"Kau lembur lagi?" tanya Alin rekan kerja sekaligus orang baik yang memberikan tempat tinggal untuk Zahra.
"Iya, aku sedang butuh uang banyak, Alin." Zahra menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari deretan angka di layar komputer.
"Kau pikir aku tidak butuh uang?" kekeh Alin seraya menyampirkan tas di pundaknya.
"Sepertinya tidak. Kau bekerja kan hanya untuk mengisi waktu luang saja," balas Zahra membuat mereka tertawa.
"Ya sudah aku pulang ya. Kabari kalau kau berniat pulang lebih awal."
Sudah bukan hal aneh ketika Alin meminta Zahra untuk memberi kabar ketika akan pulang lebih awal. Sebab suatu hari Zahra pernah memergoki Alin dengan salah satu pria yang menjadi atasan mereka. Bram.
Waktu itu Zahra pulang lebih awal karena tidak ada lagi pekerjaan yang mengharuskan untuk dia lembur. Saat memasuki rumah dan melewati pintu kamar Alin, dia mendengar suara aneh. Suara erangan dan nafas yang saling bersahutan.
Zahra ingin menolak apa yang terlintas di benak tapi suara itu semakin memperjelas bahwa di dalam kamar itu ada dua orang yang tengah menyambut gelombang hasrat.
Hal yang membuat Zahra terkejut adalah orang yang keluar dari kamar Alin setelah beberapa menit berlalu. Salah satu atasan mereka yang Zahra ketahui sudah memiliki istri.
"Zahra?" pekik Alin saat sudah menutup pintu dan bermaksud kembali ke kamar. "Kamu sudah pulang?"
"Baru saja tiba."
"Ra, kamu butuh uang berapa?" tanya Alin.
Oh Alin sedang meminta agar Zahra tutup mulut. Akan tetapi tanpa dibayar pun Zahra tidak akan membuka rahasia orang lain. Dia cukup tahu diri karena diberi tempat tinggal.
"Tenang saja, aku tidak akan mencampuri urusanmu. Bukan ranah-ku." Zahra meninggalkan Alin.
Sejak saat itu dia menjaga jarak dari Alin. Mereka tetap bertegur sapa ketika berpapasan. Alin sendiri tetap baik pada Zahra karena terbukti sampai saat ini belum ada orang lain yang mengetahui skandal dirinya.
"Kopi?" Suara seorang pria membuat Zahra beralih fokus dari layar komputer. Seorang pria yang tidak lain adalah Fatih Akbar alias atasan mereka.
"Maaf saya tidak minum kopi." Zahra kembali fokus pada pekerjaan.
Fatih menatap heran pada perempuan yang sudah dia perhatikan sejak dua minggu yang lalu.
"Apa gaji pokoknya tidak cukup sehingga kamu harus lembur. Bahkan hampir setiap hari?"
Zahra merasa terusik dengan perkataan atasannya. Berarti dia selalu diperhatikan. Dia harus waspada sekarang, bisa jadi pria itu akan memanfaatkan kesempatan untuk melecehkan dirinya.
"Hey aku sedang bicara." Fatih ingin Zahra fokus pada dirinya.
"Maaf aku sedang bekerja."
Fatih mengangguk dan meninggalkan Zahra. Aneh baru kali ini ada karyawan perempuan yang acuh saat didekati. Padahal seharunya perempuan itu merasa bangga karena diperhatikan orang penting di perusahaan.
Pukul delapan lewat lima belas menit Zahra sudah mematikan komputernya. Dia meregangkan otot tangan sebelum memutuskan pulang. Capek, tentu saja.
Namun tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan uang. Dia tidak ingin kaya melalui jalan pintas alias menjadi simpanan pria beristri.
"Kak, ibu jatuh di kamar mandi. Sekarang sudah di bawa ke RS."
Sudah tentu akan mengeluarkan biaya lagi. Belum sempat membalas pesan tersebut ponselnya sudah berdering menampilkan nama adiknya di layar.
"Kak, doker bilang ibu harus dioperasi," kata Hilal-adiknya.
"Memangnya ibu jatuh sampai separah itu?" Zahra mulai panik. Selain menyangkut biaya juga menyangkut keselamatan ibunya.
"Dokter bilang ada darah di otak bagian belakang ibu."
Tanpa berpikir panjang Zahara langsung memesan taksi online untuk mengantarkan dirinya pulang. Rumah dia dan tempat kerjanya berbeda kabupaten tapi hal itu tidak membuat dirinya takut pulang malam. Yang penting dia harus pulang malam ini juga.
"Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" tanya Zahra saat dia tiba di rumah sakit dan langsung menemui dokter yang menangani ibunya.
"Jatuh di kamar mandi dengan posisi bagian belakang kepala menyentuh lantai itu mengakibatkan terjadinya kehilangan kesadaran juga terjadinya perdarahan pada baian otak. Selian itu juga terjadi retak pada tulang leher. Tindakan yang harus segera kita ambil adalah segera melakukan tindakan operasi."
"Kemungkinan selamat masih ada kan, Dok?"
"Selama kita berusaha kemungkinan itu akan ada. Meskipun entah berapa persen."
Zahra menemui bagian administrasi dan meminta rincian biaya yang harus ia bayar untuk keselamatan ibunya. Hasilnya membuat dia menggelangkan kepala.
Dari mana aku harus mendapatkan uang sebanyak ini?
Setelah melalui pertimbangan Zahra menemui bibinya. Satu-satunya keluarga sang ibu yang memiliki nasib baik.
"Kau mau pinjam uang lagi?" tanya Hayla-bibinya.
"Iya. Bisakah bibi pinjamkan uang yang bibi punya. Aku akan mengembalikan secepatnya."
"Aku tidak punya uang," jawab Hayla. Padahal jelas perhiasan yang sedang dia pakai saja jika dijual lebih dari cukup untuk uang yang akan dipinjam oleh Zahra. "Kalau kau mu uang terima saja lamaran Tuan Demir."
"Maaf, bibi, itu bukan solusi."
Jelas saja bukan solusi karena Tuan Demir yang dimaksud adalah pria yang sudah memiliki istri.
"Kau butuh uang 'kan. Dia akan memberikan uang yang kau butuhkan. Apa salahnya jika kau menjadi istri kedua. Dia sanggup kok menghidupi dua istri. Tidak perlu kau menjaga harga diri jika kau masih hidup susah."
Rupanya Zahra salah menadatangi orang. Dia pikir bibinya akan meminjamkan uang karena yang sakit adalah kakaknya sendiri tetapi ternyata tidak.
Zahra kembali ke rumah sakit untuk meminta keringanan. Uang yang dia punya tidak sebanyak itu. Bersamaan dengan itu ponselnya berdering. Alin menghubunginya.
"Kau tidak pulang Zahra?" Terdengar nada cemas dari seberang sana.
"Aku pulang ke Bandung, Alin. Ibuku masuk rumah sakit."
"Sungguh?"
"Iya, beliau jatuh di kamar mandi dan mengalami perdarahan pada otak juga retak pada bagian leher."
"Astaga, kau pasti membutuhkan biaya banyak, Ra. Katakan berapa banyak uang yang kamu butuhkan sekarang."
Hal ini yang tidak disukai Zahra, di mana dirinya akan terlihat lemah dan membutuhkan bantuan orang lain. Sejak dulu orang selalu memandang rendah pada dia dan keluarganya.
Lalu apa kabar jika sampai dia menerima tawaran dari bibinya untuk menjadi istri kedua Tuan Demir.
"Ra, aku tahu kamu tidak ingin merepotkan orang lain tapi ini demi keselamatan ibumu. Biarkan aku membantumu, ini bukan sogokan agar kamu menutupi rahasia-ku. Murni karena aku ingin membantu."
***
Fatih menatap foto pernikahannya dengan Sarah. Tujuh tahun mereka menikah dan kini masing-masing mulai merasa bosan. Terlebih saat tak kunjung mendapatkan momongan. Dia sudah bosan diteror soal anak oleh sang ibu. Deru mobil menandakan bahwa Sarah pun baru pulang.
"Dari mana?" tanya Fatih saat Sarah sudah memasuki ruangan yang sama dengan dirinya.
"Refresing. Aku perlu kewarasan setelah diteror olah ibumu tenang anak. Ibu mu terlalu kuno dengan selalu menanyakan hal yang sama. Kapan punya anak, teman ibu cucunya sudah dua, sudah tiga dan bla bla bla bla. Kamu pikir aku tidak stres. Lagi pula menikah bukan sekedar untuk mecentak anak bukan. Aku sudah bilang dari awal, aku ingin childfree."
Sarah meletakan tas dan mulai membersihkan diri. Kemudian mengaplikasikan skincare malam pada wajahnya.
"Kalau begitu aku akan menikah lagi," ucap Fatih membuat istrinya menoleh.
Masih pagi tapi Fatih sudah menekuk wajahnya. Apalagi saat sambungan telepon baru saja di matikan. Benar kata Sarah-istrinya, diteror terus tentang anak membuat pikirannya menjadi penat.
"Masuk," perintah Fatih saat mendengar pintu ruang kerja diketuk. "Bram?"
"Masih pagi, Brother, tapi wajah sudah kusut saja," kata Bram seraya duduk di sofa.
"Bram, kamu akan mengerti jika kamu ada di posisi saya."
"Soal anak?" tebakan Bram tepat sasaran. "Banyak cara untuk mendapatkan seorang anak. Kamu banyak uang lalu apa susahnya?"
"Masalahnya Sarah tidak menginginkan hal yang sama. Sedangkan mama maunya anak kandung." Fatih menghela nafas. "Jangan menyarankan untuk menikah lagi," tolak Fatih saat melihat seringai di wajah Bram.
"Saya belum mengatakan apa pun," kekeh Bram.
"Tapi ekspresi mu mengatakan seperti itu."
"Kamu mau dengar saran dariku?" Fatih mengangguk dan memberi waktu agar Bram melanjutkan perkataannya. "Kamu ingin anak yang asli dari benih kamu itu sebenarnya mudah. Kamu tinggal mencari seorang perempuan yang mau menyewakan rahimnya. Namanya surogasi, di mana anak yang tumbuh berasal dari benih milikmu."
"Memang ada perempuan seperti itu?" tanya Fatih.
"Banyak. Biasanya mereka yang ingin mendapatkan harta dengan mudah rela menyewakan rahimnya. Tinggal kamu cari orang-orang seperti itu lalu kamu tunjuk yang menurut kamu memiliki kulitas super. Untuk menunjang pertumbuhan Fatih junior. Kalau soal bibit sudah pasti super 'kan?"
Fatih tergelak, merasa ucapan Bram terlalu konyol. Selama ini dia belum pernah mendengar soal sewa rahim atau sistem ibu pengganti.
"Aku serius," lanjut Bram.
Kemudian mereka fokus membahas soal pekerjaan.
***
Jarak tidak menjadi penghalang bagi seorang Zahra. Meskipun semalam kurang tidur tapi pagi ini sudah siap di depan layar komputer. Bahkan Alin saja baru tiba.
"Aku pikir kamu tidak masuk, Ra."
"Kalau tidak, dari mana cara aku untuk membayar uang yang aku pinjam?"
Ruangan yang tadinya ramai mendadak hening saat Fatih memasuki ruangan tersebut dan menemui supervisor-nya.
"Masya Allah cakepnya suami orang," bisik Alin yang tidak ditanggapi oleh Zahra. "Ra!" Alin kembali memanggil saat Zahra seperti tidak tertarik dengan apa yang dia katakan.
"Iya?" Zahra menoleh.
"Kamu tidak tertarik sama Mr. Fatih?"
"Tidak."
"Oh berarti kamu tidak normal," balas Alin dan mulai fokus pada pekerjaannya. Kali ini dia tidak ingin mencari perhatian pada Mr. Fatih, lagi pula sudah ada Mr. Bram.
Tidak lama seorang OB menghampiri meja kerja Zahra menyerahkan kopi.
"Maaf, saya tidak memesan kopi," tolak Zahra.
"Tapi kata kurirnya untuk, Bu Zahra."
Berhubung mata Zahra terlihat menahahan kantuk akhirnya ia pun menerimanya.Tak apalah sesekali dia minum kopi. "Tolong katakan terima masih pada yang kirim."
"Maaf, Bu, saya saja tidak tahu siapa yang kirim," kata si Ob dan lekas kembali pada pekerjaan.
Fatih tersenyum melihat Zahra menerima kopi yang dia pesan. Dia sengaja masuk ke ruangan ini hanya untuk melihat Zahra. Semalam dia melihat perempuan itu pergi terburu-buru, jadi dia khawatir akan terjadi sesuatu.
Kali ini Zahra turun ke kantin saat waktu makan siang tiba. Tubuhnya memang lelah apa lagi harus pulang pergi Jakarta-Bandung. Belum lagi harus kerja lembur untuk mendapat uang tambahan.
"Kalau capek ya istirahat saja, Ra. Ambil waktu cuti dua atau tiga hari. Kasihan tubuh kamu kalau diporsir untuk bekerja. Ini bukan masa penjajah jepang di mana tubuh harus bekerja rodi setiap hari."
"Mana bisa aku leha-leha, Lin. Sekarang ibu dalam masa membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aku juga tidak mungkin terus meminta bantuan padamu. Jadi bekerja memang solusinya."
Sengaja Alin dan Zahra memilih turun lewat tangga untuk menghilangkan rasa ngantuk. Rupanya di belakang mereka ada Fatih dan Bram yang mendengarkan dan sengaja melakukan hal yang sama dengan kedua perempuan di depannya. Tentu Bram memang memilki alasan lain untuk turun menggunakan tangga. Biasanya dia akan menemui kekasih gelapnya di sana.
Akan tetapi kali ini dia tidak bisa menemui Alin keran ada Fatih dan juga Zahra.
"Coba saja tawarkan saranku tadi pagi," ujar Bram.
"Pada dia?" Fatih menunjuk punggung Zahra.
"Ya. Bukankah tadi kamu mendengar sendiri kalau dia sedang membutuhkan uang."
"Tapi sepertinya dia akan menolak."
"Mencoba lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bukan begitu?" Bram menepuk pundak Fatih.
Usai makan siang Fatih meminta Zahra ke ruangannya melalui supervisor-nya.
Zahra dan Alin saling melirik. Apa mereka melakukan kesalahan, itu yang terpikir di benak Zahra, tapi kenapa hanya dirinya yang di panggil. Alin tidak?
Dia pun duduk di seberang pemilik perusahaan dan hanya terhalang meja kerja.
"Kemarin malam saya tanya gaji pokoknya cukup atau tidak 'kan. Sekarang saya ingin tahu kenapa kamu sering lembur sedangkan yang lain tidak. Kamu sengaja melalaikan pekerjaan agar bisa lembur?" tanya Fatih dengan suara khas seorang atasan pada bawahan.
Sayang pesona tampannya tidak mampu menggoyahkan seorang Zahra. Namun dibalik tatapan tajam itu ada sorot lain yang mendominasi dalam benak seorang Fatih.
"Tidak, Pak. Anda bisa memeriksanya melalui supervisor. Saya ambil kerja lembur murni untuk meringankan pekerjaan hari esok. Tentu pada akhirnya bermuara pada pendapatan uang saya dapat di akhir bulan.
"Kamu sedang butuh uang?"
"Benar, saya sedang butuh uang," balas Zahra dengan eksperi tenang. Tidak perlu merasa takut karena dia tidak melakukan kesalahan. Pekerjaan bersih dari godaan setan akan harta. Dia juga tidak memiliki bakat menjadri seorang koruptor.
"Saya bisa membantu kamu untuk mendapatkan uang lebih."
"Anda akan memberi saya pinjaman?"
Fatih tersenyum, "bukan. Melainkan mengajak bekerja sama."
"Saya tidak paham maksud anda, Pak."
Fatih menyandarkan tubuhnya, "Kamu pernah mendengar istilah ibu pengganti?" Zahra mengangguk, sekarang dia paham kemana arah tujuan pembicaraan atasannya. "Bagaimana tanggapan kamu soal istilah itu?"
"Ini hanya pandangan saya dari sisi si ibu pengganti. Ada beberapa faktor yang menyebabkan dia mau menyewakan rahimnya. Salah satunya adalah fakator kebutuhan. Mungkin kalau ada cara lain yang memudahkan untuk memenuhi kebutuhan sepertinya dia tidak akan melakukan itu. Walau pun benih yang ditanam di rahimnya bukan miliknya tapi tetap saja bayi itu tumbuh melalui darah dagingnya. Tetap saja dia ibunya. Lalu ibu mana yang rela menyerahkan anaknya hanya karena demi uang."
"Lalu bagaimana jika kamu yang mendapatkan tawaran itu?"
"Saya akan menolaknya."
"Karena?"
"Pertama, mengacu pada hukum islam. Di mana haram hukumnya menanamkam sel ****** pada rahim yang bukan istrinya. Kedua mengacu pada nasab anak yang lahir. Anak yang lahir di luar pernikahan yang sah maka dia dinyatakan milik ibunya, artinya anak tersebut tidak memiliki ikatan apa pun pada si ayah biologis. Tidak peduli siapa pemilik benih sesungguhnya. Lalu siapa yang rugi? tentu si anak. Apalagi andai yang lahir adalah perempuan, sedangkan anak perempuan itu membutuhkan wali saat dia akan menikah."
"Lalu apa yang akan anda katakan ketika si anak bertanya, kenapa harus menggunakan wali hakim? Bukankah aku masih punya ayah. Apa anda akan mengatakan, Nak kamu terlahir dari hasil surigasi dan tercipta diluar pernikahan. Apa perasaan anak perempuan itu akan baik-baik saja?"
Kini giliran Fatih yang membuat orak untuk mendapat jawaban dari serang pertanyaan Zahra. Sungguh dia tidak menyangka kalau perempuan ini sangat lurus biasa. Pantas dia merasa tertarik untuk terus memperhatikannya.
Dari jawaban pajang Zahra dapat Fatih tangkap kalau dia menawarkan kesepakatan padanya tentu akan mendapat penolakan.
"Apa anda berniat menawarkan kerja sama itu pada saya?"
Deg.
Kini giliran Fatih yang memutar orak untuk mendapat jawaban dari serangan pertanyaan Zahra. Sungguh dia tidak menyangka kalau perempuan ini sangat lurus biasa. Pantas dia merasa tertarik untuk terus memperhatikannya.
Dari jawaban pajang Zahra dapat Fatih tangkap kalau dia menawarkan kesepakatan padanya tentu akan mendapat penolakan. Padahal jelas jelas tadi Zahra mengatakan akan menolaknya.
"Apa anda berniat menawarkan kerja sama itu pada saya?" tanya Zahra masih menggunakan mode tenang.
Deg.
"Ya kalau anda mau."
"Bukankah sejak awal saya sudah mengatakan akan menolaknya."
Fatih menggaruk bagian pelipis padahal tidak gatal sama sekali.
"Ah iya saya yang kurang fokus," kekeh Fatih, "berapa uang yang sedang anda butuhkan nona Zahra?"
Zahra tetap tersenyum tenang, tidak terpengaruh dengan tawaran uang. "Apa ini bentuk bujukan? Jika iya, maaf saya tidak membutuhkannya."
Zahra tidak tahu saja jika sikapnya semakin membuat seorang Fatih Alan Akbar menaruh perhatian padanya.
"Tidak, tidak, anda tidak perlu khawatir nona. Perusahaan akan meminjamkan uang pada anda untuk biaya pengobatan ibu anda. Uangnya bisa dikembalikan dengan cara dicicil. Setiap anda menerima gaji maka akan ada pemotongan. Kurang lebih seperti itu."
"Sungguh?"
"Iya, setelah ini temui pihak keuangan, saya akan menghubunginya dari sini. Semoga ini bisa membantu. Anggap saja ini sebagai bayaran atas dedikasi anda pada perusahaan. Malam ini anda tidak perlu lembur lagi."
"Maaf saya sempat salah paham pada anda."
"Tidak masalah, silahkan selesaikan kembali pekerjaan anda."
Sekali lagi Zahra mengucapkan terima kasih. Dia bangkit dan hendak meninggalkan ruangan kerja pamilik tempat ia bekerja. Akan tetapi Zahra menghentikan langkah ketika Fatih kembali memanggil. "Iya?"
"Senang bisa berdiskusi dengan anda nona," kata Fatih dibalas anggukan oleh Zahra.
Fatih tersenyum ke arah pintu yang sudah kembali tertutup. Tiba-tiba otaknya reflek membayangkan jika perempuan yang beberapa saat lalu berbincang dengan dirinya. Membayangkan cara mereka akan mendidik anak-anaknya nanti. Apalagi menurut Fatih Zahra begitu pandai dan cocok jika menjadi seorang ini dari anak-anaknya. Akan tetapi senyum itu hilang ketika Bram masuk dan sempat berpapasan dengan Zahra.
"Jadi?" tanya Bram menghancurkan imajinasi yang sedang dibangun Fatih.
"Batal."
"Loh? Tidak mungkin dia tidak tergiur dengan uang. Bukankah tadi kita mendengar kalau dia sedang membutuhkan banyak uang."
"Tidak selamanya uang bisa membeli apa yang kita inginkan. Uangku memang banyak tapi ternyata tidak bisa membeli kebahagiaan. Cara dia menolak tidak membuat saya tersinggung, Bram. Dia sangat pintar mencari jawaban tepat tapi enak didengar."
Bram mengerutkan kening. Sebagai sesama pria dia dapat menangkap maksud lain dari cara Fatih memuji Zahra.
"Sepertinya kau begitu tertarik membicarakan dia, Brother."
"Memang. Kau tahu kenapa?" Bram menggelengkan kepala, "Selain karena dia pekerja keras, dia juga pandai menempatkan diri di posisi orang lain. Sehingga tidak mudah menyudutkan dan menghakimi orang lain."
Fix, dalam pikirannya Bram mengatakan kalau Fatih tertarik pada sosok yang berpapasan dengan dirinya tadi. Cantik memang, tapi sayang dia tidak bisa serakah. Sekarang saja dia sudah memiliki dua wanita, satu istrinya dan satu lagi adalah Alin.
***
Sebelum kembali ke ruangan kerjanya, Zahra menemui bagian keuangan seperti yang diperintahkan oleh Fatih. Staf bagian keuangan membawanya menghadap langsung pada Bu Hayan selaku direktur keuangan.
Meskipun sudah diberi amanat oleh Fatih tetap saja ada beberapa prosedur yang harus dilakukan oleh Zahra untuk mendapatkan pinjaman.
Dua jam sudah dia meninggalkan ruangan kerjanya dan baru kembali. Alin yang meja kerjanya bersebebalahan tentu penasaran apa yang dibicarakan Zahra dengan atasan mereka.
"Shut, apa yang dibicarakan Mf. Fatih, Zahra?"
"Penasaran ya?" Zahra kembali fokus pada pekerjaan yang sempat dia tinggalkan. Dalam hati dia mengucap kata syukur berulang kali. Setidaknya untuk beberapa waktu ke depan dia sudah memiliki pegang untuk biaya pengobatan ibunya. Jadi dia tidak perlu lagi berharap kebaikan dari bibinya.
Alin berdecak ketika rasa penasarannya tidak terjawab. Mereka sama sama fokus pada pekerjaan sampai waktu kerja berkahir.
"Tidak lembur?" tanya Alin ketika melihat Zahra ikut mengemas barang-barangnya.
"Hari ini tidak, aku harus pulang ke Bandung untuk melihat kondisi ibu. Aku belum tahu kabarnya pasca operasi."
"Perlu aku temani?"
"Terima kasih, Alin, tapi aku tidak ingin merepotkan lagi." Mereka sama-sama keluar dari ruangan kerja. "Jam segini masih aman kok pulang ke Bandung. Aku akan pulang menggunakan kereta."
"Ya sudah kalau tidak ingin ditemani. Aku antarkan kamu ke stasiun ya."
Zahra mengangguk setuju.
Rumah sakit menjadi tujuan utama Zahra ketika dia sudah tiba di Bandung. Dia menghampiri adiknya dan menanyakan kabar ibu. Akan tetapi diamnya Hilal membuat Zahra semakin cemas. Gegas dia menemui dokter di ruangannya.
"Ada kabar baik juga ada kabar buruk. Saya akan mengatakan kabar baiknya lebih dulu tapi anda harus siap mendengar kabar buruknya juga. Operasi pembersihan darah bada bagian otak belakangnya berhasil tapi ibu anda mengalami penurunan kesadaran untuk waktu yang belum bisa diprediksi."
"Maksud anda, ibu saya koma?"
"Ya, seperti itu."
Zahra memijat kening untungnya dia sudah memiliki pegangan uang.
"Lekas kembali sehat ibu, rumah terasa sepi tanpa kehadiranmu." Sekarang Dia hanya bisa menatap sang ibu yang masih berada di ruangan ICU ruangan yang paling menakutkan.
"Zahra!"
Zahra dan Hilal berbalik menatap si pemilik suara yang tidak lain adalah Hayla-bibi mereka.
"Dari mana kamu punya uang?"
Zahra dan Hilal saling merilik. Tidak adakah pertanyaan lain selain uang, misal menanyakan kabar ibunya.
"Apa itu penting buat bibi?" tanya Hilal.
"Diam kamu anak ingusan. Saya sedang bicara dengan kakakmu."
"Lalu pentingnya apa untuk bibi?" tanya Zahra dengan tetap mengutamakan adab saat bicara dengan orang yang lebih tua.
"Pentinglah saya tahu kamu dapa uang itu dari mana. Tidak mungkin kan kamu dapat uang sebanyak itu dalam satu malam kalau-,"
"Kalau apa? Bibi mau mengatakan kalau bukan karena Kak Zahra menjual diri begitu?" Hilal tampak emosi. Dia sudah geram ketika kakak dan juga ibunya selalu saja direndahkan. Bahkan yang merendahkan adalah bibinya sendiri.
"Hilal!" Zahara menegur adiknya.
"Jangan diam saja, Kak. Orang ini terlalu mengurusi kehidupan pribadi orang lain tapi tidak memiliki andil. Lihat, bahkan ketika kakaknya sendiri membutuhkan uluran tangan tapi bibi malah lebih senang melipat tangan di dada."
"Kamu?" Hayla menunjuk wajah Hitam dengan ekspresi marah.
"Hilal!" Zahra menggelengkan kepala agar adiknya tidak lagi membuat adik ibunya marah.
"Dasar anak haram. Gara-gara kalian kakakku jadi hidup susah. Gara-gara dia manu menikah dengan ayah kalian dia rela hidup miskin dan kekurangan. Dasar pembawa sial."
Zahra berdehem, "Kalau tujuan bibi datang hanya untuk memaki kami dan bukan menjenguk ibu, lebih baik bibi pulang. Kasihan, bibi hanya akan membuang-buang waktu dan energi," kata Zahra dengan nada tenang, tidak menggebu-gebu seperti adiknya.
Setelah Hayla pergi, seorang pria beroakian rapih menghampiri Zahra.
"Selamat malam, benar anda nona Zahra?" tanya pria itu.
Hilal dan Zahra saling melirik kemudian Zahra mengangguk.
"Saya Sam, asisten pribadi Tuan Fatih Alan Akbar. Beliau ingin berbicara dengan anda."
"Tuan Fatih Alan Akbar? Apa beliau rasa saya di tempat kerja?"
"Benar, mari ikut saya."
Zahra pamit pada Hilal dan mengikuti pria yang bernama Sam. Akan tetapi yang membaut heran adalah pria bernama Sam itu membawa Zahra ke ruangan yang bertuliskan dr. Friska SpOG.
"Silahkan!" Sam membuka kan pintu untuk Zahra.
"Selamat malam, Nona Zahra," sapa Fatih yang tengah duduk santai di ruangan dokter tersebut.
"Selamat malam," balas Zahra.
"Silahkan duduk, Nona Zahra," kata dokter perempuan yang ada di sana. "Apa ini calon ibu pengganti Tuan Fatih?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!