Kamar hotel.
Seorang pria tinggi dan tampan sedang berdiri menatap 3 orang yang berada di dalam kamar. Perasaannya campur aduk. Merasa takut dengan keputusan yang dirinya ambil akan membuat mereka kecewa. Ia tau kalau ini salah, tapi ia harus melakukannya.
Ia menatap seorang wanita yang usianya tak lagi muda tapi masih terlihat segar jika di pandang. Wanita baya itu tersenyum bahagia menatapnya. Setelahnya ia menatap seorang pria di samping wanita baya yang sedang berdiri menyamping. Guratan di wajahnya sudah terlihat, apalagi saat ia tersenyum makin membuat guratan itu makin terlihat.
Dan satu lagi seorang pria menghadap ke jendela besar menatap pemandangan jalan yang mungkin memanjakan matanya. Pria itu masih muda di bawahnya tapi cukup berpengaruh dengan bisnis yang dia jalani. Wajah yang tanpa senyum itu terlihat serius menatap jalanan tanpa menghiraukan orang yang berada di dalam kamar.
Setelah menguatkan hatinya. Dirinya kembali menatap wanita baya itu dengan perasaan kalut. Ini keputusan yang harus ia ambil.
"Rey mau ngomong sesuatu." Ucapnya dengan pelan. Ia takut dengan reaksi 2 orang yang ada di hadapannya ini.
"Nanti dulu ngomongnya cepat bersiap-siap sebentar lagi ijab kabul di laksanakan." Ucap wanita baya itu dengan lembut. Tangannya bergerak memberikan jas putih yang akan di gunakan buat pesta.
"Ini serius ma." Ia menghentikan pergerakan tangan wanita yang di sebut sebagai mama.
"Cepat bersiap-siap, papa mau keluar dulu menemui besan." Ucap pria tua yang menatap putranya dengan tegas.
Reyhan menelan ludahnya menatap mata sang papa. Ia menggeleng menahan sang papa untuk pergi.
"Rey nggak bisa nikah ma, pa." Ucapnya lugas dengan perasaan yang mulai ketar ketir. Takut jika sakit papanya kambuh karena perbuatannya.
Plak.
Tamparan hinggap di pipinya. Sakit dan panas Rey rasakan. Ia akui jika dirinya pantas mendapatkan ini. Semua sudah terlaksana tapi ia harus membatalkannya karna suatu paksaan.
"Apa-apaan kamu ngomong kek gitu." Teriak papa arsan dengan emosi.
Mama iren terkejut dengan penuturan sang anak. Ini di luar dugaannya.
"Kenapa rey?" Tanya mama iren dengan perasaan sedih. Matanya berkaca-kaca menatap Rey yang menunduk.
"Rey nggak bisa karna Rey menghamili anak orang."
Plak
Tamparan kembali ia dapatkan dari mama iren. Ia merasa gagal mendidik sang anak. Perasaannya sakit dengan keadaan yang terjadi. Pernikahan sebentar lagi akan terjadi kenapa malah seperti ini.
Gabriel membalikkan badannya saat mendengar ucapan kakaknya yang menghamili anak orang. Ia terkejut, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Ini masalah kakaknya jadi harus kakaknya yang selesaikan. Ekspresi wajahnya masih tetap datar dan cuek. Matanya menatap sang kakak dengan tatapan mengejek.
"Kamu gila Rey, sebentar lagi kamu akan menikah. Semua tamu sudah menunggu, apa kamu mau membuat papa sama Mama malu!" Teriak papa arsan yang menggelegar. Untung kamar itu kedap suara jadi teriakan papa arsan tak akan terdengar sampai di luar. Papa arsan tak menyangka ini terjadi di keluarganya. Bahkan yang melakukannya adalah anaknya sendiri.
Papa arsan memijit keningnya. Ia pusing dengan keadaan ini. Perasaan gagal menjadi ayah menyelimuti hatinya.
"Beri wanita itu uang dan suruh pergi jauh dari keluarga kita." Ucap papa arsan dengan suara rendah.
Tak tau lagi harus bagaimana. Ini jalan satu-satunya yang harus dirinya ambil. Ia juga tak ingin kalau wanita yang di hamili anaknya itu menderita. Tapi keadaannya yang tak memungkinkan.
"Papa gila, ada anak Rey dalam perut wanita itu. Rey nggak Setega itu membuang wanita itu setelah rey menikmatinya pa." Rey tak habis pikir dengan jalan pikiran sang papa.
"Tak ada jalan lain Rey. Keadaan sekarang berbeda." Mama iren menatap anaknya dengan tatapan kecewa. Air mata sudah membanjiri pipinya.
Papa arsan memeluk istrinya untuk menguatkan wanita itu.
"Rey nggak bisa ma." Rey menunduk.
"Apa wanita itu ada disini?" Rey mengangguk mengiyakan ucapan mama iren. "Panggil dia Rey, mama mau bicara sama dia." Lanjut mama iren.
Rey menggeleng. "Mama mau ngomong apa? Jangan salahin dia, ini salah Rey ma." Ucap Rey.
Gabriel hanya diam menatap drama yang di buat kakaknya. Ia ingin marah, kakaknya seenaknya menghamili anak orang padahal pernikahan sudah di rencanakan jauh-jauh hari.
"Dengar mama kamu Rey. Bawa wanita itu di depan kami."
Rey pasrah. Ia berjalan keluar kamar. Dan kembali masuk membawa seorang wanita cantik ke hadapan orang tuanya.
Mama iren melepas pelukan dari suaminya. Ia berjalan ke hadapan wanita yang berdiri di samping Rey.
"Tante mohon tinggalin Rey. Sebentar lagi Rey akan menikah. Tante akan ngasih apa pun sama kamu. Kamu mau rumah, mobil, atau apapun itu Tante kasih, yang penting tinggalin Rey. Tante mohon." Mohon mama iren memegang bahu wanita itu.
"Ma, Rey nggak bisa ninggalin nata. Rey sayang sama dia, ada anak kami dalam rahim dia." Ucap Rey menghentikan tingkah mama iren.
Gabriel menatap nata yang juga menatapnya dengan tatapan tajam. Aura kebencian terlihat di matanya. Karna wanita itu mamanya sampai memohon, padahal itu tak pernah di lakukan oleh mamanya selama ia hidup. Wanita anggun yang biasanya mengangkat wajahnya sekarang harus menunduk memohon. Merendahkan harga dirinya. Gabriel mengepalkan tangannya dengan sangat kuat, urat-urat sudah terlihat di tangannya.
"Bawa wanita itu pergi dari sini." Teriak Gabriel menggelegar karna kehilangan kesabaran.
Semua orang terkejut mendengar suara bass itu berteriak. Nata yang sedari tadi menatap Gabriel menjadi takut. Tubuhnya gemetar.
"Apa urusanmu dengan ini?" Tanya Rey menatap adiknya yang sudah emosi.
Gabriel mengangguk dan tersenyum remeh. "Bawa wanita murahan itu pergi dari sini." Ucap Gabriel lagi dengan tatapan jijik.
"Sialan, jangan pernah bilang wanita murahan kalau lu nggak tau apa yang terjadi." Emosi Rey memuncak. Ia berjalan ke hadapan Gabriel siap untuk menghajar sang adik.
Gabriel tertawa renyah. "Oh ya." Gabriel mengangkat alisnya.
Bugh.
Satu tinjuan mendarat di pipi Gabriel.
"Rey stop" teriak mama iren.
Rey menghentikan aksinya karna di lerai papa arsan. Bahkan tamparan kembali melayang di pipinya.
Plak
Mama iren mendekat memegang bahu Gabriel. "Kamu nggak apa-apa sayang?" Tanya mama iren ke putra bungsunya. Gabriel mengangguk.
"Lihat karna kamu anak saya menjadi seperti ini. Seumur hidup anak saya tak pernah melakukan ini sama saudaranya." Teriak mama iren pada nata dengan tatapan marah. "Karna kamu keluarga saya seperti ini." Lanjut mama iren menunjuk nata yang diam mematung.
"Oke, aku bakal nikahin wanita itu." Putus Rey menatap nata. Nata balik menatap Rey dengan perasaan yang tak menentu. Ada rasa kecewa memancar di matanya.
Mama iren tersenyum mendengar keputusan Rey. Perasaan lega menghampiri hatinya.
"Makasih Rey sudah dengar kata mama." Mama iren menghampiri Rey dan memeluk anak sulungnya itu. "Makasih sayang. Jangan buat keluarga kita malu." Lanjut mama iren mengelus punggung sang anak.
"Rey mau nikah yang penting wanita itu mau di madu. Rey nggak mungkin hilang tanggung jawab sama nata ma." Mama iren melepas pelukannya.
Plak
Tamparan kembali melayang di pipi Rey. Tamparan ke 4 membuat pipi Rey kebas.
"Apa-apaan kamu Rey." Tutur mama iren menatap Rey nyalang. Tak habis pikir ia dengan anaknya yang satu ini. Rasa kecewa memuncak di hatinya.
Gabriel menarik kerah baju Rey. "Gue bilang bawa pergi wanita itu dari sini." Tekan Gabriel menatap nyalang Rey. Ini pertama kalinya ia kesal pada sang kakak.
"Kalau gitu lu yang nikah sama dia."
Gabriel mendorong sang kakak. Ia membuang muka. Mendengar ucapan Rey membuat dirinya makin emosi. Ini kesalahan yang kakaknya lakukan. Kenapa harus ia yang tanggung.
"Biarkan Gabriel yang gantiin Rey ma." Rey berjalan ke arah nata. Menggenggam nata yang sedari tadi diam melihat pertengkaran keluarganya.
Nata tak berani mengeluarkan suaranya karna takut melihat tatapan mama iren yang siap menerkam.
"el bantu mama yah." Mama iren mengelus lengan Gabriel dengan lembut.
"Ini pernikahan ma, El nggak bisa menikah sama dia." Gabriel menatap sang mama.
Mama iren menangis tersedu. Bukan cuman keluarganya yang akan malu. Tapi keluarga besannya. Apalagi ia dan sang suami yang meminta wanita itu buat menjadi menantunya.
Papa arsan memeluk sang istri yang menangis terisak. Berarti pernikahan ini harus batal karena ia tak bisa memaksakan kehendak sang anak. Ia yang salah terlalu memaksa pernikahan ini terjadi.
sampe sini dulu yah. maaf kalau ceritanya kurang menyenangkan.
author masih belajar.
selamat membaca..
Seorang wanita bercadar sedang menatap dirinya melalui cermin. Perasaannya campur aduk. Tapi, perasaan deg-degan lebih mendominasi di hatinya.
Ayana Sina Abraham, wanita bercadar yang berumur 21 tahun. Seorang pembisnis dalam naungan papinya. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang terjadi selama ia menjadi anak di keluarga barunya. Apalagi sekarang ini, membuat ia keringat dingin.
Ini adalah acara sekali seumur hidup yang akan ia jalani. Dengan pria yang di jodohkan oleh mami sama papinya. Orang tua angkat yang sangat menyayangi dirinya dari ia datang kerumah mereka berdua. Ia tak ingin menolak jika itu kebahagiaan mami papinya. Orang tua angkat yang menyelamatkan dirinya dari rumah bordil karna di jual oleh orang tua kandungnya.
Dirinya di beli oleh pengusaha properti nomor 4 se-Asia, oleh pasangan Antonio Abraham dan Wina Anin Abraham. Setelah ia di beli di umur 12 tahun, hal buruk yang pernah terjadi padanya, berubah menjadi bahagia. Kasih sayang yang ia inginkan, ia dapatkan pada orang tua angkatnya sekarang.
"Anak mami cantik." Ucap mami Wina di belakang yana. Mengelus wanita bercadar itu dengan sayang. Membuyarkan lamunan yana.
Mereka saling melihat dari pantulan cermin.
"Maminya yana lebih cantik." Ucap Yana dengan mata menyipit menandakan ia tersenyum di balik cadarnya.
Mami Wina terus mengelus lengan sang anak untuk mengurangi ketegangan pada Yana.
"Jangan tegang sayang." Mami Wina menundukkan kepalanya dan mengecup kepala sang anak.
"Mami jangan sedih." Yana membalikkan badannya menghadap mami Wina. Ia memegang pipi wanita baya itu dengan pelan karna takut make up itu luntur.
"Mami nggak sedih, mami itu terharu karena bahagia, anak cantik kesayangan mami dan papi sebentar lagi menjadi milik lelaki lain. Anak mami sudah besar." Ucap mami Wina dengan mata berkaca-kaca.
"Mami nggak kehilangan Yana kalau sudah menikah. Yana bakal sering berkunjung ke rumah mami kalau Yana ikut suami."
Yana berdiri dan memeluk sang mami dengan erat. Sebenarnya ada kesedihan dalam hatinya karena terlalu cepat berpisah dari orang tua yang begitu hebat ini. Tapi takdir tak bisa di salahkan.
Krieek.
Pintu terbuka menampilkan seorang pria dewasa yang masih terlihat tampan.
"Ada apa ini, kok main peluk-peluk nggak ajak papi." Ucap papi Anton memanyunkan bibirnya pertanda dia sedang merajuk.
Yana melepas pelukannya. Dan menghampiri papi Anton, memeluknya dengan erat. Ia ingin menangis tapi tak ingin make up yang berjam-jam di buat harus luntur karena air matanya.
"Yana harus jadi istri yang baik untuk suami yah. Nggak boleh bantah apa yang suami katakan." Bisik papi Anton di telinga sang anak.
Yana mengangguk mengiyakan ucapan sang papi. Ia akan selalu ingat nasehat papi sebelumnya.
"Makasih Pi."
"Papi juga makasih sama yana."
Papi Anton melepas pelukan itu dan menatap sang anak dengan penuh cinta. Dari dulu ia menginginkan anak akhirnya ia bisa merasakannya. Walaupun bukan dari rahim sang istri itu tak mengapa. Ia tak pernah menyalahkan sang istri yang mandul, bahagia bukan cuman karna hadirnya seorang anak. Ia menikahi istrinya bukan untuk melahirkan anak untuknya, tapi ingin hidup bersama sampai tua. Ada anak atau tak ada yang penting ia bersama sampai tua dengan bahagia.
"Anak cantik papi jangan nangis, make up-nya nanti ilang." Kekeh papi Anton mengelus pucuk kepala Yana.
Ia mengecup sayang kening sang anak. Setelahnya bergantian mengecup sayang sang istri tercinta. Wanita yang menemaninya selama 32 tahun.
"Papi keluar dulu, sekalian suruh mua perbaiki make up anak sama istri ku yang sedang bersedih ini." Papi Anton tertawa dan keluar melihat tamu-tamu yang sudah datang.
Mami Wina dan Yana kembali berpelukan. Rasanya pelukan ini tak cukup buat menahan rindu nantinya.
Pelukanpun terlerai. Mami Wina menatap sang putri. "Melihat Yana seperti ini mengingatkan mami pas masih muda." Mami Wina terkekeh mengingat saat dirinya di pinang oleh sang suami.
"Mami pasti cantik." Yana mengelus pucuk kepala mami Wina yang terbalut jilbab putih.
"Tapi anak mami yang paling cantik, walaupun terhalang cadar, udah keliatan kalau anak mami ini sangat cantik." Puji mami Wina membuat Yana tersipu di balik cadarnya.
"Makasih mami, makasih buat segalanya yang mami beri buat Yana."
"Itu sudah seharusnya Yana dapatkan dari mami. Yana kan anak mami."
Yana mengangguk. Ia tak ingin membahas masa lalu yang sangat menyakitkan. Masa lalu yang membuatnya tersiksa.
Kriingg. Kriingg..
Suara telepon berbunyi membuat percakapan anak dan mami itu berhenti.
Yana melihat ponsel yang berbunyi. Ia mengangkat ponselnya yang tertulis nama Novi tertera di layarnya.
"Halo, assalamu'alaikum." Sapa Yana memulai percakapan.
"Wa'alaikumussalam." Jawab Novi di sebrang telpon. "Yana selamat yah untuk pernikahan kamu hari ini, maaf kalau aku nggak bisa datang ayahnya arka belum bisa pulang, arka juga tiba-tiba demam semalam makanya nggak bisa pulang. Tapi tenang aja, aku dah kirim hadiah pernikahan kamu." Lanjut Novi dengan suara gembira.
"Nggak apa-apa kamu dah ngomong semalam."
"Yah takutnya kamu marah karena aku tak datang Yana sayang."
"Aku tak masalah. Aku mengerti sama keadaan kamu."
Di seberang telepon terdengar suara anak menangis. "Ya udah yah yan, arka rewel, ayahnya lagi keluar beli bubur. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam." Yana menjawab salam sang sahabat. Tak lama akhirnya terputus sepihak.
Novi sudah bersahabat sama Yana pas SMA. Novi menikah pas lulus SMA karna di jodohkan. Bukannya menolak Novi bahkan semangat untuk menikah. Karna emang keinginannya menikah muda, berbeda dengan yana yang tak ingin menikah terlalu cepat.
**********
"Bagaimana para saksi sah?" Tanya sang penghulu.
"Sah." Teriak para tamu yang hadir.
Pernikahan akhirnya berjalan dengan lancar. Beberapa para tamu bahagia mendengar ijab kabul yang keluar dari mulut pria yang sangat tampan dan cukup berpengaruh di dunia bisnis. Ada juga yang berbisik-bisik karna beberapa mengenal pria yang seharusnya menikah, malah berbeda.
Justice Gabriel Busta akhirnya terpaksa menerima pernikahan ini untuk menggantikan kakaknya. Ia tak menyangka kalau ini harus terjadi di usianya 27 tahun. Ia belum siap untuk menikah, ia masih ingin fokus di perusahaan yang ia naungi dan kembangkan sendiri tanpa campur tangan sang ayah.
Apalagi Gabriel punya kekasih. Orang tuanya telah setuju dengan wanita pilihannya. Sekarang malah ia yang menikah, tapi mempelai wanitanya bukan sang kekasih.
"Selamat sayang, kamu harus belajar jadi suami yang baik untuk istri kamu kedepannya." Bisik mama iren tepat di dekat telinga Gabriel.
Gabriel mengangkat kepalanya. Menatap mata mama iren. "Bagaimana bisa." Ucap Gabriel dengan tatapan dingin.
"El pasti bisa, ikhlasin apa yang terjadi sama El sekarang." Mama iren mengelus lengan Gabriel. "Dia cantik, lebih cantik dari Tasya." Lanjut mama iren tersenyum bahagia.
Gabriel menghela napas mendengar ucapan mama iren yang mengatakan istrinya sekarang lebih cantik dari Tasya.
Buat apa cantik kalau hatinya telah di miliki oleh wanita lain, percuma. Pikirnya
Yana berjalan menuruni tangga dengan pelan. Ia melihat para tamu yang sedang terang-terangan menatap kagum ke arah pria yang sedang menunduk di depan sang penghulu.
"Jangan tegang sayang." Bisik mami Wina.
Yana melemaskan badannya, mana bisa ia tak tegang jika sedikit lagi ia berada di dekat suaminya. Yah suaminya, beberapa menit yang lalu ia sudah sah menjadi istri.
Yana sudah berada di samping pria yang sudah 3 kali ia lihat. Pria itu tetap menundukkan kepalanya.
"Kalau begitu silahkan saling memakaikan cincin." Ucap pak penghulu membuyarkan lamunan Gabriel.
Sang mempelai saling berhadapan. Yana menatap pria yang berada di hadapannya berbeda dengan pria yang di jodohkan. Ia terkejut melihat ini. Berbagai macam pertanyaan sudah mengelabui pikiran kecilnya membuat perasaannya makin tak menentu.
Pria di hadapannya tak pernah sekalipun ia lihat. Walaupun dari segi wajah, pria yang ada di depannya ini lebih tampan. Tapi, kenapa ia yang jadi mempelai prianya. Apakah pria ini yang jadi suaminya sekarang?
Gabriel memasang cincin itu dengan lugas dan lancar tanpa hambatan. Berbeda dengan yana yang merasa gemetaran, pikirannya kalut dengan apa yang terjadi sekarang. Akhirnya cincin terpasang dengan pas di jari keduanya.
Pesta akhirnya terlaksana dengan meriah tanpa hambatan. Semua bahagia melihat mempelai yang duduk berdampingan di atas pelaminan. Kecocokan di antara mereka sangat kentara.
****
Di lain tempat, tepatnya di ujung tempat acara. Rey menatap sang adik yang tetap memasang wajah dingin dan datar. Saat menyambut tamu pun ekspresi itu tak pernah berubah sedikitpun.
"Maaf." Nata menatap Rey dengan perasaan bersalah.
"Bukan salah kamu. Aku yang memaksa mu melakukan ini." Ucap Rey dengan mata masih menatap 2 mempelai di atas pelaminan.
Sedikit pun tak ada rasa penyesalan hinggap di hatinya melihat wanita yang seharusnya menjadi istrinya bersanding dengan sang adik. Ia merasa lega karena terhindar dari pernikahan ini.
"Kenapa bukan tuan saja yang menikahi nona itu?" Tanya nata takut-takut. Ekspresi Rey tak ada bedanya dengan sang adik.
"Karna aku tak ingin menikah dengan wanita yang tak pernah sekalipun aku lihat wajahnya." Rey menatap nata yang masih menatapnya.
Nata membuang muka saat Rey menatapnya. Ia merasa deg-degan berada di dekat laki-laki yang mengaku telah menghamilinya.
"Bukankah nanti juga tuan akan melihat wajahnya."
"Tapi aku tak menginginkan dia." Nata mengangguk mengerti mendengar jawaban Rey.
"Karna pernikahan sudah terjadi apa kita juga sudah selesai?" Tanya nata dengan pelan. Ia takut Rey menyalah artikan pertanyaannya.
Rey memajukan wajahnya di samping telinga nata. "Menurut mu." Bisik rey.
Badan nata menegang mendengar bisikan Rey di telinganya. Ia memalingkan wajahnya menghadap Rey. Melihat wajah itu dengan kagum.
"Kita akan menikah kontrak." Ucap Rey memundurkan kepalanya. "Aku tak ingin orang tua ku mengetahui kalau ini cuman akal-akalan kita saja." Lanjutnya.
Nata mengangguk. "Kenapa tuan tak menyarankan pernikahan kontrak ini pada nona itu."
"Dia berbeda, paling dia bakal banyak ceramah, aku bosan dengan ceramah orang tua ku." Rey menatap malas Yana yang sedang menyapa tamu.
"Semua wanita memang seperti itu."
"Dia bukan tipe ku, dia pasti jelek di balik cadar itu." Rey meremehkan Yana yang terlihat kuno.
"Bagaimana kalau dia cantik tuan?"
Rey mengangkat bahunya. "Berhenti banyak bicara."
Nata mengatupkan bibirnya. Ia tak berani lagi bicara setelah mendengar perintah dari Rey.
"Persiapkan dirimu untuk pernikahan kontrak kita." Ucap Rey enteng. Nata hanya mengangguk mengiyakan.
Pernikahan kontrak ini tak akan merugikan Yana. Seorang anak pembantu yang bekerja di rumah sahabat Rey. Keuntungan bakal ia dapatkan dengan pernikahan ini sesuai janji Rey di awal.
Acara akhirnya selesai. Rasa deg-degan makin terasa di hati Yana. Jantungnya sudah lari maraton saat dirinya di dalam kamar. Ia sendirian menunggu sang suami yang entah pergi kemana.
Kamar yang sudah di dekorasi sedemikian rupa. Kelopak mawar berbentuk hati di atas kasur dan juga hiasan angsa yang berpasangan.
Melihat itu Yana menjadi malu sendiri. Pikirannya campur aduk. Antara ia harus melakukannya atau tidak. Tapi, balik lagi kalau melayani suami adalah keharusan. Siap tidak siap ia harus tetap melayani.
Gaun pengantin sudah terlepas di tubuh Yana. Menyisakan gamis polos bewarna navi, jilbab dan tak lupa memakai cadar.
Yana berjalan ke arah pintu. Ia ingin keluar sebentar menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Mumpung suaminya belum datang.
"Selamat atas pernikahannya. Gue senang ngeliatnya." Ucap seorang pria cukup nyaring.
Yana menghentikan tangannya yang ingin membuka pintu. Ia berdiri tetap di balik pintu mendengar suara seorang pria yang sedang berbicara.
"Bukan urusan lo." Ketus Gabriel menatap kakaknya yang tersenyum ceria.
"Oh, ayolah, ini hari bahagia lo. Malam pertama sudah di depan mata." Rey mengedipkan mata menggoda sang adik.
"Gue nggak butuh." Gabriel memutar bola matanya malas melihat tingkah Rey yang menyebalkan.
"Oiya, malam pertama ini lo harus hati-hati. Siapa tau dia masih perawan, cewe perawan akan merasakan sakit saat pertama kali." Bisik Rey di telinga Gabriel. Ia tertawa melihat ekspresi Gabriel yang terlihat masam.
"Nggak usah ikut campur urusan gue. Urus saja cewe lo yang hamil itu." Ketus Gabriel.
"Cih, selamat bersenang-senang." Rey beranjak dari hadapan Gabriel yang terlihat emosi. Ia tak ingin membuat emosi sang adik makin memuncak.
Yana mundur tiga langkah dan berbalik berjalan menuju sofa dan mendudukinya. Ia sudah tau alasan pengantin prianya berganti orang. Ternyata pria itu menghamili wanita lain.
Entah, ia harus bersyukur atau tidak. Bukannya lelaki yang ia nikahi sekarangpun tak menginginkannya.
Suara pintu terbuka. Seorang pria tinggi masuk dengan perlahan. Yana melihat pria itu yang tak memperdulikan kehadirannya.
Gabriel berjalan memasuki kamar mandi untuk membersihkan badannya yang lengket. Ia sama sekali tak memperdulikan wanita bercadar itu.
15 menit berlalu Gabriel selesai dengan urusannya di dalam kamar mandi. Ia berjalan ke arah meja panjang di dekat televisi berada. Ia mengambil 2 kertas dan 2 pulpen. Kakinya melangkah ke arah gadis itu yang duduk sambil memainkan gawainya.
Tangan Gabriel terulur memberi kertas kosong ke hadapan Yana. Yana tersadar dan melihat tingkah Gabriel kepadanya.
"Buat apa?" Tanya Yana mengambil kertas di tangan Gabriel. Ia menaruh gawai di pangkuannya.
"Gue mau buat perjanjian. Gue tau lo nggak suka sama pernikahan ini." Jawab Gabriel acuh.
"Saya tak bisa. Pernikahan bukan main-main, kalau anda ingin bercerai nantinya, setidaknya selama saya menjadi istri anda, saya akan melakukan kewajiban saya menjadi istri. Saya akan menyiapkan keperluan anda." Tutur Yana dengan lembut.
Yana menaruh kertas itu di atas meja. Matanya memperhatikan gerak Gabriel yang mengambil kertas itu dan menaruhnya di tempat semula.
"Apa anda tak menulis perjanjian anda sendiri?" Tanya Yana.
"Nggak." Gabriel menjawab dengan acuh, tak melirik Yana sedikitpun. Gabriel di buat tak mood lagi mendengar perkataan Yana.
Yana mengangguk mendengar jawaban suaminya. Jika Gabriel tak menginginkannya itu tak apa. Ia akan menerima itu. Jika suaminya tak menginginkannya, Yana tak akan membuka cadarnya di hadapan gabriel walaupun itu hanya berdua.
"Tidurlah. Biar gue tidur di sofa."
Yana bangkit dari sofa membiarkan Gabriel melakukan keinginannya. Ia tak ingin membantah ataupun menyuruh Gabriel tidur di kasur. Haknya sekarang hanya mengikuti keinginan sang suami.
Yana membaringkan tubuhnya di kasur yang empuk. Ia membalikkan badannya menghadap ke arah Gabriel yang tidur telentang dengan bersedekap tangan.
"Maaf." Lirihnya tak terdengar oleh sang suami. Ia merasa bersalah sekarang.
*******
Yana menggeliat dan membuka mata. Ia mengumpulkan nyawa terlebih dahulu dan membangunkan tubuhnya. Tangannya mengambil air di dalam botol yang berada di atas nakas. Setelah minum Yana melihat jam yang berada di samping air minumnya.
Jam 4:45.
Yana turun dari kasur saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 4. Ia masuk ke dalam kamar mandi setelah mengambil baju ganti.
Yana keluar dari bathtub setelah merendam tubuhnya 10 menit. Setelah memakai handuk Yana berbalik dan musibah menimpa dirinya.
Lantai yang ia pijak ternyata licin karena sedikit sabun tadi tertumpah. Alhasil paha Yana tergores karna samping bathtub yang tajam.
"Akhh..." Teriak Yana kencang karna kesakitan. Ia terduduk memegang pahanya yang memerah dan bercak darah berada di sana.
Gabriel yang mendengar suara teriakan membuat ia terbangun. Ia sudah bangun dari tadi saat mendengar suara dari yana. Tapi, karna tak ada yang harus ia lakukan, ia tetap menutup matanya tanpa memperdulikan wanita itu melakukan apa.
Ia berjalan ke arah kamar mandi dan membuka pintu dan melihat Yana yang tergeletak di samping bathtub. Ia sempat mematung sebentar melihat kondisi Yana yang hanya memakai handuk. Paha mulus terlihat sangat jelas di depan matanya.
Yana berusaha bangkit tapi terhenti saat mendengar suara pintu terbuka. Ia menengok ke arah pintu dan badannya seketika kaku melihat pria yang kemarin menikahinya berdiri di sana. Menatap dirinya yang memprihatinkan.
"Kenapa?" Tanya gabriel berjalan mendekat ke arah Yana saat kesadarannya kembali.
"Kepeleset." Ucap yana pelan.
Gabriel menggendong Yana.
"Iisshhh.. "ringis Yana menahan sakit di paha kirinya yang di tekan oleh tangan Gabriel.
"Kenapa? Ada yang luka?" Tanya Gabriel melihat wajah Yana. Benar kata mamanya kalau Yana itu cantik. Pasti semua pria akan terpikat melihat wajah cantik dan imut ini.
Yana mengangguk. "Anda menekan luka di paha saya." Yana menahan sakit di pahanya yang masih di tekan Gabriel.
"Tahan, dikit lagi sampai." Gabriel masih tetap menatap wajah ayu ini. Entah kenapa ia tak ingin memalingkan tatapannya dari wajah sang istri.
Gabriel menaruh Yana di atas tempat tidur dengan perlahan. Matanya beralih menatap paha kiri Yana yang terluka. Goresan luka di paha Yana cukup panjang. Membuat Gabriel panas dingin di hadapkan dengan pemandangan ini.
Ada yang bergejolak dalam dirinya.
"Di obatin dulu biar nggak infeksi." Gabriel gugup bukan main. Apalagi saat menyentuh paha Yana dan mendengar suara ringisannya membuat tubuhnya makin panas dingin.
"Iya." Yana tak tau harus berkata apa. Ia juga merasa gugup dengan keadaan sekarang. Gabriel menatap tubuhnya yang hanya terbalut handuk. Wajah yang tak tertutup cadar. Dan itu terlihat jelas di mata sang suami.
Gabriel membawa kotak obat di tangannya. Dirinya menunduk di bawah Yana dan mulai mengobati luka sang istri. Mati-matian ia menahan gejolak di tubuhnya melihat tingkah sang istri yang menggeliat. Itu sungguh menyiksanya.
"Kenapa bisa seperti ini?" Tanya Gabriel menghilangkan kegugupan dirinya.
Yana menatap suaminya yang telaten mengobati luka di pahanya. Ini kecerobohan dirinya lupa membersihkan sabun yang tumpah pas menuangnya.
"Musibah." Jawab Yana menahan malu.
"Lain kali hati-hati. Untung nyawa mu tak melayang." Ujarnya menetralkan degup jantungnya. Berbicara secuek yang ia bisa, mungkin itu bisa meringankan gejolak dalam tubuhnya.
"Iya. Pelan-pelan."
Gabriel melakukannya sepelan mungkin agar tak mendengar suara yang membuatnya bisa meledak.
"Sudah." Gabriel meninggalkan Yana menuju kamar mandi.
Ia meremas rambutnya frustasi. Kenapa ia harus menghadapi situasi seperti ini. Disaat ia tak bisa menyalurkan pada siapa pun.
Gabriel menyalakan air dingin dan langsung mengguyur tubuhnya tanpa melepaskan pakaiannya.
"Akh." Teriaknya. Walaupun sudah meredakan sedikit gejolak itu. Tetap saja bayangan tubuh sang istri tetap memenuhi otaknya.
Wanita cantik dan berwajah imut itu sungguh menyiksa pikirannya. Apalagi tubuhnya yang, akh sudahlah.
Cukup jangan di pikirkan lagi. Pikirnya.
Ia membersihkan badannya. Berlama-lama di bawah guyuran air agar menghilangkan bayangan sang istri.
Yana berjalan tertatih ke arah kopernya. Mengambil baju baru, karena baju gantinya masih berada di dalam kamar mandi.
Rasa malu masih menyelimuti hatinya. Ia malu berhadapan dengan suami sekarang. Walaupun tubuhnya berhak untuk suaminya. Tapi, ia masih malu jika berhadapan dengan Gabriel dengan keadaan seperti ini.
Yana berjalan ke arah cermin. Melihat tubuhnya yang pendek dan berisi membuat ia imut. Yana memutar badan ke kanan dan ke kiri memperhatikan dengan seksama.
"Apa aku begitu tak menggoda di mata dia sampai tak menginginkan aku?"
"Apa aku sejelek itu dimatanya?"
"Apa tipenya bukan seperti diriku."
"Kalau aku liat-liat emang tubuh ku tak menggoda, tinggi badan 155 dan berat badan ku 51. Pasti dia mencari wanita yang tinggi dan tubuh yang bagus menggoda."
Yana bercerita dengan dirinya sendiri di depan cermin. Memperlihatkan badan yang katanya tak menggoda itu. Ia terus memutar badannya.
"Akhh.." desah Yana merasa kecewa karena sang suami tak menginginkan dirinya. Suaminya bahkan tak tergoda dengan penampilan dirinya tadi.
Sedangkan Gabriel merasa frustasi karena bayangan Yana yang begitu menggoda iman. Menahan diri agar tak melewati batas di hadapan sang istri. Karna ia masih menghargai kekasih yang sangat ia sayangi.
Saat ini bukan bayangan wajah sang kekasih yang memenuhi pikirannya. Tapi, wajah cantik dan imut milik sang istri yang memenuhi pikirannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!