Tanjung adalah namanya. Dalam dunia bawah yang orang-orang permukaan kota tak mempedulikannya, Tanjung adalah salah satu pria paling ditakuti.
Usianya terbilang sangat muda, baru memasuki angka dua puluh lima tahun.
Kekayaan, kekuasaan, ketenaran di antara penjahat, Tanjung mendapati semuanya dengan kekerasan.
Prinsip hidupnya hanya satu: jika bukan ia yang jadi terkuat, maka lebih baik ia mati.
Malam ini, tuhan mengabulkan pilihan kedua dari prinsip itu.
Darah segar mengalir dari kepalanya begitu deras. Pandangan Tanjung memburam akibat darah yang masuk ke matanya.
Ia bernapas pendek-pendek, karena luka terparah kemungkinan berada di dadanya, pada tulang rusuknya yang patah.
Kata orang kematian akan membuatmu mengingat banyak kesalahan saat masih hidup. Napas Tanjung berembus berat dan satu per satu hal itu bermunculan. Ada berapa banyak orang yang dendam padanya?
Orang yang hancur karena tangannya, bahkan mengemis ampun agar tak terluka namun Tanjung menginjaknya. Atau mungkin, orang-orang yang berharap Tanjung menolong mereka tapi ia membuangnya.
Semua itu terlintas.
Ketika segala sesuatu mulai terasa lepas, dan Tanjung yakin ia tak akan melihat hari esok, samar-samar telinganya menangkap suara.
Tapi Tanjung sudah terlanjur tak mampu.
Menutup matanya, menerima kematian dengan banyak penyesalan sebagai manusia.
...*...
"Sori yah, Ri, gue mesti ngingetin. Batas waktunya tiga hari," ucap Ayudia.
Suri mengulas senyum mengerti walau agak terpaksa.
Barusan, Ayudia yang merupakan 'temannya' menagih bayaran bulanan pada Suri.
Bukan sebuah hutang besar sebenarnya. Ayudia meminjamkannya beberapa barang kebutuhan bulanan sebagai manusia, lalu Suri jelas berkewajiban membayar setiap awal bulan.
Tapi, hal kecil bisa jadi besar tergantung situasi. Di telinga Suri, hari-hari di mana ia harus mendengar tagihan seperti ini serasa menyakitkan dan memuakkam.
Tidak ada yang tidak lelah hidup kesusahan, kan? Suri pun sama.
"Iya," jawabnya kemudian. "Besok gue bawain uangnya. Makasih yah, Mbak, udah ngingetin."
"Iya, sama-sama. Hati-hati pulangnya."
Mengangguk singkat atas hal itu, Suri pun mengambil tasnya untuk pulang. Dilirik jam tangan di pergelangannya, menyadari kalau sekarang sudah masuk pukul satu malam.
Suri kadang suka bangga pada diri sendiri. Ia bekerja sampai pukul satu malam, mungkin sekitar dua tahun terakhir, uang tabungannya tidak pernah bertambah.
Suri tidak pernah menganggap dirinya ini orang miskin, tapi ia juga tidak bisa menganggap dirinya orang kaya. Hidup sendirian di kota, tak punya sandaran baik ayah, ibu atau saudara.
Kepala Suri dipenuhi pikiran tentang uang. Ia benci uang. Membuat segalanya sulit dan menyebalkan. Memaksa Suri mencarinya padahal dia tidak pernah tinggal. Menjadi sesuatu yang seakan-akan Suri tidak bisa hidup kalau dia tidak ada.
"Hufh." Suri cuma bisa menghela napas.
Di antara pikiran bercabang itu, Suri melewati gang-gang sepi menuju apartemen kecilnya. Baru saja Suri akan berbelok, tiba-tiba terdengar suara seseorang terbatuk, lalu mengerang.
Spontan saja Suri mengarahkan senter ponsel ke sumber suara. Tercengang menemukan seorang pria berbaju putih setengah berbaring dengan punggung bersandar ke tembok, penuh darah dan luka.
Baju putih yang dia pakai bahkan memerah akibat darahnya.
"Hei!" Suri mendekati orang itu panik. Nyaris muntah akibat bau amis darah di seluruh tubuhnya, dan takut orang ini malah meninggal. "Mas! Halo, Mas?! Hei!"
Suri menepuk-nepuk pipinya, dia tetap tak sadarkan diri.
Terlintas di benak Suri menghubungi polisi, karena jelas ini kasus besar. Tapi Suri mengurungkan niatnya.
Suri benci polisi.
Maka daripada menelepon polisi, Suri menelepon seseorang yang ia rasa bisa membantu.
*
"Gimana kondisinya?" Suri datang membawakan pakaian ketika pria asing itu diperiksa oleh dokter ilegal kenalannya.
Suri tak mau harus berurusan dengan polisi jika membawa orang ini ke rumah sakit, karena sekali lagi, ia benci berurusan dengan polisi.
Jadi Suri harus mengandalkan salah satu dokter kenalannya, seorang dokter yang tidak memiliki lisensi tapi sudah sering mengobati orang-orang terutama dengan kasus gelap.
Dengan begitu, Suri setidaknya bisa terhindar dari masalah panjang.
"Kalau harus satu kata; sekarat."
Pria yang dipanggil Dokter Moris itu tampak menyiapkan hal-hal yang tidak Suri mengerti.
"Golongan darah kamu A, kan? Kita transfusi sekarang," cetus Dokter Moris seenaknya.
"Hah?" Suri cengo.
"Kamu kan liat sendiri baju putihnya jadi merah karena darah. Kamu mau masukin air ke dalam buat ngisi darahnya? Kalau enggak transfusi sekarang, dia bisa mati."
Lah, lah, lah. Kenapa jadi begitu?
Suri menatap pria sekarat yang berada di kasurnya itu, lalu pada peralatan Dokter Moris.
Wajah Suri pucat. Oke, mungkin bukan waku yang tepat berkata begini tapi ... Suri takut jarum suntik.
Jangan menghinanya! Jarum suntik memang menakutkan! Apa kalian tidak membayangkan saat jarum besar itu menusuk ke kulit, lalu mungkin menyentuh urat kalian atau mengetuk tulang kalian?
Itu menakutkan.
Tidak mau, tidak mau, tidak mau. Suri tidak mau disuntik!
"Suri." Dokter Moris mendesak, seakan-akan nyawa orang itu lebih penting daripada Suri yang merasa bisa mati karena ngeri.
"Oke, oke. Fine!"
Tapi Suri tidak mau jiwanya terbebani jadi penyebab orang lain mati. Walau bukan ia yang menghajar orang ini, Suri tetap akan salah karena tidak mau membagi darah.
Kenapa dari semua tempat harus Suri yang menemukan dia di sekitar sini? Coba dia sekarat di dekat rumah sakit, Suri jadi tidak harus repot.
Gadis itu pun berbaring di tempat yang diarahkan Dokter Moris, memasang headphone di kepalanya agar bisa teralihkan.
Disuntik sih tidak sakit, tapi secara mental menakutkan.
"Suri, jangan gerak-gerak." Dokter Moris memperingati ketika Suri terus menarik-narik tangannya, tak mau.
"Butuh persiapan mental, Dok, elah." Suri mengepal tangannya lalu melemaskan.
Waktu tangan Dokter Moris memegang Suri, ia mengepal tangan lagi.
"Suri."
"Iya, iya. Ini udah siap."
Suri berusaha tidak menangis terisak. Kenapa pula dirinya harus melakukan ini demi orang asing?
"Dok, jangan kena tulang, yah. Jangan kerasa juga."
"Kamu mau saya suntik pelan-pelan atau saya langsung tusuk sampe ke tulang?"
Suri menoleh horor. "Jahat banget, sih!"
"Makanya diem."
Secara terpaksa Suri tenang.
Tanpa sadar, Suri justru tertidur. Entah berapa lama dirinya terpejam, yang jelas Suri tersadar saat Dokter Moris mengguncang lengannya, pamit ingin pergi.
"Kondisinya sudah mulai stabil. Sisanya tinggal luka dalam. Untuk sementara dia enggak boleh bangun. Sama infusnya, kamu bisa ganti sendiri, kan?"
Suri mengangguk pelan. Yang lebih penting .... "Anu, bayarannya—"
"Saya nemu ini." Dokter Moris mengeluarkan dompet. "Biaya penangannya saya ambil. Masih ada sisa di sana. Kamu pake beli infus kalau habis."
Meninggalkan Suri yang kebingungan, Dokter Moris pergi begitu saja.
Jelas Suri bertanya-tanya, dan bermaksud mencari identitas pria ini lewat dompetnya. Namun yang ada di dompet itu ternyata hanya uang, tanpa adanya kartu apa pun, atau surat-surat yang bisa menunjukkan nama.
Siapa pria ini?
*
Tanjung tak menyangka ia masih hidup setelah merasa akan mati.
Seluruh tubuhnya mati rasa, bau darah menyengat di sekitarnya telah hilang, digantikan dengan bau antiseptik.
Rumah sakit? Tidak. Bukan rumah sakit. Ini—
"Sudah sadar?"
Tanjung spontan menoleh, meraih kasar leher seorang pria yang mendekat padanya. "Lo siapa?" tanyanya penuh antisipasi.
"Tenanglah. Ini saya, Dokter Moris." Pria itu terlihat tegang karena lilitan lengan Tanjung di lehernya. "Dokter Moris. Saya pernah ngobatin kamu."
Dokter Moris?
Berkat hal itu, Tanjung melepaskan leher Dokter Moris. Membuat dia langsung menghela napas lega.
"Perempuan yang nyelametin kamu dan nelepon saya," jelas dokter itu.
"Siapa?"
"Bukan seseorang yang mengancam."
Dokter Moris menunjuk seorang perempuan tengah berbaring di tempat tidur lipat dekat ranjang ia berbaring.
"Namanya Suri. Dia kebetulan ngeliat kamu, tapi dia punya masalah pribadi sama polisi, jadi dia enggak mau bawa kamu ke rumah sakit. Omong-omong, dia juga mendonorkan darah buat kamu."
Kenapa seseorang mau melakukan hal seperti itu?
"Tanjung." Dokter Moris memanggilnya. "Kamu butuh bantuan saya pergi dari sini?"
Pandangan Tanjung tertuju pada perempuan itu lagi, berpikir banyak hal di kepalanya.
"Kondisimu sangat buruk. Saya bahkan enggak percaya saya lagi bicara sama kamu sekarang."
Tanjung menutup matanya lagi. "Jangan ngomong apa-apa."
Itu adalah isyarat tidak usah memberitahu siapa pun, entah gadis itu, atau seseorang yang mungkin akan mencari Tanjung nantinya.
Fisiknya lelah, mentalnya lelah. Tanjung hanya ingin beristirahat untuk sekarang.
"Baik. Saya enggak akan terlibat. Akan saya anggap pertemuan ini enggak pernah terjadi."
Itu lebih baik.
...*...
Seseorang pernah berkata pada Suri, menolong orang lain itu pekerjaan yang tidak mudah.
Nyatanya benar.
Pagi-pagi ia bangun, mandi dan bersiap untuk kerja, Suri merasa berat harus pergi ketika ada orang asing berbaring di kasurnya.
Berbagai pertanyaan muncul di kepala Suri. Kenapa ia harus tidur di kasur cadangan karena orang ini? Kenapa ia harus merawat dia padahal mereka tidak kenal? Kenapa Suri harus melakukannya?
Tapi pada akhirnya Suri kalah oleh rasa kemanusiaan.
Tatapan Suri sempat tersita oleh dompet pria itu. Uangnya banyak. Padahal sudah diambil sebagian oleh Dokter Moris, dompetnya masih tebal.
Kalau Suri ambil sebagai biaya perawatan, seharusnya tidak masalah.
Sayangnya Suri tidak melakukan, ingat pesan seseorang.
Dia bilang kalau mencuri, nanti kita juga akan dicuri.
Maka Suri berangkat kerja seperti biasa.
Pertama, mampir ke toko hewan untuk bekerja sebagai tukang bersih-bersih, lalu siangnya menuju kafe tempat ia menjadi salah satu pelayan sampai sore. Malamnya Suri menuju tempat Ayudia, membayar kewajiban sekaligus menemani dia membuat kue.
Ayudia adalah pembuat kue pesanan untuk ulang tahun juga pernikahan. Atau lebih tepatnya, dia desainer kue sementara Suri bertugas membuat adonannya untuk dipanggang.
"Lo enggak istirahat dulu, Ri? Mau langsung pulang?"
"Iya, nih." Suri mengikat tali sepatunya buru-buru. "Ada urusan. Duluan, Yu."
"Eh, enggak ngambil barang dulu?"
"Besok aja."
Suri menatap jamnya berulang kali, tak sadar sekarang sudah pukul setengah dua. Niatnya mau pulang cepat, kenapa malah jadi lebih lambat?
Tempat Ayudia dan apartemen Suri berjarak dekat, jadi bisa dicapai dengan berjalan kaki. Tapi seharian ini Suri capek, tadi hanya makan roti dan minuman kaleng manis, plus ia berlari karena khawatir dirampok.
Apa boleh buat, kan? Segala sesuatu bisa terjadi di kota ini.
Tapi untungnya saat membuka pintu, manusia yang ia tolong masih berada di tempat sama, berada di posisi yang sama pula.
Cuma, Suri harus buru-buru mengganti infusnya yang sekarat juga, sebelum akhirnya bisa tepar di lantai.
Siialan. Suri berusaha mengatur napas dan terpejam risi. Ia lapar. Gatal. Gerah. Intinya capek.
Kenapa pula gue nolongin orang, yah? Perasaan waktu sekolah gue enggak ngambil kelas belajar menolong sesama manusia enggak dikenal.
Memang rada gila dirinya ini. Sudah susah, malah tambah menyusahkan dirinya sendiri.
Sambil mendumel di hatinya, Suri pun terlelap capek.
Tak memerhatikan mata seseorang yang kedepannya akan merusak hari-hari damai Suri.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!