Hari ini adalah hari pertama Jingga masuk ke sekolah barunya di jakarta. Karna sebelumya dia sekolah di bandung dan tinggal di sana. Sesuai dengan kesepakatan yang di lakukan oleh ayahnya, Jingga akan pindah sekolah ke jakarta setelah naik kelas 2.
"Selamat pagi, Ayah" ucap Jingga dengan kedua sudut bibir terangkat sambil berjalan mendekat pada ayahnya.
"Morning Princess nya ayah. Hari ini sudah siap ke sekolah baru, Sayang?" ucapnya lembut sambil menatap Jingga yang masih menggunakan piyama tidur.
"Siap dong, Ayah. Terimakasih ayah sudah menepati janji pada Jingga"
"Sama-sama, Sayang. Sekarang kamu sarapan lalu siap-siap ke sekolah ya. Maaf hari ini ayah tidak bisa antar kamu. Soalnya ayah sedang ada urusan penting yang sama sekali tidak bisa ayah tinggal"
"Tidak masalah, Ayah. Biar Jingga nanti bawa mobil sendiri ya" ucap Jingga sambil menikmati sepotong roti dengan selai stroberi kesukaannya.
"No no no. Tidak ada bawa mobil sendiri, Kamu masih baru di jakarta. Ayah tidak mau kamu kenapa-napa, Sayang. Jadi biar kamu berangkat sama abang ya, Kalian kan satu sekolah"
"Gak mau. Jingga gak mau berangkat bareng abang. Biarkan saja mereka tidak tau jika bang Revan adalah abangnya Jingga"
Mendengar perkataan Jingga membuat ayahnya menautkan kedua aslinya"Kenapa begitu, Sayang. Bukannya bagus ya kalau mereka tau jika Revan adalah abang kamu. Setidaknya kamu bisa berlindung dari abangmu jika seandainya ada yang tidak menyukaimu"
"Tidak, Ayah. Sekarang Jingga sudah dewasa. Jingga tidak mau jika terus menerus harus berlindung di belakang orang lain. Jingga sudah bukan anak kecil lagi, Ayah"
Di saat Jingga dan ayahnya sedang berbincang mengenai sekolah. Tiba-tiba saja Revan turun dari kamarnya dan ikut bergabung dengan mereka. Duduk di samping Jingga sambil mengacak rambut adiknya itu.
"Apaan sih, Bang. Kebiasaan deh" gumam Jingga sambil merapikan rambutnya kembali yang sudah berantakan karna ulah Revan.
"Gemes abang sama kamu dek. Tadi abang denger kamu gak mau berangkat bareng sama abang ya. Kenapa?"
"Gak mau. Nanti aku di kira pacarnya abang lagi. Secara abang kan playboy"
"Enak aja bilang abang playboy. Gini-gini abang itu setia"
"Iya, Setiap tikungan ada. Begitu kan bang?"
"Dasar adek durhaka"
"Biarin aja. Jingga itu masih kesal sama abang. Karna abang, Malam itu aku hampir saja" Perkataan Jingga terpotong saat Revan dengan cepat menginjak kakinya dan membuat Jingga merasa kesakitan.
"Aaaaawwww" teriak Jingga saat kakinya menjadi korban injakan Revan.
"Apaan sih bang" ucap Jingga sambil menoleh pada Revan yang sudah memberikan isyarat dengan menggunakan mata.
Hal itu tentu saja langsung membuat Jingga paham apa maksud dari isyarat itu"Astaga. Kenapa aku sampai lupa kalau ayah tidak tau mengenai hal ini. Untung saja Bang Revan gercep. Kalau tidak, Mungkin aku sudah mengatakan hal itu pada ayah." ucap Jingga dalam batinnya.
Melihat kedua anaknya seperti itu membuat Alexander menaikkan sebelah aslinya"Apa yang kalian sembunyikan dari ayah. Malam itu hampir apa, Jingga?" tanya nya sambil menatap Jingga dan Revan secara bergantian.
"Gaada apa-apa kok Yah. Iya kan bang" ucap Jingga sambil menoleh pada Revan.
"Jingga siap-siap dulu ya yah"
Jingga memutuskan untuk pergi dari sana dengan tujuan menghindari pertanyaan dari ayahnya. Membuat Revan yang harus menanggung semuanya seperti biasa.
"Eh, Mau kemana kamu Jingga" ucap Revan namun tak di gubris oleh Jingga.
"Syukurin bang Revan. Emang enak. Siapa suruh malam itu sudah membuat aku harus balapan lagi. padahal kan aku sudah janji sama ayah tidak akan melakukan hal itu lagi" ucap Jingga dalam batinnya.
"Kalau begitu. Revan juga mau ke atas yah. Mau siap-siap sekolah"
Tanpa mendengar balasan dari ayahnya, Revan langsung mempercepat langkahnya menaiki anak-anak tangga di sana. Alexander hanya bisa geleng kepala dengan kelakuan kedua anaknya.
Sejenak Alexander terdiam. Hal ini membuatnya kembali teringat akan almarhumah istrinya yang meninggal saat berjuang melahirkan Jingga 17 tahun yang lalu.
"Lihatlah bunda. Anak-anak kita sudah besar. Kelakuan mereka sering membuat ayah geleng kepala. Jingga tumbuh menjadi anak yang sangat cantik, sangat persis seperti dirimu" ucapnya dalam batin. Tanpa sadar satu butir bening itu pun lolos begitu saja.
"Semoga bunda bahagia di sana. Ayah janji akan selalu memberikan yang terbaik buat anak kita" batinnya lagi sambil menyeka air mata itu.
Semenjak istrinya meninggal saat melahirkan Jingga. Alexander memang sudah memutuskan untuk hidup sendiri. Tidak mau mencari pengganti almarhum istrinya. Karna baginya, Cintanya sudah mati bersamaan dengan perginya sang istri tercinta.
Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 06:00. Jingga naik ke dalam mobil Revan dengan langkah kaki yang cukup berat. Sebenarnya Jingga tidak mau berangkat bersama dengan abangnya. Namun mau bagaimana lagi, Sudah tidak ada pilihan lain.
"Bang, Nanti turunkan Jingga di luar sekolah ya"
"Kenapa memangnya dek?"
"Lakuin aja bang. Jingga gak mau semua orang tau jika Jingga adalah adiknya bang Revan"
"Baiklah. Oh iya, Apa kamu sudah mengatakan padanya jika hari ini kamu sudah masuk sekolah di sini?"
Jingga menggeleng cepat"Belum" ucapnya sambil memainkan ponselnya.
"Kenapa gak kamu katakan dek"
"Sengaja aja bang. Jingga mau ngasih dia kejutan"
"Aneh sekali kau ini"
Sekolah Nusa Bangsa
Seperti hari-hari biasa. Setiap kedatangan Langit dan teman-teman membuat semua murid perempuan di sekolah itu selalu bersorak riang. Wajah tampan yang Langit miliki sudah membuat mereka ingin menjadi wanita yang paling berarti dalam hidup Langit Alvarelza pratama.
"Langit kenapa bisa ganteng banget gitu sih. Makan apa ya dia" ucap salah satu siswi sambil menatap Langit yang berjalan menyusuri koridor sekolah tanpa mau memperdulikan wanita yang menjerit memanggil namanya.
Hanya satu wanita yang selalu Langit dengarkan perkataannya. Selebihnya Langit budeg.
"Woy Langit, Lo kenapa cuekin mereka begitu saja. Liat deh, Itu Sisil and the gang kan cantik-cantik. Tapi kenapa lho gak pernah menggubris mereka. Jangan bilang kalau lho itu"
"Gue apa!"
"Gay"
"Jangan ngaco. Gue masih pria normal yang menyukai seorang wanita" jawab Langit di sela langkahnya
"Masa. Tapi kita kagak pernah tuh liat lho menggoda wanita"
"Karna gue bukan kalian" jawab Langit lagi
"Eh, ada apa itu rame-rame" ucap Rey dan langsung menghentikan langkah kaki Langit.
Langit yang penasaran ikut menoleh ke arah gerbang sekolah. Menatap seorang gadis bercadar yang saat ini menjadi pusat perhatian semua murid SMA NUSA BANGSA
"Jingga, Apa mungkin wanita itu Jingga" batin Langit sambil terus menatap sosok wanita bercadar yang berjalan di sambil menundukkan wajahnya.
"Jingga, Apa mungkin wanita itu Jingga. Tapi bukan kah Jingga ada di bandung" ucap Langit dalam batinnya sambil terus menatap seorang wanita bercadar yang saat ini sedang menjadi pusat perhatian semua orang.
"Wiiih. Kayaknya ada murid baru. Bercadar pula. Pasti dia wanita sholehah deh" ucap Rey sambil ikut menatap Jingga
"Iya, Rey. Itu wanita kayaknya sholehah ya. Beda dari yang lain" timpal Doni cepat
Melihat kedua temannya seperti itu membuat Langit mendengus sebal. Entah kenapa Langit merasa tidak rela jika salah satu temannya berniat untuk menggoda siswi baru itu.
"Masa iya dia Jingga. Tapi gak mungkin sih, Biasanya kalau memang dia Jingga, Dia akan mengabari ku dulu" batin Langit sambil terus menatap wanita bercadar yang semakin mendekat
"Hei kalian. Mau tetap di sini atau masuk ke kelas sekarang" ucapnya serta langsung melangkahkan kembali kakinya meninggalkan kedua sahabatnya yang masih terpaku di tempat.
"Woy tunggu Langit. Yaelah itu anak main tinggal aja dah" cerocos Rey sambil mengejar langkah Langit yang semakin cepat.
Sedangkan Jingga. Memilih untuk semakin mempercepat langkahnya. Apalagi saat mendengar perkataan dari beberapa siswa di sana.
"Eh, Sekolah kita kedatangan *******. Sok alim ya, Padahal mah aslinya sama aja" ucap seorang siswi yang suka ngebully. Siapa lagi kalau bukan Sisil dan teman-temannya.
Mendengar itu membuat Jingga mengambil nafas pelan. Dia sudah tau apa konsekuensi yang harus dia terima saat sekolah di tempat elit seperti ini.
"Gak usah di dengarkan, Jingga. Anggap saja mereka tidak mengatakan apa-apa. Tidak usah hiraukan anjing menggonggong" ucap Jingga dalam batinnya sambil terus mempercepat langkah kakinya masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.
Setelah sampai di dalam ruangan kepala sekolah, Jingga mengangkat wajahnya sambil mengucapkan salam.
"Assalamualaikum" ucap Jingga yang terdengar sangat lembut
"Waalaikum salam. Silahkan duduk, Kamu Jingga kan? Murid pindahan dari bandung"
Jingga mengangguk pelan"Iya, Pak. Saya Jingga Alexadiandra. Siswi pindahan dari bandung" jawab Jingga sopan.
"Baiklah. Kalau begitu kamu bisa langsung ikut sama bu Tiwi. Dia adalah guru wali kelas 11A"
"Baik, Pak. Terimakasih"
Jingga mengikuti langkah bu Tiwi. Melewati beberapa koridor, Serta menaiki anak-anak tangga di sana. Karna memang kebetulan kelas 11A ada di lantai dua.
Ceklek
Mendengar suara pintu terbuka membuat semua murid yang tadinya rusuh langsung menjadi senyap seketika. Karna memang bu Tiwi cukup mereka segani.
"Selamat pagi, Anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru"
"Selamat pagi juga, Bu" jawab mereka secara bersamaan.
"Perkenalkan diri kamu ya" ucap buk Tiwi pada Jingga.
Jingga mengangguk pelan"Iya buk"
"Assalamualaikum semuanya. Perkenalkan nama saya Jingga Alexadiandra, Pindahan dari bandung. Semoga kita bisa berteman baik" ucap Jingga sambil mengangkat kedua sudut bibirnya.
Langit yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya seketika langsung mengangkat wajahnya tatkala mendengar nama Jingga alexadiandra.
Pria itu menatap sosok gadis bercadar yang masih berdiri di depan. Menatap kedua mata indahnya yang selalu mampu membuat jantungnya berdetak cepat.
"Jingga, Jadi dia benar-benar Jinggaku. Tapi kenapa dia tidak mengatakan hal ini sebelumnya" ucap Langit dalam batinnya sambil terus menatap Jingga
"Apa ada yang mau kalian tanyakan pada Jingga? Kalau tidak ada, Biar Jingga duduk sekarang" ucap bu Tiwi
"Saya ada pertanyaan bu" ucap Rey sambil mengangkat tangannya
"Iya, Ray. Mau tanya apa? Silahkan"
"Jingga, Kamu sudah punya pacar belum. Kalau belum, Biarkan abang yang menjadi pacarmu. Hiyaaa" ucap Ray sambil tersenyum
"Pertanyaan ngaco. Udah gak usah di jawab, Jingga. Kamu silahkan duduk di tempat yang kosong itu"
"Iya, Bu. Terimakasih"
Tanpa terasa jam pelajaran sudah selesai. Saat ini sudah masuk di jak istirahat pertama. Jingga keluar dari dalam kelasnya dan menuju ke kamar mandi.
Langit yang melihat Jingga keluar dari kelas ikut bangun dari duduknya tanpa mengatakan sepatah katapun pada teman-temannya"Eh, Mau kemana kau paketu?" tanya salah satu dari mereka
"Mau ke kamar mandi. Gak usah ikutin gue" ucapnya dingin dan langsung berlalu dari sana.
"Dasar Langit, Bicara dingin kayak gitu aja udah kelihatan tampan. Bagaimana jika dia menampakkan senyumnya. Pasti semua ciwi-ciwi di sini akan pingsan" ucap Faro pada mereka
"Bener, Sih Far, Secara senyuman dia kan gak pernah dia tunjukkin pada mereka, Kecuali sama kita-kita aja"
Langit mengikuti Jingga yang sudah masuk ke dalam kamar mandi. Pria itu memutuskan untuk menunggu Jingga di luar pintu. Satu hal yang mau Langit tanyakan pada Jingga, Kenapa dia pindah tidak memberitahu dirinya terlebih dahulu.
"Jingga harus menjelaskan padaku, Kenapa dia pindah tidak bilang-bilang aku terlebih dahulu"
Cukup lama Langit menunggu di sana. Akhirnya Jingga keluar dari dalam kamar mandi.
Langit yang melihat Jingga sudah keluar dari dalam kamar mandi langsung menarik tangan Jingga dan membawa tubuh mungil Jingga dalam dekapannya.
Mendapat pelukan mendadak seperti itu membuat Jingga merasa sangat terkejut. Hampir saja Jingga berteriak, Namun dengan cepat Langit mengangkat wajah dan membuat wanita itu menatap kedua manik mata elang miliknya.
Deg
Jantung Jingga berdetak sangat cepat. Sudah lebih dari satu bulan mereka tidak bertemu. Kesibukan Langit membuatnya tidak memiliki waktu untuk sekedar memberi kabar pada Jingga.
"Kak, Langit. Kenapa kak Langit ada di sini. Ini kan toilet wanita" ucap Jingga sambil terus menatap Langit.
Langit tak menjawab. Pria itu hanya menarik tubuh Jingga dan membawa tubuh mungil itu dalam dekapannya.
"Aku sangat merindukan mu, Sayang. Aku benar-benar merindukan, Mu. Kenapa kamu pindah kesini tidak mengabari ku?"
"Sengaja. Biar jadi kejutan buat kakak"
"Nakal ya. Mau dapat hukuman? Hmmm"
"Kak. Jangan seperti ini. Ini sekolah" ucap Jingga sambil mencoba melepaskan pelukan Langit.
Langit yang tersadar langsung melepaskan pelukannya"Iya, Maaf ya, Sayang. Aku terlalu merindukan mu. Nanti aku akan ke rumah ayah"
Setelah mengatakan hal itu, Langit langsung berlalu dari hadapan Jingga. Meninggalkan Jingga yang masih terdiam di sana.
"Aku juga sangat merindukan mu, Kak"
Setelah dari kamar mandi. Jingga merasa perutnya lapar. Wanita itu berjalan menuju kantin dengan langkah lebarnya. Tanpa sengaja, Jingga menabrak seseorang dan membuatnya merasa sangat murka.
"Lho kalau punya mata di gunain" ujarnya dengan nada tinggi
"Maaf maaf. Aku tidak sengaja" jawab Jingga sambil menundukkan wajahnya
Wanita itu mencengkram kuat dagu Jingga dan berniat untuk menyiram wajah Jingga dengan jus milik temannya. Namun, Ternyata yang terkena siraman itu bukan Jingga, Melainkan Langit.
Semua pasang mata yang melihat itu tentu saja membelalakkan kedua matanya"Astaga. Sisil menyiram orang yang salah" ucap salah satu siswa di sana.
Mereka bisa melihat jelas raut marah dari kedua sorot mata Langit. "Lho akan dapat hukuman atas semua ini!" ucap Langit dingin dan langsung pergi dari sana. Meninggalkan Sisil yang sudah pucat pasi karna kelakuannya sendiri.
"Astaga, Aku salah sasaran"
"Astaga. Aku salah sasaran" ucap Sisil dalam batinnya sambil menatap Langit yang sudah pergi dari kantin itu dengan wajah tanpa ekspresi
Jingga yang melihat raut wajah Langit seperti itu sudah membuatnya paham jika saat ini pria itu sedang sangat marah. "Ya alllah. Pasti kak Langit sangat marah" batinnya sambil menatap punggung langit
Sedangkan teman-temannya langsung mengejar Langit sambil menatap tajam Sisil"Dasar mak lampir, Tunggu saja hukuman yang akan Langit berikan buat lho!" ucap Rey sambil berjalan melewati Sisil yang sudah terdiam.
Mendadak Sisil merasa sangat takut. Pasalnya Sisil tau bagaimana Langit jika sedang marah"Aduuh mati aku. Kenapa harus salah sasaran segala sih. Semua ini gara-gara wanita sok alim itu. Awas saja ya nanti" batin Sisil sambil menatap Jingga tajam.
Setelah itu, Sisil memilih pergi dari kantin itu, Membawa rasa takut yang tentu saja saat ini dia rasakan. Entah apa yang akan Langit lakukan untuknya nanti. Tapi yang pasti, Langit tidak pernah main-main dengan apa yang dia katakan.
Semua pasang mata menatap Langit yang berjalan cepat dengan baju basahnya. Wajahnya datar, Tidak menampakkan ekspresi apapun dari wajah itu.
"Apa yang terjadi. Kenapa Langit basah seperti itu" ucap salah satu siswi di sana.
"Entahlah. Tapi dari raut wajahnya saja sudah terlihat jika saat ini Langit sedang marah sih. Memang wajahnya tak berekspresi, Tapi kedua sorot matanya merah. Bikin takut ya"
"Iya kamu benar. Apa yang sebenarnya terjadi ya" jawab satunya
Kedua teman Sisil yang mendengar itu hanya bisa saling lirik"Mati si Sisil. Dia akan mendapat hukuman dari apa yang dia lakukan. Lagian kok bisa sampek salah sasaran ya" ujar Viona pada Fika
"Iya, Aku takut deh liat Langit seperti ini. Bagaimana nanti kamu Sil, Sudah tau kan Langit seperti apa. Kok masih bisa salah sasaran begitu"
"Diam kalian berdua! Gak usah bicara kalau hanya mau nakutin gue!"
Ray, Doni, Lana dan juga Faro mengikuti langkah Langit yang sangat cepat. Tidak ada satupun dari mereka yang berani mendekat pada Langit. Karna mereka tau seperti apa Langit kalau sedang marah. Hingga mereka memutuskan untuk membiarkan Langit menenangkan diri sendiri.
15 menit kemudian. Mereka melihat Langit yang baru saja masuk ke dalam kelas. Tapi bukan untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Melainkan hanya untuk mengambil tas dan juga jaketnya saja.
"Mau kemana kamu Langit?" tanya Rey yang memberanikan diri bertanya pada Langit saat melihat pria itu mengambil tasnya tanpa memperdulikan mereka
"Pulang. Kalian tetap di sini. Jangan ikutin gue" jawabnya dingin tanpa menoleh pada mereka bertiga.
Langit mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu orang kepercayaannya. Tak butuh waktu lama, Orang di ujung telpon langsung menjawab panggilan dari tuan mudanya.
📲:Halo tuan muda, Ada yang bisa saya bantu?
📲:Saya minta kamu berhentikan operasional club Sanjuda sekarang juga
📲:Kenapa tuan muda. Apa apa?
📲:Tidak perlu banyak tanya. Lakukan saja apa yang saya perintahkan
Setelah mengatakan hal itu, Langit langsung memutuskan sambungan telponnya. Pria itu berjalan cepat menyusuri koridor sekolah sambil mengepalkan kedua tangannya.
Jika di tanya apakah Langit marah? Jawabannya sudah tentu iya. Langit marah bukan karna dia terkena siraman Sisil. Namun karna dia merasa tidak suka jika ada seseorang yang dengan sangat berani mengganggu ketenangan Jingga.
"Kurang ajar lho, Sisil. Akan gue pastikan lho menyesal sudah mengganggu wanita yang begitu berharga buat hidup gue!" batinnya sambil terus melangkahkan kakinya.
Sisil dan juga kedua temannya yang melihat kepergian Langit tentu saja merasa cukup lega. Terutama Sisil. Setidaknya hari ini dia selamat dari hukuman yang akan Langit berikan.
"Tuh Kan, Apa gue bilang. Langit tidak akan pernah tega menghukum gue. Liat saja, Sekarang di malah pergi begitu saja. Itu artinya gue selamat" ucap Sisil sambil mengangkat kedua sudut bibirnya
"Mau kemana kamu, Kak." batin Jingga sambil ikut menatap kepergian Langit
Langit melesatkan motornya keluar dari gedung sekolah itu. Sebenarnya Langit pergi bukan soal kemarahannya pada Sisil. Tapi ada hal penting yang membuatnya harus pulang terlebih dahulu. Tenang saja, Langit sudah mendapatkan ijin dari bu Tiwi untuk pulang lebih dulu.
Saat ini Langit sedang menuju ke rumah sakit tempat papanya di rawat. Karna tadi saat sedang di dalam kamar mandi, Langit mendapatkan sebuah kabar jika ada perkembangan dari kondisi papanya.
Tak butuh waktu lama. Langit sudah tiba di rumah sakit Mandala. Rumah sakit milik keluarga dari mendiang mamanya. Pria itu memarkirkan motornya dan berjalan sedikit berlari, Menyusuri setiap koridor rumah sakit itu dengan hati yang tak menentu. Satu hal yang Langit harapkan, Semoga sang papa bisa segera sadar dari tidur panjangnya.
"Selamat siang, Tuan muda" ucap salah satu dokter saat Langit sudah tiba di ruangan papanya.
"Siang. Bagaimana kondisi papa saya?"
"Mohon maaf, Tuan muda. Saya pikir tadi tuan pratama akan segera sadar. Karna salah satu jarinya bergerak, Tapi saya salah"
Langit tak lagi berkata apa-apa. Cukup paham dengan apa yang baru saja dia dengar dari dokter itu.
"Pa, Mau sampai kapan papa tidur seperti ini, Pa. Langit mohon, Bangun demi Langit, Pa" ucap Langit sambil menggenggam tangan papanya sangat erat.
"Langit mohon, Papa segera sadar. Jujur saja, Langit tidak kuat dan tidak mampu menghadapi semua ini sendiri, pa. Langit lelah"
"Jangan seperti ini, Pa. Tolong sadar demi Langit. Langit sangat membutuhkan papa, Langit capek pa. Posisi ini benar-benar membuat Langit ingin menyerah" ucap Langit sambil memejamkan kedua matanya yang terasa sangat panas.
Kejadian satu tahun yang lalu kembali melintas begitu saja. Jantung Langit berdetak sangat nyeri tatkala mengingat kecelakaan yang sudah mengakibatkan kebahagiaannya hilang. Mamanya meninggal, Papanya koma. Dan dia di tuntut menjadi dewasa oleh keadaan di saat umurnya masih 17 tahun.
"Sudah satu tahun papa tidur, Apa papa tidak mau membuka mata demi Langit" ucap Langit lirih. Hingga tanpa sadar butiran bening itu berhasil lolos begitu saja.
Tanpa terasa sudah 3 jam Langit di rumah sakit itu. Langit memutuskan untuk pulang terlebih dahulu karna sudah berjanji akan datang ke rumah Jingga.
"Bi, Tolong rapikan kamar saya ya, Bi. Malam ini my Queen akan datang dan tinggal disini bersama kita" ucap Langit setelah tiba si rumahnya
"My Queen? Aden gak lagi bercanda kan?"
"Nggaklah, Bi. Bibi tolong rapikan kamar saya senyaman mungkin ya. Ganti sprei nya juga" ucap Langit sambil mengangkat kedua sudut bibirnya.
"Siap den ganteng. Bibi laksanakan"
"Alhamdulilah kalau dia sudah datang. Setidaknya dia akan membuat senyum den Langit kembali terukir dari bibirnya" ucap bi Siti dalam batinnya sambil menatap Langit yang terlihat sangat bahagia.
Baru kali ini bi Siti melihat senyuman itu lagi. Setelah satu tahun lamanya, Akhirnya senyuman itu kembali terlukis dari kedua sudut bibir Langit
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!