NovelToon NovelToon

Rahasia Denis

Satu

Hari semakin beranjak senja. Awan hitam yang menggantung dilangit menambah pekat cakrawala. Angin semakin kuat berhembus menerbangkan dedaunan kering dan sampah-sampah plastik yang berserakan ditepi jalan.

Para pengendara dijalanan memacu kendaraan mereka. Berlomba-lomba menghindari guyuran hujan yang mungkin akan segera turun.

Sebuah bengkel tepi jalan baru saja menyelesaikan service mobil pelanggan terakhir. Seorang pegawai dengan seragam kerja berwarna hitam yang penuh dengan oli menerima uang tips dari pemilik kendaraan yang baru saja dia service.

"Terima kasih."

Hanya kata itu yang keluar dari bibir tipisnya. Dia mengangguk hormat kepada lelaki separuh baya yang baru saja meninggalkan bengkel itu dengan mobilnya.

"Denis! Cepet lo ikut gue sekarang!"

Seseorang memanggilnya sambil menuju sebuah mobil yang terparkir di bagian depan bengkel.Dia kelihatan sedang terburu-buru.

"Lukman! Lo tutup bengkel, ya. Kuncinya lo bawa aja. Sekalian lo bawa pulang motor si Denis."

Dia memberi arahan pada karyawannya yang lain. Lelaki yang dipanggil Lukman mengiyakan dengan patuh arahan majikannya.

"Gue ganti baju dulu bang." Suara Denis berat dan agak serak sudah menjadi ciri khasnya. Tanpa menunggu jawaban, dia segera berlalu kedalam sebuah ruangan. Tidak lama kemudian sudah kembali dengan celana jeans belel yang koyak dibagian lututnya. Atasnya kaos longgar berwarna hitam dilapisi kemeja kotak-kotak warna merah dengan kancingnya yang terbuka. Topi baseball bertengger terbalik menutupi rambutnya yang cepak. Ada dua tindikan dibagian bawah telinga kirinya dan satu dibagian atas. Sebuah tatoo kecil inisial 'D' dipunggung tangan kanannya. Sebuah kalung metal menggantung dilehernya menambah macho penampilannya.

Kakinya yang lincah berbalut sepatu sneaker hitam segera memasuki mobil dari pintu pengemudi. Bang Theo sudah berada didalam mobil dikursi penumpang. Dia sepertinya sudah terbiasa dengan penampilan karyawan bengkelnya itu.

"Keluar kota jalur selatan, Den." Arahnya ketika mobil mulai meninggalkan halaman bengkel. Mobil melaju perlahan mengikuti arus kendaraan yang agak tersendat akibat lampu merah dibagian depan.

Denis hanya mengangguk kecil mendengar arahan dari bang Theo. Lelaki disebelahnya menoleh kebagian belakang mobil yang ditumpanginya. Melihat peralatan bengkel yang mungkin akan dibutuhkannya nanti.

Bulir-bulir air hujan mulai jatuh satu persatu menimbulkan bunyi bersahutan diatas badan mobil. Tidak lama kemudian semakin deras diikuti angin yang cukup kencang. Terlihat dari gerakan pepohonan dipinggir jalan yang meliuk kesana kemari tak beraturan. Tiba-tiba kilat menyambar diiringi bunyi yang membahana membelah langit yang semakin gelap.

Mata Denis yang tajam fokus menatap jalanan didepannya. Pandangannya agak kabur karena air hujan yang mencurah tiada henti. Jalanan semakin lancar ketika mobil sudah meninggalkan pusat kota. Tapi Denis tetap tidak bisa melajukan kendaraannya terlalu cepat. Dia tak mau mengambil resiko dalam keadaan seperti itu. Jarak pandang hanya seratus meter saja dalam perkiraannya.

Ponsel disaku jaket bang Theo berbunyi nyaring. Dia segera merogoh saku jaketnya mengambil ponsel berwarna hitam disana.

"Hujan deras, bro. Gimana nih? Lo masih disitu 'kan?" Bang Theo mengeraskan suaranya untuk mengatasi suara gemuruh air hujan.

"..........."

"Gue baru keluar dari perbatasan, nih. Paling setengah jam-an lagi." bang Theo memperhatikan jalur yang baru saja dilewati. Sebuah patung pejabat dengan tangannya yang terangkat sudah berada dibelakang. Ada tulisan 'Selamat jalan. Sampai jumpa lagi' disamping patung itu.

"............"

"Emang lo gak bawa temen apa? Lo nyetir sendiri?"

"............"

"Jarak jauh gitu mestinya lo bawa temen. Biar kalau ada apa-apa bisa saling bantu.."

"............"

"Iya.. iya. Bentar lagi gue nyampe nih."

Bang Theo menutup sambungan teleponnya. Memutar-mutar ponsel itu ditangannya sesaat sambil memerhatikan kiri kanan jalan. Mungkin dia agak gelisah tahu temannya sudah menunggu cukup lama disuatu tempat. Tapi dia juga tak mau menyuruh Denis untuk mengebut dalam keadaan hujan seperti ini.

Matanya yang tajam terus memperhatikan jalanan yang akan dilalui. Sepertinya angin sudah agak mereda. Air hujan pun tidak sederas tadi walaupun tetap masih menghalangi pandangan. Genangan air dimana-mana semakin melambatkan laju kendaraan. Apalagi gelap malam mulai ikut menyelimuti tempat itu. Sesekali kilatan petir memecah dilangit yang kelam.

Lampu kendaraan kadang menyorot dari arah depan, menyilaukan pandangan mata Denis dan Theo. Sesekali air menyimbah badan mobil ketika ada kendaraan lain yang lewat.

Jalanan yang dilewati terbilang sepi. Jarang rumah penduduk mereka temui.

"Ini udah deket kayaknya, Den." Bang Theo menajamkan pandangannya. "Nah! Itu kayaknya tuh. Mobilnya warna silver disebelah kanan jalan."

Denis mengikuti arah pandang bang Theo. Sebuah mobil warna silver terparkir tidak jauh dari sebuah saung pinggir jalan yang tidak berpenghuni. Seseorang nampak ada didalam mobil dan menggerak-gerakan tangannya memberi kode pada bang Theo. Sepertinya dia sudah mengenal mobil bang Theo.

Denis memutarkan mobilnya menghampiri mobil silver itu.

"Lu cek mobil itu, Den. Dia bilang sih tadi ada asap dari bagian mesinnya." Bang Theo memberi perintah pada Denis. Denis mengangguk. Setelah yakin mobil yang dikendarainya terparkir sempurna, dia kemudian turun dan menghampiri mobil silver itu. Masuk kedalam mobil itu dan menanyakan masalahnya pada sang pemilik mobil.

Hujan sudah agak reda tapi masih kelihatan rapat tersorot lampu mobil yang menyala. Denis keluar lagi dari dalam mobil itu dan membuka kap mesin. Mengutak-atik sebentar disana kemudian kembali masuk kebelakang kemudi. Memutar kunci dan menyalakan mesin mobil.

Lelaki pemilik mobil sepantaran bang Theo. Dia merupakan teman lama bang Theo yang sudah menjadi pelanggan tetap bengkel bang Theo. Dia keluar dari dalam mobil. Berlari kecil sambil melindungi kepalanya dari bulir air hujan dengan sebuah jaket yang dipayungkan diatas kepalanya. Menghampiri bang Theo yang membuka sedikit pintu mobil.

"Hebat anak buah lo. Sentuh dikit aja langsung hidup mobil gue. Tadi gue coba utak-atik gak nyala-nyala." Lelaki itu terkekeh. "Gue dah putus asa tadi." Lanjutnya.

"Makanya gue bawa dia. Gue tahu kemampuan karyawan gue," sahut bang Theo bangga.

"Gila lo ditempat sepi begini. Dari jam berapa lo disini?" Bang Theo meninju bahu lelaki itu.

"Dari jam lima-an. Mana jauh dari rumah penduduk lagi. Gak tau minta tolong sama siapa tadi. Yang lewat sih banyak tapi gak ada yang peduli sama gue." suaranya ngenes banget. Bang Theo menepuk-nepuk bahu lelaki itu.

Denis datang menghampiri mereka. Bajunya basah tertimpa air hujan.

"Beres, Den?" bang Theo menoleh kearah Denis yang masuk kedalam mobil. Mengelap tangannya yang basah menggunakan sebuah handuk kecil. Dia nampak tidak kedinginan walaupun wajah dan bajunya basah kehujanan. Ekspresinya biasa saja. Dia hanya mengangguk menjawab pertanyaan bang Theo.

"Semua kalau ditangani sama ahlinya emang cepet beres," ujar bang Theo sambil kembali menoleh kepada temannya.

"Iya. Iya. Gue emang gak begitu tahu masalah mesin mobil. Tahunya make aja kalau gue sih." Lelaki itu terkekeh sambil mengeluarkan dompetnya. Menyerahkan sejumlah uang kepada bang Theo.

"Wah! Ini kebanyakan, bro," ujar bang Theo ketika menghitung uang yang ada ditangannya. "Lagian tadi masalahnya ringan aja. Iya kan, Den?" bang Theo melirik Denis yang ditanggapi senyum tipis disudut bibir Denis.

"Gak apa-apa. Ringan juga kalau gak bisa ya kayak tadi gak bisa gerak walaupun berjam-jam." Teman bang Theo nyengir. "Kalau lo gak datang kesini nolongin gue, mungkin semalaman gue disini."

Teman bang Theo nampaknya memaksa agar bang Theo menerima uang yang dia berikan. Akhirnya bang Theo menerimanya dengan penuh basa-basi. Denis hanya menggelengkan kepalanya pelan. Hampir dia tidak tahan melihat drama dihadapannya.

" Ya udah. Lo jalan didepan. Biar kita ngawal dibelakang. Takutnya nanti bermasalah lagi dijalan," kata bang Theo akhirnya. Teman bang Theo yang bernama Fandi itu kembali ke mobilnya. Menghidupkan mobilnya dan bersiap untuk dijalankan. Bang Theo memberi isyarat agar temannya itu segera menjalankan mobilnya dan tetap berada didepan.

Perlahan mobil itu bergerak meninggalkan tempat yang sepi itu diikuti mobil yang dikendarai Denis seiring dengan kembali derasnya air hujan.

"Sialan," umpat Bang Theo pelan." Hati-hati, Den. Gak usah cepet-cepet. Ni jalanan agak rawan nih. Ada jurang didepan."

Denis mengangguk. Dia semakin memfokuskan pandangannya ke jalan yang akan dilaluinya. Mobil Fandi sudah tidak kelihatan. Selain karena mungkin jaraknya yang jauh juga karena air hujan yang membatasi jarak pandang ditengah gelapnya malam.

"Wah, gila si Fandi dah jauh aja. Bisa dia ya gelap gini. Kalau gue sih nyerah dikasih nyupir cuaca gini." Bang Theo menyipitkan matanya menatap kearah depan. "Itu tuh bukannya mobil dia, ya? Apa mogok lagi? Kayaknya berhenti, tuh."

Denis melambatkan laju mobil yang dikendarainya ketika melihat mobil berwarna silver berhenti dibahu jalan. Dia menautkan alisnya ketika melihat dua orang seperti melemparkan sesuatu ke arah jurang dipinggir jalan. Kemudian keduanya segera masuk kedalam mobil ketika mobil yang dikendarai Denis semakin dekat. Tanpa menunggu pintunya tertutup sempurna, mobil itu melesat meninggalkan tempat itu.

"Gue kira si Fandi. Mobilnya hampir sama." seru bang Theo." Tapi mereka habis buang apa, ya. Gue jadi curiga." Bang Theo menatap kearah mobil yang baru saja pergi meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap saja mobil itu sudah tidak kelihatan jejaknya sedikitpun.

"Berhenti, Den. Gue curiga orang tadi penjahat. Jangan-jangan mereka habis buang orang lagi disini." Kelihatan sekali bang Theo sangat penasaran. Denis juga sebenarnya cukup penasaran. Dia tadi melihat dengan jelas kalau dua orang tadi melemparkan sesuatu kedalam jurang itu. Sepertinya benda itu cukup berat karena harus di gotong berdua oleh orang itu.

Denis menepikan mobilnya tepat ditempat mobil mencurigakan tadi berhenti. Bang Theo segera turun dari dalam mobil. Tidak peduli dengan tubuhnya yang langsung basah kuyup diguyur air hujan.

"Ambil senter, Den." Dia berteriak kepada Denis. Denis segera mencari barang yang dimaksud bang Theo. Menghampiri bang Theo ketika sudah mendapatkan benda itu.

Hari yang beranjak malam menjadikan tempat itu semakin jarang dilalui kendaraan. Apalagi hujan yang masih mengguyur membasahi bumi membuat siapapun malas untuk keluar rumah. Hanya sesekali saja ada kendaraan yang melintas. Jurang yang gelap pun tidak dapat diperkirakan kedalamannya. Semuanya nampak hitam pekat.

Rasa kepedulian yang tinggi seorang Bang Theo membuat dia rela melawan dinginnya guyuran air hujan. Dia melongokkan kepalanya kearah bawah. Lampu senter dia sorotkan mengitari tempat itu. Denis ikut mengedarkan pandangannya kearah bawah.

"Lihat itu Den." bang Theo menunjuk ke bawah. Kira-kira lima meter dari tempat mereka berdiri. Sesuatu menyangkut disebuah pohon perdu yang tumbuh ditebing.

"Biar gue turun, bang." Denis membuka baju kemejanya yang basah kuyup. Melemparkannya sembarang, kemudian mulai menuruni tebing yang lumayan curam itu.

"Hati-hati, Den!" Teriak bang Theo. Denis tidak menyahut tapi bang Theo tahu kalau Denis mendengar ucapannya. Sesaat kemudian Denis sampai dibawah. Dia mengusap wajahnya yang dibanjiri air hujan. Dia mendongak keatas memberi isyarat kepada bang Theo. Bang Theo segera berlari menuju mobilnya. Membuka bagasi mobil, mengambil tambang yang biasa dia siapkan buat menderek mobil bila sedang dibutuhkan.

Tali tambang itu cukup panjang dan pastinya cukup kuat. Dia melemparkan ujungnya kearah Denis yang berada dibawah. Mengikatkan ujung satunya lagi ke sebuah pohon besar yang tumbuh ditepi jalan. Setelah memastikan simpul yang dibuatnya cukup kuat, dia kemudian turun membantu Denis. Naik lagi keatas untuk menarik tambang dari bagian atas.

Dibawah Denis sudah mengikatkan tambang kuat-kuat ketubuh lelaki yang terbujur tak sadarkan diri. Dia sudah memeriksanya tadi. Dia yakin kalau orang itu masih bernyawa. Bang Theo pun ikut memastikannya tadi.

"Kita harus segera menolong orang ini, Den. Gue tarik dari atas, ya." kata bang Theo sesaat sebelum naik lagi ke bibir tebing. Denis hanya mengangguk faham dengan apa yang harus dia lakukan.

Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil mengangkat sosok itu ke tempat yang datar. Memasukannya kedalam mobil dibagian belakang dengan sedikit kesulitan. Ternyata orang itu memiliki postur tubuh yang tinggi besar. Badannya yang berisi menambah beban tubuhnya semakin berat.

"Kemana nih, bang?" tanya Denis ketika mobil sudah melaju meninggalkan tempat itu. Bang Theo mengusap dagunya beberapa saat. Memikirkan tindakan selanjutnya.

"Kerumah aja kali ya. Kalau ke rumah sakit bakalan ribet urusannya," ujarnya setelah agak lama berfikir. Sesekali dia melihat ke kursi belakang melalui spion depan. Tanpa bertanya lagi Denis melajukan kendaraannya menuju rumah bang Theo.

Sebuah rumah yang cukup besar menjadi tujuan akhir mereka. Disebelah kiri rumah ada jalan cukup untuk mobil masuk sampai halaman belakang. Halaman belakang yang cukup luas. Tak akan ada yang menyangka kalau tidak pernah masuk kedalam sana. Dari depan tidak kelihatan.

Ada carport disebelah kirinya. Agak jauh diseberang halaman berjejer kamar para pegawai. Disanalah Denis dan beberapa karyawan Bang Theo tinggal. Disudut halaman ada taman kecil penuh dengan aneka bunga dan pohon mangga yang rindang. Sebuah gazebo menghadap kolam kecil berisi penuh ikan koi yang berwarna-warni. Disudut lainnya ada dapur kecil dan ruang terbuka dengan satu set meja makan dan satu set sofa.

Lukman nampak keluar kamarnya. Melihat kearah mobil yang baru saja diparkirkan. Bang Theo melambaikan tangan menyuruh Lukman agar segera mendekat. Lukman terkejut ketika melihat seseorang terbaring dikursi belakang mobil.

"Bantu nih, bawa masuk." Bang Theo memberi arahan kedua anak buahnya untuk menggotong tubuh lelaki itu. Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil membawa masuk sosok itu kedalam sebuah kamar.

"Den. Lu ganti bajunya." Bang Theo menoleh kearah Denis.

"Lukman aja yang ganti. Gue kedinginan nih mau ganti baju juga." Denis segera meninggalkan kamar itu menuju kamarnya. Bang Theo memeriksa lelaki yang masih tak sadarkan diri itu. Lukman yang berada disampingnya ikut melihat dengan penuh penasaran. Dia kemudian mengambil baju ganti miliknya untuk dipakaikan pada lelaki itu.

"Siapa dia bang? Kayaknya dia habis mendapat kekerasan fisik ya bang. Mukanya memar gitu. Badannya juga. Ngeri banget." Lukman menutup tubuh lelaki itu dengan sehelai selimut yang cukup tebal setelah dia selesai mengganti pakaian lelaki itu. Beberapa luka diwajahnya dia bersihkan menggunakan alkohol.

"Gue gak tahu dia siapa," sahut bang Theo. "Kita tunggu aja sampai dia sadar. Gue mau ganti baju juga. Lu jaga dia disini."

Bang Theo berlalu menuju rumah utama tempat dia dan keluarganya tinggal. Denis datang setelah kepergian bang Theo. Dia menggosok rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil.

"Gimana ceritanya lo nemuin orang ini, Den?" Lukman masih penasaran. Dia belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dari bang Theo.

"Lu kayak gak tau bang Theo aja. Kucing dipinggir jalan aja dia tolong, apalagi ini orang," jawab Denis santai sambil mengibaskan kepalanya. Rambut cepaknya dengan bagian belakang telinganya yang super pendek menjadikan rambutnya cepat kering.

"Iya. Aneh banget bang Theo itu. Hobi banget nolongin orang. Kalau kenal sih gak apa. Ini sembarangan orang dia bawa kerumah. Kalau orang jahat gimana." Lukman menoleh kearah dalam kamar. Lelaki itu masih tak sadar. Hanya kelihatan dadanya yang bergerak turun naik menandakan masih ada kehidupan disana.

Denis terdiam. Ucapan Lukman seakan menyindir dirinya. Pandangannya menekuri air hujan yang masih jatuh menyisakan gerimis. Angin berhembus perlahan begitu dingin menusuk kulit. Kelebat masa lalu tiba-tiba bagai slide film yang diputar diotaknya.

Dia pun tidak mengenal bang Theo sebelumnya. Dia bagaikan kucing kecil yang dibuang dipinggir jalan. Tak ada yang mempedulikannya saat itu. Kecuali satu orang saja. Yaitu bang Theo.

***********

Dua

Bang Theo datang kembali bersama seorang wanita yang cukup cantik. Tangan wanita itu menenteng sebuah tas berwarna putih. Dia masuk kedalam kamar menghampiri lelaki asing yang masih tak sadarkan diri. Memeriksa denyut nadi pria itu. Menyorot matanya menggunakan senter kecil. Memeriksa detak jantungnya dengan teliti.

"Gimana?" bang Theo sangat penasaran. Lukman dan Denis memperhatikan dari luar. Mereka sama penasarannya dengan bang Theo.

"Dia baik-baik aja. Kayaknya orang ini dibius jadi agak lama sadarnya." jawab wanita itu. "Biarkan aja dulu. Kita tunggu aja sampai dia sadar."

"Apa gak perlu dirawat dirumah sakit?"

"Gak perlu. Keadaannya stabil kok."

Mereka kemudian keluar dari kamar itu dan menutup pintunya.

"Abang gak mau lapor polisi?" tanya wanita itu pada bang Theo.

"Enggak lah. Kita lihat aja nanti kalau orang itu sudah sadar."

"Abang udah makan belum?" wanita itu menatap lembut wajah bang Theo. Dia tahu pria yang merupakan suaminya itu selalu mementingkan orang lain daripada memperhatikan dirinya sendiri.

"Belum."

"Makan dulu yuk. Denis kamu juga pasti belum makan. Lukman. Ayo semua makan di dalam aja." wanita itu mengedarkan pandangannya kepada semua orang yang ada disitu.

"Kita makan disini aja, mbak. Bi Nani udah nyiapin makanan buat kita." Lukman menolak secara halus ajakan wanita itu.

"Aku juga makan disini aja sama anak-anak." bang Theo menimpali.

"Ya udah kalau gitu aku ikut kalian disini." wanita itu mengalah. Senyuman tulus terukir dibibirnya. Lukman segera menyiapkan makanan dimeja makan. Mereka duduk mengitari meja makan. Mulai mengisi piring dengan nasi dan lauknya.

"Emang bi Nani kemana?" tanya bang Theo pada istrinya.

"Pulang ke rumahnya. Besok pagi kesini lagi. Ada anaknya yang tinggal diluar kota datang tadi."

"Oh."

"Sisil udah tidur ya?"

"Kayaknya sih udah. Dari tadi dia udah masuk kamar." istrinya menyahut. Hening sejenak. Hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar. Gerimis masih turun membasahi bumi. Semilir angin membawa hawa dingin menusuk kulit.

"Abang gak takut orang itu orang jahat?" istrinya kembali memecah keheningan.

"Kita gak bisa menebak asal aja sama orang. Dia membutuhkan pertolongan ya kita tolong aja dulu. Urusan lain belakangan." ujar bang Theo santai. Istrinya diam tak membantah ucapannya. Dia tahu sifat suaminya seperti apa. Dia juga memiliki sifat yang mirip dengan suaminya. Sama-sama memiliki empati yang tinggi pada sesama.

"Lagian kalau orang itu macam-macam kan ada Denis buat ngelawan. Hehe..Betul gak?" bang Theo terkekeh sambil matanya mengerling ke arah Denis. Orang yang dimaksud diam tak menanggapi. Istrinya mengangguk setuju dengan ucapan bang Theo.

"Denis, besok tolong antar Sisil sekolah ya. Mbak harus ke klinik pagi-pagi. Dokter Irsyad ngambil cuti jadi agak kewalahan kalau gak ada gantinya." wanita itu beralih kepada Denis. Denis yang sedang mengunyah makanannya mengangguk faham.

"Baik, mbak," katanya setelah berhasil menelan makanannya.

Mbak Fani, istri bang Theo, dia seorang dokter umum yang berdinas di sebuah rumah sakit pemerintah. Dia juga membuka praktek disebuah klinik bersama beberapa orang temannya. Dia praktek dipagi hari sebelum jam kerja di rumah sakit dan sore hari setelah pulang kerja. Kadang sampai jam sepuluh malam dia ada di klinik itu. Usianya sekitar 40 tahun, lima tahun lebih muda dari bang Theo. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang beranjak remaja bernama Sylvia atau kalau dirumah dia biasa dipanggil Sisil. Usianya baru akan genap 15 tahun bulan depan. Dia sekolah disebuah SMP favorit kota itu di kelas sembilan.

Sejak Denis tinggal dirumah itu setahun yang lalu, dia sering mengantar jemput putri bang Theo itu. Kadang mbak Fani yang mengantar sambil sekalian dia berangkat kerja kalau dia tidak praktek di klinik. Anaknya sih gak manja. Dia mau mau aja kalau harus naik kendaraan umum. Tapi mbak Fani sangat khawatir dengan putrinya itu sehingga sering memaksa Sisil agar mau diantar jemput.

Mereka menyelesaikan makan malam sambil masih ngobrol banyak hal. Kadang tentang pekerjaan mbak Fani. Kadang tentang pekerjaan bang Theo. Kemudian membahas tentang lelaki asing yang kini terbaring didalam kamar.Terakhir mereka membuka pintu kamar yang didalamnya ada pria asing itu. Hanya memastikan dia baik-baik saja.

Mbak Fani mengatakan bahwa pria itu baik-baik saja dan akan tersadar dengan sendirinya seiring berkurangnya efek obat bius. Setelah itu bang Theo dan mbak Fani pamit untuk istirahat di rumah utama.

"Lo jagain tu orang, gue ngantuk. Mo tidur." Lukman berlalu kekamarnya tanpa menunggu jawaban Denis. Denis cuma melirik sedikit ke arah Lukman. Menghempaskan tubuhnya disofa yang ada disitu. Memandang sesaat kearah kamar yang pintunya tertutup rapat. Dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

Kamar itu adalah kamarnya. Tempat dia melepaskan lelah setelah seharian bekerja dibengkel milik bang Theo. Tepatnya sejak setahun yang lalu.

Ingatannya kembali ke saat itu. Saat dia mendorong motor ninjanya yang mogok setelah beberapa jam dipacu dijalanan. Hampir sepanjang setengah kilometer dia mendorong motornya yang tiba-tiba mogok di tengah jalan. Bensinnya masih ada karena baru satu jam yang lalu dia mengisi fulltank ketika dia melewati sebuah SPBU.

Dia mendorong motornya sambil melihat kiri kanan barangkali ada bengkel yang masih buka. Waktu itu sudah jam delapan malam. Dia berharap ada bengkel yang masih buka dijam segitu. Rasa lelah sudah hampir membuat dia menyerah.

Dia menghembuskan nafas lega ketika sebuah bengkel yang cukup besar masih buka. Tapi sepertinya seorang karyawan bengkel sedang bersiap untuk menutup tempat usahanya itu. Dia menoleh kearah Denis yang datang dengan motornya.

"Udah tutup, Mas. Besok saja." katanya tanpa menunggu Denis bersuara. Denis menatap kecewa. Seorang lelaki keluar dari sebuah ruangan sambil membawa sebuah tas.

"Ada apa, Lukman?" tanyanya pada karyawannya. Matanya menyipit memperhatikan Denis.

"Motor saya mogok, Mas. Tolong dong. Saya dalam perjalanan jauh nih." kata Denis mengiba. Lelaki itu memperhatikan Denis dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seseorang dengan postur tubuh yang cukup tinggi dan berisi. Terbalut jaket kulit warna hitam dan celana jeans belel dengan lubang dibagian lututnya. Jari tangannya terbungkus sarung tangan kulit warna hitam. Helm masih menempel dikepalanya. Sebuah backpack nangkring dipunggungnya.

Lelaki itu menggaruk kepalanya. Sepertinya ia percaya kalau sosok didepannya itu memang sedang dalam perjalanan jauh. Apalagi plat nomor kendaraannya terlihat jelas berasal dari ibu kota.

"Gimana ya. Kita udah tutup sebenarnya. Tadi kita ada urusan sebentar jadi belum pulang." Dia menoleh kearah anak buahnya yang bernama Lukman seolah sedang meminta pendapatnya.

Denis membuka helm dikepalanya. Menampilkan rambut cepaknya yang agak semrawut. Wajahnya kelihatan jelas tersorot lampu. Berwarna putih bersih terawat. Ada tindikan ditelinga kirinya.

Lelaki itu, bang Theo, pemilik usaha bengkel itu. Badannya tinggi besar dan berwajah tampan namun kelihatan agak garang. Tidak seperti tampilan luarnya. Ternyata dia memiliki hati yang lembut dan mudah tersentuh. Dia tak tega melihat Denis yang jelas sedang memerlukan bantuannya. Dia tahu, jam segini sudah tak ada bengkel yang buka. Ada yang buka 24 jam, tapi jaraknya sangat jauh dari situ.

"Lu periksa dulu, Man. Lihat dulu apa masalahnya." bang Theo menoleh kearah Lukman. Cowok yang dimaksud nampak mendesah pelan. Nampaknya dia enggan kalau harus mengotori lagi tangannya. Tapi tak urung juga dia mendekat kearah motor Denis.

"Kalau saya gak salah sih koilnya rusak kayaknya bang." kata Denis ketika Lukman mencoba menghidupkan mesin motornya.

"Wah. Lu tahu mesin juga ya." Bang Theo mendekat. Sedikit tertarik dengan orang yang belum dikenalnya itu.

"Sedikit bang." Denis memperhatikan Lukman yang sedang jongkok memeriksa motornya.

"Gak bisa servis sekarang nih. Gak ada spare part. Paling besok. Itupun nunggu dulu." kata Lukman sambil berdiri. Dia menatap bang Theo yang mengernyitkan keningnya.

"Beneran gak ada, Man? Bukannya berapa hari yang lalu udah pesen?"

"Iya bang. Paling besok. Lu tinggal disini dulu motor lo malam ini." Lukman menatap sekilas yang empunya motor. Denis terdiam.

"Rumah lo dimana?" bang Theo yang bertanya.

"Jakarta." Denis menjawab singkat.

"Tujuan lo mau kemana? Masih jauh ya?"

"Jauh bang."

"Habis sekarang lo mau tidur dimana?"

Denis terdiam sesaat. Memikirkan jawaban untuk pertanyaan itu. Dia sendiri tidak tahu harus tidur dimana. Di hotel? Dia tidak punya uang sebanyak itu hingga harus sewa hotel. Dia harus mengirit pengeluarannya sekarang ini. Apalagi motor yang digunakannya mogok ditengah jalan seperti ini. Dia tidak tahu berapa biaya yang harus dikeluarkannya nanti. Sedangkan perjalanan masih jauh untuk sampai ke tempat yang dia tuju.

"Mau numpang dimesjid aja," jawabnya kemudian. Bang Theo menoleh cepat kewajahnya. Cukup terkejut dengan jawaban Denis.

"Yakin lo mau numpang dimasjid?" tanyanya. "Yang gue tahu ya, ada masjid dekat sini tapi kalau malam pintunya dikunci. Lo gak bisa masuk. Dibukanya nanti subuh."

"Diluar gak papa. Yang penting bisa istirahat." sahut Denis.

"Dah. Lo ikut gue aja ke rumah. Motor masukin Man ke dalam." katanya kemudian ditujukan kepada Lukman. "Udah malam nih. Kita pulang."

"Gak usah bang. Aku gak mau ngerepotin abang." Denis meringis. Dia merasa sungkan kalau harus menerima tawaran lelaki itu. "Lagian abang gak kenal saya."

"Ya kita kenalan aja sekarang. Nama gue Theo. Itu Lukman karyawan gue. Dia tinggal dirumah gue," bang Theo mengulurkan tangannya pada Denis. Denis menyambut uluran tangan itu sambil menyebut namanya.

"Denis."

"Ya udah. Lo bantu si Lukman markir motor lo didalam. Insyaallah disini aman."

Denis mengangguk. Dia kemudian mendorong motornya masuk ke dalam ruangan diikuti Lukman yang mengarahkan dia harus menyimpan motornya di sebelah mana. Setelah itu Denis membantu Lukman menutup rolling door dua lapis. Menguncinya dengan gembok dan sekali lagi memeriksanya dengan seksama.

Sebuah mobil masuk kehalaman bengkel mendekati tempat bang Theo berdiri. Denis yang menoleh kearah mobil itu segera meluru kearah bang Theo. Dia merasa curiga dengan orang yang berada didalam mobil itu. Dua orang pria dengan penutup wajah turun dan secepat kilat merebut tas yang disandang dibahu bang Theo. Bang Theo yang terkejut hampir melepaskan tasnya. Tapi kesadarannya langsung kembali dan dia mempertahankan tas itu. Denis yang berada agak jauh segera berlari mendekat dan melayangkan sebuah tendangan kearah pria yang sedang menarik tas bang Theo. Pria itu terhuyung jatuh dan pegangannya terlepas.

Bang Theo mundur sambil memeluk tasnya. Matanya waspada melihat dua orang penjahat itu. Yang seorang lagi nampak mengeluarkan pisau dan mengacungkannya kearah Denis. Denis menatap tajam kedua pria itu. Dia mewaspadai pergerakan dua orang itu. Sedangkan Lukman terdiam menggigil didekat rolling door yang baru dia gembok.

Pria dengan pisau mulai menyerang Denis, tapi dengan mudah Denis menendang tangan orang itu hingga pisau yang dipegangnya terlempar jauh. Dia menoleh kearah temannya yang terlebih dahulu telah dijatuhkan oleh Denis. Mereka saling mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Kemudian bergegas masuk kedalam mobil yang langsung tancap gas meninggalkan tempat itu.

"Lo gak apa-apa bang?" Denis menoleh ke arah bang Theo setelah mobil para penjahat itu tidak kelihatan lagi.

"Gila. Ini pertama kalinya gue mau dirampok. Ma kasih, Den. Untung ada elo." Bang Theo masih memeluk erat tasnya. Dia kemudian menoleh kearah Lukman yang masih terpaku ditempatnya semula.

"Kenapa lo diam aja, Man? Sini lo!"

Lukman tergagap. Ini juga pengalaman pertama dia melihat percobaan perampokan secara nyata didepan mata. Dan dia berkesempatan melihat perlawanan Denis yang kelihatan tak ada rasa takut sama sekali. Sungguh dia merasa kagum kepada orang yang baru dikenalnya itu. Sangat jelas dari gerakannya kalau Denis memiliki ilmu bela diri.

Lukman mendekat kearah bang Theo dan Denis. Wajahnya yang semula pucat sudah berdarah kembali.

"Wah. Lo hebat, Den. Salut gue sama lo. Kalau gak ada lo gak tahu deh. Gue pasti gak bisa nolongin bang Theo." ucapnya tulus. Bang Theo mengangguk-anggukan kepalanya. Setuju dengan kata-kata Lukman.

"Kita pulang sekarang. Lo dah periksa semuanya kan, Man?"

"Sudah bang."

Mereka kemudian menuju mobil milik bang Theo. Setelah mobil keluar, Lukman menyeret pagar dan menguncinya. Kemudian kembali masuk kedalam mobil dan meninggalkan tempat itu.

Mereka tiba dirumah ketika jam menunjukkan pukul 09.30 malam. Mobil langsung masuk kehalaman belakang rumah yang cukup megah itu. Sebuah mobil lainnya kelihatannya baru sampai juga disitu. Seorang wanita sedang mengambil tas dari dalam mobil. Dia menutup pintu mobil dan berdiri menunggu sampai bang Theo turun dari mobilnya.

"Baru pulang, bang? Banyak kerjaan ya?" tanyanya sambil mendekat kearah bang Theo. Dia istri bang Theo bernama Fani.

"Siapa ini?" tanyanya kemudian ketika melihat orang asing turun dari mobil suaminya.

"Kenalin ini Denis. Den, ini istri abang. Namanya Fani." bang Theo mengenalkan kedua orang itu. Denis menyalami istri bang Theo dengan hormat. Tersenyum sedikit saja disudut bibirnya. Mbak Fani memperhatikan penampilan orang yang bersama suaminya itu. Tampilannya urakan tapi gestur tubuhnya cukup sopan. Mungkin itu yang ada difikirannya. Tapi sebenarnya dia tidak terlalu bermasalah dengan tampilan seperti itu. Dia sudah terbiasa bertemu dengan orang-orang seperti itu. Suaminya lah yang telah membuat dia mengenal banyak orang dengan tampilan berandal. Suaminya kerap mengingatkannya untuk tidak menilai orang dari penampilannya. Nilailah orang dari hatinya. Begitu katanya.

"Dia akan bermalam disini." Kata bang Theo kemudian.

"Sebelah kamar Lukman kosong. Kamu bisa tidur disana," ujar mbak Fani.

"Terima kasih, mbak, bang. Kalian tidak mengenal saya ,tapi kalian sangat baik pada saya."

"Udah gak usah sungkan sama gue. Lo juga udah nolongin gue tadi. Gue gak bakal bisa balas pertolongan lo itu," bang Theo menepuk bahu Denis yang terasa kekar dibalik jaketnya.

"Nolongin apa, bang?" Mbak Fani nampak terkejut. Dia memfokuskan tatapannya kepada bang Theo. Suaminya itu akhirnya menceritakan kejadian beberapa waktu lalu yang terjadi dihalaman bengkel. Mereka duduk disofa yang ada disitu. Menceritakan semuanya secara detil tak ada yang terlewat sedikitpun. Dia kelihatan sangat menghargai pertolongan Denis. Orang itu, bang Theo dan istrinya begitu tulus berterima kasih pada Denis.

"Jadi kamu sedang mencari kerja, Den?" tanya bang Theo setelah dia selesai bercerita pada istrinya. Mbak Fani nampak begitu serius mendengarkan cerita suaminya. Dia tak berhenti bersyukur karena suaminya selamat dalam kejadian itu. Dia juga berulangkali mengucapkan terima kasih pada Denis yang telah menolong suaminya.

"Iya bang." jawab Denis singkat.

"Gimana kalau lo kerja dibengkel gue aja. Lo juga kayaknya paham dengan mesin. Kebetulan gue juga lagi nyari pegawai baru buat bantu-bantu dibengkel." kata bang Theo sambil menatap istrinya seolah sedang minta persetujuan darinya melalui tatap matanya. Mbak Fani mengangguk pelan menyetujui kata-kata suaminya.

"Abang percaya sama saya?" Denis nampak sedikit terkejut mendapat tawaran kerja dari bang Theo."Abang bahkan tidak mengenal saya dengan baik."

"Insyaallah gue percaya sama lo. Semoga aja lo juga menjaga kepercayaan gue sama lo."

Denis begitu terharu dengan ketulusan bang Theo dan istrinya. Dia mengerjapkan matanya yang tiba-tiba terasa panas. Menekan kedua sudutnya kemudian menatap bang Theo dan istrinya bergantian.

"Terima kasih bang. Terima kasih mbak."

Sejak saat itu dia berada dirumah ini. Tinggal disebuah kamar dibagian belakang rumah megah itu. Dia merasa nyaman tinggal bersama mereka. Semua orang disana berhati mulia. Bang Theo, mbak Fani, Lukman, bi Nani, mang Jana. Dan ada seorang lagi. Sylvia.

**********

Tiga

Denis hampir terlelap ketika dia mendengar suara dikamar yang ada pria asing itu. Dia terlonjak bangun dari sofa tempat dia membaringkan diri. Sebuah selimut yang dia jadikan penghangat tubuhnya jatuh teronggok di lantai.

Dia segera membuka pintu kamar. Pria itu nampak duduk disisi pembaringan sambil memijit keningnya. Matanya terpejam rapat. Dia mungkin sedang mencoba mengumpulkan nyawanya yang sempat tercecer dan hampir saja menghilang.

Denis mendekatinya dengan waspada. Dia berdiri agak jauh dari jangkauan pria itu dan memperhatikannya dalam diam. Menunggu tanpa mengeluarkan suara.

Pria itu memicingkan matanya. Menyadari ada orang lain yang sedang memperhatikannya di dalam kamar itu.

"Siapa kamu? Aku berada dimana?" Pria itu bertanya sambil meringis. Suaranya pelan dan menahan sakit.

"Minum dulu." Denis tidak menjawab pertanyaan pria itu. Dia menggerakkan kepalanya menunjuk gelas berisi air minum yang sudah tersedia diatas meja kecil disebelah pembaringan. Pria itu melirik gelas yang ditunjuk oleh Denis. Dia mengambilnya. Meneguk isinya dalam satu kali tegukan sampai habis.

Dia menggoyangkan kepalanya mencoba membuang rasa pusing yang menderanya. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Dia kembali menatap Denis dengan matanya yang semakin melebar.

"Apa kamu orang yang telah menolongku? Atau kamu anggota penjahat itu?" tatapannya berubah jadi tatapan penuh waspada. Mata elangnya terlihat tajam menatap Denis. Lebam dibagian wajahnya mengaburkan ketampanannya. Tubuhnya tinggi kekar. Harusnya dia tidak kalah begitu saja saat berkelahi kalau saja lawannya tidak curang dengan cara membiusnya.

"Aku menolongmu dari dalam jurang," Denis berujar sebelum pria itu salah paham. Tatapannya yang tak kalah dingin membalas tatapan pria itu.

"Dari dalam jurang?" pria itu terkejut.

"Mereka melemparkanmu ke dalam jurang. Kebetulan aku lewat disana dan segera menolongmu."

Pria itu merapatkan kembali matanya. Menyugar rambutnya sambil mendongakkan wajah nampak tidak percaya dengan kejadian yang menimpanya.

Dia membuka kembali matanya dan menatap Denis.

"Aku Alex."

"Denis."

Tak ada jabatan tangan selayaknya orang yang sedang berkenalan.

"Kamu lapar?" tanya Denis sesaat setelah keduanya sama-sama terdiam. Pria yang bernama Alex itu mengangguk.

"Ikut aku."

Denis keluar dari kamar itu. Alex sedikit terhuyung ketika dia mulai melangkah mengikuti Denis. Tubuhnya masih terasa oleng pengaruh dari obat bius yang diberikan oleh para penjahat.

Denis membawa pria itu ke meja makan. Mengambilkan sepiring nasi dan sisa lauk makan malam tadi. Pria itu menyantapnya dengan lahap. Dia tidak mempedulikan Denis yang duduk dihadapannya sambil terus memperhatikannya.

"Dari mana asal kamu?" Denis kembali bertanya.

"Jakarta..." pria itu menjawab. "Ini berada didaerah mana?" tanyanya kemudian.

"Ciamis."

"Apa? Kamu tidak bercanda 'kan?" Alex nampak kembali terkejut. Ini sangat jauh dari tempat dia berasal. Denis hanya tersenyum tipis.

Alex menyelesaikan makannya. Dia kelihatan sangat kelaparan. Entah sejak kapan dia tidak makan. Denis masih sabar menunggu. Alex mengedarkan pandangannya. Menyusuri tiap tempat disekitarnya. Kemudian kembali menatap Denis.

"Thanks, bro. Kamu sudah menyelamatkan nyawaku. Aku pasti akan membalas semua kebaikanmu."

"Kami tidak menemukan identitasmu, jadi kami gak bisa menghubungi keluargamu."

"Kami?"

"Ya. Semua orang yang ada dirumah ini. Aku tidak sendirian menolong kamu."

Alex memijit pelan pertemuan kedua alisnya. Sepertinya pengaruh obat bius belum sepenuhnya hilang.

"Tidurlah. Kamu butuh istirahat." Denis melihat jam dinding. Pukul sebelas malam. Diapun merasa sangat mengantuk. Matanya terasa perit.

Pria itu menurut dengan kata-kata Denis. Dia kembali kekamar tempat dia pertama kali tersadar tadi. Merebahkan kembali tubuhnya. Mencoba untuk melupakan sejenak apa yang dia alami. Denis benar. Dia butuh istirahat. Dia harus memulihkan staminanya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Sekarang dia cukup merasa tenang karena berada ditempat yang aman. Alex memejamkan matanya dan tidak lama kemudian dia sudah terlelap.

Di luar kamar itu Denis kembali merebahkan tubuhnya disofa. Udara dingin memaksa dia menarik selimut dan merapatkan ke tubuhnya. Matanya masih terbuka untuk beberapa saat. Memandang kearah pintu kamar yang tertutup. Semakin lama kelopak matanya terasa semakin berat. Diapun terlelap tidak lama kemudian.

****

Hari masih gelap, tapi Denis sudah terjaga dari tidurnya. Suara berisik di dapur menandakan sudah ada aktifitas disana. Denis melipat selimut. Membawanya ke kamar yang saat ini didiami oleh pria bernama Alex. Pria itu masih tertidur. Denis mengambil baju dari lemari disudut ruangan. Membawanya keluar dan langsung kekamar mandi yang berada dekat dapur.

Seorang wanita setengah baya sedang memotong sayuran disana.

"Sudah bangun kamu. Kenapa tidur diluar?" sapanya kepada Denis.

"Bibi kapan datang?" Denis malah balik bertanya.

"Tadi sebelum subuh."

Tak bertanya lagi, Denis langsung masuk kedalam kamar mandi. Membersihkan tubuhnya beberapa saat lamanya. Keluar lagi dengan baju yang sudah berganti. Stylenya masih sama. Celana jeans belel dan kaos dibalut jaket jeans yang tidak dikancingkan. Dia mengacak-acak rambutnya yang basah. Nampak begitu segar dipagi yang masih temaram. Dia kemudian duduk dimeja makan. Bi Nani meletakkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap dihadapannya.

Lukman keluar dari kamarnya dengan mata yang masih mengantuk. Denis hanya meliriknya sekilas sambil menghirup kopinya.

"Gimana orang itu? Udah sadar?" tanyanya pada Denis. Dia menarik kursi diseberang Denis.

"Sudah." jawabnya singkat. Seorang lelaki seusia bi Nani datang menghampiri sambil membawa dua cangkir kopi. Satu dia letakkan dihadapan Lukman dan satu lagi untuk dia sendiri. Dia adalah mang Jana. Suami bi Nani. Dia bekerja apa saja dirumah ini. Semua bisa dia lakukan. Tukang kebun, tukang listrik, menjadi sopir pribadi. Apa saja. Kerjanya sangat fleksible. Tergantung kebutuhan. Dia sudah lama bekerja di keluarga bang Theo. Bersama istrinya, dia mengabdi dengan tulus dikeluarga ini. Dia dan istrinya sudah menjadi orang kepercayaan bang Theo. Mereka sudah dianggap sebagai keluarga.

Bang Theo ikut bergabung tidak lama kemudian. Mbak Fani nampak memasuki mobilnya dan bersiap untuk pergi ke klinik. Ini masih terlalu pagi bagi sebagian orang. Tapi tidak bagi penghuni rumah ini.

Bi Nani menyiapkan sarapan dirumah utama. Membangunkan Sisil dikamarnya. Kemudian menyiapkan sarapan untuk orang-orang di rumah belakang.

Alex keluar dari kamar dan bergabung dengan semua orang disana. Dia merapikan rambutnya yang berantakan menggunakan jari tangannya. Bi Nani menyeduhkan dia kopi dan menghidangkan dihadapannya dengan tatapan penuh tanya. Dia hanya berfikir bahwa mungkin pria itu adalah tamunya bang Theo.

Bang Theo mengulurkan tangannya pada pria itu sambil memperkenalkan namanya.

"Theo."

"Alex."

"Yang itu Lukman. Ini Denis." bang Theo mengenalkan semua orang pada pria itu. Termasuk bi Nani dan mang Jana. Alex menatap setiap orang yang dikenalkan bang Theo kepadanya. Tatapannya yang dalam dinaungi sepasang alis yang tebal.

"Siapa orang-orang yang sudah mencelakaimu itu?" Tanya bang Theo penasaran.

"Aku tidak tahu." Alex menggelengkan kepalanya.

"Apa rencanamu sekarang?"

"Boleh aku tinggal disini untuk beberapa hari? Aku belum tahu siapa yang telah mencelakaiku. Dan aku harus mencari tahu." Alex menatap bang Theo penuh harap. Bang Theo menatap Denis dan Lukman bergantian seolah menanyakan pendapat kedua orang itu. Denis dan Lukman saling beradu pandang. Mereka menyerahkan keputusan kepada bang Theo. Nampaknya bang Theo percaya dengan orang bernama Alex itu.

"Baiklah." Kata bang Theo akhirnya. "Tapi gak ada kamar yang lain. Jadi sementara ini lo berbagi kamar sama Denis aja."

Denis terbatuk mendengar penuturan bang Theo. Matanya melebar menatap pria itu.

"Apa? Kenapa gak di kamar Lukman aja?"

"Lukman kan sekamar sama Farid. Kamu gak apa dong sekamar sama Alex. Lagian cuma sebentar aja. Iya kan?"

Farid merupakan anak bungsu mang Jana dan bi Nani. Dia sering menginap disana dan selalunya tidur dikamar Lukman. Dia suka tidur dengan Lukman karena mereka memiliki hobi yang sama yaitu bermain gitar dan main game. Sedangkan Denis orangnya tidak suka berisik. Dia lebih suka sendiri.

"Aku bisa tidur dimana saja. Aku tidak masalah." Alex mengedarkan pandangannya pada orang-orang disana. Tatapannya terpaku sesaat diwajah Denis. Dia dapat melihat kalau Denis sangat keberatan harus berbagi kamar dengannya.

"Terserah bang Theo aja." Kata Denis akhirnya. Dia kembali menghirup kopinya.

Bang Theo mengambil baju miliknya untuk diberikan kepada Alex. Postur tubuh mereka hampir sama. Tinggi besar dengan dada lebar dan bahu yang kekar. Dia memperkirakan kalau ukuran baju Alex sama dengan ukuran bajunya.

"Sorry ya. Lu pakai ini aja dulu." kata bang Theo ketika menyerahkan baju ganti pada Alex.

"Gak apa-apa bang. Terima kasih. Kebaikan kalian akan selalu aku ingat."

"Kak Denis!! Ayo!!" seorang gadis cantik dengan seragam putih biru memanggil Denis. Hampir semua orang mengalihkan perhatiannya pada gadis itu. Sisil tersenyum manja dengan matanya yang menyipit melihat semua orang menatap kepadanya. Dia menghampiri bang Theo dan mencium punggung tangannya. Matanya melirik Alex ketika dia melepaskan tangan papanya. Tapi dia tidak bertanya apa-apa.

Denis bergegas menuju motornya yang terparkir berdampingan dengan mobil bang Theo. Memasang helm dan menghidupkan motornya. Gadis cantik berambut sebahu itu segera naik dibelakang tubuh Denis.

Denis mengulurkan satu helm kepada Sisil tanpa menolehkan wajahnya.

"Pakein," Sisil tidak menerima helm itu.

"Pake sendiri." Denis tetap mengulurkan helm itu. Gadis itu cemberut. Bibir tipisnya yang berwarna merah muda alami itu manyun menggemaskn. Tapi Denis tidak melihat itu karena dia tidak menoleh sedikitpun ke belakang.

"Ihh. Kak Denis." gerutu gadis itu sambil mengambil helm dari tangan Denis agak sedikit kasar. Denis tidak mempedulikan itu. Dia memainkan gas motornya sambil menunggu Sisil memasang helmnya.

"Sudah." ketus gadis itu.

Denis langsung menjalankan motornya meninggalkan rumah itu. Bang Theo yang melihat kelakuan anak gadisnya hanya tersenyum geli.

Motor yang dikendarai Denis meluncur dijalanan beraspal. Meliuk-liuk dengan lincah disela kendaraan yang memadati jalanan di pagi hari. Kesibukan dimana-mana. Semua orang seolah berlomba untuk segera tiba ditempat tujuan masing-masing.

Didepan gerbang sebuah SMP kesibukan semakin ketara. Murid laki-laki dan perempuan berbaur menuju gerbang sekolah yang beberapa menit lagi akan segera ditutup.

Dua orang guru piket berdiri di kedua sisi gerbang memberi arahan kepada murid-muridnya agar bergegas masuk.

"Sisil!!" koor dari tiga orang teman Sisil menyambut kedatangannya dengan riuh. Denis mengambil helm yang disodorkan Sisil. Dia ingin cepat-cepat berlalu dari tempat itu. Malas sekali kalau sampai harus berurusan dengan bocah-bocah itu. Dia sudah hafal dengan kelakuan mereka.

"Kak Denis!!" betul saja, mereka beralih kepada Denis sekarang. Denis hanya melirik anak-anak ABG itu. Kemudian segera memutar motornya untuk kembali masuk ke jalan raya. Namun naas baginya. Begitu ia memutar motornya, sebuah motor matic sedang mundur dibelakangnya.

Brak! Roda depan motor Denis menabrak motor matic itu. Walaupun tidak terlalu kencang tapi akibat benturan itu membuat motor itu oleng dan pengendaranya terjatuh. Denis terkejut. Pekikan beberapa orang yang melihat kejadian itu membuat suasana menjadi gaduh.

Sisil dan teman-temannya yang masih berada disana segera mendekati Denis.

"Kak Denis!!" mereka memekik bareng. Khas anak ABG.

Denis turun dari motornya dan segera membantu mengangkat motor matic yang rebah diatas aspal. Gadis pengendaranya nampak meringis. Dia berusaha bangkit dibantu oleh beberapa orang yang berada disana.

"Kak Denis gak apa-apa?" tanya Sisil sambil melihat Denis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

"Gak apa. Masuk sana telat lo ntar." Dia malah mengusir Sisil.

Sisil menuruti ucapan Denis. Dia segera mengajak tiga orang temannya untuk masuk ke kelas.

Gadis yang terjatuh dari motor itu nampak duduk di trotoar. Terlihat ada luka lecet dikakinya. Denis segera menghampiri gadis itu.

"Apa perlu ke rumah sakit?" tanyanya menunjukan kekhawatiran. Gadis itu mendongakkan wajahnya. Kepalanya menggeleng perlahan.

"Gak usah." bibirnya mengeluarkan desisan. Denis melihat ke sekitar tempat itu. Ada sebuah minimarket tidak jauh dari sana.

"Aku beli plester dulu disana. Kamu tunggu disini."

"Gak usah. Saya langsung pulang aja." gadis itu bangkit dari duduknya. Melangkah sedikit tertatih menuju motornya. Denis membantu gadis itu menghidupkan mesin motor matic itu.

"Kalau ada apa-apa, saya ada di Diamond Motor." kata Denis. Gadis itu mengangguk dan menaiki motornya. Melemparkan senyuman manisnya kepada Denis dan segera berlalu dari sana.

Denis memandangi gadis itu sesaat sebelum akhirnya dia pun menaiki motornya sendiri dan melaju meninggalkan kawasan sekolah.

Dia langsung menuju bengkel. Lukman nampak baru saja membuka rolling door. Seorang pekerja lain membantunya. Dia bernama Andi.

Andi tinggal bersama keluarganya. Rumahnya tidak begitu jauh dari bengkel. Dia lulusan SMK tahun lalu dan langsung bekerja di bengkel bang Theo. Bang Theo sudah mengenalnya karena anak itu melaksanakan Prakerin di bengkel bang Theo ketika dia kelas dua SMK.

Bang Theo nampaknya belum datang. Mobilnya belum ada ditempat parkir.

Denis masuk kedalam sebuah ruangan khusus untuk para pegawai. Mengambil baju kerjanya dan menggantinya didalam toilet. Dia keluar dari ruangan karyawan berbarengan dengan kedatangan bang Theo dibengkel. Dia turun dari mobil. Seseorang mengikutinya. Alex.

Denis tidak mempedulikan kedua orang itu. Dia lebih memilih menghampiri seorang customer yang baru saja datang.

Bang Theo yang baru saja datang bersama Alex langsung masuk ke ruangannya. Alex mengikuti dibelakangnya.

"Inilah tempat usaha gue. Usaha kecil-kecilan," ucap bang Theo. Alex mengedarkan pandangannya. Dia tersenyum tipis. Bang Theo duduk dikursi kebesarannya. Mempersilakan Alex untuk duduk juga dihadapannya.

"Aku berterima kasih banget bang. Abang sudah menolongku dan percaya padaku."

"Sudahlah. Tidak perlu membahas itu. Gue ikhlas bantu orang. Dan gue percaya, lo orang baik-baik." Bang Theo menatap pria didepannya itu. Seorang pria muda yang ditaksir berusia masih dibawah tiga puluhan dengan karakter yang kuat. Bang Theo menduga pria ini orang kaya jika melihat pakaian bermerk yang digunakannya kemarin. Sebenarnya dia ingin menanyakan banyak hal pada pria didepannya itu. Tapi dia sadar kalau dia perlu menghargai privasi orang itu. Dia akan mencari tahu sedikit demi sedikit.

Ketukan dipintu membuat keduanya menoleh. Lukman berdiri disana dengan menggunakan seragam kerjanya.

"Ada teman abang didepan."

"Siapa?"

"Bang Fandi."

Mendengar Lukman menyebut nama itu bang Theo segera bangkit dari kursinya dan bergegas keluar. Alex hanya mengikuti bang Theo dengan pandangannya. Dia lebih memilih untuk tetap duduk disana.

"Fandi!" Bang Theo nampak senang dengan kedatangan temannya. Dia segera menghampiri Fandi. Menggenggam tangannya dan mengguncangkannya. Tangan kirinya menepuk bahu Fandi agak keras. Fandi meringis.

"Gimana? Bermasalah lagi mobil lo?" tanyanya dengan seringai dibibirnya.

"Enggak sih. Tapi gue mau anak buah lo ngecek kondisi mobil gue secara keseluruhan. Gue mau pergi keluar kota lagi nih. Gue gak mau terjadi lagi kayak kemaren."

"Lo memang harus rutin servis kalo lo gak mau kejadian kayak kemaren. Lagian nih ya, kalau keluar kota tu jangan pergi sendiri. Apalagi jaraknya jauh. Bahaya banget nyetir sendiri."

"Iya. Gue kapok kalau ingat yang kemaren itu. Haha.." Fandi tertawa sumbang. "Gue pengen si Denis yang ngecek mobil gue. Gue percaya sama dia."

Bang Theo melihat ke arah Denis yang sedang melayani seorang pelanggannya.

"Tapi lo harus nunggu sebentar. Denis masih ngerjain yang lain sekarang."

"Gak masalah. Gue tinggal mobilnya disini. Nanti gue ambil lagi."

"Baguslah kalau begitu. Jam berapa lo ambil?"

"Siang mungkin. Gue ada urusan yang lain dulu."

"Oke."

Fandi kemudian berlalu dari bengkel. Dia pergi dengan menggunakan ojeg yang bisa mangkal tidak jauh dari bengkel Bang Theo, sementara mobilnya ditinggal di bengkel. Dia menyerahkan kunci mobilnya pada bang Theo.

Bang Theo menghampiri Denis yang masih sibuk dengan sebuah mobil.

"Habis ini lo ngerjain mobil si Fandi." kata bang Theo sambil menyerahkan kunci mobil Fandi kepada Denis. Denis melirik mobil yang dimaksud oleh bang Theo dan mengangguk Faham. Kunci mobil dia masukkan kedalam saku bajunya.

"Oke."

Singkat saja jawabannya.

Bang Theo sudah terbiasa dengan sikap Denis yang seperti itu. Dia sudah sangat hafal dengan karakter anak buahnya yang satu ini. Sejak pertama kenal Denis, bang Theo dapat melihat kalau Denis sangat pendiam dan tertutup orangnya. Tidak suka banyak bicara dengan siapapun. Dia hanya mengeluarkan suaranya seperlunya saja. Dia sangat membatasi interaksi dengan orang lain. Terutama dengan makhluk yang bernama perempuan.

Wajah Denis yang manis, tampilannya yang unik, sikap dinginnya yang membuat dia nampak keren, tak urung membuat para cewek penasaran. Beberapa orang terang-terangan mencoba mendekati Denis. Tapi tak ada satupun yang dibiarkan Denis untuk mendekatinya. Dia sangat menjaga dirinya agar tak tersentuh oleh siapapun.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!