NovelToon NovelToon

Mendadak Jadi Papa

Prolog

Ding Dong..!

Suara bel pintu berbunyi. Kevin, dengan malas membuka matanya perlahan. Kepalanya masih terasa sangat berat. Kevin merasa itu hanya mimpi, karena pembantu yang biasa membersihkan rumahnya selalu datang siang.

Ding Dong..!

Suara bel terdengar lagi. Kevin menyingkirkan tangan Brenda yang masih tertidur memeluknya. Kevin mengambil jam weker yang ada di nakas, meliriknya sejenak. Masih pukul 7 pagi.

Ding Dong..!

"Aarrrggg....! Siapa yang pagi pagi datang? Aku tak memesan layanan kamar hari ini!" Gumam Kevin dengan geram.

Kevin turun dari ranjangnya, lalu menyambar celana boxer, mengenakannya, sambil mengenakan kaus oblong yang tergeletak di sofa.

Kevin melewati kamarnya yang berantakan akibat aktivitasnya yang panas bersama Brenda semalam. Terlebih sebelumnya dia juga mengadakan pesta kecil-kecilan dengan beberapa teman di apartemennya. Hasilnya, pagi ini dia merasa sangat pusing karena dia baru dapat memejamkan mata setelah mengeluarkan berjuta-juta benihnya pada milik Brenda beberapa kali hingga lelah.

Tubuh atletis, kekar, berotot, tegap, wajah tampan nan rupawan, dengan rambut hitam, dan bermata cokelat.

Kevin Mars. Siapa yang tak mengenal keluarga Mars. Keluarga terpandang dan kaya raya. Pemilik perusahaan IT Mars Company, hotel, apartemen,hingga rumah sakit. Juga memiliki pesawat jet pribadi yang sering disewa oleh pengusaha atau pejabat, hingga artis serta pesohor sering menggunakan jasa layanan jet pribadi milik perusahaan Mars Group.

Kevin adalah putra keluarga Mars yang menjadi pemimpin perusahaan IT Mars Company, perusahaan teknologi yang banyak menciptakan teknologi baru untuk mempermudah komunikasi saat ini. Tak hanya itu, Mars Company juga memiliki laboratorium teknologi untuk pengembangan yang sudah ada.

Kevin memiliki kakak perempuan bernama Emily, yang bekerja sebagai seorang dokter dan ilmuwan.

Sedangkan Tuan Morgan Mars dan Vicky Mars adalah orang tua Kevin dan Emily, yang kini fokus mengurus perusahaan properti dan hotel yang mereka miliki.

Untuk kesekian kali bel apartemen dibunyikan, menandakan tamunya memang mencari sang tuan rumah.

Kevin memijit pelipisnya, untuk meredakan rasa pusing dan kantuk yang masih menyerangnya.

"Ya, sebentar!" Seru Kevin saat berjalan menuju pintu apartemennya.

"Huh, siapa lah yang datang pagi pagi buta begini? Semoga bukan Mami yang mengadakan inspeksi mendadak yang merugikan diriku!" Gerutu Kevin, sambil menggaruk kepalanya. Rambutnya yang acak acakan, memakai kaus oblong, dan celana boxer.

Cek lek!

Pintu terbuka. Kevin menoleh ke kanan dan kiri, tak ada orang. Namun, saat menatap ke bawah, seorang anak kecil berjenis kelamin perempuan, sedang menatapnya sambil tersenyum.

Seorang gadis kecil mengenakan kaus bergambar kuda pony berwarna pink, mengenakan rok warna pastel, dipadu dengan celana legging pink. Menggunakan jaket jeans dan tas ransel bergambar kuda pony. Rambut dikuncir ekor kuda.

Gadis kecil itu tersenyum dengan ramah sambil memamerkan gigi ompongnya pada bagian depan.

Kevin melotot, terkejut, dan mengerutkan keningnya menatap tajam ke arah gadis kecil itu.

Sekali lagi Kevin melongok ke kiri dan kanan lorong apartemen, siapa tahu ada orang tua atau siapa pun yang bertanggung jawab dengan gadis kecil ini.

"Oh, hai! Siapa kamu? Di mana orang tuamu?" Tanya Kevin sambil membungkukkan badannya sejajar dengan gadis kecil itu.

"Hai, namaku Alice, dan aku adalah putrimu." Sahut gadis kecil tadi dengan polosnya sambil tersenyum.

"Hah?!" Sontak Kevin terkejut dan hampir tenjengkang, saat mendengar ucapan pengakuan dari gadis kecil itu.

"Anakku? Bagaimana bisa?" Kevin menegakkan tubuhnya, lalu menatap gadis kecil itu dengan penuh curiga.

"Bagaimana mungkin? Darimana kamu bisa membuktikan bahwa aku ayahmu? Siapa ibumu? Mengapa kamu tiba tiba muncul setelah sudah sebesar ini? Kemana saja kalian selama ini?" Serentetan pertanyaan langsung meluncur dari mulut Kevin.

Sakit kepala yang menyerangnya tadi, tiba tiba hilang, berganti dengan rasa penasaran pada gadis kecil ini.

"Mamaku sedang bekerja keluar kota untuk beberapa hari, sedangkan Tante yang biasa menjagaku saat ini memiliki seorang bayi. Jadi, mama menyuruhku untuk mendatangi kamu, Papaku." Jawab gadis kecil itu.

"Ini bukti kalau kamu dan mama pernah berkencan di masa lalu. Mama tidak bisa menemaniku mengantar kemari karena buru buru harus segera pergi tadi pagi." Ucap gadis itu lagi.

Kevin masih tercenung. Dia mengambil foto yang dibawa oleh gadis kecil itu, dan menatap dan mengamati dengan seksama gambar gadis yang ada di sampingnya dalam foto itu.

Kevin berusaha keras mengingat rupa dan wajah wanita dalam foto itu. Masih sangat muda, dan dirinya juga masih muda. Mungkin itu saat dia masih kuliah dulu.

"Berapa usiamu, gadis kecil?" Tanya Kevin memastikan kembali.

"Aku berusia enam tahun saat ini." Jawabnya.

Kevin kembali menatap gambar yang ada dalam foto itu, mencoba mengingat, sekitar tujuh tahun yang lalu.

Ya, itu gambar dia saat masih kuliah dulu. Entah semester berapa. Namun karena otaknya yang cerdas mampu mengantarkan dirinya lulus cum laude, lalu melanjutkan S2 dan S3 nya dengan cepat juga.

Namun otak cerdas, pendidikan yang gemilang, serta karir yang cemerlang, tidak berbanding lurus dengan kehidupan asmaranya.

Kevin bukan tipe lelaki yang serius dengan wanita. Brenda hanya salah satu wanita yang menjadi pendamping untuk bersenang-senang saja.

Kebetulan Brenda adalah seorang model dan artis kenamaan saja, sehingga membuat nama Kevin ikut terseret dalam berita gosip yang membuat keluarganya hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Sayang, ada apa? Kenapa berisik sekali?" Tiba tiba Brenda telah berada di belakang Kevin dengan hanya menggunakan lingerie kimono, yang memperlihatkan belahan dadanya yang menonjol itu.

Kevin yang masih belum hilang terkejutnya, menoleh ke arah Brenda, ingin mencegah menuju pintu, namun telah terlambat.

Brenda menatap dengan heran gadis kecil rambut kuncir ekor kuda yang ompong itu. Brenda menatap tajam pada Alice.

Alice yang takut melihat tatapan mata Brenda mendekati Kevin dan bersembunyi di belakangnya.

"Siapa anak itu, Kev?" Tanya Brenda dengan suara agak keras.

Kevin yang tak ingin mengganggu tetangga sebelah, segera menarik lengan Alice, dan menutup pintu apartemennya.

Kevin menghela napas sejenak, sebelum mengucapkan kata-kata.

"Sebenarnya aku tidak tahu, dan tidak mengenal anak ini. Dan dia bernama Alice." Ucap Kevin dengan bingung.

Brenda menatap Kevin dan Alice bergantian dengan rasa curiga dan penasaran.

"Untuk apa dia datang ke apartemenmu?" Desak Brenda.

"Aku putrinya." Sahut Alice dengan polos khas anak kecil. Yang sukses membuat Brenda terbelalak dan melotot ke arah Alice dan Kevin.

"Apa ini maksudnya Kev? Siapa gadis kecil ini?" Brenda bertanya dengan emosi.

"Brenda, aku sungguh tidak tahu, tiba tiba dia datang menemuiku, dan aku sungguh tidak mengenalnya." Kevin berusaha menjelaskan pada Brenda.

PLAK..!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Kevin.

"Dasar laki laki buaya, penipu! Aku sungguh tak menyangka kamu lelaki yang dengan mudah menabur benih di mana mana!" Seru Brenda berlalu masuk ke dalam kamar.

Kevin hanya menghela napas dalam-dalam, dan melirik ke arah gadis kecil yang masih berdiri di sampingnya itu.

Tak lama Brenda keluar dari kamar, sudah mengenakan kembali pakaiannya.

"Jangan harap aku akan mau denganmu lagi! Aku pikir kamu adalah lelaki baik yang setia, seperti yang diceritakan sahabatku! Ternyata aku tertipu dengan tampangmu! Dasar buaya darat! Huh!" Brenda mengomel sambil menunjuk wajah Kevin dengan kesal, lalu berlalu dari hadapan Kevin dan Alice

BRAAKKK..!!

Pintu ditutup dengan keras dan kasar. Kevin dan Alice sempat terlonjak karena terkejut mendengarnya.

Kini, mereka hanya tinggal berdua dan saling menatap.

Sarapan Bersama

BRAAKKK..!!

Pintu ditutup dengan keras dan kasar. Kevin dan Alice sempat terlonjak karena terkejut mendengarnya.

Kini, mereka hanya tinggal berdua dan saling menatap.

Sesaat mereka terdiam, dan akhirnya mereka tertawa bersama sama.

"Baiklah, silahkan masuk." Ucap Kevin usai kepergian Brenda yang penuh dengan kekesalan.

Alice berjalan masuk, meletakkan tas ranselnya di sofa ruang tengah.

Alice berjalan menuju ke arah jendela, menatap pemandangan gedung gedung pencakar langit yang ada di depannya dengan takjub.

Selama Alice terkagum-kagum menatap gedung gedung itu, Kevin langsung menghubungi asistennya untuk segera datang.

"Aku ingin kamu segera datang dalam sepuluh menit lagi!" Ucap Kevin, tak peduli apa yang akan dilakukan oleh asistennya untuk bisa sampai ke apartemennya dalam waktu sepuluh menit.

Alice menghampiri lemari yang berisi beberapa penghargaan tentang pekerjaan Kevin di bidang teknologi. Baik untuk pendidikan hingga negara.

Penghargaan dari negara langsung, atau komunitas.

"Kelak, aku pasti dapat membuat teknologi yang lebih keren dari milikmu!" Gumam Alice saat melihat dan membaca deretan penghargaan yang terpajang di lemari kaca itu.

Kevin tersenyum saat mendengar ucapan Alice.

"Kamu mau sarapan apa?" Kevin mengajak Alice menuju ke arah area dapur.

Kevin membuka kulkas dan mengambil susu kemasan dan menaruhnya di meja makan. Lalu dia mengambil roti dan selai kacang dan cokelat yang ada di lemari.

"Mama selalu membuatkanmu roti bakar untuk sarapan, atau semangkuk sereal untuk sarapanku sebelum sekolah." Rengek Alice sambil menatap Kevin.

"Oh, jadi, kamu mau roti ini aku panggang di microwave? Atau di mana?" Tanya Kevin dengan bingung.

Gadis cilik itu turun dari kursinya, lalu mengiris roti itu, dan menaruhnya di wajan anti lengket, lalu menyalakan kompornya.

"Hati hati, itu panas..." Kevin memperhatikan dan menatap Alice yang memanggang roti di atas teflon pada kompor. Lalu menaruh roti di sana, menunggu sebentar lalu membalikkan roti itu perlahan dan hati-hati.

Sekitar tiga menit memanggang, Alice mengambil roti tersebut dengan spatula dan menaruh di atas piring.

Dapur Kevin meski pun kecil dan sederhana, namun memiliki peralatan masak yang cukup lengkap, dan sepertinya Alice terbiasa di dapur, dan mengetahui fungsi dari alat alat masak itu dengan baik.

Alice Mambawa ke meja makan dan menaruh di depan Kevin.

"Silahkan dicoba, Pa. Ini enak, apalagi jika dioles dengan selai cokelat dan kacang bersama sama." Ucap Alice sambil melakukan apa yang dia ucapkan.

Alice memakan roti yang dia racik sendiri, secara tak sadar Kevin tersenyum saat memperhatikan gadis kecil itu memasukkan roti ke mulut kecilnya itu dan mengunyah seakan menikmati roti dengan nikmatnya.

Kevin sebenarnya masih waspada dan sedikit terhenyak saat gadis kecil itu memanggil Papa padanya.

Kevin mengambil air mineral dan meneguknya hingga habis. Terasa lebih baik. Dia masih memperhatikan gadis kecil di depannya itu, yang kini sedang menikmati segelas susu setelah menghabiskan roti selai.

Tepat saat Alice meletakkan gelas susunya, pintu apartemen Kevin terbuka.

Seorang lelaki masuk.

"Bos, ini aku bawakan sarapan untukmu, seperti biasanya!" Serunya sambil mengangkat kedua tangannya yang masing masing membawa kopi dan kantong berisi roti dari kedai kopi ternama, apalagi kalau bukan Starbucks.

"Masuklah, Joe!" Perintah Kevin.

Lelaki bernama Joe masuk ke ruang dapur dan terkejut saat melihat ada seorang gadis kecil bersama Kevin saat ini.

"Bos, apakah Brenda berubah menjadi anak kecil?" Tanya Joe masih menatap Alice dan menatap Kevin bergantian.

Kevin mendekati Joe dan menepuk pundaknya.

"Silahkan berkenalan sendiri dengannya!" Kevin mengambil kopi dan roti yang dibawa oleh Joe.

Kevin menyesap kopinya, sambil menatap ke arah Joe yang masih terpana menatap Alice yang sibuk mengoles roti dengan selai kacang dan cokelat, lalu memakannya.

"Aku akan mandi dan bersiap, temani dia dulu!" Ucap Kevin pada Joe.

Joe hanya mengangguk, matanya masih menatap Alice.

Kini gadis kecil itu balas menatap Joe.

"Paman, mau?" Tanyanya sambil menyodorkan roti selai racikannya.

Joe mengangguk dan menerima roti itu. Joe memakannya.

"Enak!" Ucapnya sambil mengunyah roti.

Alice tersenyum.

"Aku yakin roti diolesi kombinasi kacang dan cokelat adalah rasa yang paling enak." Ucapnya sambil tersenyum senang.

"Siapa namamu? Dan mengapa kamu ada di sini?" Selidik Joe.

"Namaku Alice. Aku di sini karena Mamaku sedang bekerja di luar kota. Bibiku yang biasa mengurusku memiliki bayi yang sangat berisik. Sehingga tidak bisa mengurusku dengan baik. Maka, Mama menyuruhku untuk datang kemari." Cerita Alice dengan gaya anak kecil.

Namun, sebenarnya Alice berbohong, dia datang ke rumah Kevin karena keinginannya sendiri, Marry, mamanya tidak menyuruhnya.

"Mengapa harus di sini?" Joe mengerutkan keningnya heran.

"Karena Kevin adalah Papaku. Dia satu satunya keluarga yang kami miliki selain bibiku yang sibuk mengurus bayi." Sahut Alice.

Seketika Joe terkejut. Mulut menganga dan mata melotot. Sungguh dia tak percaya dengan apa yang baru dia dengar.

"Benarkah? Lalu berapakah usiamu? Siapa Mamamu?" Joe menyelidik dengan rentetan pertanyaan karena penasaran.

Alice mengangguk sambil menatap Joe, meyakinkan.

"Usiaku enam tahun, Mamaku bernama Marry. Ini adalah bukti, jika aku adalah putri Kevin. Mamaku berkencan dengan Kevin." Alice mengambil foto yang dia simpan dalam tasnya, dan menunjukkan pada Joe untuk meyakinkannya.

Joe mengambil foto itu dan mengamatinya. Joe berusaha mengingat rupa Marry, yang kata Alice adalah mamanya.

Joe tampak pernah melihat wajah Marry, namun, dia pun tidak yakin.

"Bagaimana kamu yakin, Kevin adalah papamu? Atau kamu hanya disuruh oleh mamamu untuk mengaku sebagai anaknya saja, karena Kevin adalah orang kaya?" Joe menyelidik.

Alice menggeleng kepalanya dan menatap Joe.

"Mamaku pernah mengatakan bahwa, papa adalah orang yang sangat terkenal dan hebat, selain itu, aku memiliki kepandaian yang diwariskan oleh papaku. Lalu dia menunjukkan foto ini. Ini adalah satu satunya kenangan mama bersama papa saat itu." Alice bercerita sambil menatap foto yang berisikan gambar Kevin sedang merangkul Marry, mamanya Alice.

Joe menatap lagi foto itu. Dari gambar yang terlihat, foto itu diambil saat pesta ulang tahun Kevin yang ke-25, jika dia tidak salah. Namun, dia berusaha mengingat rupa dan wajah Marry di antara semua tamu yang datang atau gadis gadis yang berpesta dengan Kevin bersama teman temannya malam itu. Namun, Joe masih belum berhasil mengingat Marry, karena dia juga banyak minum malam itu.

"Jadi, hari ini apa agendanya, gadis kecil?" Kevin yang selesai mandi dan telah mengenakan pakaian kerjanya menghampiri Alice dan Joe.

Kevin sambil memasang dasinya dengan lincah dan cepat, lalu merapikan, dan mengenakan jasnya.

"Aku mulai sekolah pukul 9 dan pulang pukul 3 sore." Sahut Alice.

"Baik, aku akan mengantarmu ke sekolah." Ucap Kevin sambil menyesap kopinya perlahan.

Alice menyelesaikan makannya dan menaruh gelas dan piring kotor pada wastafel.

"Sudah, biarkan saja itu di sana. Nanti ada orang yang akan membersihkan dan membereskan ini semua." Ucap Kevin.

"Ayo kita berangkat!" Ajak Kevin kemudian, sambil menyambar tab dan ponselnya. Lalu dia bergegas berjalan menuju ke arah pintu.

Alice merapikan pakaiannya, lalu mengambil tas ranselnya.

Alice membuka ranselnya, dan mengeluarkan beberapa potong pakaiannya, dan meletakkan di sofa. Lalu menutup kembali tas itu, dan menenteng di punggungnya.

Kevin menatap Joe saat Alice meninggalkan pakaiannya di sofa. Joe hanya bisa mengangkat bahunya dan geleng-geleng kepala.

"Sudah siap!" Ucap Alice dengan riang.

Joe membukakan pintu, mempersilahkan Alice untuk keluar, disusul oleh Kevin dan menutup kembali pintu apartemen milik Kevin itu.

Mereka menuju ke arah lift untuk turun ke parkiran tempat mobil Kevin diparkir.

Ting..!

Pintu lift terbuka, dan kini mereka berada di sebuah parkir mobil yang berjejer mobil mewah di sana.

Kevin melempar kunci mobil pada Joe, lalu Joe menekan tombol, dan tertengar suara alarm pintu terbuka dari sebuah mobil SUV mewah berlogo Porche.

Makan siang

"Apakah nanti Papa akan menjemput aku?" Tanya Alice saat dalam perjalanan menuju ke sekolahnya.

"Aku tak tahu." Jawab Kevin sambil menengok ke bangku belakang, tempat di mana Alice duduk.

Gadis kecil itu terdiam sejenak saat mendengar jawaban Kevin.

Kevin menjadi merasa bersalah, dia tak tega melihat raut sedih yang tergambar di wajah gadis kecil itu.

Meski, Kevin masih belum yakin bahwa gadis kecil itu adalah putrinya. Namun, dia bukanlah sosok lelaki yang tega melihat anak kecil terlihat sedih, apalagi mendengar rengekan dan tangis anak kecil, Kevin tak kan tahan menghadapi itu.

"Baiklah. Pukul tiga, bukan?" Ucap Kevin sambil tersenyum menatap Alice.

"Yey... Hore... Terima kasih, Papa!" Alice bersorak girang, sambil memeluk lengan Kevin dan mencium pipinya.

Seketika Kevin terkejut dengan perlakuan gadis kecil itu.

Ada rasa hangat mengalir dalam dadanya. Ia tak bisa menjelaskan dengan kata kata perasaan itu. Untuk sesaat ada rasa bahagia terpancar di wajahnya.

Joe tersenyum melihat kejadian itu. Itu pertama kali interaksi secara dekat dengan anak kecil yang dilakukan oleh Kevin.

Dia sangat paham dengan atasannya ini. Joe merupakan sahabat, sejak kecil, menjadi teman sekolah, hingga kuliah, meski mengambil jurusan yang berbeda, mereka tetap sering bertemu. Hingga Kevin menawarkan pekerjaan menjadi asistennya. Karena malas mencari orang untuk menjadi kepercayaannya.

Joe tahu, Kevin tidak terlalu menyukai anak anak, apalagi dengan tingkah polah mereka.

Kevin pernah menghadiri acara pameran teknologi untuk sekolah dasar, di sana Kevin hanya berbicara sebentar untuk menjelaskan produk yang sedang dipamerkan itu, lalu pada sesi tanya jawab, dia hanya membatasi tiga pertanyaan, setelah itu dia pergi dengan alasan ada kegiatan lain, padahal sebenarnya dia tidak tahan dengan keriuhan yang dibuat oleh anak anak.

Joe memarkir mobil tepat di pintu masuk, Alice mengambil tas ranselnya yang ada di jok, lalu menaruh di punggungnya.

"Sampai jumpa lagi nanti, Pa. Terima kasih Om Joe, bye!" Alice membuka pintu, lalu melambaikan tangan pada Kevin dan Joe.

Joe melajukan kembali mobil, menuju ke kantor, setelah itu.

"Aku tak yakin dia putriku!" Ucap Kevin saat dalam perjalanan.

Joe hanya tersenyum mendengarnya.

"Bagaimana bisa, selama tujuh tahun, ibunya tidak mencariku untuk meminta pertanggungjawaban? Atau ibunya bukan wanita baik baik, yang sering gonta-ganti pasangan, sehingga dia pun tak yakin itu anakku. Lalu saat sedang mengalami kesulitan ekonomi, menyuruh anaknya untuk datang padaku." Gumam Kevin.

"Joe, apakah kamu ingat dengan wanita dalam foto itu?" Kevin menoleh ke arah Joe.

Joe yang sedang fokus menyetir hanya melirik saja.

"Marry?"

"Ya, mungkin itu namanya. Ibu dari Alice? Apa kamu mengingatnya?" Tanya Kevin lagi.

Joe menghela napas panjang, sambil berusaha mengingat kembali.

"Sepertinya itu foto diambil saat kamu berulang tahun ke-25. Saat itu kamu mengadakan pesta di villa milik keluargamu yang di tepi pantai itu. Banyak yang datang di sana. Teman teman kita, gadis gadis. Terutama usai keluargamu pulang, kita benar-benar party di sana. Banyak juga gadis gadis bayaran yang datang untuk menghibur kita saat itu." Joe mencoba mengingat kembali kejadian itu.

"Aku tak ingat dengan rupa dan wajah Marry saat di acaramu waktu itu. Namun, sepertinya aku pernah melihat wajah wanita itu." Lanjut Joe sambil menatap ke arah Kevin yang masih terlihat bingung.

"Lalu aku harus bagaimana?" Tanya Kevin pelan, sambil membalas tatapan Joe.

Joe hanya menaikkan bahunya, sambil terus fokus mengemudikan mobil.

*

Kevin bekerja seperti biasanya di kantornya. Dengan kesibukan meeting dan beberapa kerjasama dengan perusahaan, atau instansi pemerintahan, pendidikan, bahkan militer.

Usai meeting dia menghabiskan waktunya dengan duduk melamun di kursi kerjanya yang empuk, menatap gedung pencakar langit lain di depannya lewat jendela ruangannya, sambil memainkan pena.

"Marry? Tujuh tahun yang lalu saat ulang tahunku ke-25. Hmmm mengapa aku sama sekali tidak ingat? Apa aku terlalu banyak minum malam itu? Lalu dia bisa berfoto denganku, dan aku merangkulnya! Mengapa bisa bisanya aku tidak ingat? Arrgggh!!" Kevin meletakkan pena dan mengusap wajah dengan tangannya.

Kevin berdiri, mendekati jendela. Menatap ke arah luar, menerawang.

Cek lek!

"Bos!" Panggil Joe. Tak ada respon dari Kevin, yang masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil menatap ke arah luar.

"Bos! Kevin!" Kali ini Joe mengeraskan volume suaranya, dan sukses membuat Kevin tersadar.

"Oh, ya. Ada apa?" Tanya Kevin, lalu menatap Joe.

"Barusan ibumu menghubungi, mengajak makan siang bersama. Apakah bisa? Karena katanya dia telah menghubungimu, namun, tak ada respon sama sekali. Dia pikir kamu sedang sibuk. Makanya dia menghubungiku." Ucap Joe.

"Apa jadwalku siang ini?" Tanya Kevin.

Joe mengutak-atik tab yang dibawanya.

"Jam dua, meeting bersama perwakilan universitas Stanford untuk membahas beberapa penerapan teknologi di universitas itu." Ucap Joe menatap Kevin.

"Kamu bisa makan siang bersama keluarga, siang ini." Joe memberi saran.

Kevin menghela napas sejenak.

"Baiklah. Mari kita pergi makan siang!" Kevin mengambil jas yang ia letakkan pada kursi kerjanya, mengenakan, lalu mengambil ponselnya dan menatapnya.

Rupanya ada tiga panggilan tak terjawab dari ibunya.

Joe menyetir, membawa Kevin ke restoran yang berada di sebuah hotel milik keluarga Mars. Restoran berbintang, memiliki penghargaan sebagai restoran dengan pelayanan terbaik dan chef yang handal, dengan menu yang lezat. Pelanggannya adalah para pesohor, pejabat, sosialita, artis, dan kebanyakan orang kaya. Untuk hotelnya, merupakan hotel berbintang kelas dunia, dengan fasilitas yang bukan kaleng kaleng.

Vicky Mars, ibu Kevin tersenyum lebar saat melihat putranya datang menuju ke arah ruangan khusus yang memang hanya untuk keluarga. Bukan untuk tamu atau pelanggan restoran.

Vicky Mars menyambut kedatangan Kevin, memeluk dan mencium putranya dengan sayang.

"Apa kabarmu? Hampir sebulan kita tidak bertemu." Ucap Vicky, sambil menggandeng putranya, dan mengajaknya untuk masuk ke ruangan.

"Aku baik baik saja, Mam." Sahut Kevin sambil tersenyum.

Kevin memeluk Papanya, lalu dia memeluk kakak perempuan juga yang ikut makan siang bersama.

Joe mengambil tempat bersama keluarga Mars juga, setelah mereka semua duduk di meja makan.

"Mengapa kamu tidak menjawab panggilan Mama?" Tanya Vicky sambil menatap Kevin.

"Aku tidak tahu, Mama menghubungi. Ponselku aku letakkan di laci."

"Untung, mama menghubungi Joe. Kamu memang asisten yang baik." Puji Vicky. Joe tersenyum.

"Terima kasih, Nyonya." Sahut Joe, sambil mengangguk dengan hormat.

"Aku dengar perusahaanmu mendapat proyek besar dari beberapa perusahaan besar." Sela Tuan Morgan kemudian.

"Ya. Beberapa hasil pengembangan teknologi, untuk memudahkan pekerjaan pabrik, ternyata dilirik oleh perusahaan di negara berkembang. Bahkan beberapa negara yang membuka cabang di negara berkembang, akhirnya memboyong teknologi itu untuk dipasang di sana." Kevin mulai menceritakan tentang kesibukannya.

Tuan Morgan tersenyum dengan bangga menatap putranya.

"Apa kabarmu, Kak?" Tanya Kevin, menatap Emily, kakaknya.

"Emily ini juga hampir sama denganmu. Mulai susah dihubungi sekarang. Alasannya sama, sibuk! Jika tidak mama datang ke rumah sakit, mungkin dia tidak akan menjawab panggilan Mama." Sela Vicky sambil mendengus kesal, sebelum Emily menjawab pertanyaan Kevin.

"Mama ke rumah sakit?" Tanya Kevin heran.

"Papamu mengeluh sesak tadi pagi, makanya Mama langsung memeriksakan kondisi papa kalian ke rumah sakit. Untung bertemu dengan Emily, dan dia sedang tidak sibuk." Jawab Vicky.

"Papa jangan terlalu sibuk dan capek. Harus banyak istirahat." Ucap Emily sambil mengelus punggung tangan papanya.

"Kapan kalian berdua akan mengenalkan pasangan kalian pada Papa dan Mama?" Tanya Tuan Morgan tiba tiba, yang sontak membuat Emily dan Kevin hanya saling berpandangan.

"Uhuk..uhuk..!" Joe tersedak juga saat mendengar pertanyaan Tuan Morgan pada anak anaknya.

"Jika Joe sampai tersedak, pasti ada yang kalian sembunyikam dari kami!" Vicky menatap Joe, Kevin, dan Emily bergantian dengan tatapan penuh selidik.

"Joe tahu apa tentangku! Dia tidak bekerja denganku." Celetuk Emily.

Joe hanya mengangguk, setuju dengan Emily.

"Aku sibuk dengan proyek pekerjaan. Tak ada waktu untuk memikirkan perempuan." Sahut Kevin.

"Lalu Brenda?" Cecar Vicky.

Kevin terkekeh mendengar pertanyaan ibunya.

"Kami hanya bersenang-senang, Mam. Tak usah terlalu dipikirkan. Lagian Mama pasti tidak suka dengan kehidupan artis seperti Brenda." Sahut Kevin.

"Makanya, carilah pasangan yang baik. Jika artis atau model, cari yang tidak banyak sensasi. Kamu bisa gunakan teknologi yang kamu miliki untuk mencari tahu masa lalu setiap wanita untuk calon pasanganmu." Ujar Emily sambil bergurau pada Kevin.

"Nah..!" Kevin menatap kakaknya sambil menunjuk ke arah Emily.

"Teknologi untuk mencari tahu orang lain. Hampir mirip seperti data base yang ada di kepolisian dan militer. Menarik! Ide baru yang pasti bakal laris." Gumam Kevin.

Joe terkekeh mendengar Kevin. Lalu mereka sekeluarga ikut tertawa. Mereka menikmati makan siang dengan mengobrol penuh kehangatan.

Keluarga Mars adalah keluarga kaya, namun penuh dengan kehangatan. Mereka juga memiliki badan amal. Untuk di rumah sakit, mereka ada badan sosial, membantu anak anak dengan penyakit langka atau kanker yang tidak mampu.

Emily juga mempunyai rumah sakit khusus anak-anak untuk penyakit khusus. Dan laboratorium yang meneliti penyakit, proses penyembuhan, dan perawatan.

Hingga hampir pukul dua siang, Joe mengingatkan Kevin untuk segera kembali ke kantor, karena ada meeting.

Lalu mereka pun mengakhiri makan siang bersama mereka dan kembali ke aktivitas masing masing.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!