Nadira Safitri Kasim, siswi SMA kelas XII umurnya 17 tahun. Dia kerap dipanggil Nadira. Anak tunggal dari pasangan suami istri Vano Kasim dan Lestari Nazira. Nadira seringkali dipukuli oleh ayah kandungnya sendiri. Lestari tak dapat berbuat apa-apa disaat anak semata wayangnya dipukuli. Hanya tangis yang selalu terdengar saat melihat anak kandungnya dipukul.
Suara sabuk dan tangis begitu terdengar jelas memenuhi ruang keluarga yang berukuran kecil. "Dasar anak yang tidak tahu berterima kasih! Bersyukur kamu tidak aku bunuh sejak kecil!" hardik Vano sembari memukuli putrinya dengan sabuk.
"Ayah... ampun, ayah... jangan pukuli Nadira lagi ayah..." pintah Nadira memohon ampun namun Vano terus memukuli putrinya.
"Berani kalian berdua kabur dari rumah ini! Aku akan membunuh kalian berdua!!" seru Vano mengacam anak dan istrinya, Lestari.
Nadira menangis dengan tubuh yang gemetar. "Ibuuu. Ibu, tidak apa-apa, kan?" tanya Nadira berhambur memeriksa kondisi ibunya.
"Ibu tidak kenapa-kenapa, sayang. Cepat kamu masuk dalam kamarmu" balas Lestari meminta putrinya segera masuk ke dalam kamar. Tubuh Lestari terasa sakit tapi ia mencoba untuk tetap kuat di depan putrinya.
Dengan gemetar dan tubuh yang kini babak belur serta air mata yang menetes membuat Nadira mempercepat langkahnya memasuki kamar.
"Tuhan, datangkan seseorang yang dapat menolongku. Aku lelah, aku tidak sanggup lagi hidup disiksa terus. Apa aku bukan anak Ayah? Kenapa Ayah sangat membenciku" batin Nadira.
Nadira memeluk tubuh mungilnya dan semakin mempererat pelukan itu. Dia yakin, ibunya pasti sedang dipukuli oleh, ayahnya. Lalu Nadira sendiri harus bagaimana? Jika Nadira pergi menolong ibunya, maka ayahnya akan semakin murka. Nadira bergegas bersembunyi saat mendengar langkah kaki seseorang yang kini berada dibalik pintu kamarnya.
---------
Rian Andriaka, anak pertama dari pasangan suami istri Wijaya Andriaka dan Liana Adwia. Diusianya yang ke 24, Rian telah menjadi pria sukses yang memiliki usahanya sendiri dibidang kuliner. Karena kegigihannya dia bisa membangun Restaurants dari hasil yang ia kumpulkan selama 3 tahun lamanya. Hal itu membuat kedua orang tuanya bangga. Selain menjadi pemilik Restoran, Rian juga menjadi Direktur di Perusahan ayahnya. Wijaya memiliki dua perusahaan, satu di Jerman dan satu lagi di London. Wijaya merasa lelah jika harus bolak balik, sehingga ia memutuskan untuk menyerahkan Perusahaan yang di London agar dikembangkan oleh putranya.
"Rian sayang. Mama mau kamu cepat-cepat menikah deh. Mama tidak tega ninggalin kamu sendiri disini, sayang," jelas Liana.
"Nanti saja, Ma. Aku belum memikirkan hal itu. Aku nyaman kok dengan status aku yang sekarang," balas Rian.
"Mama tahu, tapi mama juga pingin gendong cucu mama. Mama sudah tua, sayang. Mama ingin melihat cucu mama sebelum mama meninggal," ujar Liana.
"Ma, kenapa sih. Selalu pernikahan yang mama ungkit?" tanya Rian ketus.
"Pokoknya mama tidak mau tahu. Kamu harus segera menikah! Mama sudah punya calon istri untuk kamu" kata Liana berkacak pinggang.
"What! Kok mama tidak bilang sama aku sih Ma. Aku sudah punya kekasih yang aku cintai Ma. Aku mohon jangan jodohin aku sama anak teman mama itu, aku mau menikah sama wanita yang aku cintai!" sergah Rian.
"Kenalkan dia sama mama. Jika mama menyukainya, mama akan merestui hubungan kalian!" kata Liana berlalu meninggalkan putranya di kamar.
Rian merasa frustasi dengan sikap mamanya. Pria itu masih ingin bersenang-senang tapi mamanya malah menyuruhnya untuk menikah. "Bisa-bisanya mama mau jodohin aku. Aku harus mencari seseorang yang bisa aku ajak bekerja sama" batin Rian.
---------
Malam yang begitu indah dengan pancaran sinar lampu jalan di mana-mana. Angin bertiup riuk membuat seorang gadis kecil kedinginan.
"Hei gadis kecil, apa yang kamu lakukan disitu? Jika kamu ingin mati! Disitu bukan tempat yang bagus untuk bunuh diri!" teriak Rian.
"Apa urusannya denganmu, hah!" celetuk Nadira.
"Jelas menjadi urusanku karena disini hanya ada kita berdua. Jika kamu bunuh diri disini maka orang-orang akan mengira bahwa akulah pelakunya!" jelas Rian dengan geram lalu menghampiri Nadira yang sedang menangis.
"Apa yang terjadi padamu hingga kau memilih untuk mengakhiri hidupmu?" tanya Rian berdiri dibelakang Nadira.
"Takdir yang tidak aku inginkan," balas Nadira sesegukan.
Rian mengeryitkan keningnyam. "Maksud kamu?" tanya Rian.
"Kakak dari tadi bertanya terus!" celetuk Nadira sembari menyeka air matanya.
"What! Aku bertanya terus? Kenapa aku yang disalahkan sekarang" batin Rian
"Yasudah kalau kamu merasa keberatan," balas Rian.
Nadira kembali menangis lalu berkata. "Kenapa laki-laki semuanya jahat" ujar Nadira kemudian pergi meninggalkan Rian yang berdiri mematung.
"Apa semua wanita seperti itu, suka menyalahkan orang lain" gumam Rian berlalu pergi dan masuk ke dalam mobilnya. Saat di mobil, ia kembali mengingat Nadira.
"Apa yang membuatnya hingga putus asa. Masa ia putus sama pacar larinya bunuh diri sih. Kan masih ada cara lain. Apa putus cinta sesakit itu?" gumam Rian menduga duga. Rian tersenyum mendapatkan ide yang dapat menyelamatkannya dari paksaan sang mama.
"Bukannya itu wanita tadi. Kenapa jalan kaki sendiri? Ya ampun! Semoga aku tidak salah mengambil langkah ini" batin Rian lalu menepikan mobilnya.
"Hei gadis kecil! cepat masuk. Aku akan mengantarmu pulang dan dimana tempat tinggalmu?" teriak Rian.
Tiiiiiiiiiiiin. (Bunyi kalakson mobil)
"Hei kamu! Apa kamu pikir aku tidak bisa mendengar!" teriak Nadira dengan kesal. Ia masih ingin meluapkan kesedihannya dengan cara menangis tapi lagi-lagi Rian mengganggunya.
"Kalau kamu bisa mendengar kenapa kamu diam dan terus berjalan!" cetus Rian.
"Maafkan aku" kata Nadira. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba sadar dengan sikapnya yang tidak sopan.
"Cepat masuk, ada yang mau aku omongin" kata Rian.
"Aku tidak mau! Aku yakin kakak pasti orang jahat!" kata Nadira sambil menyeka air matanya.
"Aku bukan orang jahat! Kamu itu perempuan dan ini sudah larut malam. Apa kamu tidak takut orang-orang menjahatimu!" jelas Rian sedikit meninggikan suaranya.
Nadira berfikir sejenak, tak lama kemudian ia pun masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, Nadira menatap jauh ke luar jendela kemudian menutup mata, menghirup udara malam lalu menghembuskannya dengan perlahan.
Rian memperhatikan Nadira sedari tadi, ia melihat mata Nadira yang kini sembab. Rasa iba hadir dalam dirinya. "Aku tidak tega jika harus membawanya dalam masalahku. Aku yakin, hidupnya pasti penuh luka. Tapi hanya dia yang dapat membantuku" batin Rian.
Rian memandangi Nadira yang kini menatap keluar jendela. "Apa perasaanmu sudah tenang?" tanya Rian dengan lembut.
Nadira menyeka air matanya lalu menatap Rian dengan senyum, seakan akan bebannya sudah tidak ada.
"Cantik juga," batin Rian saat melihat Nadira tersenyum.
.
.
.
.
.
Bersambung....
Jangan lupa Bintang 5 dan like di tiap episode. 😊
Mohon Kritik dan sarannya.
Selamat membaca 😊
Malam disambut pagi dengan cahaya indanya. Terlihat seorang wanita parubaya masuk ke dalam kamar menggeser gorden tebal menyisakkan gorden putih yang agak tipis. Membiarkan cahaya pagi masuk ke dalam kamar.
"Bangun sayang. Ini nih yang Mama tidak suka! Bangun pagi saja sulit dibangunin" kata Liana mengomeli putranya yang sulit bangun pagi.
"Kenapa sih, Mah. Masih pagi juga! Mama tuh marah-marah terus" balas Rian kembali kesal dengan Mamanya. Tiap pagi, mamanya akan terus mengomelinya.
"Masih pagi apaan, Rian. Ini sudah jam 8" kata Liana berkata sambil berkacak pinggang.
"Baru jam 7 Ma bukan jam 8" balas Rian.
"Terserah kamu saja. Pokoknya Mama tidak mau tahu. Besok kamu harus membawa calon menantu Mama ke rumah. Kalau kamu tidak membawanya datang, maka Mama akan menjodohkan kamu dengan anak teman Mama!" kata Liana mengancam putranya lalu keluar dari kamar.
"Ya ampun... dosa apa yang aku perbuat dimasa lalu sampai dapat orang tua yang bawelnya kebangatan" gerutu Rian terlihat frustasi
"Mama dengar loh, Rian!" teriak Liana dari balik pintu kamar.
Rian bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi, tak lupa ia mengambil handuk. Dua puluh menit kemudian ia keluar dengan rambut basa yang acak-acakan.
Tok... Tok... Tok... (Seseorang mengetuk pintu)
"Ada apa, Bik?" tanya Rian.
"Dipanggil Nyonya untuk sarapan, Tuan"
"Baiklah, aku akan segera turun,"
Rian mengenakan baju kemeja putih dilapisi dengan jas warna abu-abu dan celana senada, tak lupa pula dengan parfum mahal yang baunya tidak bisa hilang seminggu. Usai bersiap-siap Rian bergegas turun menghampiri ayah, ibu dan adiknya di meja makan.
"Jangan lupa Rian. Besok bawa calon menantu Mama ke rumah" kata Liana mengingatkan putranya.
"Kalau dia punya waktu" balas Rian santai.
"Mama tidak mau tahu, ada dengan tidaknya besok dia harus datang!" kata Liana tegas.
"Astaga Mah. Yang mau nikah sebenarnya siapa sih... ku atau siapa" ujar Rian frustasi.
"Ya kamulah, masa Mama!" ketus Liana.
"Nah, itu Mama tahu. Harusnya Mama sabar menunggu" ujar Rian.
"Jangan coba-coba kamu membohongi Mama, Rian!" ancam Liana.
Rian malas berdebat dengan mamanya. Ia pun berpamitan untuk ke Perusahaan. Dalam perjalanan, bayangan Nadira kembali hadir. Rian tersenyum sendiri mengingat gadis kecil yang melampiaskan emosinya dengan cara gila.
"Apa yang dia lakukan di rumah? Apa aku telepon saja? Kalau aku telepon nanti dia kegeeran lagi" gumam Rian.
Rian memilh untuk tidak menghubungi Nadira Ia meletakan ponselnya di dalam saku baju jasnya. Setelah dua puluh menit perjalanan Rian pun sampai di Perusahaan. Semua pegawai berdiri menyambut CEO mereka. Kegantengan Rian mampu menghipnotis para pegawai wanita namun tak seorang pun berhasil. Rian memiliki kriteria wanita yang unik, tentu baik dan pandai.
"Tumben kamu datang sepagi ini" kata Naix.
"Kamu tahu sendiri lah bagaimana mamaku. Semakin hari semakin menjadi-jadi. Masa aku disuruh bawa calon menantunya ke rumah" jelas Rian dengan kesal.
"Ya tinggal kamu bawa" balas Naix dengan santai.
"Ngomong mah gampang. Tapi kamu kan tahu sendiri aku masih menunggu Kaira kembali dari Luan Negri" ungkap Rian.
"Terserah kamu deh" kata Naix. Ia malas meladenin Rian.
Rian duduk di kursi kebesarannya sambil memegang ponsel genggamnya. Ia kembali membayangkan Nadira, hanya Nadira seorang yang hadir dalam bayangannya setelah pertemuan yang tidak disengaja. Beberapa jam berkelut dengan komputer dan keyboard, Rian memberanikan diri untuk menghubungi Nadira.
"Halo, dengan siapa ini?" tanya Nadira disebarang telepon.
"Ini aku, Rian" balas Rian.
"Ada perlu apa, Kak?" tanya Nadira lagi.
"Aku malas membahasnya lewat telepon. Kamu di mana sekarang?" tanya Rian balik.
"Aku masih di sekolah, Kak. Nanti Kakak kirim alamatnya saja, kalau aku sudah pulang aku temui Kakak" balas Nadira.
"Kirim alamat sekolahmu. Nanti aku yang jemput kamu" kata Rian.
Nadira mengirimkan alamat sekolahnya setelah panggilan telepon pun terputus. "Apa yang Kak Rian ingin katakan? Sepertinya penting" batin Nadira.
-------
Rian berdiri sambil memandangi sekolah yang ada di depan matanya. Sekolah yang tak asing baginya. Bahkan ia malas untuk masuk ke dalam gedung Sekolah tersebut. Selain takut dilihat adiknya, ia juga malas bertemu dengan gurunya yang bawel seperti mamanya. Rian menatap seorang gadis dengan tubuh mungil berjalan menghampirinya, seulas senyum tersungging di bibir manis gadis itu. Tanpa sadar, Rian menatapnya tanpa berkedip.
"Halo, Kak," sapa Nadira.
"A-ah iya," jawab Rian gelagapan.
"Ayo masuk" kata Rian kemudian membukakan pintu mobil untuk Nadira. Lalu ia pun masuk dan duduk di kursi kemudi.
Dalam perjalanan, Nadira kembali diam sama halnya dengan pertemuan pertama mereka. Tak sengaja, Rian melihat ada memar dilengan serta dibetis Nadira membuat pria itu memberanikan diri untuk bertanya.
"Kenapa betismu memar?" tanya Rian.
"Ah ini. Aku jatuh saat pulang semalam" jawab Nadira berbohong.
"Semalam aku mengantarmu pulang dan kembali setelah kamu masuk ke dalam rumah," jelas Rian.
Nadira baru ingat kalau semalam Rian yang mengantarnya pulang. "Maaf, tapi aku tidak bisa menceritakannya" kata Nadira menunduk.
"Jika itu maumu maka aku tidak akan memaksa," ujar Rian.
Lima belas menit perjalanan, mereka pun sampai disalah satu Restaurants termahal di kotanya. Restaurants milik Rian, hasil dari uang tabungannya selama 3 tahun.
"Ayo turun Nadira" kata Rian membukakan pintu mobil untuk Nadira.
"Kenapa kita ke Restarants ini Kak? Uangku tidak cukup untuk mentraktir Kakak" ungkap Nadira dengan polosnya. Namun kepolosannya itu mampu membuat Rian tertawa lepas.
"Hahahaha. Apa-apan sih kamu. Masa aku di traktir oleh gadis kecil seperti kamu" kata Rian tersenyum.
"Terus siapa yang bayar, Kak? Aku tidak punya uang banyak" tanya Nadira.
"Masuk saja, biar aku yang membayarnya," kata Rian menarik tangan Nadira kemudian membawanya masuk ke dalam ruangan pribadinya.
"Lepas kaus kakimu!" perintah Rian saat mereka sudah berada dalam ruangan pribadinya
"Untuk apa, Kak?" tanya Nadira.
"Buka saja," kata Rian lagi.
"Aku tidak mau" tolak Nadira.
"Nadira, kita diruangan yang orang lain tidak bisa melihat kita. Jangan buat aku marah. Buka dan kamu akan baik-baik saja!" ujar Rian dengan geram.
Nadira merasa takut, dengan tangan gemetar ia membuka kaus kakinya. Rian menarik kaki Nadira kemudian mengobati lukanya. "Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Rian namun Nadira diam tak bergeming.
"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Rian lagi.
Nadira masih tetap diam dengan tubuh yang mulai gemetar, ia takut suara kasar. Bayang-bayang ayahnya akan terlintas saat suara kasar itu ia dengar.
"Maafkan aku, tapi siapa yang melukaimu?" tanya Rian lagi.
Untuk yang ke tiga kalinya. Nadira menjawabnya. "Ayahku"
Rian geram mendengar jawaban dari mulut gadis kecil yang kini ketakutan. Rian mengepal tangannya sejenak kemudian kembali santai seperti biasa. "Karena kamu sudah disini. Maka mari kita buat perjanjian" kata Rian.
Nadira mengeryitkan dahinya. Ia tidak paham dengan apa yang dikatakan Rian barusan. "Maksud Kakak apa?" tanya Nadira tak mengerti.
"Menikahlah denganku. Aku akan membiayai sekolahmu dan kuliahmu setelah itu kita pisah" jelas Rian.
.
.
.
.
.
.
Bersambung....
Mohon kritik dan sarannya 😊
Halo reader yang terbaik. Terimakasih sudah mampir di karya aku. Jangan lupa like, rate 5nya, komen, bagikan serta Lovenya ya 😊
Selamat membaca 😊
"Cepat masuk. Aku tunggu jawabanmu besok" ujar Rian.
"Iya Kak. Aku masuk dulu ya" balas Nadira tersenyum lalu turun dari mobil.
Ayah dan ibu Nadira menunggu Nadira di dalam rumah. Belum sempat Nadira membuka pintu, Vano Kasim sudah membukanya terlebih dahulu dan menarik tubuh mungil Nadira.
Plaaak... satu tamparan mendarat di pipi Nadira.
Vano melepas ban pinggangnya lalu memukul putrinya dengan sabuk. "Ayah... ampun ayah.." pintah Nadira memohon dengan bulir air mata yang sedari tadi membasahi pipinya.
"Siapa lelaki tadi? Hah!" hardik Vano.
"D-dia--" ucapan Nadira terpotong saat ada yang mendendang pintu.
BAMMM (pintu terbuka lebar)
Rian melihat Nadira yang kini babak belur karena amukan ayahnya. Ia pun berjalan melewati Vano dan menghampiri Nadira. Rian berjongkok mengulurkan tangannya, menuntun Nadira untuk berdiri. "Ayo ikut denganku. Tempat mu bukan disini lagi" kata Rian.
"Tapi kak" ucap Nadira menatap sayu pria dihadapannya.
"Percayalah padaku" ujar Rian meyakinkan.
"Berani kamu keluar dari rumah ini, maka jangan pernah kamu injakan kakimu di rumah ini lagi!" teriak Vano.
Nadira menghentikan langkahnya lalu menoleh menatap Rian. "Percayalah padaku, semuanya akan baik-baik saja" kata Rian lalu membawa Nadira keluar dari rumah.
Lestari hanya bisa menangis menyaksikan putrinya di bawa pergi oleh pria lain, yang Lestari sendiri tidak kenal siapa pria itu.
Nadira menunggu di mobil sedangkan Rian kembali masuk ke dalam rumah. "Cukup hari ini aku melihat Om bersikap kasar pada Nadira. Aku tidak akan segan-segan memberi Om pelajaran jika Om masih memukuli Nadira!!" kata Rian mengancam Vano Kasim kemudian berjalan menghampiri Lestari.
"Aku janji pada Tante. Aku akan menjaga anak Tante dengan sebaik mungkin." kata Rian lalu berpamitan pada Lestari kemudian pergi menghampiri Nadira di mobil. Saat Rian masuk ke dalam mobil, Rian mendapati Nadira sudah tertidur pulas.
"Dasar gadis aneh. Masih sempat-sempatnya dia tidur disaat situasi seperti ini" gumam Rian tersenyum.
Saat diperjalanan, Rian memandangi Nadira yang kini tertidur pulas dengan mata yang kini bengkak. "Sesakit itukah luka yang diberikan ayahmu? Aku janji akan membahagiakanmu, Nadira" batin Rian. Tak membutuhkan waktu lama mereka pun sampai di rumah pribadi pria itu.
Rian memakirkan mobilnya ditempat parkir kemudian menatap Nadira yang masih tertidur pulas. Rian tidak tega membangunkan gadis itu, ia pun menggendongnya kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Asisten rumah tangga dibuat melongo, ini kali pertama majikan mereka membawa wanita di rumahnya sendiri.
"Wah, sepertinya aku harus memberitahu Nyonya nih. Kabar gembira di sore hari. Hahahaha" gumam Bi Lena tertawa kecil.
"Halo, Nyonya!" teriak Bi Lena saat panggilannya terhubung dengan majikannya.
"Iya, ada apa?" tanya Liana.
"Ada kabar baik, Nyonya. Tuan muda baru saja membawa seorang wanita ke rumah. Wanita itu mengenakan seragam SMA" lapor Bi Lena.
"Oh ya! Kamu pantau terus. Nanti bonusnya belakangan" balas Nyonya Liana tersenyum bahagia.
Tut tut tut... (Panggian telepon berakhir)
Liana tersenyum penuh bahagia. Lalu berkata. "Menantu oh menantu, kutunggu kedatanganmu di rumah ini. Hahahhhha"
-------
Rian memandangi Nadira dengan jarak yang sangat dekat. Hembusan nafasnya masih bisa Nadira rasakan. Nadira membuka matanya pelan.
"Aaaa" teriak Nadira. Rian membungkam mulut, Nadira. Sedangkan asistennya tertawa di lantai satu.
"Kakak kenapa disini?" tanya Nadira beranjak bangun dari tempat tidur.
"Kan ini rumahku, Nadira" balas Rian santai.
"Lalu siapa yang membawaku ke kamar dan siapa yang mengganti pakaianku?" tanya Nadira dengan panik.
"Menurutmu siapa lagi. Hanya kita berdua di rumah ini. Aku lelaki normal jadi kamu bisa kan menebak apa yang terjadi" jelas Rian. Setelah mengatakan itu, Rian bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa menit setelahnya, Rian keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah diganti.
"Kenapa Kakak lakuin itu padaku?" tanya Nadira disela sela tangisnya.
Rian menaik turunkan alisnya. "Hei, apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Aku hanya mengerjaimu. Bi Lena yang mengganti pakaianmu, bukan aku" jelas Rian.
"Cepat mandi setelah itu temui aku dibawah" kata Rian. Lalu keluar dari kamar menghampiri Bi Lena di dapur yang sedang memasak.
Setelah mandi dan bersiap-siap. Nadira keluar dari kamar menghampiri Rian. Dari arah dapur, tendengar tawa seseorang. Yang tak lain adalah Rian dan Bi Lena.
"Pemandangan yang sangat indah," gumam Nadira pelan namun masih bisa di dengar oleh Bi Lena dan Rian.
"Ayo kesini, Nadira. Aku akan memperkenalkan kamu dengan wanita keduaku" kata Rian.
Nadira mengartikan bahwa Rian masih memiliki wanita pertama. "Masa sih, Kak Rian suka sama yang tua-tua" batin Nadira.
"Bibi, kenalin ini Nadira"
"Nadira, kenalin ini Bi Lena"
"Oke, masa kenalannya selesai. Sekarang kita lanjut memasak" kata Rian.
"Nadira, jika kamu ingin gabung ayo kesini dan jika kamu tidak mau, kamu bisa tunggu di meja makan" jelas Rian.
"Aku bantuin kalian" balas Nadira.
Mereka pun mulai memasak, setelah makanan matang, Nadira menyajikannya di meja dan Bi Lena memanggil Pak Akna untuk makan malam. Di rumah orang tuanya, Rian akan bermalas malasan. Tapi jika di rumahnya sendiri, ia sangat rajin dan suka membantu Bi Lena memasak. Mereka pun makan bersama. Hening, tak ada satu orang pun yang bersuara. Setelah semuanya selesai makan, baru mereka bercerita. Nadira mengangkat piring yang ada diatas meja makan kemudian mencucinya dan meletakannya di tempat piring.
--------
Pukul 21:00 PM
Nadira mulai mengantuk. Ia pun membereskan buku cetak yang ia baca lalu tidur di sofa yang berada di dalam kamar.
Rian masuk ke dalam kamar dan mendapati Nadira tidur di sofa. Tanpa izin, ia mengendong Nadira lalu membaringkannya di kasur yang empuk. Setelah itu ia bergegas ke ruang kerjanya mengecek berkas-berkas untuk meeting bersama kliennya.
Pukul 01:00 AM
Rian merasa matanya mulai berat. Ia pun beranjak dari kursi dan akan masuk ke dalam kamarnya.Tiba-tiba terdengar Nadira berteriak. Rian bergegas masuk ke dalam kamar Nadira.
"Ayah... maafkan aku ayah... maafkan aku..."
"Ayah... jangan pukul Ibuku. Ayah... Ayah jangan pukul ibuku..."
"Nadira, kamu kenapa Nadira?" tanya Rian cemas saat mendapati Nadira berkeringat dingin dan terus menyigau.
"Ibu..." teriak Nadira lalu terbangun dari mimpi buruknya.
Nadira menangis dan berhambur memeluk Rian. "Jangan takut. Aku disini bersamamu dan akan selalu ada untukmu" ucap Rian membalas pelukan Nadira.
"Ayo tidur, ini masih malam" kata Rian.
Nadira kembali tidur sedangkan Rian berjaga sampai gadis itu tertidur. Rasa kantuk membuat Rian memilih tidur disamping Nadira.
.
.
.
.
.
Bersambung... 😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!