"Sudah berapa kali Ayah bilang kan,,, mengerti lah dengan kakak mu, dia yang paling membutuhkan kasih sayang disini, bisakah ngertiin Ayah sedikit saja?" Kata pria paru baya dengan tajam kepada putrinya. Kemudian kakinya melangkah ke kamar Putri Bungsunya yang saat ini tengah merajuk.
"Maafin Liora yah." Ucap gadis kecil berusia 7 tahun itu dengan kepala menunduk sambil menahan buliran bening yang sudah siap di tumpahkan dari kelopak matanya. Padahal ia hanya meminta menemaninya bermain sebentar saja.
"Sini nak, ayo main sama ibu. Gak apa-apa kan?" ucap ibunya dari arah dapur sambil menahan sesak di dadanya melihat putri kecilnya diperlakukan seperti itu.
selalu seperti ini... Padahal ia hanya ingin di temani ayahnya walau cuma sebentar saja, namun rasanya sangat sulit sekali.
Pasti kalian bingung kenapa kakak disebut putri bungsu ayah.
Karena dia adalah putri bungsu ayah dari istrinya yang pertama,kakaknya bernama Aldi.
sedangkan aku adalah anak dari istri kedua ayah. Kak Aldi sekarang duduk di bangku SMA, kak Adel baru masuk SMP sedangkan aku di kelas 1 Sekolah Dasar. Aku dan kak Adel terpaut usia 6 tahun namun ia yang paling manja disini. Apapun yang dia inginkan harus terpenuhi meskipun terkadang Ayah sampai ngutang sama tetangga hanya sekedar memenuhi keinginannya. Dulu, Ibunya meninggal saat melahirkannya itulah alasan mengapa ayah selalu berusaha mengabulkan semua yang ia mau. Terkadang jika ayah tidak punya uang lagi, Ia akan mengamuk dan berlari ke makam ibunya dan menangis disana sambil mengadu kan sikap ayah. Dan pasti lah setelahnya ayah akan merasa bersalah, dan berusaha membujuknya dengan mengabulkan segala permintaannya.
Ibuku tak bisa berbuat banyak, karena ayah pasti menyalahkan ibu jika ia berani keluar suara. Aku selalu ingat apa yang Ayah katakan kepada ibu jika berani menasihati kak Adelia jika tingkahnya kelewatan.
"didik saja putrimu yang benar,gak usah menasihati putriku, karena aku yang paling tau apa yang terbaik untuk nya".
Selalu seperti itu, seakan ada batasan diantara kami, sementara aku juga anak kandung ayah yang masih membutuhkan kasih sayang ayah, dan bahkan ibu sangat menyayangi kak Adelia, tanpa membeda-bedakan kami, namun ayah sendiri yang memberi batasan itu. Disini bukan aku saja yang terluka melainkan ibu pun merasakan hal yang sama denganku. Rasanya ibu masih belum mampu meluluhkan hati kak Adelia agar menganggapnya sebagai ibunya juga. Jika sudah begini, seringkali aku memeluk ibu agar mengusir rasa sakit hatiku terhadap sikap ayah. Jika ayah tau setiap malam aku selalu diam-diam masuk kemar ayah untuk sekedar mencium keningnya sebagai ucapan selamat tidur, dan memeluknya erat ketika ia sedang tidur lelap, karena hanya itulah kesempatanku bisa dekat dengannya. Ketika ia bangun esok pagi, mustahil aku bisa memeluk dan menciumnya. Ah sungguh malang nasibku. Ibu selalu diam-diam menangis jika aku menyelinap ke kamar mereka setelah ayah tidur.
Aku dan kak Adel memiliki kamar masing-masing, dikamar nya penuh dengan hadiah yang diberikan ayah, kamarnya pun lebih besar daripada kamarku. padahal kami sama-sama anak ayah hanya saja ibu kami berbeda. Namun apakah aku tak pantas mendapatkan kasih sayang yang sama dari ayah?
Hanya karena ia kehilangan ibunya bukan berarti ia harus me monopoli semua kasih sayang ayah bukan? lagian ibuku tak pernah membedakan kasih sayang diantara kami, lantas kenapa ayah tak bisa melakukan hal yang sama seperti ibu?
Terlalu sering aku menangis hanya karena hal -hal kecil yang dilakukan ayah dan kak Adel yang melukai hatiku,,, tidak kah mereka peduli padaku? padahal jika dilihat dari usia, seharusnya aku yang masih membutuhkan kasih sayang ayah. Aku iri sama kak Adel yang dengan mudah mendapatkan apa yang ia mau, sementara aku bahkan untuk jajan aku saja ibu selalu mikir mengingat kehidupan ekonomi kami yang serba berkecukupan. Ayah hanya seorang petani biasa dan ibu adalah ibu rumah tangga. Itulah alasan mengapa ibu selalu mengajarkan ku untuk tidak meminta yang berlebihan, bahkan aku sudah dipaksa mandiri sejak kecil. ibu mempunyai kerja sampingan yaitu membuat kue, dan aku menjualnya di sekolah. uangnya digunakan untuk menabung untuk masa depanku sendiri. Walaupun ayah bertanggungjawab atas biaya sekolah kami, namun ibu selalu mengajarkan ku menabung sejak kecil agar kelak terbiasa mandiri tanpa mengandalkan uang orang tua.
Aku setuju dengan pendapat ibu, karena aku suka menabung. Ibuku adalah contoh ibu yang hebat, walau sesakit apa pun kata-kata ayah, namun ibu selalu berusaha memaafkannya, Ibu ku sangat mencintai ayah. Ia juga tak pernah sekalipun mengajarkanku untuk membenci atau menjelekkan ayah,,, dia selalu bilang bahwa Ayah bersikap begitu karena kak Adel kehilangan ibunya, berbeda dengan aku yang masih mempunyai orang tua lengkap. Makanya ibu selalu bilang agar aku bersabar sampai suatu saat nanti aku merasakan kasih sayang ayah. Dan aku sangat menanti saat itu tiba. Berbeda dengan kak Aldi, walaupun ia tidak begitu dekat denganku, namun ia masih menghargai ibu, dan juga tidak selalu mengambil perhatian ayah, mungkin karena ia anak laki-laki, jadi ia tidak manja seperti kak Adel. Sifat nya yang dingin membuat ku agak takut berada di dekatnya namun begitu, ia tak pernah sekalipun menggangguku.
"Bu, uang yang ayah kasih kemarin ayah minta sebagian, Adel lagi pingin beli tas baru sama kaya punya temannya yang kemarin."
Ayah berkata sambil menutup pintu kamar kak Adel dengan pelan agar tidak mengganggunya yang sedang tidur setelah puas merajuk.
"Kan uangnya udah ibu pake buat belanja kebutuhan dapur sama bayar utang Bu Mirna, yang ayah pake buat beliin sepeda baru buat Adel Minggu lalu yah." Ibu menjawab sambil mengelus rambutku dengan sayang. karena ia tau suasana hatiku sedang tidak baik.
"Masa gak ada sisa sama sekali Bu?" tanya ayah dengan dahi mengerut.
Ibu menghela napas kemudian dengan tenang ia berkata: Yah, sisanya ada tapi itu untuk simpanan untuk keperluan mendesak, itupun gak seberapa. Bisakah tas nya ditunda dulu? tas nya kan masih bagus baru di pakai 5 bulan. Namun terlihat ayah tidak suka dengan kata-kata ibu.
"Aku kerja untuk anak-anak ku, jadi apapun kebutuhan mereka sebisa mungkin aku penuhi. untuk apa aku kerja keras jika hal kecil saja yang mereka inginkan aku tak mampu memberikannya?".
Ibu tak langsung menjawab, ia lebih dulu menyuruhku masuk ke kamar dan menutup pintu kamarku.
" Lalu bagaimana dengan keinginan Liora yah??? apakah dia gak berhak atas hasil kerja keras ayah? dia juga anak kandung ayah sama dengan yang lain nya. kenapa keinginannya tidak pernah kau penuhi walaupun sederhana?". Ibu meluapkan kekesalan yang ia pendam selama ini.
" Karena ada kamu yang memenuhinya, sedangkan Adelia sudah tidak merasakan kasih sayang seorang ibu bahkan sejak lahir, itulah mengapa sebisa mungkin aku menuruti keinginannya agar ia tidak terus-terusan mengingat ibunya. mengertilah sedikit dengannya mengapa kamu begitu egois?" Ayah membentak ibu dengan keras bahkan suaranya sampai ke kamarku.
Ibu hanya bisa menangis, kemudian berkata dengan suara lirih, "Selalu seperti itu jawabanmu Yah, padahal sedikitpun aku tak pernah membedakan kasih sayangku kepada mereka bertiga."
"Sudahlah aku malas berdebat, sudah kesekian kali kita bertengkar dengan masalah yang sama." Ayah berkata sambil berlalu keluar dari rumah.
aku mengintip dari celah pintu melihat ibu menangis sambil membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara... Aku pun menangis gemetar karena mendengar teriakkan ayah tadi. Kaki kecilku melangkah mendekati ibu kemudian memeluknya. Ibu pun memelukku dengan erat.
Ini sudah kesekian kalinya ayah seperti ini, entah sampai kapan ia akan memperlakukan aku dan ibu secara tidak adil. Tidak taukah Ayah bahwa perbuatanya melukai hatiku dan juga ibu? Aku terus menangis dalam dekapan ibu yang dengan setia mengelus punggungku untuk sekedar meredakan tangisku. Entah kenapa muncul setitik rasa benci pada ayah. Sekuat tenaga aku menghilangkan rasa itu karena jauh di lubuk hatiku aku sangat mencintainya.
Perlahan Ia menghapus air mata yang masih mengalir di kedua pipinya, baru saja ia kembali mengingat luka lama masa kecilnya. sungguh entah sampai kapan ia akan melupakan kisah itu walaupun sudah belasan tahun berlalu. Bahkan sekarang usianya 24 tahun dan sudah di karuniai seorang putra yang sangat tampan Reinhard Barata yang menemani nya melewati hari-hari buruknya.
Yah, hari buruk karena sampai saat ini pun ia masih terbelenggu oleh kenangan pahit itu. Sungguh takdir apa yang Tuhan sediakan untuk nya sehingga Tuhan memberikan ujian berat dalam hidupnya hingga detik ini. Namun Ia bersyukur karena Tuhan menitipkan seorang putra padanya yang mampu menguatkannya dalam segala situasi yang menyesakkan.
*****
5 tahun lalu adalah awal luka baru yang kembali merenggut masa remajanya. Ketika sedikit demi sedikit ia mengobati trauma masa kecilnya, namun ia kembali dihadapkan dengan situasi dimana itu merupakan babak paling sakit disepanjang hidupnya. Ia seakan percaya dengan hukum karma, walaupun berusaha untuk tidak meyakini nya namun itulah yang terjadi. Inilah kisah nya, apa yang ia hadapi seakan menghubungkan nya dengan karma yang selalu orang-orang bicarakan. mungkin sedikit tak masuk akal tapi itu kenyataannya..
Orang-orang bilang "Jika seorang ibu yang tidak diperlakukan adil oleh suaminya, maka anak perempuannya kelak akan merasakan hal yang sama seperti ibunya. Ia akan diperlakukan tidak adil oleh suaminya seperti ayahnya memperlakukan ibunya."
...dan nyatanya ia merasakan hal yang sama sekarang. Sama seperti ibunya yang sering kali menahan sakit, dan luka batin yang pada akhirnya merenggut nyawanya dua tahun lalu, sekarang luka itu ia rasakan. Namun ia masih bersyukur karena anaknya tidak merasakan apa yang ia rasakan dulu, mengemis perhatian dan cinta ayahnya. Bersyukur nya ia karena anaknya mendapatkan kasih sayang utuh dari suaminya, walaupun ia yang sering mendapatkan luka batin mendalam....
Hubungan yang diawali cinta pada awalnya, karena panasnya cinta masa remaja, sehingga memutuskan menikah muda di usia 19 tahun nyatanya tidak sesuai harapannya.
Cinta yang awalnya menggebu-gebu sekarang telah layu ibaratkan bunga yang dicampakkan tanpa perasaan.
Ego lah yang jadi pemenang nya saat ini, menghadapi sifat suami nya yang keras kepala, ingin menang sendiri, dan dengan ego yang tinggi nyatanya menghancurkan mentalnya secara perlahan, menumbuhkan kembali luka yang ia harap akan sembuh. 3 tahun pernikahan mereka lewati dengan suasana cinta yang bergelora, tak sekalipun suaminya menuntut apapun darinya. bahkan terlihat kasih sayang tulus suaminya yang pada akhirnya membuat ia bersyukur bahwa Tuhan sungguh baik menghadirkan sosok laki-laki yang mempu perlahan mengobati rasa sakitnya. Namun di tahun ke empat pernikahan, semua sifat aslinya keluar, mulai dari kekerasan fisik yang ia terima tanpa diketahui anaknya, uang belanja yang dikasih dengan penuh perhitungan, serta kebiasaanya yang tak suka diatur. Tak menerima apapun keputusan istri, baginya keputusannya adalah yang mutlak. Namun begitu, Liora masih bersyukur karena anaknya tak kekurangan kasih sayang, di depan anaknya ia berlaku sebagai ayah yang bertanggung jawab dan penuh perhatian. Setidaknya itu adalah alasannya untuk tetap mempertahankan rumah tangganya. Karena ia masih ingat akan janjinya di depan altar, ia sudah berjanji kepada Tuhan agar tetap mendampingi suaminya, dalam situasi apapun. Kedepannya ia hanya berpasrah biarkan tangan Tuhan yang bekerja atas hidupnya. Masih ada Reinhard putra kecilnya yang berusia 3 tahun yang selalu menjadi penghibur dikala lelahnya memikirkan rumah tangga yang ia jalani.
Selama penghianatan bukan masalah utama dalam rumah tangganya, maka ia akan baik-baik saja. karena dulu ia dan suaminya berkomitmen bahwa tidak ada penghianatan, jika itu terjadi dan sampai ia sendiri yang mengetahuinya maka ia anggap semuanya berakhir.
"Makan yuk sayang, mama suapin yah?". ucapku pada putraku yang sedang asik dengan mainannya.
"iya ma" ucapnya riang sambil meraih tanganku, Ah aku senang melihatnya.
aku menyuapinya dengan penuh semangat melihat dia yang antusias menyambut suapan dari tanganku.
" Hey, anak papa lagi makan yah? kok papa gak di ajak?" ucap suamiku pura-pura cemberut.
"ma kok papa gak di kasih makan? mama marah yah sama papa?" aku tersenyum mendengar pertanyaannya.
"Papa udah makan sayang, barusan tadi papa makan pas Kakak lagi tidur." suamiku menjelaskan agar tidak salah paham.
" Papa gak bohong kan?" suami ku tersenyum sambil mengacak rambutnya.
"Gak mungkin papa bohong sayang, Beneran tadi papa udah makan. Ayo dilanjut makannya papa mau ke depan dulu."
"Gak mau makan lagi pa? kan tadi makannya dikit, aku ambilkan yah?"
"Gak usah aku masih kenyang nanti kalau lapar lagi baru aku makan." Aku mengangguk sambil lanjut menyuapi Reinhard.
"Habis makan nanti kakak main sama papa dulu yah di depan, mama mau beres-beres dulu sekalian mau nyiapin makan malam."
"iya ma".
malam pun tiba, setelah makan aku mengantar anak ku ke kamarnya setelah ia tidur di pangkuanku pas lagi nonton tv di ruang tengah tadi. aku mengecup keningnya setelah nya aku mematikan saklar lampu tersisa lampu tidur saja. dari umur 1 tahun 7 bulan aku membiasakan ia tidur sendiri .
sesampainya di kamar aku melihat suami ku sudah bersiap untuk tidur. Aku menghampirinya dan mematikan lampu. dia tidur membelakangi ku. hampir 1 tahun kami seperti ini, tak ada lagi tidur berpelukan atau sekedar ucapan selamat tidur seperti di awal pernikahan. Ia hanya mencari ku ketika ingin memenuhi kebutuhan biologisnya, setelah itu sikapnya kembali seperti semula seperti bukan suami istri. Setiap kali aku menanyakan alasan nya ia selalu menjawab dengan ketus katanya "gak usah nanyain hal yang gak jelas, yang penting aku masih nafkahi kamu udah itu aja. lagian yang penting aku masih sama kamu dan gak akan macam-macam."
aku tau, suamiku masih menjalankan kewajibannya, menafkahi ku, walaupun terkadang terkesan perhitungan, ia juga sejauh ini gak macam-macam, cuman sikapnya yang sering main game sampai tengah malam, komunikasi antara suami istri juga udah gak ada lagi, itulah yang membuat ku sakit. terkadang juga ia ringan tangan ketika aku terlalu ikut campur untuk urusan nya, namun semua ia lakukan di kamar agar anak ku tidak melihatnya. jujur aku tertekan, namun aku berusaha bertahan demi anakku.
aku sadar hubungan ini udah gak sehat, namun aku bingung untuk memutuskan nya. anak ku masih terlalu kecil untuk mengetahuinya.
keesokan paginya, pagi-pagi sekali aku bangun menyiapkan sarapan untuk mereka.
setelah tertata rapih di meja makan aku langsung ke kamar membangunkan suamiku terlebih dahulu untuk bersiap-siap berangkat kerja.
" Udah pagi pa, ayo bangun aku nyiapin pakayan nya dulu." Ia pun bangun dan bergegas ke kamar mandi. aku menyiapkan stelan kerjanya.
Suamiku bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang makanan sebagai Manajer. setelah Selesai mengurus nya, aku bergegas membangunkan reinhard di kamar nya, lalu kami bertiga sarapan bersama di meja makan.
"gimana tidur nya semalam kak? nyenyak gak?
"Nyenyak pa." anakku menjawab dengan lesu serta menundukkan kepalanya. Aku heran karena gak biasanya ia begini.
"Kakak kenapa? kok gak semangat gitu jawabnya nak?" suamiku bertanya seraya mengelus kepalanya dengan sayang.
"Pa..." Suaranya terdengar serak seiring dengan air mata yang mulai tumpah.
aku kaget, segera aku memeluknya kemudian mengelus punggungnya perlahan.
"Ada apa kak? coba cerita sama mama."
Ia menatapku dan suamiku bergantian kemudian ia menghela napas, terasa berat sekali. Aku dan suamiku menunggu penjelasanya.
"Tadi malam Kakak mimpi ma, kakak liat papa pergi sama Tante pirang terus katanya ada adik Rei di perut tante huuuuuuuu"😭 aku tersentak kemudian menenangkannya. Anak ku terus menangis, kemudian pandanganku beralih menatap suamiku yang tertegun di tempatnya. mukanya pucat dan keringat dingin membasahi keningnya.
"Kak, itu kan cuman mimpi, gak papa. udah yuk lanjut makan lagi setelah itu siap-siap ke sekolah."
"Papa,tante pirangnya gak ada kan ? anakku menatap ayahnya dengan tatapan sayu terkesan memohon. mungkin ia masih takut dengan mimpinya.
"Hah? nggak sayang, gak mungkin dan gak akan ada Tante pirang, udah yah lanjut makanya, papa mau berangkat kerja dulu."
suamiku menjawab dengan gugup bahkan aku melihat tangannya gemetar.
POV Liora
Setelah melepas kepergian suamiku kekantor, aku pun bergegas mengantar anak ku ke sekolah PAUD yang dekat dengan kompleks rumah kami, kami berjalan kaki menuju sekolah karena lumayan dekat dari rumah. Sejujurnya aku masih kepikiran dengan mimpi anakku tadi, namun aku berusaha menutupinya agar ia tidak khawatir.
"Ma, papa sayang kan sama Kakak sama mama juga?" aku terpaku mendengar pertanyaannya. Sejenak aku berhenti berjalan untuk sekedar menenangkan hatiku yang tiba-tiba bergemuruh.
"Iya dong sayang gak mungkin papa gak sayang, selama ini kan papa selalu ngabisin waktu di rumah main sama kakak, dan suka beliin mainan juga." aku menjawab sambil menatapnya, Ia mendongak menatapku kemudian mengangguk.
"Ma, kalau nanti papa nyakitin mama, mama bilang sama kakak yah biar nanti Kakak yang marahin papa". Aku tersenyum getir mendengar pertanyaannya.
"Gak mungkin papa nyakitin mama kak, kan papa sayang sama mama". aku menjawab dengan suara tercekat dan mata berkaca-kaca, segera ku membuang muka kemudian mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh agar tidak ketahuan anakku.
aku lemah sekali di depannya. menatap matanya saja aku tidak kuat, makhluk kecil ini yang Tuhan kirim untukku agar aku kuat menghadapi kejamnya dunia mempermainkan ku. Jika bukan karena Reinhard putraku, mungkin sudah dari dulu aku menyerah pada keadaan. Terlalu banyak luka yang ku pendam selama ini.
*****
Sehabis mengantar Reinhard, aku kembali berjibaku dengan rutinitas ku seperti biasa. Yah, aku mengikuti kebiasaan ibu, karena di didik mandiri sejak kecil aku jadi terbiasa, bahwa aku tak boleh mengharapkan nafkah dari suami. Aku pun bisa menghasilkan uang sendiri walau aku hanya seorang ibu rumah tangga. Pengalaman berharga yang ibu ajarkan selama ini nyatanya sangat berguna untukku. setidaknya aku masih bisa membeli jajan untuk anakku tanpa harus mengandalkan uang dari suami.
Setelah menyiapkan adonan kue aku melanjutkan memanggangnya di oven.
tinggal tunggu matang nya aja, sambil aku melanjut kan pekerjaan yang lain. sesekali aku mengecek agar tidak gosong.
sehabis menyiapkan semuanya, aku membereskan peralatan kemudian mencucinya.
lalu aku bersiap ke warung Buk Risma untuk mengantar kue buatanku.
Setelah dari sana, aku pun menyiapkan makan siang sambil menunggu jam 10 untuk pergi menjemput anak ku ke sekolah.
Baru juga aku memulai aktivitas ku untuk memasak, aku dikejutkan dengan kepulangan suamiku yang tiba-tiba, padahal ini belum jam pulang, atau jam makan siang. baru juga berangkat jam 7 pagi ke kantor namun sekarang sudah pulang. aku bingung namun aku berusaha untuk tidak bertanya, aku menunggu penjelasannya. Karena biasanya ia gak suka kalau aku terlalu ikut campur dengan apa yang ia lakukan. belum hilang keterkejutan ku akan kehadirannya tiba tiba saja jantungku seakan berhenti berdetak karena tiba-tiba ia memeluk ku dari belakang. Aku bingung harus bereaksi seperti apa. Aku jelas kaget, karena ini pertama kalinya setelah setahun hubungan kami merenggang.
Namun hal Hain lagi yang aku rasakan sekarang jelas semakin membingungkan.
jika dulu aku begitu menantikan momen ini, maka sekarang jelas terasa aneh bagiku. Aku merasakan perasaan berbeda sekarang.
di relung hatiku aku merasa kosong dan hampa padahal jelas-jelas ia ada disini dan sedang memelukku dengan erat.
"Kamu kenapa pa? kok tiba-tiba pulang?" akhirnya aku berani bertanya setelah beberapa saat saling diam.
Dia melepaskan pelukannya kemudian membalikkan tubuhku menghadapnya.
"Aku kangen, aku rindu kita yang dulu". Ia menjawab dengan tatapan sendu nya ke arahku. aku semakin bingung, kenapa tiba-tiba saja begini.
"kamu kenapa sih sebenarnya pa? selama ini kita terbiasa menjauh walaupun kita dekat dan bahkan tidur di ranjang yang sama. lalu sekarang kok tiba-tiba begini?" aku mencoba bertanya dengan nada lembut sambil menatap matanya.
ia mengalihkan pandangan dariku kemudian menjawab "memang nya kita gak bisa merubah situasi? seharus nya kamu bersyukur kita bisa kayak dulu lagi. emang kamu mau terus-terusan diem-dieman padahal tinggal satu rumah?" kembali lagi ia menjawab dengan ketus dan terkesan tidak suka.
Aku semakin bingung dibuatnya.
"Ya enggak pa, cuman yah situasi ini cukup aneh bagiku, kita yang terbiasa saling menjauh terus sekarang kayak begini yah aku bingung." sengaja aku tidak menyinggunya karena memang selama ini dialah yang menjauhiku. Aku sengaja pakai kata "kita " agar ia sedikit merenungi bahwa aku tidak mencari pembenaran dalam diriku.
perlahan ia menjauhiku kemudian duduk di kursi dekat meja makan.
"Aku gak mau nanti Rei kepikiran yang aneh-aneh. Tadi di kantor aku gak tenang kerjanya mikirin Rei yang tiba-tiba bermimpi aneh, apakah ia mulai curiga dengan renggang nya hubungan kita?" ia bertanya sambil menatapku sebentar kemudian kembali membuang pandangannya.
aku diam sebentar sambil mencerna dengan baik pertanyaannya. jujur aku sedikit curiga dengan perubahan nya, ada rasa lain dalam hatiku yang membuatku kurang percaya dengan ucapannya. Seakan ia takut hal yang dia sembunyikan akhirnya diketahui. aku melihat sorot matanya yang gak pernah tenang, dan ku perhatikan tangannya yang saling meremas satu sama lain namun ia berusaha menutupinya dariku.
"yah syukurlah pa kita menyadarinya sekarang agar kedepannya kita saling memperbaiki." ucapku pada akhirnya. aku tak mau memperpanjang kan urusan ini lagi karena jujur aku masih merasa asing dengan situasi ini.
"Mulai sekarang aku akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik lagi untuk kamu dan Reinhart. Ia menatapku dengan pandangan yang ah entahlah aku pun bingung karena jujur entah mataku yang rabun atau pikiran ku yang kurang fokus sehingga aku sulit melihat tatapan tulus darinya saat ini. mata ini adalah mata yang sama 5 tahun lalu yang selalu menatapku dengan pandangan memuja. Namun yang ada di depanku sekarang tidak lagi sama. Bahkan aku mengartikan ucapannya hanyalah ucapan basa-basi saja. Di depanku ini masih orang yang sama RAFLI JUAN BARATA suamiku yang aku cintai selama ini entahlah rasa itu masih ada atau tidak, karena sejujurnya aku kurang yakin dengan perasaanku setelah kejadian barusan.
"Iya pa, semoga kedepannya hubungan kita lebih baik lagi." Aku menjawab sambil tersenyum tipis, setelah keterdiamanku tadi.
"kamu bikin kue gak tadi sayang?
deg
Aku berhenti sebentar setelah setelah mendengar panggilan yang ia sematkan untukku. panggilan yang sama sejak 5 tahun lalu.
apa ini Tuhan??
aku tidak merasakan apapun. apakah aku sudah mati rasa? atau ada hal lain lagi yang tak ku ketahui? aku hanya kaget saja mendengar panggilannya. namun jujur aku tidak merasakan apapun setelahnya. biasanya aku akan senang mendengar panggilan itu, namun sekarang rasanya benar-benar hampa.
"Sayang" suamiku memanggilku untuk kedua kalinya.
"iya tadi aku bikin kue pa, udah aku titipin di warung Buk Risma."
aku menjawab sambil membalikan badan ku kembali menghadapnya.
"Gak ada yang di simpan di rumah?" kembali ia bertanya dengan suara lembut.
"Ada kok pa, mau cicipin kuenya?" aku bertanya sekaligus menawarkan.
"Boleh sayang, udah kangen rasain kue buatan kamu". Aku hanya tersenyum tipis mendengar ucapannya. kemudian aku bergegas mengambil kue di lemari pendingin lalu kuletakkan didepannya.
"Silahkan pa".
"Terimakasih sayang ".
aku mengangguk sebentar.
"Makasih yah sayang aku mau kekamar dulu istirahat sebentar, soalnya tadi aku sempat pusing di kantor makanya aku ijin pulang."
Entahlah benar atau tidak namun aku berusaha mempercayainya.
"Mau aku ambilkan obat pa?"
"Oh gak usah sayang dibawa istirahat aja pasti ilang."
"Ya udah kalo gitu istirahat aja dikamar pa aku mau jemput Rei dulu." kemudian aku meninggalkan nya untuk pergi menjemput anakku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!