NovelToon NovelToon

The Kampret Society

Sekte Biri-Biri

........................................................................................................................................................................................

S3KT3 B1R1-B1R1

Aslan:  Ini harus banget, ya?

Geri:  Apaan?

Vino:  Adapakah gerangan dengan Kakanda?

Rigel: Si Bule mau ngasih announcement katanya.

Altair:  Dih, sok british.

Rigel:  GUE SANTET YA LU! JULID BANGET HERAN!

Geri:  Apa ini?

Vino: Apaan?

Altair:  Gajelas banget hidup lo pada.

Geri:  Yo! Ketua! Lu minta gue sleding?!

Vino:  Gue udah ancanh2 ngirim santet.

Altair:  Yah, typo. Gagal keren.

Rigel:  Lu ada masalah hidup apa sih Al?

Aslan:  Inilah yang bikin gue males sama kalian. Pada suka ngelantur semua.

Altair:  Lebih ngelantur hidup lo kali, gajelas.

Rigel: Al.... Aslan otw ke atas bawa tongkat bisbol.

Geri: Anjir, ngajak war dia.

Altair: Pintu gue kunci.

Vino: Dan kuncinya udah gue duplikasi.

Geri:  Nyumbang ngakak aja sih gue.

"Aslan kesini."

Bukan pertanyaan. Itu adalah pernyataan yang terlontar dari salah satu anggota grup S3KT3 B1R1-B1R1 yang hanya menyimak bacotan teman-temannya dalam grup chat sedari tadi. Dia Juna, yang kini duduk di pojok ruangan  berbentuk kamar itu. Tepatnya pada kusen jendela yang terbuka menampakkan pemandangan langit malam di luar sana.

Sementara Altair duduk dengan santai dan tak lagi mengikuti perkembangan di grup chat mereka. Posisinya dia duduk lesehan di lantai dengan satu cup es krim yang isinya sudah kandas sedari tadi.

"Kenzo mana?"

Bukannya mencemaskan serangan dadakan Aslan yang segera akan datang, Altair justru mengalihkan topik. Ia malah menanyakan keberadaan satu lagi anggota grup mereka yang tak terlihat sedari tadi. Biasanya anak satu itu, Kenzo, paling lengket dengan Juna. Jadi Altair berasumsi kalau Juna pasti tau keberadaan anak itu.

"Acara keluarga," balas Juna singkat dengan mata hanya terfokus pada ponsel di genggamnya.

Mendapati balasan singkat dari Juna, Altair jadi malas bicara lagi. Ia memilih mencari kegiatan untuk mengatasi kebosanan dengan mengutak-atik ponsel lagi. Tapi begitu teringat sesuatu, ia pun kembali mengetikkan sesuatu di grup chat dengan  teman-temannya.

Vino:  Gila sih, baru juga di kasih hidup secuil udah 'iya-iya' aja kerjaannya.

Geri: Kayak lo enggak aja.

Rigel: Ntah. Dasar BIANG ZINNAH!

Vino: PITNAH YE ANJENG! GUE GAK GITU!

Altair melengos malas menyadari topik pembicaraan mereka yang sudah berubah saja. Dia mau mengetik pun jadi ragu karena chat yang terus-terusan masuk dan bikin matanya salfok hingga jadi lupa mau ngetik apa.

"Kok kayak ada yang kurang ya, Jun?"

Altair menggaruk pelipisnya padahal tidak gatal. Ia bingung. Meski teman-temannya heboh di grup chat, tapi kok kayak sepi?! Apa yang salah?

"Kenzo."

Sebelah alis Altair terangkat, lantas kemudian ia manggut-manggut, "Oh, iya, Kenzo kan gak nimbrung kan ya? Biasanya tuh anak bakal heboh juga."

Tapi Altair masih belum bisa tenang. Kayak ada yang ngeganjal gitu. Sebagai ketua di circle ini, kadang Altair itu berasa bapak-bapak yang kebanyakan anak. Pusing ngapalin nama temen-temennya, kadang suka kelupaan salah satu. Padahal, mah, angota S3KT3 B1R1-B1R1 itu cuma 8 orang termasuk dirinya sebagai pimpinan.

"Oh, iya!"

Altair teringat sesuatu, lantas mengetik dengan  cepat di ponselnya.

Geri: Trus kan si bangsat pake segala modusin cewek gue!

Rigel: Lu kurang gercep, sih.

Geri: Ya kan gue juga gak mau terlalu ngekang dia.

Vino: Kalau terlalu lu biarin juga ntar ujung-ujungnya jadi sadboy diem-diem.

Rigel: Tau, mending terus terang ajalah.

Geri: Baru pacaran doang udah ngatur-ngatur. Yang ada dia gak nyaman entar.

Vino: Yaudah lu kawinin aja sih, repot amat.

Rigel: Nikah dulu yang sah sobat. Prosedurnya gitu.

Vino: Sama aja kali.

Geri: Beda lah guoblok!

Tuh kan! Mereka ngelantur lagi. Altair mau ngetik jadi ragu juga karena ikut keasikan dengan sesi curhat Geri. Tapi mengingat waktu yang semakin berlalu dan Aslan tak kunjung datang melabrak dirinya ia jadi penasaran anak itu nyasar dimana. Padahal posisi mereka hanya di pisah oleh tangga antara lantai satu dan lantai dua saja. Beberapa detikan paling juga nyampe. Kok ini sudah ber menit-menit belum juga kelihatan hilalnya?

Geri: Gue kasih tips nih ya.

Geri: Biar hubungan awet itu, kunci utamanya ya yang gue bilang tadi.

Altair: Aslan mana?

Rigel: Ah, ganggu lo. Gue udah serius nyimak ini.

Altair: Lo dengan serius itu...

Altair: Ibaratkan lo sama Spica.

Altair: Putus hubungan.

Altair: Cause, gak cocok.

Rigel: Anj.

Rigel: Nyusulin Aslan lah gue.

Rigel: GUE GEBUK LU SAMPE MAMPUS BABI!!

Aslan: Skip. Gue lagi berak.

Altair: Pantesan gak nongol.

Altair: Gue tungguin padahal.

Aslan: Sembelit nih asu!

Vino: Dih, gak usah diproklamirkan juga kale.

Rigel: Mundur alon-alon deh gue. Gak ada kawan.

Vino: Cep lagi masak mie, nih. Pada mau kagak?

Ares: Sorry yaw, gak ada niat bakti sosial. Kalau mau bikin ndiri.

Aslan: Nitip laahhh.... Bantu kawan bra

Geri: Anjir.

Aslan: Typo sat!

Ares: Jauh banget itu letaknya O sama A.

Aslan: Keyboard gue lagi renovasi.

Vino: Otak lo aja yang nyeleneh, pake alasan typo segala.

Altair: Gue udah kepikiran ini dari tadi.

Rigel: Kayak bisa mikir aja.

Altair: Pantas rasa rasanya ada yang kurang.

Altair: Rupa-rupanya itu lo @Ares.

Altair: Capek gue ngitung-ngitungin.

Altair: Anggota ada 8,pas di itung cuma 7.

Altair: Oh ya, @Rigel gue racun ya lo nanti.

Altair meletakkan ponselnya saat melihat Juna beranjak dari tempat semula.

"Mau kemana lo?"

"Makan."

"Itu jendela tutup dulu!"

"Itu gunanya elo."

"Bangsat sia!"

👎👎👎👎👎

Hello gaes,  setelah sempat hilang dari peredaran akhirnya saya putuskan untuk publish work ini lagi.

Drafnya juga udah numpuk soalnya, dan greget banget kalo disimpen sendirian.

So, selamat menikmati

Castnya menyusul wkwk

Cast dan Mereka Sesepuhnya

Allooooo

Terimakasih sudah mampir ke lapak saya, moga betah dan suka.

And sesuai judul, berikut potret para kampret kesayangan saya di work ini yang semoga menjadi kesayangan kalian juga.

1. Altair

si leader yang hobinya makan dan sedikit------sedikiiiiiiiiiiittttt------suka game karena bisa bikin dia punya alasan untuk menggabut.

2.Kenaslan Giovandra

tampilannya memang alim. dari sononya juga dia aslinya memang anak baik-baik. tapi karena salah peragaulan yah.. makanya jadi produk gagal. percaya atau nggak, dia adalah biang zinnnah sesungguhnya di sekte alih-alih Vino. dan taukah kalian kalau Aslan itu merupakan manusia perusak suasan numbero uno?

3.Rigel Arcturus

ini nih manusia kampret yang meracuni Aslan si anak mama. Tapi dulunya Rigel juga gak nyangka kalau Aslan bisa lebih kampret darinya. Rigel ini dulu orangnya blangsak banget. Tapi setelah dihadiahi bogem penuh cinta dari Altair dia berbalik jadi babu Altair dan Aslan. Tau gitu ogah banget Rigel gangguin meeka dulu.

4.Regian Antares

Ares ini bisa dibilang tipe sadboy sih. tapi gak segitunya juga, dia gak segalau itu kok. cuman ya itu, memang sial aja dia malah naksir sama pacar temennya sendiri. kasian, mana masii muda. oh ya, gitu-gitu Ares ini pintar masak loh. soalnya cita-cita Ares kecil itu masakin mama jani setiap hari seumur hidupnya. soalnya kasian, mama jani cuman bisa bikin telor ceplok.

5.Geri Argata Mulkan

widih! dari namanya keren nih. tapi jangan tertipu, Geri tidak seperti yang kalian hayalkan. dia bukan cowok badboy tajir melintir yang tunggangannya saban hari kuda besi yang bunyi knalpotnya brum brum atau pun lamborghini dan sekelasnya. dia cuman manusia biasa, yang kalau tiap pulang sekolah kerjaannya ngebabu dirumah dan menyumpal lambung adik ciliknya dengan semangkok mi rebus penuh micin. tapi gitu gitu, Sera cinta mati loh sama makhluk tuhan yang satu ini.

6.Arjuna Maheswara

dia ini manusia classy yang paling gercep soal kocheng, nyebat, dan satu lagi yang gak ketinggalan adalah Karin. kalau rokok bisa Juna turunkan peringkatnya untuk sang pacar tercinta, tapi kalau untuk kucing terlebih Queen (majikan kesayaangan Juna, anggora putih yang berhawa bangsawan) jangan harap ada yang bisa menukar urutan prioritas Juna terhadapnya.

7.Kenzo Alviano

si pewaris keluarga Alviano yang tajir melintir ini nyatanya tidak setajir itu pemirsah. adik angkat Juna tersebut dikabarkan kerap mengalami krisis moneter lantaran nilainya yang bablas melulu dan berakibat uang jajannya disetrap. tapi mau gimana lagi, orang udah goblok dari lahir, mau dipaksa begimanapun ya tetap aja begitu hasilnya, begitu pikir Kenzo. kasian, mana bukan anak tunggal kaya raya.

8.Alvino Gerrant Wijaya

*tahukah kalian wahai human siapa nak Alvino ini? dia adalah si bontot sekte sekaligus bungsu dari tiga bersaudara. orang bilang Vino itu playboy , bngsat sejati yang berkelana hati ke hati. tapi tau gak sih kalau sebenernya Vino itu cuman manusia yang ternistakan oleh moncong julid para manusia jahanam. asal kalian tau nih bocah bahkan gak punya riawayat asmara sepanjang dia hidup**

...............................................................................................................

Mereka Sesepuhnya

_________________

"Gue udah negatif jangan lo positifin lagi, deh!"

Aslan mengangguk syahdu, "Emang iya, sih. Pengaruh buruk lo emang, gak ada baiknya."

Rigel sepet melihat pose Aslan yang setengah berbaring di sofa dengan memeluk toples berisi camilan keripik kentang. Ia yang berbaring di atas lantai dengan penuh kedengkian menendang Aslan dengan tumitnya.

"Mati lo!"

Tak puas begitu saja, Rigel juga mengambil bantal membekap wajah Aslan dan merebut keripik lelaki itu.

"WEH SIALAN!"

"KEN!"

Tepat sebelum Aslan meluncurkan serangan balasan, terdengar teriakan dari arah dapur. Disusul dengan kemunculan seorang wanita tua yang memegang kentang dan pisau di masing-masing tangannya.

"Bahasanya, Ken...."

Ken itu adalah panggilan kesayangan dari Oma untuk Aslan. Dan sesuai dugaan, mereka; tepatnya Rigel, Aslan dan Altair kini tengah berada di rumah Aslan yang ditinggali hanya oleh mereka berdua. Padahal rumah ini megah sekali bak istana, tapi penghuninya hanya terdiri dari wanita tua itu dengan cucunya.

"Kenapa Oma?" Aslan mengerjap dengan tampang tak bersalah. Lalu dengan  curang ia tersenyum manis dengan  mata yang melengkung bak bulan sabit. Jelas Oma tidak jadi mengomel, dia hanya menghela nafas sejenak lalu kembali ke dapur lagi.

"Aaa.... Oma gak adil, kemaren aja aku diomelin," protes Rigel tapi tak digubris oleh wanita tua itu.

Aslan menaik turunkan alisnya memanasi, "Setiap makhluk hidup berhak mendapat keadilan bro. Lah lu bentukan begini golongan mana yak?"

Baru saja Rigel berniat membalas dengan lebih pedas, keluhan Altair justru terdengar. Lelaki itu berkutik dengan laptop Aslan yang dipinjamnya. Tampak moodnya tak terlalu baik, terbukti dengan decakan serta kening yang berkerut.

Rigel penasaran, ingin mengintip layar laptop. Tapi belum juga tampak bayangan apa-apa ia sudah ditabok.

"Resek!"

"Gue yang harusnya ngomong gitu ye anjing!"

Rigel tidak terima Altair memukulnya terlebih ujung jari Altair mengenai matanya, perih. Sedang Aslan tertawa senang, ingin mengintip juga karena pemasaran tapi Altair sudah keburu mematikan laptopnya.

"Heh mau kemana???"

"Vela."

Altair ini memang aneh. Sebagai Leader dari S3KT3 B1R1-B1R1 dia terlalu sulit ditebak. Kadang ngeselin, kadang dingin. Sifatnya berubah-ubah dengan  pola dan sebab yang tak jelas.

Tapi bodo amat dengan itu. Rigel tidak peduli. Yang ia pedulikan di detik pertama Altair menyebut nama Vela adalah ia harus mengikuti sohibnya itu. Karena, jika ada Vela maka 99,9999% pasti ada Spica, cewek yang kalo kata Altair sudah putus hubungan dengan Rigel.

"Buru nyet, lo musti ikut!" Rigel menarik paksa Aslan yang tidur malas-malasan di sofa, tampak tak berminat. "OMA KITA PERGI DULU YAAA!"

Aslan berjalan gontai, "Kenapa gue harus ikut kalian membucin? Ngapain coba?!"

"Karena kita bertiga sesepuh sekte," Rigel menjawab asal sambil membukakan pintu belakang mobil menyuruh Aslan masuk. Sudah seperti bodyguard saja lagaknya.

Aslan mengernyit, bergeming di depan pintu mobil yang terbuka, "Apa hubungannya coba?"

"Kalo misal Altair berubah edan pas nyetir, kami mati lo juga harus ikut mati!"

TIN! TIN!

DUGH!

"******!"

👎👎👎👎👎👎

Sinar matahari sedang redup-redupnya hari ini. Baru juga jam empat sore tapi gelagatnya sudah seperti suasana senja saja. Langit mendung dan suram, sesuram wajah Altair yang duduk dengan penuh hawa gelap di balik kemudi.

"Hah! Omegat!" Rigel berseru dramatis dengan tangan menutup mulutnya yang terbuka lebar, persis banci di perempatan lampu merah. Tapi tatapan matanya tidak sesyok itu. Justru lebih terlihat nyeleneh dan mengejek.

"Duhai Kakanda, siapakah gerangan yang bersama Kakak Ipar? Apakah ini pertan-mph!"

Rigel melepeh keluar tisu yang disumpalkan Aslan ke mulutnya. Niatnya mau protes tapi mendapati jidat Aslan memerah serta aura mematikan yang dikeluarkannya, Rigel jadi menciut. Untung saja Aslan duduk sendirian di jok belakang. Kalau Rigel ikut duduk disana bersamanya, sudah dipastikan mereka akan baku hantam sepanjang perjalanan.

Semua berawal ketika Altair menekan klakson dengan tidak sabaran membuat Rigel reflek mendorong paksa Aslan untuk masuk ke mobil. Dan... tentu sudah bisa ditebak bagaimana endingnya.

"Pokoknya kemusuhan gue sama lo! Benjol nih anying!"

Tidak peduli teman-temannya yang cekcok, Altair keluar dari mobil. Kaki jenjangnya melangkah pasti dengan pandangan datar. Mulai dari dirinya yang menyeberangi jalan saja sudah menarik perhatian orang sekitar, terutama para kaum hawa. Sampai kemudian ia mendudukkan dirinya pada bangku yang disediakan di salah satu warung disana.

"Anjir udah teleportasi aja tuh orang!"

Rigel tidak mau ketinggalan. Ia menyusul Altair, bergabung di tempat yang sama. Tidak peduli meski kedua gadis yang menghuni meja itu tidak menyambut ramah kehadiran mereka.

Aslan yang ditinggal sendirian mau tak mau ikut menyusul. Meski akhirnya ia hanya bisa berdiri canggung karena tidak kebagian tempat duduk.

"Liat situasi. Pergi."

Yang ngomongnya suka sepotong-sepotong ngikut-ngikutin Juna itu adalah Altair. Wajahnya kusut sekali. Menatap tidak bersahabat pada seorang cowok di hadapannya. Masih tidak ada pergerakan ia lalu menoleh ke samping pada Vela yang makan dengan tenang seolah tak yang terjadi.

Kerutan di kening Altair bertambah berkali-kali lipat saat ia melihat Vela yang makan mie dengan belepotan.

"Lo pilih!"

Vela menatap acuh sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangan, "Apa?"

"Disini. Atau ikut gue."

Tidak ada nada bertanya. Sepertinya Altair sudah menetukan jawaban mutlak yang harus Vela ucapkan. Tapi, gadis itu sengaja mengulur-ulur dengan pura-pura berfikir.

Sedang tempat duduk Rigel kini sudah diduduki oleh Aslan, karena Rigel sudah kabur mengejar Sang Mantan yang mendadak sakit mata melihat kedatangannya.

"Sori bro, tapi dia gak akan pergi sama lo. Mending lo aja yang cabut."

Cowok asing di depan Altair yang menyahut. Tapi Altair tidak menggubris dan hanya terfokus pada Vela. Sampai kemudian cewek itu menjawab dengan enteng.

"Bener juga kata Gilang," ujarnya dengan  ekspresi seolah baru mengingat sesuatu yang sangat penting. Ia kemudian tersenyum manis, "Lo balik aja, gih! Gue masih mau disini."

Altair meradang mendengarnya. Lain dengan Aslan yang menopang dagu dengan malas. Ia heran dengan Vela ini, selalu saja memancing amarah Altair padahal sangat tau kalau Altair itu orangnya emosian.

"Gue gak suka. Ayo pergi!"

Dengan santai Vela mengangguk, "Ogah!"

"Harusnya kepala lo ngegeleng kalo itu jawabannya."

Suara itu mengalihkan atensi Aslan. Seorang cewek dengan setelan serba abu-abu baru saja datang dan menduduki tempat yang semula diduduki Spica. Fokus Aslan terpaku pada sosok itu, meski telinganya masih juga mendegar suara kekehan Vela dan decakan sebal Altair.

"Lo masih gak pergi juga bahkan setelah diusir cowok gue?" Sarkas Vela pada lelaki bernama Gilang itu.

Gilang tampak salah tingkah. Meski masih dengan raut arogan tapi ia tidak bisa membalas apa-apa akibat rasa malu setelah berlagak di depan cowok orang. Sial! Mana dia tau kalau ternyata Vela sudah ada pawangnya. Lantas dengan sendirinya dia membawa diri untuk mundur dari sana.

"Jangan dipelototin gitu amat! Ntar lu belok kan gak lucu," tutur Vela dengan satu tangan menangkup rahang Altair dan mengarahkan wajah suram lelaki itu padanya.

"Penolakan lo juga gak lucu!"

Untuk kesekian kali, Vela lupa lagi kalau Altair itu cowok yang pendendam.

👎👎👎👎👎👎

Spica menghentakkan kakinya kuat-kuat karena kesal, "Kita udah selese ya anjing!"

"Yang selesai kan kita, bukan Rigel dan Spica," balas Rigel nyeleneh sambil terus bergerak ke kiri dan kanan menghambat langkah Spica.

"Ngeyel banget sih jadi orang!"

Spica menyerah. Ia capek terus-terusan menghindar tapi ujung-ujungnya juga ketangkap oleh Rigel. Kini dia berkacak pinggang, menatap lamat-lamat dengan wajah kusut lelaki yang pernah menjadi kekasihnya itu.

"Mau lo tuh apa sih?!"

Pertanyaan yang klise memang. Tapi hal itu sudah sepantasnya Spica pertanyakan disini. Dia sudah susah payah untuk tak lagi terjebak di zona yang sama. Dia sudah melangkahkan kaki untuk keluar. Tapi sialnya, Rigel justru terus menghalangi langkahnya untuk meninggalkan semua tentang mereka.

"Gue kan udah bilang, meski udah putus pun, gue mau kita putus baik-baik. Gak musuhan begini!"

Spica kesal. Lantas tanpa aba-aba ia menendang tulang kering Rigel sampai cowok itu mengaduh kesakitan terbungkuk-bungkuk memegangi kakinya.

"Dan seharusnya lo juga ingat," Spica menjeda ucapannya sambil mengambil sebuah kerikil di jalan ia melanjutkan, "... kata 'putus' dan 'baik-baik' gak seharusnya lo gabungin dalam satu frasa!"

Lalu sekuat tenaga dilemparnya kerikil kecil itu ke muka Rigel dengan penuh dendam.

"MATI LO BAJING!"

Sakitnya sih tidak seberapa, tapi bagai ada kekuatan mistis Rigel dibuat jatuh terduduk olehnya. Cowok itu hanya bisa berwajah pasrah melihat langkah lebar Spica yang begitu tergesa menjauh darinya.

"Kurang digebuk lo kayaknya."

Rigel menoleh, mendapati Ares dan Geri yang datang menenteng sebuah gitar. Ia tertawa hambar sambil mengelus bekas lemparan Spica di keningnya.

"Iya nih, kurang."

Geri mendengar itu hanya bisa ikut tertawa saja. Menertawakan kebodohan temannya yang satu itu. Wajar jika Spica sampai sebenci itu padanya.

"Lo yang mutusin, lo juga yang gamon. Sinting!"

👎👎👎👎👎👎

Ini.... Entah Aslan sedang simulasi jadi penguntit atau memang sudah benar-benar jadi penguntit. Yang jelas penampilannya sok misterius dengan sebuah topi hitam di kepala. Gerakannya mencurigakan. Berjalan sebentar, lalu berhenti. Berjalan lagi, lalu tiba-tiba sembunyi.

Kemudian langkahnya memasuki sebuah gang yang tampak sempit dan lengang. Aura di sana juga terasa lebih mencekam lantaran sore yang hampir bersinggah di pelabuhan senja.

"To the point aja deh. Lo ada perlu sama gue?"

Aslan belum sempat berfikir apalagi menghindar saat orang yang berjalan di depannya berbalik dan dengan gerakan cepat mencengkram kerah bajunya.

Tampilannya kasual. Dengan nuansa abu-abu dari atas ke bawah. Rambutnya dipotong sebahu dengan warna karamel yang tampak pas. Kulitnya tidak terlalu putih, namun tampak cerah dan enak di pandang. Lalu bola matanya juga, berwarna coklat seperti orang kebanyakan namun terlihat lebih terang dengan daya tarik yang memabukkan.

Sebut saja dia Liora. Salah satu dari tiga serangkai, sahabat karib Vela dan Spica. Niatnya hari ini ingin bersenang-senang dengan teman-temannya, namun begitu datang semua sudah bubar. Vela juga pergi bersama Altair beberapa saat setelah kedatangannya tadi. Lalu tinggal dia dengan pria penguntit yang sudah ia tangkap basah ini.

Gerimis turun secara samar, menyelamatkan Aslan dari tatapan tajam Liora. Gadis itu melepas cengkeramannya kemudian berbalik pergi. Tapi, ya, Aslan itu tak ada kapok-kapoknya. Sudah ketahuan begitu masih juga ia mengekori langkah Liora dari belakang.

"Gue saranin lo mending pergi! Gue gak suka berurusan sama orang asing!"

Nada yang Liora gunakan begitu datar. Namun Aslan justru tak memberikan balasan yang berarti. Dia hanya diam dengan patuh mengikuti setiap langkah Liora memasuki lika-liku gang yang sempit dan kumuh.

Hingga kemudian mereka sampai di jalan buntu. Liora menghela nafas capek. Dia akhirnya menyender di dinding gang dengan tangan terlipat menatap penuh selidik pada Aslan yang masih juga belum menyerah mengikutinya.

"Gue terus terang aja, ya. Gue masuk ke sini buat ngindarin lo. Dan sejujurnya gue gak hapal jalan sini. Jadi tolong lo hargai usaha gue ini. Jangan. Ikutin. Gue. Lagi!"

Setelahnya Liora melangkah pergi sambil merogoh saku membuka google maps di ponsel untuk mencari jalan keluar. Baru berjalan beberapa meter ia sudah berhenti. Terdengar cowok di belakangnya yang sedari tadi diam seperti orang bisu, kini mengeluarkan suara jernihnya yang khas.

"Liora...."

"Hoo.... See! Lo ternyata tau nama gue. Good job! Tapi mulai hari ini, lupain nama itu dari otak lo selupa-lupanya!"

Aslan mengerjab satu kali. Dalam otaknya seakan terpampang papan tulis besar dengan tulisan 'larangan=perintah'.

"Liora."

Liora mengernyit tidak suka, "Dengar, baik hari ini maupun di masa lalu, kita itu hanya orang asing. Just remember this one... Ken."

Aslan tersenyum sampai matanya menyipit, "O-ow, I have forgot it again."

Liora menatap Aslan dengan rumit. Lalu ia pergi dari sana begitu saja.

👎👎👎👎👎

Akhlaknya Kembar Siam

Bagian 3:

{Akhlaknya Kembar Siam}

"Gue mau pamer...."Itu Ares yang ngomong. Habis dipanggil ke BK dia menyusul teman-temannya ke kantin. Entah kesambet apa di jalan, datang-datang langsung bicara begitu.

"Sayangnya gak ada yang mau dipamerin," Geri yang menyela. Tatapannya tampak fokus ke buku dengan tangan bergerak cepat menyalin apa-apa saja yang ia lihat. Ceritanya anak satu ini sedang ngebut mengejar membuat PR.

Ares duduk dengan tenang. Mau menyangkal juga tidak bisa karena ucapan Geri itu mutlak benar. Dia melirik ke samping pada Kenzo yang tampak serius berpikir.

"Ngapa lo?"

Kenzo menoleh, lalu menunjukkan lembar TTS yang sedang diisinya. "Kasih liat doang, gak minta tunjukkin. Lo kan bego."

Memang kurang ajar. Tapi, lagi-lagi, Ares pasrah saja. Toh, apa yang dibilang Kenzo bukan opini melainkan fakta.

"Res, lo tau Herma kan?"

Tiba-tiba Geri masuk ke mode gibah. Buku PR-nya di anggurin begitu saja.

Ares mengedikkan bahu, "Entah."

"Ngapain lo bahas sesama jantan?" Aslan muncul dengan tampilan bak murid teladan. Ada buku di tangannya serta kaca mata yang masih dipakainya. Jarang-jarang Aslan terlihat pakai kacamata kecuali saat sedang belajar atau aktivitas lain yang berhubungan dengan buku. Katanya sih, matanya mendadak minus kalau sudah urusan begitu.

Ares seakan baru menyadari sesuatu yang janggal, "Lah anying! Lo belok??!"

Geri sepet duluan. Dia kemudian memilih lanjut membuat PR ketimbang bicara dengan Ares. Daripada berkata kasar, lebih baik bersabar.

"Juna mana?" tanya Aslan setelah melihat Kenzo duduk sendirian. Bukannya apa-apa, tapi dua orang itu sudah sangat lengket. Hal langka jika mereka berdua tidak berada di tempat yang sama.

Kenzo menjawab acuh, "Sama ceweknya."

"Oh," Aslan ikut duduk kemudian membuka halaman tengah buku yang dibawanya tadi. "Tadi Altair pesen katanya lo berdua disuruh ke gudang," ujarnya menunjuk Ares dan Geri bergantian.

Geri menggosok hidungnya yang terasa geli, lalu bertanya, "Ngapain?"

"Iya, ngapain?" Ares membeo.

Aslan menghela nafas dengan raut serius. Ia membuka kacamatanya kemudian menatap dua orang pemilik nama yang ia sebutkan tadi. Sedang keduanya sudah menyimak dengan serius menanti jawaban.

"Nanya mulu kayak Dora!"

"Oalah asu!"

….……………..

Sampai di gudang Ares dan Geri benar-benar menemukan keberadaan Altair. Padahal mereka udah su'udzon duluan ngira dibegoin Aslan. Lagian buat apa juga Altair sok keren pake acara nitip pesan segala? Teknologi sudah maju, dia ketik beberapa kata juga informasi itu sudah sampai ke alamat tujuannya.

Dua cecunguk itu tidak tau saja kalau ponsel Altair kehabisan kuota habis dipakai streaming oleh Vela.

"Bukannya gue mau ikut campur urusan pribadi kalian...." Altair mulai bicara dengan tangan terlipat di depan dada. Posisinya ia setengah menyender pada meja yang tersusun disana.

"Tapi karena Geri temen gue, dan gue tau masalahnya makanya gue gak bisa sepenuhnya menutup mata dan telinga."

Mendegar namanya disebut, Geri jadi melangkah untuk masuk lebih dalam. Rupa-rupanya Altair tidak sendiri. Disana ada satu sosok manusia lagi yang maha shining, shimmering, splendid, Hendrio Mahesa alias Herma. Manusia blasteran surga satu-satunya yang digelari prince charming top one di sekolah ini. Dan dia juga manusia yang hampir jadi gibahan Geri tadi.

Usut punya usut, Herma yang kabar-kabarnya anak konglomerat ini, yang baru pindahan semester yang lalu, ternyata naksir berat pada temannya manajer klub basket sekolah. Sampai dia bela-belain masuk basket buat deketin temennya gebetannya itu. Tapi malah dia jadi ketua tim basket. Niatnya ngalus, kok sukses?!

Manajer klub basket saat ini namanya Dinda. Lalu Dinda ini walau terkenal juga disekolah tapi cuma punya satu teman. Namanya Sera. Herma naksir Sera. Niatnya gabung basket mau pedekate. Eh malah kebablasan main basket sampe mampus, sampe lupa tujuan awal. Tapi akhir-akhir ini ia terlihat mulai melancarkan serangan demi serangan untuk mencoba menempati hati Sera.

Lalu hubungannya sama Geri apa?

Herma dengan Geri jelas gak ada hubungan. Yang ada hubungan itu Geri dengan Sera. Dua orang ini sudah pacaran dari jaman SMP. Dari kelas 2 SMP sampai sekarang mereka kelas 2 SMA, itu sudah tiga tahun. Selama itu hubungannya mulus-mulus saja. Dibilang mulus juga tidak, karena hampir setiap hari kedua oknum bilang putus-putus-putus, tapi hubungannya jadi malah makin erat. Tapi selama ini belum pernah ada pihak ketiga diantara mereka.

Sera ceweknya judes, susah ditaklukan meski ia welcome saja bagi orang yang mendekatinya. Geri, orangnya biasa saja, tidak mencolok, meski dia ramah tapi paling handal dalam bersikap tak peka makanya cewek-cewek nyerah duluan dengan sifat leletnya. Dengan keanekaragaman karakter itu makanya hubungan mereka bisa dijauhkan dari benda berlabel 'PHO'.

Biasanya juga Geri oke-oke saja ceweknya dekat dengan laki-laki manapun. Instingnya masih mengatakan 'aman'. Tapi saat kedatangan Herma, alarm seketika menyala. Dan menilik dari seberapa populer dan maha sempurnanya Herma dimata para wanita, Geri jadi tau, Herma itu berbahaya. Bahaya untuk hati Sera, bahaya untuk hubungan mereka.

"Lo juga, ikutan nyoh! Rapat pleno."

Itu kalimat terakhir Altair sebelum ia melangkah pergi meninggalkan tiga orang itu disana.

"Hubungannya ini sama gue apa?" Ares planga-plongo, tidak paham maksud Altair ikut memanggilnya kemari.

Saat itu Altair yang sudah hilang di balik pintu kembali menyembulkan kepalanya, "Karena akhlak kalian kembar siam."

"...."

"Kalau gak ada lo akhlak Geri tinggal setengah, gak bakal mampu ngadepin kesempurnaan yang ada di depannya."

Semua yang ada di gudang itu melongo dengan jawaban Altair. Bisa-bisanya otaknya memikirkan hal semacam itu.

"Ger, takutnya keluar dari sini lo bakal cacat mental kalau gak ada Ares."

Geri ingin mengumpat tapi tertahan ketika Altair meletakkan telunjuk di bibirnya mengisyaratkan untuk diam.

"Dan Res, takutnya kalau gak ikut kesini lo malah nyari kesempatan buat nikung."

Herma yang manusia normal mana paham pembicaraan mereka. Jangankan dia, Geri dan Ares yang abnormal juga gak paham dengan omongan sok misterius Altair.

Sang Leader Of Sekte itu ngacir begitu saja setelah membuat orang yang di dalam bertanya-tanya. Baru juga Geri mau mulai buka suara dengan rangkaian kalimat luar biasa di otaknya. Altair malah muncul lagi dengan wajah datarnya yang entah kenapa kelihatan tengil dan membuyarkan semua kata-kata di otak Geri.

"Ares, gue tau lo suka Sera. Jadi lo boleh hujat Herma."

Ares dibuat speechless.

Geri ketar ketir saja.

Dan Herma menatap mereka bergantian berulang kali sampai kepalanya pusing sendiri.

………………………….

"Abang, meninggal tuh apa?"

Geri lagi nyisirin rambut adeknya yang barusan nanya. Posisinya mereka lesehan di teras depan dengan mainan yang bertebaran di sekitar mereka. Dengan Si Bocil yang bernama Cila itu duduk di atas pangkuan abangnya.

"Meninggal tuh...." Geri mikir dulu. Bingung mau mendeskripsikan bagaimana. Disaat begini ia rasanya butuh ada Rigel disini. Meski rada senewen, tapi temannya itu tergolong dalam kategori manusia dengan otak brilian.

"Iya, meninggal tuh apa???" Cila mendongak sambil goyang-goyangin kakinya gak sabar nunggu jawaban Sang Abang.

"Sabar atuh, abang lagi mikir ini."

"Emang abang bisa mikir?"

Geri liatin adeknya kemusuhan, "Dek, kamu jangan kebanyakan gaul sama Ares, deh."

Cila bodo amat dengan tampang sepet abangnya. Malah dia nambah muji Ares dengan bilang, "Aa' Ales itu baik tau. Seling ngajak Cila main, jajanin Cila, pokoknya baiiikkk banget. Selu! Olangnya lame!"

Geri mau marah juga gak jadi karena adeknya yang ngomong cadel. Heran. Padahal Cila sudah TK tapi masih juga tidak bisa ngomong 'R'.

"Jadi, meninggal tuh apa?"

Bisa-bisanya dia balik ke pertanyaan itu lagi. Geri kira sudah lupa.

"Meninggal tuh... ya gak napas."

Cila menahan nafasnya lalu menengok pada Geri, "Belalti ini Cila meninggal?"

"Ya kagaklah!"

"Tapi katanya meninggal itu gak napas?"

"Y-ya bener sih?"

"Jadi—" Cila sudahi acara tahan nafasnya, "—tadi itu Cila meninggal?"

Geri menggaruk pelipisnya, "Iya, kali."

Lalu kakak beradik itu tentram lagi. Cila asik dengan slime-nya, lalu Geri kini fokus mengepang rambut anak itu.

"Abang, udah belum?"

"Bentar, nih tinggal ngikat doang. Udah deh cakep!"

Cila meraba-raba hasil kepangan abangnya. Meski tidak bisa melihatnya tapi anak itu tetap saja menghina, "Jele."

"Iya kamu jelek."

Tanpa aba-aba Cila menabok wajah Geri, "Cila itu kelen!"

Cila itu paling anti dengan kata 'cantik', jadi dia mendeskripsikan dirinya dengan keren. Aneh. Tapi masih bisa Geri toleransi ketimbang anak itu ngaku-ngaku ganteng padahal kelaminnya bukan lakik.

"Entar abang mau main keluar, kamu abang titip di warung depan, ya."

Cila yang sudah berdiri mau ngambil bolanya yang jatuh ke halaman depan jadi berhenti bergerak seketika, "Iiihhh gak mauuuu! Ikut abangg...."

Geri tidak memperdulikan adeknya yang gelendotan di kakinya kayak jenglot. Dia berjalan tanpa hambatan dan memunguti mainan Cila satu persatu.

"Awas kamu, abang mau beres-beres!"

"Tapi, Cila diajak kan ya?"

Geri diam saja dan memasukkan mainan Cila satu persatu ke dalam tas milik anak itu. Sementara Cila masih heboh ingin ikut. Padahal tanpa anak itu minta pun pasti akan Geri bawa. Di rumah tidak ada siapa-siapa, yakali Geri nekat ninggalin adeknya apalagi sampai nitipin di warung. Bisa-bisa dia digantung terbalik oleh ibunya di pohon rambutan depan rumah.

"Cila mau nanya,"

Cila sudah tenang lagi setelah Geri belikan es potong yang baru saja lewat. Acara beres-beres di tunda. Mereka justru kini sibuk makan es potong sambil main ayunan di bawah pohon rambutan. Ayunan yang dibuat dari ban bekas itu cuma ada satu. Jadi mereka berbagi dengan adil, dimana Cila duduk dipangkuan abangnya.

"Perasaan kerjaan kamu itu nanya mulu kayak Dora."

"Orang jaat, nih," Cila liatin abangnya kemusuhan.

Geri ketawa pelan lalu meletakkan dagunya di puncak kepala sang adik, "Sok atuh, mau nanya apa?"

"Tadi di sekolah Cila disuluh celita sama bu gulu."

Aduh, perasaan Geri gak enak.

"Telus, Cila cerita, Cila punya Ibu yang kelen sama abang jele."

Muka Cila serius resek banget pas ngomong 'abang jele'. Geri pengen nabok tapi gak jadi begitu adiknya lanjutin cerita.

"Ibu gulunya nanya, 'ayah Cila gimana?'", sampai disitu Cila noleh ke Geri sementara Geri sudah menatap lamat adiknya itu.

"Emangnya Cila punya ayah ya, bang?"

Hari ini Geri patah hati kedua kalinya. Pertama karena melihat Sera ketawa bareng Herma di sekolahan tadi. Kedua karena pertanyaan adiknya. Dan jujur, sekarang rasanya jauh lebih sakit ketimbang saat dia nahan cemburu setengah mati pagi tadi.

……………………..

Anggota sekte lagi pada hadir semua. Mereka bergerombol di satu ruangan dengan berbagai kegiatan random. Dimana ruangan yang mereka tempati ini adalah ruangan pribadi yang ada di bengkel milik Ares. Memang atas nama Ares, tapi pengelolaannya dilakukan oleh mereka semua.

Aslan dan Rigel sedang main catur. Altair sibuk chatan dengan ceweknya. Juna ngelus-ngelusin bulu kucing kesayangannya yang selalu di bawa kemana-mana sambil baca komik. Vino sedang menelungkup di lantai nonton netflix dari ponselnya. Geri sama Kenzo lagi seru-serunya main PS. Cuman Ares yang gak ada kegiatan. Makanya dia jadi sasaran kegabutan Cila. Si Bocil memang sering diajak nongkrong sama abangnya walau ujung-ujungnya malah dianggurin karena Geri sibuk sendiri.

"A' pegangin dulu," pinta Cila menyerahkan ponsel Geri yang dari tadi dimaininnya.

Ares nurut, nerima ponsel yang disodorkan Cila. Tatapan matanya mengikuti gerak-gerik anak itu. Dilihatnya Cila menghampiri Juna lebih dahulu. Mengobrol sebentar Cila tampak manggut-manggut dan lanjut kepada Aslan dan Rigel. Anak itu tidak berhenti sampai kemudian dia kembali ke Ares lagi.

"Loh, Si Geri sama Kenzo gak sekalian lu samperin Cil?"

Cila ngelirik abangnya yang sibuk sama stik PS, sebelum balik liatin Ares lagi. "Aa' dulu," katanya.

Ares jadi bingung. Ini bocil kok tampangnya serius banget.

"A' Ales punya ayah gak?"

Tanpa mikir, spontan Ares jawab, "Yakali kagak!"

Cila mengangguk dengan wajah sok serius, "Yaudah," katanya kemudian berjalan ke arah Geri dan Kenzo. Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba tangan mungilnya menabok wajah Geri dengan kuat sampai menimbulkan bunyi yang membuat semua mata tertuju pada mereka.

"Duh! Dek, kenapa lagi? Abang lagi main, awas ih!"

"Tuh!"

Geri bingung, ini maksudnya apaan?

"Tuh apanya?"

Cila menunjuk Juna, Altair, dan semua temen-temen abangnya satu persatu, "Mas Jun ada ayah, Kak Al ada ayah, bang Gel ada ayah, semua ada ayah! Kenapa Cila enggak?!"

Kenzo nunjuk dirinya sendiri, "Kak Zo belom ditanyain loh padahal."

"Kak Zo diem, ya. Cila nda ajak ngomong kak Zo."

Geri menghela nafas penuh beban. Harusnya pas dari awal adeknya nanyain itu dia langsung aja jawab—

"YA KALO GAK PUNYA BAPAK, MASAK EMAK LU MEMBELAH DIRI  ONEEEENGGG!"

Ajaib sih. Pemikiran Geri bisa tersuarakan lewat mulutnya Ares. Entah ada unsur mistis, atau memang unsur ketidaksengajaan.

"Noh, denger," akhirnya Geri cuman bisa ngomong begitu. "Lagian mana ada manusia yang gak punya Ayah didunia ini?!"

Lagi serius padahal, tapi Juna menyela membuat suasana jadi ambyar. Cila juga jadi gagal percaya sama abangnya.

"Nabi Isa gak ada Ayah, Ger."

"Belalti Cila gak punya ayah juga?"

"Gak, gak punya, dah diem!" Geri cape sih, ngadepin adeknya yang bawel banget itu. Dari tadi itu mulu yang diungkit.

"TAPI YANG LAIN PUNYA??!"

Tuh kan, malah ngamok. Mana bibirnya udah gemeteran gitu mau nangis. Cuma Altair yang cepat tanggap buat mengatasi bocah itu.

"Cila punya ayah kok, sama kayak kita."

Tapi bukannya tenang Cila malah menatap Altair kemusuhan, "Bo'ong. Kak Al kalau bo'ong ental lambutnya kayak dola."

Altair jadi speechless, beneran ngebayangin rambutnya berubah kayak rambut dora. Style mangkuk and poni yang norak banget menurut dia. Ew.

Lain lagi dengan Geri yang malah menjitak kepala adeknya itu, "Denger mitos darimana dah. Mending kita pulang, hawa kamu udah gak enak gini."

Geri lupa kalau omongan itu adalah doa. Besoknya dia keteteran sendiri lantaran adeknya demam tinggi. Rewel minta ampun. Sedang Ibu mereka lagi sibuk-sibuknya di toko roti, dari subuh udah gak keliatan batang hidungnya.

Geri mengutuk dalam hati. Menempelkan plester demam di dahi adeknya.

'Gara-gara ayah nih!'

Dan Geri lupa lagi. Kalau ayah mereka gak mengambil andil apapun untuk kondisi Cila saat ini. Bocah itu demam karena dijajanin es potong kemaren sore sama abangnya.

Cila liatin abangnya sebel, "Gara-gara abang, nih!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!