"Nggun, minggu depan aku menikah. Namun, aku nggak bisa memberikan undangan langsung untukmu. Aku takut kalau kamu nggak kuat menerima kenyataan ini," ucap Witha Singgih Ravindra, kekasih Anggun Maharani.
Anggun yang saat ini berusia 27 tahun sangat berharap sekali bisa menikah dengan Witha. Namun, perjodohan orang tua Witha yang membuat hubungan keduanya berakhir di sini. Di sebuah taman tanpa kata putus, Witha mengundang dari mulutnya langsung.
Rasa nyeri dan sakit hati masih berasa. Dia tidak bisa merespon ucapan yang membuat jantungnya nyaris berhenti, bahkan nadinya serasa terputus. Ya, Anggun merasa hancur berkeping-keping.
"Aku sama sekali tidak terkejut, Witha. Aku cukup sadar diri bahwa hubungan kita akan berakhir seperti ini. Kamu jangan khawatir. Aku pasti akan datang ke pesta pernikahanmu. Percayalah!"
Anggun tidak hanya membunuh hati dan jantungnya saja, tetapi juga membunuh seluruh kehidupan yang ada di tubuhnya. Dia berjanji akan datang ke pesta pernikahan itu.
Waktu yang dinanti pun tiba, yaitu pernikahan Witha dan seorang wanita yang sama sekali tidak dikenal Anggun. Sahabat Anggun, Jihan Hansa sudah melarangnya untuk hadir di pernikahan itu. Walaupun Jihan juga mengenalnya, tetapi tidak salahnya kan kalau Anggun menitipkan hadiah pernikahan yang sudah disiapkan tanpa menyakiti hatinya langsung.
"Nggun, kamu yakin akan datang ke pernikahan Witha? Aku takut kalau kamu nggak akan sekuat sekarang," ucap Jihan.
Anggun berkaca-kaca. Sebenarnya dia tidak sanggup datang ke sana lalu melihat kebahagiaan Witha bersanding dengan istrinya di pelaminan. Lalu, Anggun maju untuk memberikan selamat dan ucapan selamat tinggal secara bersamaan.
"Iya, Jihan. Aku sudah janji bakal datang. Kamu mau menemani aku, kan?"
Sebagai sahabat yang baik, Jihan tentu saja akan berada di sampingnya. Ya, Jihan dan Anggun tinggal di tempat yang sama. Namun, keduanya bekerja di tempat yang berbeda.
Anggun menjadi staf di perusahaan yang bergerak di bidang kemasan plastik atau yang biasa disebut Packaging Industri. Sementara Jihan, dia menjadi staf accounting di sebuah mall yang tidak jauh dari tempat Anggun bekerja.
"Tentu saja, Anggun. Aku dan Witha juga saling mengenal. Mana mungkin aku tidak datang."
Anggun menyiapkan kado spesial untuk pernikahan Witha. Sebenarnya Jihan sudah melarangnya untuk memberikan sesuatu yang akan menambah kesedihan perpisahan mereka.
Sebagai pernikahan orang kaya, ballroom hotel adalah alternatif yang tepat. Hanya saja saat memasukinya, mereka harus menunjukkan undangan lalu melakukan scan pada barcode undangan tersebut.
Semula Anggun sulit masuk ke sana karena dia tidak memiliki undangan. Beruntung Jihan lekas menyelamatkan dirinya. Jihan meminta bagian penerimaan tamu untuk mengkonfirmasi lagi kepada Witha bahwa wanita yang bernama Anggun memang orang yang diundang secara langsung.
"Biarkan dia masuk, Pak," ucap Witha yang meninggalkan kamarnya untuk menemui Anggun.
Acara memang belum dimulai sehingga Witha bisa datang ke depan ballroom. Sepertinya akad nikah sudah selesai digelar sehingga wajah Witha terlihat sangat tampan dan di jari tangannya sudah terlihat cincin pernikahan yang terbuat dari perak.
Witha pun berlalu meninggalkan mereka. Seakan tidak bersalah sama sekali sudah meninggalkan Anggun seperti itu.
Pernikahan megah ini seharusnya menjadi milik Anggun. Sayang, itu hanya bayangannya saja. Jihan menyenggol lengannya saat melihat Anggun melamun.
"Ayo, pulang! Kurasa kamu nggak akan kuat berlama-lama di sini."
Anggun menggeleng. Hatinya sudah terlalu rapuh untuk menerima kenyataan ini. Dia sakit teramat sangat.
"Kita pergi setelah aku mengucapkan selamat padanya. Bisa kau antarkan aku sekarang?" Anggun tetap bersikeras untuk mengucapkan selamat pada Witha.
Langkah ragu membuat Jihan lekas mendorongnya. Supaya semuanya lekas selesai lalu mereka bisa keluar dari ballroom tersebut.
Berhadapan dengan Witha, pria yang memberikan janji manis lalu meninggalkannya dengan kenangan sebuah pernikahan. Hal itu menjadi akhir hubungan mereka. Ditambah lagi permintaan orang tua Anggun yang memintanya untuk lekas menikah.
"Selamat atas pernikahanmu, Witha! Semoga kau selalu bahagia." Hanya itu ucapan yang dilontarkan oleh Anggun. Dia tidak sanggup lagi mengatakan lebih dari itu.
"Terima kasih, Anggun. Semoga kamu juga bahagia," balas Witha.
Terlihat tidak ada penyesalan sudah meninggalkan Anggun begitu saja. Witha bahkan menunjukkan sisi romantisnya kepada istrinya yang diketahui bernama Kaluna Larasati.
Keluar dari ballroom tanpa memakan apa pun membuat Jihan kasihan padanya. Dia mengajak Anggun untuk makan dulu di sebuah warung nasi Padang yang tidak jauh dari hotel.
"Kenapa kita berada di sini, Jihan?"
"Kau harus makan dulu, Anggun. Jangan jadikan pernikahan Witha adalah kehancuranmu. Beruntung karena Witha harus menikah saat ini. Kalau sampai menikah denganmu lalu orang tuanya meminta kalian bercerai akan semakin rumit."
Jihan benar. Namun, keputusan Witha juga salah menurut Anggun. Pria itu sama sekali tidak mendapatkan ganjaran apa pun. Dia malah menerima kebahagiaannya begitu saja.
"Itu tidak adil, Jihan. Witha yang meninggalkan aku. Dia bahagia dengan pernikahannya. Bagaimana dengan nasibku?" Kesedihan hati Anggun jelas bisa dirasakan sahabatnya.
Sambil menikmati nasi Padang yang dipesan, Jihan mencoba mencarikan solusi untuk sahabatnya agar bisa move on dengan cepat.
"Kalau begitu, kamu menikah saja. Tidak ada salahnya, kan? Siapa tahu kamu bisa melupakan Witha dengan menikahi pria lain. Minta saja dijodohkan dengan siapa gitu," saran Jihan.
Tidak mudah mendapatkan calon dalam waktu singkat. Terlebih Anggun tinggal di kota, sedangkan orang tuanya tinggal di desa. Ini akan sangat sulit sekali. Bukan perkara move on-nya, tetapi menjalaninya.
Setelah saran yang diberikan Jihan waktu itu, beberapa hari kemudian Anggun memberanikan diri untuk menghubungi orang tuanya. Dia meminta mereka mencarikan jodoh untuk Anggun. Terkesan sangat sulit, tetapi ini harus dilakukan. Menikah dengan pria yang sama sekali tidak diinginkan oleh Anggun akibat rasa putus asanya.
"Pulanglah, Nggun! Bapak yang akan mencarikan jodoh untukmu," ucap ibunya melalui sambungan telepon.
"Sudahlah, Bu. Pokoknya Anggun mau dengan siapa pun asalkan itu laki-laki," jawab Anggun asal.
"Nduk, kenapa terkesan terburu-buru, to? Kenapa ndak nunggu saja sampai kamu pulang ke rumah? Lagian kalau ngomong lewat telepon, terus kamunya ndak cocok, malah kasihan, kan?"
Ibunya Anggun masih memikirkan keadaan putrinya. Tiba-tiba minta menikah saat ini juga. Namun, sebagai orang tua yang sudah mengarahkan putrinya, ibunya Anggun tidak sepenuhnya bisa mengekang. Dia hanya bisa mendoakan yang terbaik kepada putrinya.
Setelah melalui proses yang lumayan panjang. Tiba-tiba ibunya mengabari bahwa Anggun mendapatkan lamaran dari pria yang bernama Moiz Mahardika. Pria yang berbeda kecamatan dengan Anggun memberanikan diri untuk melamar gadis desa yang kebetulan bekerja di kota.
"Anggun terima, Bu. Tentukan tanggal pernikahannya maka Anggun akan pulang," ucap Anggun yakin.
Dalam keputusasaannya, Anggun tidak menyadari bahwa pernikahannya nanti justru akan membuat hidupnya semakin rumit. Kira-kira apa yang akan dilakukan Moiz padanya? Calon suami yang akan menikahi Anggun dalam waktu dekat.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Anggun Maharani binti Gian Raharja dengan maskawin cincin emas seberat 5 gram, dibayar tunai."
Satu tarikan napas, Moiz Mahardika berhasil mempersunting Anggun dengan pernikahan sederhana. Pernikahan yang hanya dilakukan di KUA atas permintaan Anggun.
"Bagaimana, Saksi?"
"Sah."
"Sah."
Doa pernikahan pun dibacakan untuk kedua mempelai. Moiz terlihat sangat bahagia mendapatkan istri yang bekerja di kota. Sementara Moiz sendiri hanya seorang montir di bengkel yang berada di desa. Itu sangat berbanding terbalik dengan istrinya, Anggun.
"Nggun, setelah ini kita akan tinggal di mana? Kamu mau tinggal di rumah orang tuaku, kan?" tanya Moiz setelah kembali ke rumah orang tua Anggun.
Ya, walaupun diadakan sederhana, rupanya di rumah orang tua Anggun tetap saja ada orang yang datang untuk sekadar nyumbang dan memberikan doa restu kepada sepasang pengantin.
"Belum tau, Mas Moiz. Nanti kupikir-pikir lagi. Lagian aku juga dapat libur tidak lebih dari seminggu," jelas Anggun.
Dikata move on, lain lagi di hati Anggun. Dia merasa pernikahan ini bukan cara yang tepat untuk mengatasi masalahnya. Sejujurnya, setelah resmi menjadi suami Moiz, Anggun merasa jatuh terlalu dalam.
Masalahnya, perbandingan antara Witha dan Moiz sangatlah berbeda. Witha yang merupakan pria kota bisa mengerti Anggun sebagimana pria pada umumnya. Sementara Moiz, dia hanya pria desa yang bekerjanya pun di desa. Dia tidak akan memahami bagaimana cara kehidupan di kota yang membuat Anggun putus asa seperti itu.
Pesta pernikahan sederhana pun begitu cepat berakhir. Cuti yang diberikan perusahaan sudah habis. Saatnya Anggun kembali ke kota.
"Nggun, apa tidak sebaiknya kamu bawa Moiz ke kota bersamamu? Nanti kamu bisa mencarikan pekerjaan untuknya," ucap Maryamah, ibunya Anggun.
"Tidak bisa, Bu. Tempat tinggal Anggun jadi satu sama Jihan. Mana bisa bawa Mas Moiz ke sana? Itu akan membuat Anggun kesulitan lagi, kan? Belum lagi harus mencarikan pekerjaan untuknya. Lebih baik Mas Moiz di sini saja."
Anggun mau menjalani pernikahan secara LDM (Long Distance Marriage). Moiz pun tidak menolak keinginan istrinya karena dia sendiri bekerja di bengkel yang tidak jauh dari rumahnya.
"Bagaimana, Moiz? Anggun ndak bisa membawamu ke kota," ucap Maryamah setelah berbicara dengan Anggun berdua saja.
Kini, Maryamah harus memberikan pengertian kepada Moiz mengenai keputusan putrinya. Sebenarnya Gian, suami Maryamah tidak setuju dengan keputusan Anggun. Namun, karena Moiz sendiri bekerja, jadi tidak akan menjadi masalah untuknya.
"Ndak apa-apa, Bu. Kalau keputusan Dek Anggun memang seperti itu. Nanti Moiz bisa menjemputnya seminggu sekali."
Kembali lagi pada Moiz dan Witha. Walaupun mereka berdua sama-sama pria, tetapi Moiz juga bukan pria yang jelek. Dia cukup tampan untuk ukuran pria desa yang bersanding dengan Anggun. Hanya perlu memoles sedikit dengan pakaian bagus, maka Moiz dan Witha tidak akan kalah bersaing.
Banyak ucapan selamat atas pernikahan Anggun yang dilangsungkan secara diam-diam. Tidak hanya dari Jihan, tetapi rekan kerjanya di perusahaan pun mengucapkan selamat.
"Wah, Mbak Anggun akhirnya menikah juga. Selamat, ya!"
"Iya, Mbak. Selamat atas pernikahannya!"
Lain halnya dengan Firhan El Fatih, pria yang menjadi atasan Anggun malah senang kalau bawahannya sudah kembali. Selama cuti, Firhan harus melakukan pekerjaan yang begitu melelahkan.
"Syukurlah kalau kamu sudah kembali, Nggun. Bagaimana pernikahanmu? Lancar?"
"Iya, Pak Firhan. Terima kasih sudah diizinkan cuti sepanjang itu."
Firhan pun tersenyum manis padanya. Bukan senyuman atas dasar suka atau apa. Firhan ini pria misterius yang tidak banyak orang tahu. Pria 35 tahun yang sama sekali tertutup mengenai urusan keluarga atau apa pun itu.
"Hemm, aku tidak memberikan hadiah apa pun padamu. Bagaimana kalau aku traktir makan siang di Kafe langganan anak-anak?"
Maksud Firhan di sini adalah kafe langganan bawahannya yang lain. Beberapa dari mereka berada di divisi produksi.
"Terima kasih, Pak. Lain kali saja," tolak Anggun.
Anggun sedang lelah. Dia masih harus menyelesaikan pekerjaannya selama seminggu. Kalau menerima ajakan Firhan, yang ada dia tidak bisa keluar dari kafe dengan mudah. Mereka pasti akan menggoda Anggun dengan menanyakan bagaimana malam pertamanya? Bagaimana hubunganmu dengan suami? Setampan apa pria itu?
Seperti biasa, sore hari menjelang pulang, Jihan selalu menjemput Anggun di depan pabrik tempatnya bekerja. Walaupun sama-sama menaiki motor, Jihan tidak ingin melewatkan keseruan bersama sahabatnya.
"Anggun! Akhirnya kau keluar juga. Malam ini ngemall, yuk?" ajak Jihan.
Setelah kembali ke kota, Anggun lebih banyak bermuram durja. Dia juga tidak terlalu sering menghubungi suaminya, Moiz. Ada beberapa hal yang masih menjadi rahasia Anggun sampai saat ini. Itu tidak akan dibagikan kepada siapa pun. Hanya dirinya yang tahu dan jangan sampai orang tuanya pun tahu.
"Lain kali saja, Jihan. Aku sangat lelah. Kau tahu kan kalau aku baru saja menikah," tolak Anggun.
Anggun dan Jihan memang seumuran. Hanya saja pemikiran Jihan tidak seperti Anggun. Dia lebih membebaskan pikirannya ketimbang memikirkan masalah yang begitu rumit, terutama untuk jodoh.
"Aduh, Anggun. Ayo, ikut aku! Kita jalan-jalan. Daripada kamu suntuk sendirian."
Daripada menolak berujung pemaksaan, lebih baik ikuti saja apa permintaan Jihan. Namun, mereka harus kembali ke tempat kostnya lebih dahulu. Mereka harus membersihkan diri, lalu menyelesaikan apa pun yang perlu diselesaikan.
Malam hari, menjelang makan malam sekitar pukul 7, mereka meninggalkan kost menuju mall yang dimaksud. Jihan berniat memberikan kejutan, yaitu makan malam bersama atas pernikahan Anggun.
"Kau bisa pesan sepuasnya," ucap Jihan saat memasuki restoran yang menyuguhkan hidangan Asia.
"Jihan, kenapa harus ke sini? Kita bisa makan bakso, seblak, atau apalah itu. Jangan makanan seperti ini. Bisa menguras kantong," tolak Anggun.
Bukan karena tidak mau, tetapi takut lidah Anggun tidak cocok dengan makanan yang disajikan dari berbagai negara. Walaupun di restoran itu menyuguhkan rendang yang memang khas negaranya juga.
"Ck, apa kamu mau makan ayam geprek atau ayam penyet saja?" Jihan menawarkan.
Akan sangat sulit rasanya merayu Anggun dengan caranya saat ini. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk pindah ke food court nasi goreng.
"Nah, kalau di sini, bagaimana?"
"Lidahku cocok sama nasi goreng, Jihan. Ini seriusan kamu mau traktir aku?" Anggun mencoba memastikan.
"Iya, dong! Kan kamu sudah menikah. Sementara pas kamu nikah, aku gak bisa dateng. Nah, sebagai gantinya aku traktir kamu makan. Setelah itu, kamu minta apa pun aku kasih."
Jalan berdua dengan Jihan rasanya seperti membuang penat setelah cuti dan kesibukannya di pabrik. Saat menikmati nasi goreng yang sudah dipesan, tiba-tiba ponsel Anggun berdering.
"Siapa?" tanya Jihan.
"Suamiku."
"Yaudah, angkat dulu, gih! Jangan buat dia menunggu lama."
Anggun segera mengangkat panggilan itu. Dia sedikit menjauh karena malu kalau percakapannya akan didengar oleh Jihan.
"Assalamualaikum, Mas. Ada apa?" tanya Anggun.
"Dek, kamu lagi di mana?"
"Aku lagi makan sama temenku, Mas. Di mall, makan nasi goreng. Kenapa?" Anggun tidak pandai berbohong. Dia pun menceritakan semuanya kepada Moiz, suaminya.
"Wah, banyak duit, dong! Bisa transfer dikit buat aku, nggak? Aku belum gajian, nih!" Ini pertama kalinya Moiz meminta uang pada istrinya.
"Ya, nanti aku transfer. Butuh berapa?" Anggun memang belum paham betul siapa suaminya, tetapi dia mencoba memahami Moiz seperti wanita pada umumnya.
"Ehm, tiga ratus ribu kalau ada."
"Ya, Mas. Nanti kukirimkan. Jangan lupa kirim nomor rekeningnya," pesan Anggun sebelum Moiz mengakhiri panggilannya.
Tanpa terima kasih atau sekadar basa-basi, Moiz langsung menutup panggilan. Anggun sebagai seorang istri memang menerima cincin sebagai maharnya, tetapi sampai detik ini Moiz sama sekali belum memberikan nafkah lahir maupun batin kepadanya.
Anggun terkejut mendapati bapaknya meminta untuk pulang. Katanya Maryamah sedang sakit. Jelas sedikit banyak dia akan meminta izin pada atasannya, yaitu Firhan.
"Ada apalagi, Nggun?" Firhan melihat wanita itu sama sekali tidak bergairah.
"Pak, ibuku sakit. Apa boleh aku minta izin tidak masuk minimal sehari dan maksimal dua hari? Aku takut tidak keburu datang ke pabrik tepat waktu. Mungkin ibu juga membutuhkanku," ucapnya seraya memohon.
Padahal baru beberapa minggu yang lalu Anggun mendapatkan cuti selama seminggu. Firhan memang atasannya, tetapi tidak mungkin untuk melarang karyawan yang loyalitasnya cukup tinggi. Bahkan, beberapa dari mereka mengatakan bahwa Anggun adalah karyawan yang memiliki loyalitas tanpa batas.
"Pergilah! Gunakan waktumu sebaik mungkin untuk menemani ibumu. Salam buat ibumu. Semoga lekas sembuh," pesan Firhan sebelum keduanya berpisah.
Anggun bisa saja pulang menggunakan motornya. Akan tetapi dia tidak bisa karena hari sudah menjelang petang dan dia pun baru saja pulang dari pabrik. Akan sangat melelahkan dengan perjalanan yang membutuhkan waktu sekitar 2 jam dengan menggunakan bus.
"Baiklah. Aku harus pulang sekarang."
Anggun mengemas barangnya sedikit saja. Tidak lupa dia memasukkan motornya ke dalam kost. Sementara sambil jalan, dia akan mengirimkan pesan pada Jihan bahwa malam ini dia tidak akan berada di kost selama satu atau dua harian.
Sepanjang perjalanan pulang, Anggun mencoba memikirkan hal yang janggal. Kata bapaknya, ibu sakit karena mendengar kata-kata yang menyakitinya. Entah, siapa sebenarnya biang kerok yang membuat ibunya sampai sakit seperti itu?
"Aku heran. Ibu tidak biasanya seperti itu. Tumben sekali," gumamnya sambil mengamati ponselnya. Mungkin saja ada pesan balasan masuk dari Jihan.
Jarak rumah dengan terminal juga lumayan jauh. Setengah jam menggunakan motor sehingga Anggun mencoba mengirimkan pesan pada suaminya, Moiz. Beberapa hari setelah menerima transferan sebanyak yang diminta, Moiz memang minta uang lagi dengan dalih akan memperbaiki motornya.
Bukannya mendapatkan pesan balasan karena setuju untuk menjemput, Moiz malah beralasan mengantarkan ibunya sendiri berobat ke rumah sakit. Ya, ibu mertuanya Anggun katanya juga sakit.
"Ini aneh. Apa sebenarnya yang direncanakan Mas Moiz padaku? Apa dia sedang mencoba menyembunyikan sesuatu dariku?"
Ribuan pertanyaan bergelayut manja di benak Anggun. Sampailah dia di terminal bus yang saat ini benar-benar sudah malam sekali.
Bukannya mendapatkan pesan dari Moiz ataupun Jihan, Anggun malah mendapatkan pesan singkat di aplikasi hijau dari mantannya, Witha. Pria itu hanya menanyakan kabar setelah sekian lama menikah dengan wanita lain.
Anggun tak ingin membalas pesan itu karena dia harus segera menemukan tukang ojek yang bisa membawanya ke rumah. Dia tahu kalau ibunya sedang dirawat di rumah sakit, tetapi dia harus meletakkan beberapa barang lalu membersihkan diri.
"Mau ke mana, Mbak?" tanya tukang ojek.
"Kampung X, Pak. Berapa?" Anggun mencoba bernegosiasi jika ongkos ojeknya mahal, dia bisa mencari alternatif lainnya.
"Tiga puluh ribu, Mbak. Bagaimana?"
"Boleh, deh!"
Anggun menerima helm dari tukang ojek tersebut lalu dia segera naik. Pikirannya masih tentang penyebab sakit yang dialami ibunya. Kalau ada asap, pasti ada api sehingga Anggun harus mencari sumbernya.
Suasana rumah sedang sepi. Setelah membayar ongkos ojek, bergegas Anggun masuk. Rupanya bapak juga baru tiba di sana.
"Loh, Bapak kok di rumah?" Anggun heran.
"Iya. Ibumu meminta bapak untuk menjemput. Pas kamu datang, bapak juga baru sampai." Gian tertunduk.
"Loh, Mas Moiz tidak menginap di sini, Pak?" Anggun juga heran. Padahal beberapa hari yang lalu suaminya mengaku mampir ke sini dan menginap. Namun, rumah seperti hanya dihuni oleh dua orang saja.
"Sudahlah. Lebih baik kamu lekas bersiap. Ibumu sudah rindu katanya." Gian mengalihkan pembicaraan.
Anggun pun merasakan hal yang sama. Sekitar 30 menitan, dia sudah terlihat rapi dengan celana jeans dan kaos. Tidak hanya itu, dia pun menggunakan jaket senada dengan warna celananya.
Gian membonceng putri tunggalnya menuju ke rumah sakit. Sampai di sana, Maryamah sedang tertidur pulas. Kata dokter, darah tingginya meningkat lumayan drastis. Makanya Maryamah harus dirawat.
"Pak, sebenarnya ada apa?" Anggun semakin penasaran.
"Tunggu Ibumu bangun saja, Nggun. Bapak tidak enak mau cerita ke kamu."
Lagi-lagi Anggun harus menahan kecewa dengan jawaban yang diberikan bapaknya. Apa ini ada hubungannya dengan suaminya? Atau, mungkin ibunya mengetahui sesuatu mengenai Moiz?
Ah, pikirannya lari kepada suaminya yang saat ini tidak jelas keberadaannya. Bukannya menjemput istrinya, malah dia memilih mengurus ibunya. Ya, Anggun juga tahu kalau itu sama-sama penting.
"Pak, Mas Moiz ada bilang kalau ibunya sakit?"
Gian terkejut. Seakan menantunya itu memang benar-benar mempermainkan keluarganya. Bagaimana kalau Anggun tahu yang sebenarnya? Gian pasti sedih dan kecewa.
"Ehm, mungkin saja, Nggun. Setelah beberapa hari, bapak juga tidak bertemu dengannya."
Ah, lagi-lagi Gian harus berbohong pada putrinya. Padahal Gian juga tahu semuanya. Namun, dia tidak serapuh Maryamah saat menerima kabar tersebut.
Malam ini Anggun menemani bapaknya di rumah sakit. Dia pun mengatakan jika meminta izin selama dua harian untuk mengurus ibunya yang sedang sakit. Gian memakluminya karena bekerja ikut orang ada risiko yang harus diterima.
Keesokan paginya, Maryamah terbangun. Saat mengetahui Anggun masih tertidur pulas di sebelahnya, dia langsung mengelus puncak kepala putrinya.
"Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak tahu kalau Moiz kelakuannya seperti itu. Entah, kamu sendiri bisa menerimanya atau tidak," gumam Maryamah.
Gian baru saja keluar untuk membeli sarapan. Dua bungkus nasi pecel disiapkan untuk dirinya dan Anggun. Sementara sang istri akan memakan sarapan yang diberikan pihak rumah sakit.
"Kamu sudah bangun, Maryam? Anggun sejak semalam sudah berada di sini. Kamu sudah tertidur," ucap Gian.
"Jangan berisik, Pak! Biarkan Anggun tidur. Dia pasti capek pulang dari pabrik langsung ke sini."
Anggun yang merasa mendengar orang berbincang pun perlahan membuka matanya. Saat melihat ibunya bangun, Anggun pun lekas pamit sebentar untuk menunaikan kewajibannya. Ini memang masih sangat pagi, sekitar jam 5. Sehingga masih ada waktu Anggun untuk melakukan kewajibannya.
Tidak butuh waktu lama sampai Anggun kembali menemui ibunya. Sayang, dia sudah tidak mendapati bapaknya berada di sana.
"Loh, bapak ke mana, Bu?"
"Setelah sarapan, bapakmu pulang. Dia harus membereskan rumah. Siapa tahu ibu diizinkan pulang sekarang. Kamu sarapan dulu, gih! Bapak pasti membelikan pecel untukmu."
Mana mungkin Anggun bisa makan sebelum mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi. Dia mendekati ibunya lalu duduk tepat di sebelah brankar.
"Bu, Anggun akan makan setelah Ibu cerita," pinta Anggun.
Maryamah berkaca-kaca. Dia meneteskan air mata karena tidak bisa menahan kesedihannya.
"Ibu, tolong jangan menangis. Apa pun yang akan Ibu ceritakan, Anggun akan mendengarnya."
"Ini mengenai Moiz, Nggun. Ibu minta maaf."
Dugaan Anggun tidak salah. Namun, apa sebenarnya yang diperbuat Moiz sehingga ibunya menangis seperti itu? Anggun sudah tidak sabar ingin mendengar ceritanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!