yang tengah di siapkan oleh Lisa dan Rere, karena sebentar lagi pesanan akan di ambil.
Giska segera melepas mukena, entahlah padahal bajunya sudah panjang-panjang. Tapi, shalat tidak menggunakan mukena ia masih merasa aneh, mungkin karena belum terbiasa. Perempuan bercadar itu lantas turun. Karena, sekarang sudah saatnya untuk bergantian antara dua karyawan.
Terlihat di sana Lisa dan Rere tengah duduk dengan selonjoran. Dua dus sudah tertutup rapi, Giska lantas mendekat ke arah keduanya. "Sudah, selesai?" tanyanya.
"Alhamdulillah, sudah Bu. Tadi juga, Bu Hajjah sudah telpon, sebentar lagi anaknya yang akan ambil," ucap Lisa menjelaskan.
"Ok! Sekarang silakan siapa yang akan shalat dulu?" tanya Giska mempersilakan.
Lisa dan Rere saling pandang, "kamu saja, aku 'kan lagi libur," ucap Lisa.
"Oh iya, lupa." ujar Rere. Lantas Rere pun beranjak dari sana, menuju lantai atas untuk shalat.
Giska menggeleng kan kepalanya, "ada-ada saja, si Rere," ucapnya.
..._-_-_-_...
Benar saja, seusai makan siang, mereka bertiga kedatangan seorang pria tampan. Dengan pakaian atasan koko dan bawahan menggunakan sarung. Lisa yang melihat itu langsung diam membisu, memperhatikan pria tampan yang tengah berjalan ke arahnya setelah membuka pintu.
"Assalamu'alaikum," ucap pemuda tampan itu.
"Wa-wa'alaikumsallam. Ya Allaah, ada pangeran tampan," jawab Lisa sembari bergumam lirih, namun masih bisa di dengar oleh seseorang itu.
Pemuda itu lantas tersenyum. "Permisi, saya anak dari Ibu Hajjah Endah, mau mengambil pesanan beliau," ucap pemuda itu.
Lisa mengangguk, "iya-iya. Tadi Bu Hajjah sudah bilang. Sebentar ya," Lisa berjalan ke arah dus yang masih tersimpan rapi di samping tangga.
"Bu, Bos. Anak Ibu Hajjah sudah datang," ucap Lisa pada sang Bos.
Giska yang tengah sibuk mencatat semua kemasukan dan pengeluaran mendongak sebentar, "ya sudah, kamu berikan saja, sudah di bayar kok sama Bu Hajjah." Giska lantas kembali serius dengan buku di depannya.
Pemuda tampan itu beralih memperhatikan Giska dan Lisa. Pandangan dia tertuju pada perempuan bercadar hitam yang serius dengan buku di depannya. Bibir pemuda itu tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya ke seluruh bagian dalam toko. Toko yang lumayan luas, dengan begitu banyak baju yang keseluruhan adalah baju muslim dan muslimah. Lalu, ada seseorang lagi yang terlihat tengah melayani pembeli.
Lisa lantas mendekat ke arah pemuda tampan itu dengan satu dus yang berisi baju pesanan Ibu Hajjah. "Ini, Mas, baju-baju nya. Jika ada yang salah, boleh besok di bawa kembali ke sini." ujar nya.
Pemuda yang mengaku anak dari Bu Hajjah itu mengangguk. "Sebentar ya, Mas. Masih ada satu lagi," ucap Lisa.
"Oh, saya pikir hanya ini saja," kata sang pemuda saat akan mengangkat dus di depannya.
Lisa tersenyum lantas pergi meninggalkan pemuda itu dan mengambilkan dus yang satunya lagi. Setelah mendapati dua dus pesanan sang ibu, pemuda itu pun berlalu dari toko, dengan mengucapkan terimakasih. Lisa memandangi sampai tak terlihat mobil anak dari pelanggannya itu.
..._-_-_-_...
Seharian ini, Giska rasanya lumayan lelah. Apalagi menjelang sore pengunjung di tokonya lumayan banyak. Sampai waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ia belum menutup toko nya. Karena, rasanya masih sayang kalau di tutup, sedangkan pembeli tengah ramai.
Sampai pukul 22:20 WIB, pengunjung toko nya sudah sepi. Tiga perempuan itu kini tengah duduk selonjoran di lantai.
"Alhamdulillah, ya Bu. Hari ini rame banget," ucap Rere senang.
Giska hanya mengangguk.
"Untung aku sudah ketemu orang ganteng, jadi lelahku sedikit hilang." ujar Lisa.
"Hush!" Rere memukul paha Lisa, "calon suamimu mau di kemana kan, kalau setiap ada orang ganteng langsung di embat." sambung Rere.
Giska mengerutkan kening, "laki-laki yang mana?" tanyanya penasaran. Pasalnya ia tak melihat ada laki-laki yang datang ke toko. Jika pun ada pastilah para suami yang dengan senang hati mengantar belanja sang istri.
"Ish, Ibu. Yang tadi itu loh bu, yang aku bilang anaknya Bu Hajjah." kata Lisa menjelaskan.
"Embuh lah, nggak tahu." ujar Giska yang memang tidak mengerti.
"Oh, yang pakai sarung hitam ya, Lis?" tanya Rere saat sekilas saja ia mengingat.
Lisa mengangguk antusias, "iya. Kamu lihat juga?"
"Iya, lihat sekilas. Tapi pas aku lihat kayaknya dia malah lagi memperhatikan bu Bos kita," ucap Rere lagi.
Giska berdiri dari duduknya, ngobrol dengan dua karyawan itu jelas tidak akan selesai-selesai. Apalagi yang di bicarakan adalah orang ganteng, jelas akan panjang urusan. Perempuan itu lalu mengibas bawah ujung bajunya, lantas mendongak, "Mas Malik," ucapnya saat mendapati seseorang tengah berdiri di pintu toko.
Rere dan Lisa lantas melihat ke arah belakang mereka, "eh, Pak Bos." ujar Lisa.
Malik tersenyum, "santai saja. Lanjutkan kalau masih seru." katanya sembari berjalan mendekat ke arah mereka.
Giska mengembuskan napasnya pelan. Inilah yang membuat ia tak habis pikir pada sang suami. Karena sikap dinginnya hanya berlaku saat mereka berdua saja, tidak saat mereka berada di keramaian. Seperti saat ini, ia yakin kalau mas Malik nya itu datang karena ingin menjemput dia yang sampai se-malam ini belum pulang. Tapi, lihatlah nanti saat di rumah. Mas Malik nya pasti akan berubah kembali menjadi manusia es. Dingin.
"Sudah tidak seru, ayo kita pulang. Sudah malam," ajak Giska.
Rere dan Lisa lantas berdiri juga. Karena jika malam seperti ini, kedua karyawati itu pasti akan pulang dengan di antar oleh suami dari Bosnya. Lain lagi jika dulu. Dulu, saat Giska belum menikah, mereka bertiga akan menginap di toko, jika sampai malam toko masih ramai.
Ketiganya duduk dalam diam didalam mobil, apalagi Giska yang begitu merasa lelah. Lelah dan lapar, ia hanya sempat makan siang. Malamnya ia belum makan, begitu juga dua karyawannya. Namun Lisa dan Rere sudah ia beri makan jajanan ringan tadi untuk mengganjal lapar. Sedangkan dia sendiri tak terlalu suka dengan makanan ringan.
Mobil yang di jalankan Malik berhenti di depan kost-an Rere dan Lisa. Keduanya lantas turun setelah mengucap terimakasih. Dan kini, di dalam mobil hanya tersisa sepasang suami-istri saja. Setalah itu pria berstatus suami itu lantas kembali menjalankan kendaraannya kembali menuju rumah mereka.
Perempuan bercadar itu langsung turun, begitu mobil sang suami berhenti di depan rumah mereka. Rasanya untuk menghormati suami macam Malik begitu malas. Dia lantas turun tanpa perduli pada lelaki yang masih setia di belakang kemudi. Mengambil kunci rumah dari dalam tas dan membuka pintu.
"Assalamu'alaikum," begitu ucapnya saat kaki kanan melangkah ke dalam rumah.
Giska langsung masuk ke dalam kamar, menaruh tas dan membuka cadar. Rasanya seminggu ini, ia begitu lelah. Lelah menjalani perannya sebagai istri yang tak terlihat.
Berhubung belum shalat isya, ia lantas berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelahnya, tak perduli suaminya di mana, ia langsung menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim.
Sementara itu di luar kamar. Tepatnya di dapur, Malik tengah menghangatkan makanan yang tadi ia beli di sebelah tempat jualannya. Di sebelah 'Kedai Cilok Kekinian,' adalah tempat warung makan. Warung yang menjual berbagai masakan. Dan yang di beli oleh Malik adalah makanan kesukaan sang istri semua. Dari pentol ekstra pedas, sampai sambal mercon. Semua makanan yang di sukai Giska memang yang berbau pedas, seperti sang bunda, Anugrah.
Semua makanan sudah beres, lantas ia pergi untuk memanggil Giska di kamar. Ia berjalan dengan langkah pelan dan ragu, juga sungkan. Tapi, jika tidak di panggil, sudah di pastikan istrinya itu tidak akan makan. Mau seperti apapun sikap Malik pada sang istri, dia tetap tidak ingin perempuan cantik itu sampai sakit.
Malik membuka pintu kamar dengan pelan, namun yang ia dapati adalah Giska yang tengah mendengar kajian di depan laptopnya. Kajian yang membuat perempuan cantik itu menangis.
Dari tempat Malik berdiri, ia bisa mendengar suara ustadz yang tengah berbicara tentang sebuah hadist yang mana menunjukan bahwa seseorang istri tidak akan mencium bau surga lantaran meminta cerai tanpa alasan syar'i.
Kini, Malik tahu kenapa Giska menangis, pasti karena tadi pagi dengan kesal wanita itu minta cerai padanya. Ia tak kuasa melihat perempuan tercinta yang kini tengah sesenggukan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Bahunya bergetar naik turun, terlihat sekali kalau kini perempuan itu tengah mearasakan sesal atas apa yang sudah dia katakan.
Ah, ingin sekali rasanya Malik mendekat dan memeluk erat sang istri. Ia ingin menenangkan dan mengatakan, 'tolong jangan benci aku. Aku butuh waktu sebentar saja untuk mengetahui sesuatu. Agar aku tak terlalu menyakitimu. Jika sekarang aku menjadikanmu istri yang sesungguhnya, aku takut kamu semakin kecewa, jika kenyataannya akan menyakitkan.' sayangnya itu semua hanya terucap di dalam hati saja.
Malik menarik napas kasar dan berlalu dari sana, tanpa mendekat ke arah sang istri. Ia tak kuasa sekarang. Ia hanya bisa seperti ini. Katakanlah dia pengecut, karena seperti itulah kenyataannya. Ia belum bisa jujur pada Giska untuk sekarang.
..._-_-_-_...
Nyatanya, makanan yang sudah di hangatkan dingin kembali. Sang pemilik makanan entah pergi ke mana. Yang jelas, saat Giska ke dapur guna mengambil air minum ia tak mendapati suaminya di sana, bahkan di tempat lainnya.
Rasa lapar yang tadi, sebelum pulang masih ia rasakan. Kini, sudah tak ada lagi. Ia hanya ingin minum agar sedikit saja rasa sesak di dada itu hilang. Giska hanya melirik sebentar ke arah makanan yang terlihat menggiurkan di atas meja, namun tidak ia sentuh. Ia hanya mengambil tudung saji dan menutupi semua makanan yang masih setia di sana.
Setelahnya, ia kembali ke kamar dengan segelas air. Begitu sampai di kamar, Giska menaruh gelas berisi air yang juga di tutup itu di atas meja. Lalu membuka mukenah dan membawa tubuh untuk berbaring.
'Cukup, sudah rasa lelah. Mari, kita istirahat,' begitu ucapnya dalam hati. Menyemangati diri sendiri, terbang ke alam mimpi setelah beberapa doa ia baca.
..._-_-_-_...
Pukul 02:30 dini hari, Malik baru pulang dari perginya tadi. Entah ke mana dia, yang jelas ia juga butuh tempat untuk menenangkan diri dari segala rasa yang membelenggu, rasa yang selama ini begitu menyiksa. Rasa yang belum bisa ia ceritakan pada siapapun. Bahkan pada Giska. Pun dengan kedua orangtua juga adiknya, semua tidak ada yang tahu, tentang apa yang tengah ia rasakan. Yang akhirnya menyiksa batin dan istri.
Dengan pelan Malik masuk ke dalam rumah, berjalan menuju ruang makan. Ia berharap, istrinya makan setelah menangis tadi. Tapi, ia harus kecewa saat membuka tudung saji karena semuanya masih utuh. Hanya saja kini, semua sudah kembali dingin.
Malik lantas memasukan semua makanan ke dalam kulkas, rasanya sangat sayang jika makanan yang tidak di makan itu sampai basi. Setelah itu, Malik lantas masuk ke dalam kamar. Tentunya dengan perlahan agar tak mengganggu tidur sang istri.
Malik kembali merasakan sesak saat menatap wajah ayu yang kini tidur dengan ujung mata nya yang terlihat basah. Masih ada sisa-sisa air mata di sana. Ah, dada rasanya semakin sesak. Namun, ia bisa apa?
Lantas, Malik mengusap lembut kepala Giska dan mencium puncak kepala Istrinya itu dengan sangat pelan. "Selamat tidur, my wife, semoga mimpi indah," ucapnya pelan.
Lalu, ia berlalu dari sana. Malik lantas mengambil air wudhu, ada baiknya Malik shalat. Begitu selesai wudhu ia lalu mengganti pakaian dan menggelar sajadah. Ia memulai shalat sunah nya.
Setelah shalat nya selesai, Malik tetap duduk di sana. Mengangkat tinggi-tinggi tangannya, lalu, menunduk dan mulai berdoa. Memohon kepada Sang Maha Pemberi Hidup. Begitu banyak yang Malik mau, sampai yang tadinya ia berdoa kini seolah memaksa. Lelaki 27 tahun itu menangis, memohon kepada Allaah Ta'ala, agar segala keinginan terkabul dan masalah cepat beres. Supaya tak lagi menyakiti hati sang istri.
Suara Malik yang terputus-putus membuat Giska terbangun dari tidur. Namun ia tak lantas beranjak atau bergerak. Ia bergeming di tempat, hanya membuka mata dan mendengar suara suaminya.
Dalam hati, ingin sekali Giska minta maaf atas apa yang tadi pagi ia katakan. Harusnya ia tak meminta cerai, harusnya dia bisa bertanya baik-baik dan meminta penjelasan dengan sabar. Namun, lagi-lagi dia hanya manusia biasa. Tempatnya salah dan tak sabar.
Giska lantas memiringkan badan, agar bisa melihat punggung lebar sang suami yang masih bergerak naik-turun. Lalu, Giska pun duduk dan menurunkan kaki dari ranjang, berjalan ke arah meja dan mengambil gelas. Setelahnya, tanpa sepatah katapun ia menaruh gelas yang berisi air itu di samping sajadah, di depan sang suami.
Lalu, ia kembali ke ranjang dan menyambung kembali tidur nya. Meninggalkan Malik yang kaget dan menyudahi sedihnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!