Pagi yang cerah di sebuah rumah mewah, satu buah keluarga sedang menikmati sarapan bersama.
Rutinitas setiap pagi yang dilakukan keluarga Ivan Dipa Ardjaya bersama istri dan kedua buah hatinya Dimas dan Tria.
"Kapan Papa mau berangkat ke Amerika?" tanya Dimas.
"Kemungkinan seminggu lagi,"
"Apa aku boleh ikut?" tanya Tria.
"Kamu masih kuliah Tria," ucap Mawar.
"Tapi, aku ingin ke sana, Ma."
"Lain kali saja," ujar Mawar.
"Memangnya Papa ada urusan apa selalu mondar-mandir ke sana?" tanya Dimas.
"Selain bisnis, Papa juga ingin menjenguk teman yang kebetulan lagi berobat di sana," jawab Ivan.
"Oh," ucap kedua anaknya.
"Dimas, apa kamu sudah memiliki kekasih?" tanya Ivan.
"Belum, Pa."
"Tak ada wanita yang mau mendekatinya, Pa." Celetuk Tria.
"Kenapa begitu?" Ivan penasaran.
"Aku belum bisa membagi waktu antara pekerjaan dengan wanita, Pa." Jelas Dimas.
"Oh, begitu." Ivan pun paham.
"Kenapa Papa bertanya itu kepada Dimas?" tanya Mawar.
"Papa sebenarnya ingin menjodohkan Dimas dengan putri dari teman Papa," jawab Ivan.
Tria tertawa mendengarnya.
"Teman Papa yang mana?" tanya Mawar.
"Teman Papa yang lagi berobat di Amerika," jawab Ivan.
"Pak Joshi?" tanya Mawar.
Ivan mengiyakan.
"Mama tahu putrinya," ucap Mawar semangat. "Mama setuju jika Dimas menikah dengannya," lanjutnya berucap.
"Dimas tak mau dijodohkan!" tolaknya.
"Dimas, gadis itu sangat baik dan cantik. Mama pernah bertemu dengannya. Mama yakin kamu pasti suka," Mawar berkata penuh yakin.
"Mau secantik apapun dia, aku tak suka dijodohkan. Aku ini laki-laki, berhak menentukan calon istri. Bukan Mama atau Papa," ucap Dimas tegas.
"Dimas..." Mawar ingin bicara tapi suaminya menyentuh tangannya memberikan isyarat cukup.
Dimas mengakhiri sarapannya, meraih tas kerja dan kunci mobilnya kemudian berlalu.
"Ma, Pa, Kak Dimas itu tampan dan mapan. Aku rasa jika dia ingin mencari wanita yang cantik dan pintar serta kaya raya pasti bisa. Untuk apa lagi dijodoh-jodohkan?" tanya Tria.
"Tria, gadis ini sangat baik. Mama yakin dan percaya jika dia sangat tulus," ucap Mawar.
"Aku jadi penasaran seperti apa rupa gadis yang akan dijodohkan dengan Kak Dimas," Tria tersenyum sinis.
"Kalau memang Dimas tidak mau, Papa juga tak memaksa. Mungkin dia bisa mendapatkan pria yang lebih baik dari kakak kamu," ucap Ivan.
-
Dimas tiba di kantornya, wajahnya tampak tak bersahabat. Bagaimana tidak, pagi-pagi kedua orang tuanya telah membahas perjodohan.
Pintu terbuka, seorang wanita berusia 25 tahun melemparkan senyuman kepada Dimas. "Secangkir kopi untukmu!"
"Terima kasih," ucapnya tanpa senyuman.
"Sepertinya ada masalah," tebak wanita bernama Lala.
"Tidak ada, kamu boleh keluar," ucap Dimas datar.
"Dimas, kita ini sudah berteman cukup lama. Cepat ceritakan apa yang sedang terjadi dengan kamu?"
"Aku tidak apa-apa," jawabnya tanpa menatap.
"Pasti kamu lagi ada masalah dengan keluargamu, ya."
Dimas menghela nafas lalu menatap wanita yang ada dihadapannya. "Bisa tidak kalau kamu tak perlu ikut campur urusanku?"
"Ups, maaf jika aku terlalu ikut campur," jawab Lala.
"Aku sedang tidak ingin diganggu," ucap Dimas.
"Baiklah, tenangkan dirimu sekarang. Jika butuh teman ngobrol, aku siap membantumu," Lala beranjak berdiri lalu melangkah keluar ruangan.
Dimas menyeruput kopi lalu memulai pekerjaannya.
Baru beberapa menit bekerja, pintunya kembali diketuk.
"Masuklah!"
Pintu pun terbuka seorang pria menyembulkan kepalanya lalu berkata, "Pak Dimas, kami butuh bantuan anda!"
Dimas mengarahkan pandangannya ke arah karyawannya, "Memang ada apa?"
"Ada seorang wanita dia maksa menjual mobilnya dengan harga mahal," jawabnya.
"Jika mobilnya masih bagus dan terawat berikan sesuai dengan harga pasaran," ucap Dimas.
"Tapi, dia mau seharga mobil baru," ujarnya.
Dimas menghela nafas lalu berkata, "Baiklah, aku akan menemuinya." Memundurkan kursinya lalu berdiri.
Karyawan pria membuka pintu lebar-lebar dan Dimas keluar dari ruangannya.
Melangkah lebih dahulu menghampiri pelanggan yang menurut karyawannya aneh.
"Ada yang bisa kami bantu?" tanya Dimas.
Wanita yang sedang berdebat dengan karyawan pria lainnya menoleh ke belakang, sejenak terpaku melihat ketampanan pemilik showroom mobil mewah tersebut.
"Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Dimas sekali lagi.
"A...ada.." jawabnya terbata.
"Saya dengar dari karyawan jika anda ingin menjual mobil namun meminta harga tinggi," ucap Dimas.
"I..iya.. karena mobil saya mahal," jelasnya tampak gugup.
"Bisa saya lihat mobilnya?"
"Bisa, mobilnya ada di luar," jawabnya.
Dimas berjalan bersama wanita ke arah parkiran melihat mobil mewah keluaran beberapa tahun lalu.
"Berapa anda ingin menjual mobil ini?"
"Satu setengah milyar."
Dimas tertawa kecil.
Wanita itu menarik sudut bibirnya melihat senyuman pria yang ada dihadapannya.
"Anda jangan bercanda, mobil ini yang baru saja harganya satu setengah, tidak mungkin saya harus membelinya dengan harga yang sama."
"Kata Om Ivan, saya boleh menjual harga mobil sesuai yang saya mau."
"Om Ivan siapa?"
"Katanya dia pemilik showroom mobil ini, Om Ivan bilang jika nanti saya akan bertemu dengan anaknya," tuturnya.
"Sebentar saya akan telepon Pak Ivan," ucap Dimas.
Melangkah tak jauh dari sana itu Dimas lantas menelepon papanya, "Halo!"
"Halo, Dimas. Apa Alya sudah berada di sana?"
"Oh, jadi wanita itu namanya Alya."
"Iya, Dimas. Dia ingin menjual mobilnya, kamu berikan saja yang dimintanya."
"Aku tidak akan mau memberinya, Pa."
"Dimas berikan saja, tolong bantu dia!"
"Aku tetap tidak mau, Pa. Kita akan merugi jika harus membeli mobil bekas tapi dengan harga yang baru!"
"Tidak apa, Nak."
"Aku tetap tidak akan membeli mobil itu dengan harga segitu!" Dimas menutup teleponnya.
Dimas lalu kembali mendekati Alya.
"Bagaimana?" Dengan wajah semangat Alya begitu tak sabar menunggu jawaban dari Dimas.
"Saya tidak bisa membeli mobil ini dengan harga segitu."
"Kenapa?"
"Showroom kami harus menjual berapa lagi, jika harga yang ada minta terlalu tinggi."
"Mas, tolong saya. Beli mobil ini dengan harga segitu, saya lagi butuh uang banyak buat perobatan papa," ucapnya dengan wajah sendu.
"Saya tetap tidak bisa, jika kamu mau saya berani membayarnya dengan harga tujuh ratus juta."
"Itu terlalu murah sekali, apa tidak bisa ditambahkan?"
"Tidak bisa, jika mau saya akan membelinya."
Alya masih berpikir dan berdiri.
"Bagaimana?"
"Boleh ditambah dikit?"
"Tidak, saya hanya sanggup membelinya dengan harga segitu."
Alya mengatupkan kedua tangannya, "Tolong saya, Mas. Beli mobil ini dengan harga tinggi."
Dimas menatap arlojinya, "Saya tidak memiliki banyak waktu, jika mau saya akan membelinya. Atau anda bisa menawarkannya kepada orang lain."
Alya masih diam dan berpikir, ia memperhatikan mobil miliknya secara keseluruhan. Ada rasa sedih jika harus menjualnya, tapi dirinya tak punya pilihan lagi. Kesehatan sang papa lebih utama apalagi harta satu-satunya adalah pria paruh baya itu.
Dimas yang sudah jenuh akhirnya memilih pergi meninggalkan wanita itu.
...----------------...
Hai semua ini karyaku ke-16, cerita ini saling berkaitan dengan kisah cintanya Azzam dan Annisa.
Kalian sudah tahu 'kan, siapa Alya dan Dimas?
Jika tahu jangan lupa tinggalkan jejak kalian....
Selamat Membaca 🌹
Bahagia Selalu 😊
Alya yang sadar Dimas telah pergi, gegas mengejarnya. "Mas, tolong tambahkan seratus lima puluh juta lagi!" mohonnya.
Dimas tak menoleh malah terus berjalan.
"Saya butuh uang yang sangat besar, tolong tambahkan sedikit saja!" Alya mengejar hingga ke pintu ruangan Dimas.
Lala yang sadar Alya mengejar atasannya sekaligus pria incarannya menarik tangan wanita itu secara kasar hingga terjatuh.
"Auww!" pekik Alya.
Dimas berhenti lalu menoleh ke belakang, matanya tertuju pada Alya yang sudah terduduk di lantai.
"Anda tidak bisa memasuki ruangan kerja atasan kami!" Lala memarahi Alya.
"Saya hanya ingin berbicara padanya," ucapnya lalu berdiri.
"Silahkan berbicara kepada karyawan kami yang lainnya," ucap Lala.
"Saya ingin nego harga lagi," ujar Alya.
"Keputusan saya tetap bulat, jika kamu mau perusahaan kami hanya mampu membeli dengan harga segitu," ucap Dimas.
Alya menarik nafasnya lalu berkata, "Baiklah saya mau menjualnya dengan harga segitu."
"Lala, arahkan dia kepada Laras," titah Dimas.
"Baik, Pak."
Dimas menutup pintu ruangannya kerjanya.
"Mari ikut saya!" ketusnya.
Alya mengikuti Lala.
-
Tak sampai 30 menit, Alya keluar dari showroom berjalan ke parkiran mobilnya memandangi kendaraan itu lalu mengelus bagian kepala dengan wajah sedih.
"Semoga kamu baik-baik saja dengan pemilikmu yang baru, selamat tinggal!" Alya berbicara dengan mobil lalu mengecupnya.
Karyawan yang berada di dekatnya mengernyitkan dahinya.
Sementara itu, Dimas yang berada di ruangannya lantai atas memasuki kedua tangannya di saku samping celananya memperhatikan sikap yang ditunjukkan Alya dari jendela.
"Dasar aneh!" gumamnya.
Alya melangkah meninggalkan halaman parkir lalu keluar menaiki ojek online.
Ponsel Dimas kembali berdering.
"Halo, Pa."
"Apa Alya telah pulang?"
"Sudah baru saja," jawab Dimas.
"Apa kamu memberikan uang sesuai yang dimintanya?"
"Tidak, Pa. Tapi, dia menerima uang yang ku tawarkan."
"Berapa harga mobil yang kamu beli?"
"Tujuh ratus juta."
"Kenapa murah sekali?"
"Pa, kita lagi jual beli mobil bukan yayasan sosial. Harga mobil bekas memang segitu, jika aku beli dengan harga tinggi kita harus menjual berapa lagi? Aku yakin mobil itu akan menjadi penghuni tetap di showroom milik kita bertahun-tahun."
"Dimas, dia menjual mobil itu untuk biaya kepulangan papanya dari luar negeri," ungkap Ivan.
"Aku tidak peduli, Pa. Penawaran harga yang ku beri cukup tinggi jika dia menjual ke toko lain mungkin dia hanya pulang dengan membawa uang jauh dari harga yang ku beli."
"Dimas, apa salahnya kita membantunya?"
"Pa, ini showroom mobil milikku dan aku yang bertanggung jawab jika papa ingin membantunya silahkan saja."
"Ya sudah Papa tidak akan memprotes tentang harga mobil itu lagi, semoga saja uang itu cukup membantunya," harap Ivan.
"Hemm.."
***
Keesokan harinya....
Malam harinya, kedua anaknya Ivan telah berkumpul. Mereka menikmati makan malam bersama. Tak ada pembicaraan serius sama sekali.
Ivan telah selesai menikmati makan malam masakan sang istri. "Papa tidak jadi ke Amerika."
"Kenapa, Pa?" tanya Mawar.
"Klien ingin melakukan pertemuan di sini, katanya dia belum pernah ke Indonesia," jelas Ivan.
"Oh, begitu," ucap Mawar. "Jadi Papa tak jadi menjenguk Pak Joshi dong?" tanyanya lagi.
"Tidak, Ma. Karena Pak Joshi akan kembali ke tanah air," jawab Ivan.
"Loh, kenapa? Apa sudah sehat?"
"Belum, tapi keluarganya tidak sanggup membiayai pengobatannya di luar negeri jadi mereka memutuskan mengobatinya di sini. Putrinya baru kemarin menjual mobilnya," jelas Ivan.
"Ya ampun," ucap Mawar tak tega.
Dimas hanya mendengar.
"Papa bilang tadi putrinya menjual mobilnya, itu artinya dia menjualnya di showroom Kak Dimas?" tebak Tria.
"Iya," jawab Ivan.
"Bagaimana wajahnya, Kak? Apa dia cantik?" Tria penasaran.
"Biasa saja."
"Aku jadi penasaran wanita yang akan dijodohkan dengan Kak Dimas," celetuk Tria.
"Tidak ada perjodohan," ucap Dimas.
"Papa takkan menjodohkanmu, tenang saja!" ujar Ivan.
-
-
Menjelang tidur Ivan dan istrinya merebahkan tubuhnya di ranjang, ponselnya Ivan berbunyi. Ia bergegas mengangkatnya, "Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, Pak Ivan."
"Ada apa, Arsan?"
"Pak Joshi meninggal dunia, Pak. Beberapa menit yang lalu, putrinya mengabari saya," jawab seorang pria sebaya dengan Dimas dari ujung telepon.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun, saya akan ke sana malam ini juga," ucap Ivan menutup teleponnya.
"Siapa yang meninggal, Pa?" tanya Mawar.
Ivan menyibak selimutnya, "Pak Joshi."
"Papa mau ke rumahnya?" tanya Mawar seraya melihat jam dinding menunjukkan pukul 9 malam lewat 30 menit.
"Iya, Ma."
"Mama ikut, Pa!" Mawar bergegas turun dari ranjang.
Keduanya berganti pakaian dan bersiap melayat.
Ivan mengetuk kamar putranya, tak menunggu lama pintu pun terbuka.
"Ada apa, Pa?"
"Temani kami ke rumah temannya Papa," jawab Ivan.
"Mau apa Papa dan Mama malam-malam begini ke sana?"
"Pak Joshi meninggal jadi tolong temani kami melayat," jawab Ivan.
"Hemm, baiklah. Tunggulah sebentar," ucap Dimas.
Tepat jam 10 malam, ketiganya berangkat ke rumah Alya. Begitu sampai, gadis itu duduk di samping tubuh papanya meratapi kepergiannya.
Mawar mendekati Alya dan memeluknya, memberikan kata-kata menghibur hati.
Sementara Dimas duduk tak jauh dari keduanya, ia memandangi gadis itu yang tampak begitu menyedihkan.
Meskipun ia membenci perjodohan namun dirinya merasa kasihan dengan Alya yang harus kehilangan kedua orang tuanya.
Mama Alya lebih dahulu pergi setahun lalu karena sakit dan kini papanya juga menyusul.
Dimas duduk bersebelahan dengan papanya mendengarkan cerita tentang keluarga Pak Joshi dari rekan sejawat Ivan.
Pukul 12 malam, ketiganya meninggalkan kediaman rumah Alya.
Diperjalanan pulang, Ivan berkata, "Besok pagi kamu mau ikut kami kembali ke rumah Alya?"
"Tidak, Pa."
"Ya sudah, biar kami dengan Pak Yo," ucap Ivan.
****
Keesokan paginya selepas sarapan, Ivan dan istrinya kembali pergi ke rumah orang tuanya Alya.
"Sepertinya Papa sangat akrab dengan Pak Joshi," ujar Tria.
"Ya, mereka pernah satu kampus," jelas Dimas.
"Oh, begitu."
"Oh, ya Kak. Tadi aku tidak sengaja mendengar pembicaraan papa dan mama, katanya kamu akan dipaksa menikah dengan gadis itu," ucap Tria.
"Jangan memberikan berita yang tidak jelas begitu."
"Kak, aku dengar. Kita lihat saja nanti, pasti Kak Dimas akan dipaksa menikah," ucap Tria.
"Sampai kapanpun Kakak tidak akan menerima wanita itu!" Dimas mengakhiri sarapannya lalu berangkat kerja.
Sementara itu, Alya masih terus menangis disamping papanya.
Ivan dan istrinya telah tiba di kediaman keluarga Alya.
Pukul 10 pagi, mereka berangkat ke tempat pemakaman. Lagi-lagi Alya kembali menangis ditumpukkan tanah bertabur bunga-bunga.
"Papa, dengan siapa nanti aku tinggal?" tangisnya.
Beberapa teman perempuan dari kedua orang tuanya, memeluk belakang tubuh Alya menguatkannya.
"Alya, kamu boleh tinggal di rumah kami," bisik Mawar ditelinganya.
-
Alya dan beberapa keluarganya telah kembali ke rumah orang tuanya.
Begitu sampai rumahnya, beberapa keluarga dari pihak papanya mengajak Alya duduk bersama-sama di ruang tamu.
"Papa kamu 'kan sudah pergi, kami harap kamu segera angkat kaki dari sini!" ucap wanita merupakan adik angkat dari Joshi yang pertama.
"Tante tidak salah, ini 'kan rumah milik kedua orang tuaku," ujar Alya.
"Memang iya, tapi rumah ini sebagai jaminan karena kedua orang tua kamu memiliki utang kepada Tante sebesar lima ratus juta," ucapnya lagi.
"Aku akan membayarnya, Tante."
"Kamu mau bayar pakai apa? Gaji kamu sebagai karyawan di perusahaan itu sangat kecil, mobilmu juga telah dijual."
"Ya, aku akan mencari caranya," ucap Alya.
"Kamu mau menjual diri?" Adik perempuan angkat Joshi yang kedua ikut merendahkannya.
"Astaghfirullah, walau miskin aku tidak akan menjual diri demi sesuap nasi," ucap Alya.
"Kami akan menjual rumah ini," ujar adik angkat Joshi pertama.
"Dan sisanya kamu tidak perlu takut, kami akan memberikannya kepadamu!" timpal yang lainnya.
"Lalu aku harus tinggal di mana?" tanya Alya masih dengan mata sembab.
"Itu bukan urusan kami!" jawab adik angkat Joshi kedua.
Sebulan kemudian......
Selepas dari kantor Ivan mendatangi kediaman sahabatnya untuk menjemput Alya dan membawanya pulang ke rumahnya.
Begitu sampai di rumahnya, kebetulan juga Dimas baru tiba tampak terkejut dengan gadis yang berada di samping papanya.
"Siapa dia, Pa?" tanya Tria yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya di ruang keluarganya.
"Dia Alya," jawab Ivan.
"Mau apa dia kemari?" tanya Tria tak suka.
"Dia akan menginap di rumah ini beberapa hari," jawab Ivan.
"Papa tidak salah?" Dimas kali ini bertanya. "Dia tinggal di sini, memangnya dia tidak memiliki rumah?" lanjutnya.
"Untuk sementara dia tinggal di sini, rumahnya akan dijual," jelas Ivan.
"Rumah kita seperti penampungan saja," Tria menggerutu.
"Apa dia tidak memiliki saudara? Kenapa harus menumpang di rumah kita sih, Pa?" tanya Dimas.
"Dimas...."
"Paman, saya janji besok akan pergi dari sini dan mencari kos-kosan kecil," Alya memotong pembicaraan.
"Tidak Alya, kamu tinggal di sini untuk beberapa hari. Paman akan mencari dan membeli rumah buat kamu," ucap Ivan.
"Wow, Papa akan membelikan rumah untuk dia. Baik sekali, apa jangan-jangan gadis ini memiliki hubungan khusus dengan Papa," Dimas menuding.
Ivan menampar pipi putranya.
Membuat Alya dan Tria terkejut begitu juga dengan Dimas yang memegang pipinya.
"Jaga ucapan kamu, Dimas!" Ivan mengarahkan jari telunjuknya dihadapan putranya.
"Papa menampar Kak Dimas hanya demi gadis miskin seperti dia!" Tria ikut kesal.
"Jika bukan kedua orang tuanya, kalian tidak akan hidup seperti ini!" Ivan menekankan kata-katanya.
Alya tampak gemetaran.
"Alya akan tinggal di sini, jangan kalian pernah mengusiknya!" ancam Ivan kemudian berlalu.
Dimas mengeraskan rahangnya, menatap tajam gadis yang ada dihadapannya.
"Kami tidak akan membiarkan kamu hidup tenang di sini," Tria berkata dengan sinis.
Dimas bergegas ke kamarnya.
-
Malam harinya, ketika makan malam.
Seluruh keluarga telah berkumpul hanya Dimas yang belum menunjukkan batang hidungnya.
Tak lama kemudian pemuda itu muncul namun ketika melihat Alya dia memilih kembali ke kamarnya mengambil kunci mobil.
Ivan menyadari putranya hendak pergi, lantas bertanya, "Mau ke mana kamu?"
"Aku mau makan di luar, Pa."
"Kenapa tidak makan bersama di rumah?" tanya Ivan lagi.
"Kak Dimas tidak mau makan jika ada dia di sini," Tria menyahut.
"Jawaban Tria sudah cukup 'kan, Pa." Dimas berkata sembari melirik Alya.
"Dimas, Papa tidak mengizinkan kamu keluar rumah!" ucap Ivan.
Dimas tak peduli dengan ucapan papanya memilih pergi.
Ivan menghela nafasnya.
"Biarkan saja dia begitu, Pa." Mawar menenangkan suaminya. "Silahkan lanjutkan makannya!" mengarahkan pandangannya kepada Alya.
Gadis itu mengangguk pelan, memasuki makanan ke dalam mulutnya dengan wajah sendu.
-
Pukul 12 malam, Dimas baru saja pulang. Pria itu memasuki rumah dengan wajah sedikit lebam.
Alya yang belum tertidur pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih namun di pertengahan jalan ia melihat Dimas dengan memegang bibirnya yang tampak berdarah.
Alya pun memberanikan diri bertanya, "Kenapa dengan wajah Mas Dimas?"
"Bukan urusan kamu!" ketusnya.
"Bagaimana jika saya obati?" Alya menawarkan diri.
"Tidak usah sok baik!" hardiknya.
"Maaf, Mas. Tapi luka itu harus di obati," ucap Alya.
"Jika kamu pergi dari sini, luka ini juga akan sembuh!"
"Maafkan saya, Mas."
Dimas memilih meninggalkan Alya yang masih mematung.
Alya melangkah ke kamarnya, duduk di sisi ranjang dan kembali menangis. "Kenapa hidupku seperti ini? Kenapa mereka begitu kejam dan tega padaku?"
***
Keesokan paginya, ketika sarapan Ivan memperhatikan bibir putranya memar.
"Jam berapa kamu pulang semalam?" tanyanya.
"Apa penting, Pa." Jawab Dimas ketus.
"Sayang, kamu kenapa sih? Papa 'kan tanya baik-baik," Mawar berkata lembut.
"Aku sarapan di kantor saja," Dimas memundurkan kursinya lalu melangkah pergi.
"Ini semua karena gadis yang Papa bawa," tuduh Tria.
"Kesalahan apa yang dia buat?" tanya Ivan.
"Kak Dimas tak mau ada perempuan ini di rumah karena ia tidak ingin Papa menjodohkannya," jelas Tria.
"Semakin dia begitu, Papa akan memaksa Dimas menikahi Alya," ucap Ivan.
"Papa tak bisa memaksa Kak Dimas menikahi gadis miskin seperti dia!" Tria menunjuk wajah Alya.
"Tria!" sentak Ivan. "Jaga sikap kamu!" marahnya.
"Terus saja bela dia, aku akan membuat dia tak betah tinggal di rumah ini!" Tria pun meninggalkan meja makan.
"Om, Tante, saya tidak bisa terus menerus tinggal di sini. Mas Dimas dan Tria tidak menyukai saya," ucap Alya merasa bersalah.
"Mereka hanya belum terbiasa, kamu jangan berkecil hati," ujar Mawar.
Alya hanya mengiyakan padahal dalam hatinya dirinya berharap bisa menikah dengan Dimas. Jika pernikahan terjadi, maka ia bisa tinggal hidup dengan mertuanya yang merupakan sahabat dari papanya.
-
Dimas menghabiskan waktu sarapan bersama seorang temannya yang bernama Hans.
"Tumben sekali kau mengajakku sarapan," celetuknya.
"Aku lagi suntuk," ucap Dimas.
"Masalah perempuan?"
"Ya."
"Kenapa lagi? Apa Clara mengajak balikkan?"
"Aku sih' ingin dia mengajakku balikkan, tapi ini lain orang," jawab Dimas.
"Siapa perempuan yang berani membuatmu suntuk?"
"Dia putri dari temannya papaku."
"Apa dia tidak cantik?"
"Bukan itu masalahnya."
"Lalu apa?"
"Aku akan dijodohkan dengannya."
Hans tertawa mendengarnya.
"Aku sudah tebak pasti kau akan mentertawakan ku."
"Jika dia cantik dan baik, kenapa tidak kau terima saja perjodohan itu!"
"Aku tidak menyukainya, Hans."
"Kalau begitu aku yang akan menikahinya jika memang dia cantik."
Dimas menatap tajam sahabatnya itu.
"Hei, kau bilang tidak mau di jodohkan dengannya. Kenapa jadi tak suka begitu?"
"Kau ingin aku juga membencimu?"
Hans tersenyum nyengir, "Tapi kenapa kau tak menyukainya?"
"Karena Papa lebih mendahulukan kepentingan gadis itu daripada aku dan adikku, apalagi mamaku juga ikut-ikutan membela dan menyayanginya!"
"Memangnya kedua orang tuanya di mana?"
"Sudah meninggal."
"Innalilahi wa innailaihi rojiun, itu artinya dia anak yatim-piatu?"
"Ya."
Hans meraup wajahnya, lalu mengetuk meja dengan jari telunjuknya. "Kamu harus menikahinya!"
"Loh, kenapa harus menikahinya?" Dimas mengernyitkan keningnya.
"Dia tidak memiliki orang tua lagi, kau harus menolongnya."
"Kenapa harus aku?"
"Kau ingin mendapatkan pahala tidak, gadis itu anak yatim-piatu."
"Hubungannya apa?"
"Mengasihi anak yatim-piatu itu pahalanya besar, apa salahnya jika kamu menikahinya?"
"Tapi, aku tidak mencintainya."
"Cinta itu urusan belakangan, semua akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Apalagi jika selalu bertemu."
"Kau ini kayak pernah jatuh cinta saja!" sindir Dimas.
"Hei, mantan kekasihku lebih dari satu," ucapnya bangga.
"Iya, deh. Sang casanova sulit ditandingi," Dimas meledek.
"Pastinya!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!