NovelToon NovelToon

Mawar, Bukan Benalu

Apakah Harus Dibandingkan

...◆◇◆◇◆◇◆◇...

Rasa lelah, rasa tak nyaman akibat tubuh yang terasa kaku dan otot-otot terasa sangat sakit membuat seorang perempuan berusia 25 tahun itu merebahkan tubuhnya di kursi kayu di ruang tengah.

Tubuhnya terasa panas namun dia menggigil kedinginan. Jelas itu bukan kondisi yang baik-baik saja, dia tengah berada dalam kondisi yang sangat lelah dan kurang sehat.

Istirahat sejenak, mungkin bisa membuat tubuhnya menjadi lebih enak dan rasa yang menyerang tubuhnya akan segera hilang, semoga saja.

Matanya perlahan terpejam, tubuhnya meringkuk dengan di selimuti kain batik tipis. Berharap tak akan ada yang mengganggu istirahat sejenak_nya sebelum dia memulai aktivitasnya lagi sebagai ibu rumah tangga.

Ya, dia adalah Arsy Wardana. Ibu rumah tangga berusia 25 tahun dan memiliki anak berusia 5 tahun. Dia memang tidak bekerja di luar rumah, tapi bukan berarti dia bisa istirahat begitu saja atau leha-leha.

Ibu rumah tangga adalah pekerja yang sejati, dia harus selalu stay 24 jam dengan pekerjaan seabrek yang tak pernah selesai, tapi itupun masih saja di ragukan oleh banyak orang.

Seperti kata tetangganya kemarin.

'Halah, capek apa emangnya? Setiap hari juga tidak kerja, di rumah terus tanpa melakukan apapun. Paling juga lelah rebahan,' ucapnya begitu sinis.

Namanya Bu Kokom, dia adalah salah satu deretan tetangga paling julid seantero desanya.

'Enak ya, tidak bekerja apapun tapi bisa cukup. Mengandalkan uang suami dan juga mertua, Hem.. Menantu macam apa itu?' semakin nyinyir ucapannya.

Tapi itu tidak membuat Arsy patah hati, itu sudah hal yang biasa dalam hidupnya selama dia ikut dengan suaminya.

Tapi tidak! Apa yang ibu Kokom katakan itu tidaklah benar. Arsy tidak pernah mendapatkan uang bulanan dari suami seperti istri-istri pada umumnya. Tidak bisa mendapatkan sesen saja dan itu juga sudah biasa.

Bukan hanya dari suaminya, tapi juga dari ibu mertuanya.

Jika tidak ada di rumah, Arsy selalu pergi ke sawah. Untung saja, meski tidak memberikan uang bulanan tapi ada tanah milik suami yang tidak diurus dan Arsy bisa mengurusnya, kalau tidak entah darimana dia bisa makan dan mencukupi kebutuhan anaknya yang sudah mulai tau tentang jajan.

Di rumah Arsy tinggal lima orang. Dirinya sendiri, anaknya, suaminya dan juga kedua mertuanya, dan hanya Arsy yang tidak bekerja dengan gaji tetap.

Mertua dan juga suami bekerja tetap, tentu dengan gaji tetap juga setiap bulannya, tapi Arsy tidak pernah merasakannya. Entah kemana uang-uang itu di keluarkan.

Miris, mungkin itulah yang terjadi pada hidup Arsy. Tapi tidak masalah, dia masih bisa menghidupi dirinya sendiri dan anaknya.

Seandainya saja bukan demi identitas anak yang jelas, tentu saja Arsy akan pergi dari sana. Tapi tidak! Dia tidak bisa melakukannya.

"Astaga! Pantes saja suami tidak betah di rumah! Pagi-pagi gini sudah malas-malasan!"

Suaranya begitu lantang dan membuat Arsy kembali membuka mata. Baru saja dia ingin memejamkan mata tapi suara menggelegar itu sangat mengganggu.

"Sudah nggak kerja, tapi santai begini pantas saja suaminya selalu jajan di luar. Jelas saja, mana bisa kasih makan anakku dengan makanan yang enak dan bergizi setiap harinya."

Ucapannya begitu nyinyir, merendahkan Arsy yang perlahan mulai bangun lagi.

Seandainya tak ada rasa hormat sama sekali, tak ada sopan santun di hati Arsy tentu dia akan menjawab semua yang ibu mertuanya itu katakan.

Bagaimana mungkin Arsi akan masak enak, memberikan makanan-makanan yang bergizi untuk anaknya sementara dia tak mendapatkan serupiah pun nafkah yang seharusnya di terima.

Darimana Arsy bisa belanja, uang darimana? Apakah ibu mertuanya itu tidak berpikir sampai kesitu?

Jangankan suaminya, apakah dia juga memberikan uang belanja untuk menantunya? Dia hanya taunya makan tapi tak mau memberikan uang untuk belanja, terus uang darimana? Arsy tidak pernah melihat ada hujan uang.

"Cepat buatin aku teh, ingat ya! Harus manis!" Dengan gampangnya Ibu Lusi Ibu mertuanya itu duduk di kursi yang ditempati oleh Arsy barusan. Dia juga mendorong menantunya itu supaya cepat melakukan apa yang dia inginkan.

"Cepatlah, aku sangat haus," ucapnya tak sabaran.

Sontak Arsy berdiri sebelum dia melangkah, menoleh sebentar melihat bagaimana posisi ibu mertuanya itu duduk. Punggungnya bersandar dengan santai dan juga satu kaki yang menopang kaki yang lain. Benar-benar seperti seorang Ratu.

"Kenapa malah lihat-lihat, cepat buatin minum!" ucapnya lagi.

Dengan terpaksa Arsy langsung berjalan menuju dapur. Perlahan dia mengambil gelas dan juga sendok, mengambil wadah gula yang sudah terasa begitu ringan. Arsy tidak bisa melakukan dengan cepat karena rasa pusing yang masih terus menggerayangi kepalanya.

"Astaghfirullah, gulanya habis," Arsy nampak kebingungan melihat wadah gula itu hanya tinggal sedikit saja, tidak ada satu sendok dan pastilah tidak akan manis jika dibuat teh satu gelas.

Arsy tidak ada uang untuk membeli gula saat ini, tapi dia juga tidak bisa meminta kepada mertuanya karena jelas jawabannya adalah tidak seperti biasanya. Apakah itu artinya harus kembali berhutang lagi ke warung?

"Arsy, buruan! Aku sudah kehausan!" Suara Bu Lusi begitu menggelegar hingga sampai ke telinga Arsy yang berada di dapur. Arsy menoleh meski dia tahu ibu mertuanya tidak akan mendatanginya.

"Iya, Bu. Sebentar!" Suara lemahnya berteriak, jelas saja tidak akan lantang seperti Ibu mertuanya. Tapi tetap saja bisa didengar dan Bu Lusi hanya hanya menggeleng tak peduli dengan suara menantunya yang sedikit gemetar.

Dengan gula seadanya Arsy membuat teh dan bergegas memberikannya kepada ibu mertua, meski ragu tapi dia tetap memberikannya karena tidak mau diteriaki lagi yang jelas akan didengar oleh para tetangga.

"Ini, Bu." ucap Arsy.

"Hanya bikin teh saja lama banget sih, apa buatnya di Kutub Selatan!" ujarnya. Tangannya tetap menerima meski mulutnya mengomel tak karuan tajamnya, setajam silet.

"Maaf, Bu. Ta...

Puftt!

Bu Lusi kembali mengeluarkan teh yang sudah masuk ke dalam mulutnya, membuat ucapan Arsy tidak selesai dan kini terdiam dengan rasa takut. Arsy sangat tahu apa yang akan dia dapatkan setelah ini apalagi kalau bukan omelan yang seperti biasanya.

Bu Lusi berdiri dengan begitu tegang matanya melotot tajam dan meletakkan gelas tersebut di meja dengan kasar hingga tehnya tumpah.

"Kenapa tidak manis, aku sudah bilang kan! Tehnya harus manis!" ucapnya dengan tegas dan keras.

Arsy hanya menunduk dia tidak berani menjawab sepatah kata pun pada mertuanya itu, matanya perlahan mulai meremang panas menghasilkan genangan yang semakin banyak hingga perlahan mulai mengalir.

"Maaf, Bu. Ta_ tapi gulanya habis," hanya itu yang Arsy katakan.

"Kalau habis ya beli!" ucapnya.

Begitu mudah Ibu mertuanya mengatakan untuk beli, kalau seandainya saja dia mau mengeluarkan uang tentu itu akan mudah, tetapi nyatanya tidak.

"Sa_ saya tidak punya uang, Bu." Arsy berusaha jujur.

"Kalau nggak punya uang makanya kerja. Lihatlah itu menantunya bu Kokom, dia pintar, dia bisa bekerja di pabrik roti. Seharusnya kamu juga bisa kan?!"

"Oh iya aku lupa, kamu kan hanya lulusan SD mana bisa kerja di pabrik. Tapi paling tidak kamu bisa kan kerja jadi tukang cuci."

"Astaga, nasib anakku begitu buruk, menikah dengan perempuan tidak berguna seperti ini." Bu Lusi melenggang pergi.

...◆◇◆◇◆◇◆◇...

Bersambung....

Perlakuan Adi

◆◇◆◇◆◇◆◇

Wajah Adi terlihat begitu jelas bahwa dia sangat lelah, kakinya melangkah masuk dengan sangat tak semangat. Jelas saja, seharian dia bekerja dan setelah sore hampir petang dia baru pulang.

"Baru pulang, Mas," ucap Arsy. Dengan begitu ramah dan juga senyum manis dia menyambut suaminya yang pulang bekerja, selalu saja dia akan menyambut dengan cara seperti itu karena dia memang harus melakukannya.

Harus patuh, harus terus berusaha menjadi istri yang baik meski dengan semua yang sudah suaminya itu lakukan padanya. Setidaknya Adi tidak pernah main tangan meski kadang suaranya yang selalu nyelekit.

Seperti apapun dia adalah suami yang harus di hormati dan juga ayah dari anaknya, jadi dia harus tetap taat dan hormat kan?

"Hem," jawab Adi dengan begitu acuh. Kakinya terus melangkah semakin cepat seolah menghindari Arsy yang sudah menyambutnya.

"Mau minum Mas?" tanya Arsy menawarkan. Dia terus mengejar suaminya yang akhirnya berhenti dan duduk di kursi kayu ruang tengah.

"Boleh," jawabnya. Tetap saja dengan acuh dan terdengar semakin angkuh.

Arsy cepat berlari masuk ke dapur mengambilkan minum untuk suaminya yang baru pulang kerja. Apapun yang suaminya lakukan, apapun itu Arsy selalu berusaha ikhlas, menjadikan apa yang dia lakukan adalah bentuk bakti pada suaminya dan akan mendapatkan pahala sebagai imbalannya.

Jika suaminya sendiri tidak menghargai dan tidak memberikan apa yang seharusnya termasuk nafkahnya Arsy sangat percaya dia akan mendapatkannya dari Tuhannya.

Arsy kembali keluar, dia sedikit buru-buru karena sudah tau kalau suaminya pasti sangat kehausan. Tapi ketika Arsy baru sampai ternyata sudah ada bu Lusi mertuanya yang datang.

"Adi, ibu pengen banget makan gulai kambing dari pak Mantep. Belikan Ibu ya," ucap Bu Lusi. Terlihat begitu memohon pada Adi.

"Emangnya Arsy nggak masak, Bu?" tanya Adi. Dia langsung menoleh pada Arsy yang sudah ada di sebelahnya sembari memberikan teh untuknya.

"Masak, tapi kamu tau kan, ibu tidak suka dengan masakannya, nggak enak. Lagian makanannya juga hanya masakan kampungan. Apa itu, hanya oseng kangkung saja. Masak setiap hari ibu hanya di kasih makan kangkung sama ikan asin, emangnya ibu kambing apa."

Ucapannya begitu sewot, begitu nyinyir dengan mata melirik sinis pada Arsy yang hanya terdiam.

Tak akan ada habisnya jika meladeni ucapan mertuanya, lagian Arsy juga tidak pernah berani karena dia masih menghormatinya. Baginya, mertua sama seperti orang tua kandungnya yang sama-sama harus di hormati jadi dia hanya akan diam, tapi entah sampai kapan dia akan terus diam.

Seharusnya bu Lusi bisa bersyukur, dia masih bisa makan meski hanya seadanya, itupun dengan gratis kan? Arsy tidak pernah membeli kalau hanya sekedar kangkung atau sayuran lainnya karena dia nanam sendiri, tapi untuk lauknya, dia tidak bisa beli selama belum ada panen.

"Baiklah, nanti Adi beliin gulai kambingnya untuk ibu." ucap Adi yang berhasil membuat Bu Lusi tersenyum bahagia.

Pufftt!

"Kenapa kamu tidak bilang kalau tehnya panas!" baru saja satu kali minum Adi sudah langsung menyemprotkan lagi, dia kepanasan karena tehnya yang baru saja di buat.

Dia sendiri yang buru-buru dan tidak mencoba ataupun meniupnya tapi dia malah menyalahkan Arsy, matanya bahkan begitu melotot merah pada istrinya.

"Maaf, Mas." jawab Arsy, selalu saja akan salah. Dimata suaminya ataupun mertuanya Arsy akan selalu salah dalam hal apapun.

"Nih minum sendiri!" ucapnya. Meletakkan gelas dengan sangat kasar hingga tumpah dan hampir saja mengenai kaki Arsy.

Dengan cepat dan sangat marah Adi beranjak dari tempat duduk, dia masuk ke kamar dengan sedikit membanting pintu hingga membuat Arsy tersentak.

"Heh!" Bu Lusi pun tak banyak berkomentar, tapi dia menyungging sinis pada Arsy dan itu lebih menyakitkan.

Harus extra sabar Arsy dalam menjalani hidupnya, meski terasa sangat berat dan begitu susah, tapi selalu saja dia berhasil melewatinya.

Tekanan batin sudah menjadi makanan sehari-hari dia sudah sangat hafal dan juga terbiasa. Meski kadang sangat menyakitkan dan ingin menyerah tapi dia selalu meyakinkan diri kalau semua tak ada yang abadi.

Sekarang dia bisa selalu di hina, di caci dan juga di bandingkan dengan yang lain. Tapi, roda pastilah akan selalu berputar dan ada kalanya dia akan berada di atas.

◆◇◆◇◆◇◆◇

Senyum begitu cerah dari bu Lusi ketika diberi bungkusan kresek berwarna putih oleh Adi. Dia sangat yakin, itu adalah pesanannya tadi sore.

"Ini gulai nya, Di?" tanyanya dengan tak sabar membuka kresek tersebut.

"Iya, Bu. Bagaimana, ibu senang?" tanya Adi, dia ikut bergabung duduk di meja makan dan mengamati ibunya yang tidak hanya sebatas senang, tapi sangat senang.

"Bapak kasih dong, Bu." Pak Darma terlihat begitu ingin juga, siapa yang tidak akan kepingin dengan makanan enak itu, hanya satu saja yang tidak suka yaitu Arsy. Dia tidak doyan sama olahan seperti apapun kalau itu daging kambing.

"Boleh, Adi kebetulan beli banyak kok, Pak." jawabnya.

"Lalu untuk istrimu dan anakmu kami beli apa, Di?" tanya pak Darma, memandangi Arsy dan Laili anaknya yang terus diam.

"Mereka kan bisa makan dengan ikan asin itu, Pak. Lagian mubazir kalau tidak di makan kan?"

"Iya juga sih," ucap pak Darma.

Hati Arsy begitu berkecamuk, ingin marah tapi tak sampai, ingin menangis tapi tak bisa lagi. Dia tidak ingin di anggap lemah dan apa-apa hanya bisa nangis.

Arsy hanya bisa menahan semuanya dalam hati, menjerit-jerit hatinya dengan rasa sakit yang hanya bisa dia tahan sendiri.

Arsy menoleh ke arah Laili yang diam, dia terlihat sangat ingin tapi dia juga tidak begitu suka dengan daging kambing. Bisa sih makan tapi sepertinya neneknya tidak akan membiarkan itu.

"Tidak usah lihat-lihat, anak kecil tidak boleh makan daging kambing. Nanti perutnya panas." ucap Bu Lusi.

Laili seketika menunduk, matanya memerah menahan tangis.

Semakin memanas hati Arsy, tak masalah jika dirinya yang di perlakukan seperti itu, tapi kalau Laili? Laili adalah cucu mereka, anak dari Adi. Jangankan nenek dan kakeknya, ayahnya sendiri dia begitu tega padanya.

Arsy menoleh, memandangi anaknya yang ingin menangis. Dia menggeleng pelan, tidak memperbolehkan Laili untuk menangis. Arsy ingin Laili bisa menjadi anak yang kuat, wanita yang kuat sama seperti dirinya.

"Sudah, jangan banyak drama. Sekarang makan." ucap Adi yang tau apa yang dilakukan anak dan istrinya.

Drama?

Kenapa semua dianggap sebagai drama untuknya, apakah dia tidak bisa melihat keinginan anak dan istrinya, apakah dia tidak bisa melihat?

"Ini aja nih, kamu makan sama kuahnya saja." ucap Bu Lusi. Menuangkan kuah dalam piring Laili, mencegah dengan sendok supaya tak ada satupun dagingnya yang ikut jatuh.

Miris, itulah yang Arsy rasakan.

"Tidak usah, Bu. Kalau dagingnya saja tidak boleh, kuahnya juga tidak usah, bukankah kuahnya juga sudah terkena dagingnya?" Arsy memberanikan diri bicara.

"Ish, kau ini. Kamu tidak suka anak mu makan enak?" serunya. Matanya kian bulat tak suka karena Arsy menjawab.

"Bukan seperti itu, Bu."

"Sudah diam, kita mau makan atau mau berdebat!" Suara Adi begitu keras.

Arsy menoleh ke arah Laili, dia diam dengan ketakutan sekarang.

"Ibu, Laili tidak mau makan," ucapnya. Anak lima tahun itu kehilangan selera makannya sekarang. Bahkan Arsy pun juga sepertinya iya.

"Ya sudah, kita tidur?" tanya Arsy dan Laili mengangguk.

'Maafkan ibu, Nak. Besok kalau ibu ada rezeki kita beli makanan enak ya. Kita beli ayam untuk lauk kita.' batin Arsy ngilu.

◆◇◆◇◆◇◆◇

Bersambung.....

Demi Anak

...◆◇◆◇◆◇◆◇...

Dengan begitu santainya Adi masuk ke dalam kamar, dia juga tidak memperhatikan istrinya yang kini masih melakukan pekerjaannya meski hanya sebatas melipat pakaian saja.

Adi langsung merebahkan tubuhnya di sebelah Laili. Ya! mereka memang masih tidur bertiga karena belum ada kamar untuk Laili.

Tanpa menoleh dia ingin memejamkan mata, tapi Arsy yang sudah melihat dia menghentikan pekerjaannya dan menghampirinya. Sepertinya Arsy memang sengaja menunggu Adi masuk.

"Mas," perlahan Arsy duduk di sisi Laili satunya. Dan kini Laili ada di tengah-tengah mereka berdua.

Adi kembali membuka mata, padahal dia merasa sudah lelah karena ini juga sudah malam, sudah waktunya untuk istirahat. Dia harus menjaga staminanya untuk besok kan? pikirnya.

"Hem," hanya itu saja yang Adi ucapkan sebagai jawaban, dia melirik sebentar kearah Arsy yang sudah duduk tak lama dia kembali menutup mata.

"Mas, sebentar lagi Laili masuk sekolah. Hem..., bolehkah Arsy minta sedikit uang untuk pendaftarannya dan juga untuk membayar seragam?"

Kali ini Adi bukan hanya membuka mata saja, tapi dia juga langsung duduk. Matanya melotot ke arah Arsy dengan begitu tak suka. Apakah untuk sekolah anaknya Adi juga tidak akan peduli?

"Dia masih lima tahun, sekolah apa emang, TK? tidak tidak! biarin saja Laili tidak sekolah dulu, besok langsung saja masuk SD. TK itu habis-habisin uang. Emangnya kamu punya uang?"

Pertanyaannya, ucapannya begitu menyakiti hati Arsy. Masak hanya untuk sekolah saja benar-benar tidak di berikan? Kalau hanya uang nafkah untuk Arsy dia sepertinya bisa menahannya, tapi untuk Laili?

"Mas, kalau aku punya uang aku tidak akan minta. Lagian ini untuk Laili, Mas. Untuk masa depannya!"

"Masa depannya? dia itu perempuan. Setinggi apapun sekolahnya dia juga akan menjadi ibu rumah tangga."

Begitu sinis Adi mengatakan, bahkan tatapannya juga sepertinya merendahkan Arsy.

"Tapi, Mas. Meski dia akan jadi ibu rumah tangga tapi setidaknya dia memiliki masa depan yang lebih baik daripada kita. Ayolah, Mas. Ini demi Laili!"

"Aku tidak punya uang. Kalau kamu merasa itu cukup penting ya kamu sendiri saja yang biayain sekolahnya."

Adi kembali merubahnya tubuhnya, kali ini dia bahkan memunggungi Arsy yang terdiam dengan perasaan yang begitu amburadul.

Ingin menangis, tapi juga ingin marah. Sedih tapi dia juga sangat kecewa.

"Mas, Mas," panggil Arsy namun Adi tak lagi menjawab dia pura-pura tidur karena menghindari pembicaraan dengan Arsy.

"Astaghfirullah," Arsy kembali mengelus dada, kenapa hidupnya menjadi seperti ini, apa yang harus dia lakukan.

Dia sangat ingin bisa menyekolahkan Laili, memberikan hak yang sama seperti yang di dapatkan oleh teman-teman yang lainnya.

Mereka bisa sekolah, bisa mendapatkan apapun yang mereka inginkan dan yang jelas mereka juga mendapat kasih sayang yang tulus dari kedua orang tuanya. Apakah Arsy juga bisa memberikan hak itu meski tanpa bantuan dari suami dan keluarganya.

Merasakan betapa nestapanya hidup dalam berumah tangga yang dia hadapi membuat Arsy meneteskan air mata, dia ternyata tak sanggup lagi untuk menahannya.

Jelas saja, tak akan ada Ibu yang kuat jika itu tentang anaknya.

"Kenapa kamu jadi seperti ini, Mas. Sebenarnya apa kesalahan ku. apa!?" ucap Arsy seraya tersedu dengan tangis.

Adi yang hanya pura-pura tidur tentu saja tidak akan membuka mata, dia tidak peduli pada penderitaan istrinya karena apa yang dia lakukan.

...◆◇◆◇◆◇◆◇...

Setiap hari Arsy selalu saja ada di rumah. Ketika kedua mertua dan juga suaminya berangkat bekerja dia juga mulai sibuk dengan pekerjaan seabrek yang harus dia lakukan.

Mulai dari ngepel, nyapu, nyuci, bersih-bersih dapur dan juga memasak, selalu saja dia kerjakan.

"Ibu, Laili satu minggu lagi jadi sekolah kan?" pertanyaan dari Laili menghentikan pekerjaannya yang tengah mencuci peralatan masak di dapur. Arsy menoleh dan Laili sedang berdiri di tengah-tengah pintu masuk untuk menunggu jawaban darinya.

Arsy tersenyum, namun terlihat begitu tertahan.

"Tentu, Laili akan sekolah." jawab Arsy. Entah akan dapat uang darimana tapi dia harus tetap menyekolahkan Laili. Dia tidak akan sependapat dengan suaminya.

"Beneran kan, Bu?" Laili terlihat masih tak percaya, dia sangat ingin jawaban yang penuh dengan kepastian.

"Iya dong. Laili akan sekolah dan akan pakai seragam seperti teman-teman yang lainnya."

Arsy mendekat, berjongkok di hadapannya dan langsung mengelus pipi Laili dengan begitu perlahan. Arsy juga tersenyum supaya anaknya itu percaya dengan apa yang dia katakan barusan.

"Sekarang ibu selesaikan bersih-bersihnya dulu ya, setelah itu kita ke sawah untuk melihat tanaman kita. Siapa tau sudah bisa di petik dan kita bisa mendapatkan uang untuk sekolah Laili." ujarnya.

Tak akan mungkin seorang Ibu akan menampilkan wajah sedihnya pada sang anak. Dia akan selalu berusaha tersenyum dan terlihat baik-baik saja meski seperti apapun keadaan hati yang sebenarnya.

"Iya, Bu. Laili tunggu di kursi ya sambil bermain." bocah itu tersenyum, dia langsung berlari setelah Arsy mengangguk.

Sungguh, hati seorang ibu mana yang akan tahan jika harus mengapa hal yang seperti sekarang ini.

Tapi seorang Ibu tidak akan pernah menyerah demi sang buah hati, dia akan melakukan segala cara untuk bisa membuat anaknya senang dan juga bisa tercukupi dalam segala hal, termasuk urusan sekolah.

"Maafkan ibu ya, Nak. Ibu tidak bisa memberikan apa-apa untuk saat ini, tapi ibu janji, Ibu akan terus berjuang. Kamu harus bisa lebih sukses daripada ibu." gumam Arsy.

Tekat seorang Ibu sudah sangat bulat. Kekuatan seorang Ibu tidak akan terbantahkan, di akan bisa mengubah apapun meski itu terasa sangat mustahil. Doa ini juga akan sangat manjur untuk anak-anaknya jadi Arsy tetap akan berdoa untuk kebaikan anaknya.

Kembali Arsy berdiri, dia berjalan ke tempat yang tadi dan kembali melakukan pekerjaannya. Berusaha cepat untuk bisa menyelesaikan pekerjaan dan dia bisa secepatnya pergi ke sawah.

Demi apa dia bekerja keras dan juga bertahan di rumah yang sudah seperti neraka untuknya. Semua itu hanya untuk anaknya, Laili.

"Aku akan berjuang untuk kamu, Nak." gumamnya dengan tangan yang terus bergerak, menghapus perlahan air mata yang tak sengaja keluar.

...◆◇◆◇◆◇◆◇...

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!