Sejak Surawijaya menikah lagi, Sajani memilih tinggal di kos yang tak jauh dari tempat kerjanya. Gadis lulusan sekolah menengah kejuruan prodi tata boga itu didapuk oleh salah satu toko Cake and Bakery ternama untuk menjabat sebagai asisten pastry cook, tepat setelah dia menerima ijazah.
Itu adalah salah satu alasan akurat yang dia utarakan untuk menghindari siksaan terselubung nan kerap di lakukan sang ibu sambung terhadapnya, apabila Sajani memergoki wanita ayu itu tengah mengkonsumsi zat adiktif atau mencoba menjual barang berharga untuk membeli sesuatu. Sebab dirinya yakin, ada hal yang ibu tirinya sembunyikan selain status sebagai pecandu. Tidak mungkin Surawijaya membiarkan dia mengeruk harta leluasa.
Sore hari, di rumah sakit.
Hampir satu bulan Surawijaya mendapat perawatan intensif di rumah sakit akibat serangan jantung beberapa waktu silam. Operasi pemasangan ring katup jantung pun telah dilakukan sejak satu pekan lalu. Neera, istri cantik Surawijaya terlihat sesekali menyambangi kamar VIP itu meski untuk sekedar meminta uang. Hanya Sajani, si putri kandung yang rela pergi pulang antara rumah sakit dan kos demi menjaga sang ayah.
"Sajani, ingat pesan ayah kan?" ucap Surawijaya pada putri tunggalnya.
Putri tunggal Surawijaya menyatakan keberatan namun tatapan sendu lelaki nan tak berdaya di atas brangkar membuat Sajani lemah. "In sya Allah. Aku akan ingat pesan Ayah dan melaksanakannya dengan baik, sebagai baktiku," ucap Sajani menahan ngilu yang menyergap hati.
Lelaki kaya pun meneteskan air mata, dia menatap lekat wajah ayu putrinya. "Ayah tahu, dia wanita tak baik. Maafkan ayah ya, Nak," bisik Surawijaya.
Tak lama kemudian, Neera datang ke ruangan sang suami dan berpura menangisi nasib mereka.
Surawijaya pun berpesan pada istri cantiknya itu. "Neera Sayang. Aku titip Sajani, sayangi dia bagai Nalini, putrimu. Dia tak punya sesiapa lagi didunia ini, kasih sayangmu untuknya kelak akan putriku balas dengan bakti tiada batas," ucap Surawijaya seakan menahan sakit.
Neera mengangguk cepat seraya melirik gadis belia yang duduk di sisi ranjang suaminya.
Tak lama kemudian, bunyi alat medis menggema. Sajani menekan bel tombol darurat sehingga dalam sekejap, team dokter datang memberikan pertolongan pada pasien.
Menit berlalu begitu cepat namun tanda ayahnya sadar tak juga muncul. Hingga keesokan pagi, kabar duka itu datang.
"Enggak! Ayah! jangan perlakukan Ayah begitu," seru Sajani histeris saat suster menarik selimut putih itu, untuk menutup jasad Surawijaya.
"Jangaaan, Ayahku masih hidup. Aku punya banyak uang, tolong Dokter! selamatkan Ayah," teriak Sajani menarik jas putih dokter yang menangani sang ayah.
Neera memeluk putri tirinya, mencoba berlaku lembut meski dalam hati, ia ingkar. Pengurusan jenazah pun dilakukan segera atas permintaan Nyonya Surawijaya.
Mentari berangsur tergelincir dan terganti oleh Dewi Malam. Sajani duduk di kamar sang ayah, merenungi akan nasib hidupnya di masa depan.
"Sajani, ini tagihan Hospital juga keperluan rumah dan kami. Jangan sampai orang mengira bahwa asset ayahmu berkurang hanya karena aku," ucap Neera masuk ke kamar Surawijaya, seraya menyerahkan setumpuk lembaran tagihan.
Gadis belia itu tidak lagi bernafsu menilik deretan angka di sana, toh semua musnah dan tiada dapat kembali, tak peduli siapa pelakunya.
"Hem, thanks Ma. Aku pulang ke kos sebab besok jadwalku padat," lirih Sajani berlalu meninggalkan ibu tirinya.
Neera tak terima diabaikan, dia menarik hijab panjang Sajani hingga kepala gadis itu menengadah. "Jangan sok jagoan, Jani! ingat amanah yang kau janjikan pada ayahmu," bisik sang Mama tiri.
"Lepas, Ma. Tenang saja, aku ini pemegang amanah, kelakuan Mama pun tak ku bongkar didepan ayah, bukan? meski aku sangat mampu melakukannya," sahut Sajani seraya berusaha melepas cekalan.
"Anak baik. Pergilah, dan jangan terlalu sering datang kemari," ucap Neera sambil lalu, menghempas kepala hingga Sajani terhuyung.
Nareswari Sajani, menghela nafas lalu melanjutkan langkah menuju kamar untuk mengemasi barang yang bisa dia bawa sebelum benar-benar pergi. Gadis berhijab hitam itu lalu menyalakan motor matic miliknya dan melaju ke rumah ustad tak jauh dari sana, meminta agar almarhum sang ayah rutin didoakan oleh jamaah masjid selama empat puluh hari kedepan serta menyerahkan sejumlah uang untuk sedekah jariyah atas nama Surawijaya.
Hari berlalu berganti minggu dan bulan.
Sajani teringat akan akta rumah peninggalan sang ayah yang lupa dia ambil dalam brankas. Siang itu, sang asisten pastry cook tengah off dari pekerjaan dan ingin mengunjungi kediaman lamanya.
Namun betapa terkejut Sajani kala mendapati rumah warisan Surawijaya untuknya tengah dipasang label lelang oleh sekelompok pria asing. Penampilan sangar tercermin jelas bahwa mereka adalah penagih hutang.
"Maaaa!" seru Sajani saat melihat rambut Neera di seret dari dalam rumah dan dipukuli.
"Jani!" pekik Neera, menahan sakit sebab sudut bibirnya berdarah, pelipis pun robek.
"Ada apa ini?" tanya Sajani berlari kecil, dia berusaha melepaskan cekalan tangan preman dari rambut ibu tirinya.
"Enyah!"
Bugh. Sajani jatuh, membentur tembok.
"Jangan ikut campur! bayar saja hutang ibumu!" teriak salah seorang pria tinggi berkulit gelap.
"Berapa banyak?" tantang Sajani.
"Seratus dua puluh juta!" balas preman bertato yang tengah melecehkan Nalini, saudara tirinya.
Gadis belia itu lalu masuk ke dalam kamarnya, dan tak lama keluar membawa sebuah kunci mobil milik almarhum. "Bawa ini, lunas! Jangan ganggu keluargaku lagi!" tegas Sajani dengan raut wajah nan merah padam.
Senyuman mengejek pun mereka layangkan pada Sajani, terlebih Neera dan Nalini.
"Cuh!" mereka meludah hampir mengenai wajah Neera yang tersungkur, seraya menyambar kunci mobil yang diserahkan Sajani.
Setelah komplotan preman itu pergi, Sajani menolong Neera dan saudara tirinya. Namun uluran tangan gadis ayu itu mereka tepis.
"Gara-gara surat rumah ini kamu sembunyikan kita jadi babak belur, dasar anak kurang ajar!" sentak Neera.
"Ma, aku dilecehkan dan dia diem aja," keluh Nalini memanasi.
Sajani tak mengindahkan ocehan keduanya, dia tetap menolong Neera, memapah langkah tertatih untuk masuk ke dalam rumah dan merawat luka sang Mama tiri. Tiada percakapan di antara mereka, Sajani terlihat tulus. Tekad pun bulat, setelah ini dia akan pergi menjauh selamanya, persetan dengan bakti pada mereka, bisikan iblis menguar memenuhi ruang otak yang sempit.
Saat langkah kaki itu akan menjauh, Neera mencekal tangannya. "Duduk dulu."
Nareswari Sajani terheran, tak seperti biasa Neera berucap lembut, hatinya mengatakan akan terjadi sesuatu. "Ada apa, Ma?" jawab Jani masih teguh berdiri.
"Nalini, tolong bawa buku itu yang di kamar Mama," pintanya pada sang putri kandung.
Gadis pemalas namun seksi bernama Nalini, melakukan perintah bundanya. "Nih!" Sodornya kasar pada Sajani.
Jemari lentik putri Surawijaya membuka lembaran demi lembaran disana. Monolid eyes cantik itu seketika membola. "Se-sebanyak ini?" tanya Jani shock.
"Iya, dan itu baru satu orang. Belum Jabir, dan pinjol, mana surat rumah ini!" Todong Neera seraya bangkit dan mendorong Sajani menuju kamarnya guna membuka brangkas.
"Itu hak ku, Ma. Enggak, itu hakku!" gadis berperawakan mungil itu berontak menahan dorongan tenaga dua wanita.
Merasa badannya kian terasa sakit pasca pemukulan oleh preman tadi, Neera menyerah. Namun ucapannya kali ini, sukses membuat Sajani lunglai.
"Kalau kau tak mau menyerahkan akta rumah ini. Maka penuhilah janjimu untuk berbakti padaku, Jani," pungkas Neera pongah, merasa diatas awan. Jalan keluar ninja terbebas dari hutang, akan dia jelang.
Dhuuaaaaaarrrr.
"A-apa," ucap Sajani ragu. "Jangan paksa aku, Ma. Aku juga tahu rahasiamu. Aku tahu segalanya, untuk apa dan kemana larinya semua uang yang selama ini kalian curi dari ayahku!" teriak Jani lagi, nafasnya memburu, giginya mengetat tanda dia marah.
"Ck, aku juga tahu apa wasiat ayahmu untukku ... lakukan atau nasibmu lebih buruk dari ini," bisik Neera, sembari menepuk pipi anak tiri yang kian pucat.
.
.
..._______________________...
"A-apa?" ucap Sajani terbata setelah mendengar bisikan sang ibu tiri.
"Pilih mana?" desak Neera sebelum pergi.
Putri Surawijaya seketika ambruk ditempat dia berdiri. Sosok yang dipaksa tegar akhirnya tumbang juga.
Peluh menetes bersama dengan air mata yang berlomba lungsur dari bagian atas wajah. Sajani menangis, isakan itu dia tahan bukan semata agar selamat dari pukulan dan teriakan Neera nan kerap menyebut sajani anak cengeng, melainkan karena batinnya ngilu.
Tatapan nanar dia layangkan pada Nalini yang memberikan senyuman mengejek saat melintas di ambang pintu kamar Sajani. Sang princess ketika Surawijaya masih hidup akhirnya bangkit, dia berjalan gontai menuju kamar Mama tiri. Namun tak dia jumpai kedua wanita itu di sana. Sajani lalu beralih menuju ruang tamu, berniat akan meninggalkan kediaman itu untuk jangka waktu yang lama.
Kala kaki perlahan memasuki ruang tamu nan megah, alangkah terkejut Sajani ketika melihat sosok yang dia cari tengah terkapar, tubuhnya mengejang dan menggigil hebat. Kedua bola mata itu mendelik ngeri pada Sajani, seraya tangan menggapai di udara disertai suara serak bagai hewan kurban hendak di sembelih.
"Apakah ini yang namanya sakau?" batin sang anak tiri.
Sajani gemetaran melihat ibu sambung kesakitan, dia ingin menolong Neera namun seketika tarikan Nalini pada bahu kiri, menghempas tubuhnya. Putri kandung wanita cantik itu lalu memberikan apa yang si ibu butuhkan.
"Mama sakit, bukan itu obatnya. Mama sakit parah kan!" seru Sajani mencegah Nalini.
Beberapa saat berlalu, pria pengantar itu lalu masuk ke dalam ruang tamu, mereka baru saja selesai bertransaksi sesuatu yang dilarang agama. Tanpa sungkan dan malu, keduanya kini kian terang-terangan mengkonsumsi barang haram di depan mata Sajani.
"Kalian...."
"Apa? gak usah muna, lo!" sergah Nalini hendak melayangkan pukulan ke arah wajah ayu Sajani.
Gadis ramping itu berhasil menghindar. "Lo, mabok!" dorong Jani hingga Nalini terduduk di sofa.
Karena lengah sebab Neera meracau, map akta tanah dalam genggaman Sajani berhasil Nalini rebut. Tawa gadis pemalas itu mengudara kala putri Surawijaya berusaha menggapai haknya.
"Balikin! balikin, itu hakku. Kalian kenapa gak open BO aja sih? kenapa pula Mama tidak menukar Nalini saja!" teriak Sajani kalap. Dia sudah tak dapat lagi menahan emosi.
Tawa menyeramkan dua wanita yang salah satunya baru saja lolos dari sakau, kembali menguar memenuhi ruangan megah dengan ceilling tinggi.
"Jani, mana ada lelaki yang sudi membeli gadis tidak perawan sepertinya? juga bagaimana dia akan melayani para pria hidung belang itu kalau dada dan bo-kongnya rata begitu," gelak Neera menjelaskan kondisi sang putri kandung.
"Bener ya Ma, aku gak laku dijual. Mama butuh obat untuk menghalau sakit asal kau tahu. Dan biaya itu sangat mahal," sinis Nalini sedikit membuka tabir rahasia.
"Kalian gila! Katakan padaku, Mama sakit apa?" teriak Sajani, seraya kembali berusaha mengambil akta rumah waris miliknya.
Entah dari mana datangnya para pria yang tiba-tiba masuk kedalam rumah. Nalini melemparkan map itu ke udara dan ditangkap oleh pria berpostur tinggi.
"Jabir, itu untuk melunasi hutangku padamu, sekalian deposit pembelian obat-obatan. Sisanya berikan rumah yang kau janjikan jika aku menyerahkan akta rumah ini," cecar Neera pada lelaki tua dengan kumis bagai Tuan Takur, tokoh antagonis di film India.
"Oke. Kau tepati janjimu maka aku juga. Meski selalu dibilang kejam, tapi aku ini rentenir bersertifikat. Itu artinya bahwa kemurahan hatiku dinilai dari ketepatan waktu membayar hutang," tawa Jabir kemudian seraya memendar pandangan ke sekeliling.
"Eh Hai, Nona," sapa Jabir saat melihat seorang gadis ayu, dia mendekati Sajani.
Gadis ayu pun perlahan mundur, sudah kering air mata hari ini. Hati Sajani diliputi ketakutan melihat betapa buruk lingkungan pergaulan keluarga sambungnya.
"Jangan sentuh, dia milik seseorang!" racau Neera dari atas sofa, dia masih belum pulih akibat serangan kejang tadi.
"Milik siapa? tak ada stempel di tubuhnya," lirih Jabir, terus mendesak Sajani.
"Enyah!" seru putri Surawijaya seraya meraih sebuah vas bunga besar, sebagai senjata pertahanan diri apabila lelaki itu menjamah tubuhnya.
"Wow, galak. Aku suka gadis binal apalagi dalam balutan syar'i," kekehnya.
Dengan tubuh sempoyongan, Neera menarik lengan si tua Jabir. "Pergi, penuhi janjimu!"
Setidaknya tindakan Neera membuat Sajani selamat hari itu. Tak dia hiraukan lagi surat berharga peninggalan satu-satunya dari sang ayah. Sajani bergegas meninggalkan kediaman mewah namun bagai neraka.
***
Beberapa pekan kemudian.
Sajani menerima panggilan telepon saat dia baru saja istirahat siang di tempat kerja. Nalini mengatakan bahwa Neera tidak dapat mengunyah makanan dalam dua hari terakhir. Dia meminta Sajani melihat keadaan ibunya, gadis pemalas itu menangis saat mengabarkan via udara tentang kondisi Mama mereka.
Putri Surawijaya pun mengangguk setuju, dia akan menemui mereka sore nanti dengan membawa pesanan Nalini, dua porsi bubur ayam Tanggerang lengkap dengan iced tea.
Setelah pukul empat sore.
Motor Mio matic berwarna hitam itu meluncur menuju kediaman lamanya, dua keresek berisi makanan serta sedikit sembako memenuhi bagian depan scooter itu.
"Bagaimanapun, dia pernah menjadi istri ayah, dan lagi-lagi aku melakukan ini karena amanah," lirih Sajani saat memacu tarikan gas ditangan kanan.
Dari jarak lima puluh meter, perasaan Sajani sudah campur aduk saat melihat kerumunan warga didepan rumah berpagar besi berwarna putih.
Perlahan kendaraan roda dua itu mendekat, Sajani membunyikan klakson beberapa kali agar kerumunan warga terurai. Betapa terkejut dia, kala para tetangga menatap acuh bahkan abai ketika melihat Neera dan Nalini di hajar dua orang preman hingga babak belur.
Lelaki mirip Tuan Takur itu pun nampak bersitegang dengan seorang wanita yang belakangan dia tahu namanya adalah, Mimo.
"Maaa!" Sajani meninggalkan motornya begitu saja, berlari melerai preman yang menampar pipi sang ibu.
Teriakan Sajani sontak membuat pria yang berada didalam mobil menoleh ke sumber suara, Tuan muda Sheraz memperhatikan gadis itu. "Diakah yang bernama Sajani, anak tiri Neera sebagai penukar hutang?" gumam sang Tuan muda.
"Jan-niiii," lirih Neera.
"Lepaskan! lepaskan! Mamaku sedang sakit!" teriak Sajani.
"Pergi, bocah!" Dorongan preman membuat Jani terhuyung.
Sajani histeris kala Neera dihajar dan tersungkur dengan mulut mengeluarkan darah. "Maaaaaaa!"
Mimo yang melihat gadis ayu nan dijanjikan Neera akan membayar semua hutang, serta merta menarik lengan si gadis dan menyeretnya. "Ayo ikut aku!"
"Eeehhh, siapa kamu. Lepaskan aku!" seru Sajani saat Mimo memaksanya ikut.
Putri Surawijaya berhasil berontak melepaskan diri dari cekalan Mimo. Dia tergopoh menghampiri tubuh yang tergolek diatas paving halaman rumahnya. "Ma, bangun. Kita sudahi ini ya. Hidup mulai dari nol denganku, aku akan merawat Mama. Kita obati sakit Mama dengan benar, mau kan?" isak Jani mengangkat kepala Neera dan dia letakkan dalam pangkuan.
"I-kut deng-an Mi-mo ya. J-iiika ingin a-aaku hi-dduuupp. Penuhi a-amana-hh mu," ucap Neera terbata.
Derasnya air mata yang jatuh tak lagi terbendung. Sajani melihat sekeliling, Nalini pun sama, terkapar meski tubuhnya tengah di cumbu salah satu preman. Walaupun dia urakan, tapi Jani tak dapat berdiam diri melihat semua pelecehan ini.
"Kasihan Jani, penuhi saja, mungkin ibumu akan mati," seru salah satu tetangga.
Degh.
Nareswari Sajani menatap satu persatu warga, dia akan ingat wajah-wajah acuh yang tak satupun menolong keluarganya. Satu detik kemudian, Neera muntah darah, membuat Sajani terpaksa mengangguk.
"Ayo, ikut!" tarik Mimo lagi.
"Kemana? motorku? kerjaanku?" tanya Jani mencoba berontak lagi, dia menepis kasar paksaan Mimo.
Jabir yang mengira mempunyai kesempatan untuk merebut Sajani mencoba membujuk Mimo agar bersedia melepaskan gadis itu untuk ditukar tambah dengan dua buah mobil.
"Dia milik tuanku. Hutang Neera padamu pun lunas, Jabir. Jangan mengada-ada." Anak buah Mimo, memukul mundur Jabir hingga pria mesum itu tak berkutik.
Wanita berperawakan gempal lalu menoleh pada Sajani. "Pekerjaan? tugasmu hanya melayani Tuanku, ayo!" Mimo menarik paksa lengan Sajani menuju mobil mereka yang berada didepan.
Saat melintasi sebuah mobil mewah menuju kendaraan Mimo, Sajani sempat bertemu pandang dengan sepasang mata lelaki yang jua tengah menatapnya. "Siapa dia?" batin Sajani.
"Ayo, lambat sekali," ucap Mimo lagi masih mencekal lengan sang gadis.
"Maaaaa ... Mama...." teriakan pilu Sajani memecah angkasa, namun tiada satu orang pun peduli.
.
.
...________________________...
...😭😭😭...
Mobil yang membawa Sajani perlahan melaju meninggalkan pelataran hunian mewah peninggalan sang ayah. Dia melihat Ibu dan saudara tirinya masih tergeletak di sana. Dari kejauhan terlihat istri ustad Arifin menyeru pada warga, memberi isyarat lambaian tangan agar menolong keluarga Surawijaya.
Perlahan kerumunan itu kian mengecil dan hilang dari pandangan saat Avanza hitam melesat cepat menyentuh jalanan beraspal.
"Jangan berharap pada orang lain. Hidup itu keras," lirih Mimo, mengerti rasa penasaran Sajani mengapa semua acuh.
Masih dengan isakan samar, Sajani menoleh pada sosok wanita bertubuh gempal disampingnya. "Kalian ada seakan memberi harapan dan angin segar namun seketika diri tergadai. Inikah jalan yang disebut menolong sesama?"
"Gak usah diplomasi. Pikirkan saja nasibmu. Jika Tuan simpati, mungkin kamu bakal menjadi kesayangannya. Tapi apabila beliau enggan, bisa jadi kau hanya onggokan daging yang dipoles make-up, dijajakan dalam etalase kaca," cibir Mimo, memandang remeh pada Sajani.
"Oh iya. Semua harta ayahmu bahkan tubuh kurus ini tak lagi utuh sebagai milikmu," imbuh Mimo.
"Mengapa aku? bukan Nalini?"
"Karena kamu, anak tiri Neera." Tawa Mimo menggema, "lagipula Nalini itu tak berguna," cibir Mimo lagi.
Entah kemana mobil yang dia tumpangi melaju, semua tiba-tiba gelap saat Mimo memberikan sapu tangan untuk menyeka air mata Sajani.
...***...
Mansion mewah, di selatan Jakarta.
Mimo meminta beberapa maid untuk mengangkat tubuh Sajani ke kamar tamu di lantai dua. Sementara dia melangkah masuk menuju ruang kerja sang majikan di samping kanan ruangan utama hunian megah itu. Menunggu Sheras di sana.
Tuan mudanya hidup sebatang kara setelah insiden mengerikan puluhan tahun silam yang memberangus semua anggota keluarganya. Lelaki berpostur atletis itu terbiasa duduk di kursi kebesaran dalam ruangan serba hitam ini, mengawasi semua bisnisnya dari jarak jauh.
Tak lama kemudian.
"Tuan muda," sapa suara Mimo dari dalam, kala Sheraz tiba.
Sheraz hanya mengangguk lalu menuju meja kerja dan duduk di kursi kebesarannya.
"Tuan, di dalam kamar tidur tamu lantai dua, gadis itu berada. Ini video keseharian dia beserta semua data identitas asli. Tagihan piutang atas nama Neera yang bermasalah sejak tahun lalu mendekati lunas sebab rampasan sebuah rumah dari Jabir serta dia menyerahkan anak tirinya yang masih perawan. Namanya Nareswari Sajani usia dua puluh tahun, bekerja sebagai asisten chef," terang Mimo, sang tangan kanan.
"Aku sudah melihatnya tadi. Dia cantik meski berhijab, sungguh bertolak belakang dengan Neera. Selidiki apakah masih memiliki wali, aku ingin gadis itu menjadi milikku," kata sang pria, seraya memutar kursi kebesaran menghadap si tangan kanan.
Mimo seketika menunduk dalam, tak berani menatap wajah sang majikan. Lagipula aturan dalam circle bisnis yang di geluti, melarang semua anggota untuk mendongakkan kepala bilamana Tuan Muda mereka melintas atau justru bertatap muka.
Saat hari berangsur petang.
Putri Surawijaya perlahan membuka kelopak mata yang terasa berat. Monolid-eyes nya mengerjap, menyesuaikan cahaya temaram.
"Dimana aku?" lirih Sajani.
"Mansion Sheraz Qadri, Nona. Silakan minum dahulu, Anda pasti lelah. Setelah ini segeralah membersihkan diri. Semua pakaian Anda telah rapi di dalam lemari, juga peralatan salat dan lainnya. Apabila ada yang tidak sesuai dengan kebiasaan Nona, mohon beritahu saya," ujar seorang wanita.
"Hah, dimana ini? Ibu, siapa?" tanya Sajani, seraya bangkit, memegangi kepalanya yang terasa berat.
"Tidak penting mengetahui dimana berada, Anda aman dalam lindungan Tuan Muda kami. Nona boleh panggil saya Tini," sambung sang wanita paruh baya, dia lalu pamit keluar kamar.
Sajani masih limbung, ia perlahan mencerna semua kalimat sang wanita paruh baya. Dia lalu mengedarkan pandang ke sekeliling. "Mewah sekali. Apakah aku dijual kepada saudagar tua mesum dan kaya?" kesadarannya muncul. Sajani panik, dia lalu menuju jendela, berniat kabur dari sana.
"Bismillah." Perlahan dia membuka panel, lalu kepalanya melongok ke bawah. "Gak terlalu tinggi, bisa Jani, bisa!" tekadnya kuat. Dia pun mulai naik ke kusen jendela, lalu menurunkan kaki panjangnya, berusaha memijak sesuatu.
Kepalanya celingukan kesana sini, memastikan bahwa tiada yang melihat aksinya. Dia melanjutkan aksi dengan nekad melompat. Namun, tanpa Sajani nyana, dua orang bodyguard telah siap menyergap dirinya sesaat setelah badan ringkih itu menyentuh tanah.
Brug.
"Nona."
"Astaghfirullah." Sajani terhenyak mendengar suara berat nan serak. Seketika banyak lelaki dalam balutan jas, mengelilingi dirinya yang tengah berjongkok.
"Silakan kembali ke kamar." Suara Tini, membantu Sajani bangkit berdiri.
Huft. "Bodoh Jani. Ya iyalah, masa segampang itu kabur."
Misi melarikan diri, hari pertama gagal. Hari-hari berikutnya pun sama, Sajani tak pernah menyerah melakukan percobaan pelarian, dengan berbagai strategi bila ada kesempatan. Bahkan menyelinap dalam baju kotor dan tumpukan sampah pun dia lakoni, hasilnya serupa, selalu gagal.
Dua pekan kemudian.
Tini masuk ke dalam kamar mewah sang princess, kali ini membawa serta beberapa wanita dengan segala perlengkapan dalam koper. "Nona, silakan bersiap."
"Untuk?" Sajani sudah sedikit terbiasa dengan sikap Tini.
"Siang nanti Anda akan menikah ... ayo lekas make-up Nona dengan looks elegan," terang Tini seraya meminta MUA merias wajah sang calon pengantin.
"Enggak. Gak mau," seru Sajani berteriak menghindar dan lari menuju sisi jendela.
"Percuma kabur, Nona. Rumah ini bukan benteng Takeshi yang para penjaganya suka lengah. Lagipula Anda menikah dengan Tuan Muda, bukan tua bangka pemilik selir gundik atau lainnya. Anda milik Den Sheraz seorang," ungkap Tini, tersenyum ramah.
Degh.
Selama tinggal di kediaman mewah ini, tak pernah dia jumpai sosok yang kerap disebut oleh para pekerja. Bagaimana rupa lelaki itupun, Jani tak tahu. Akan tetapi, Tini memberikan senyum begitu tulus dan ramah, apakah sang Tuan Muda berperangai lembut? batin Sajani.
Tubuhnya melemah, separuh jiwa ingin berontak namun sepenggal otak mengatakan pasrah sedangkan hati dilingkupi gundah. Bagai di cocok hidung, Jani akhirnya luluh.
Tidak terdengar hingar bingar pesta, hunian ini tetap sunyi. Apakah benar ia telah menikah lalu dimana suaminya? Sajani sungguh penasaran, perkara taat atau tidak, itu urusan nanti, pikir sang gadis.
Hingga malam menjelang.
Putri Surawijaya telah melepaskan segala atribut pakaian pernikahan, meski dirinya tak tahu kapan ijab kabul dilaksanakan. Teriakan status sah, yang biasanya terdengar dalam acara sakral itu pun tidak tertangkap pendengaran.
Tiba-tiba, suara pintu kamar di buka seseorang. Sajani bersiap dengan memegang gagang lampu tidur dari meja nakas, sebagai alat pertahanan diri.
"Assalamu'alaikum," suara berat seorang pria masih mengenakan setelan jas.
"Wa-wa'alaikumussalam," lirih Sajani, menjawab salam.
Betapa terkejutnya si gadis kala melihat sosok yang berdiri diambang pintu. "Jangan mendekat, pergi! pergi! monster! enyah...!" wajah putri tiri Neera pias, dia nekat menyerang pria asing.
Teriakan Sajani sukses membuat emosi Sheraz naik. Dia melangkah cepat meraih tubuh sang gadis yang membabi buta menyerangnya dengan gagang lampu.
"Lepas, lepasin!" Sajani meronta, seram melihat penampakan yang menjamahnya.
Sheraz mencekik leher Sajani, mendorong tubuh wanita mungil membentur dinding. Sajani berontak namun tenaganya kalah telak dengan sang tuan muda. "Katakan lagi, dan lihat aku! LIHAT AKU!" seru Sheraz,
Lelaki nan diliputi nafsu lalu melonggarkan cekalan, sadar dia telah melukai istrinya. Namun kali ini tangan kiri Sheraz memaksa netra Sajani agar menatap lekat wajahnya. Putri tiri Neera, ketakutan kala dia mengamati muka pria yang berlaku kasar, tubuhnya bergetar halus dan tak lama, Jani pingsan.
"Bahkan kau jijik padaku!" geram Sheraz, meninggalkan Sajani yang luruh menyentuh lantai, begitu saja.
.
.
...____________________...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!