Esok adalah hari yang selama ini dinanti-nantikan oleh Kaynara Milea Wardhana, gadis yang tak hanya cantik jelita namun juga pewaris darah kebanggaan keluarga besar Wardhana. Ia adalah cucu kedua dari Putra Wardhana, seorang maestro bisnis tekstil yang namanya telah menjulang tinggi bukan hanya di bumi pertiwi, tetapi juga di berbagai negeri seberang. Perusahaan keluarga mereka ibarat kerajaan sutra yang tak tertandingi—berlapis kejayaan dan sejarah panjang.
Malam itu, denyut jantung Nara berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena rasa takut, melainkan gemuruh bahagia yang tak sanggup ditahan. Detik-detik menuju hari besar yang ia dan Vano Erlangga, lelaki yang telah bertahun-tahun menambatkan hatinya, rancang bersama dengan impian dan cinta.
Tiba-tiba suara lembut namun bersahaja menyentak lamunannya.
“Ciie… bahagianya si calon pengantin,” ujar seorang wanita paruh baya dari ambang pintu, membuat Nara tersentak dari lamunannya.
“Mama Nisa!” seru Nara begitu mengenali suara itu. Ia segera bangkit dari duduknya dan memeluk wanita itu dengan erat, seolah ingin memastikan keberadaan sosok yang sudah dianggapnya ibu sendiri. Mama Nisa bukanlah ibu kandungnya, namun kasih sayangnya telah menambal luka masa kecil Nara yang yatim piatu sejak usia tiga tahun, saat kedua orang tuanya meregang nyawa dalam kecelakaan maut di tol Cipularang.
“Sudah mau jadi istri, tapi kok masih saja manja begini,” celetuk Nisa seraya membalas pelukan Nara dengan senyum hangat.
Nara hanya membalasnya dengan tawa kecil, memperlihatkan deretan gigi putih yang tertata rapi. Wajahnya berseri, seakan dunia sedang berpihak padanya.
“Gimana rasanya, sayang? Sebentar lagi jadi pengantin, lho?” tanya Mama Nisa sambil membelai pelipis gadis itu.
“Deg-degan banget, Ma... perutku kayak ada kupu-kupu terbang,” jawab Nara lirih namun penuh antusias.
“Hahaha... ya ampun. Santai aja, semuanya akan berjalan lancar. Mama ke bawah dulu, ya. Kamu siap-siap aja,” ujar Nisa, lalu melangkah keluar dengan senyum yang terselip cemas.
Persiapan untuk acara ijab kabul besok hampir rampung. Rumah besar keluarga Wardhana telah disulap bak istana. Tenda elegan berdiri megah, bunga-bunga segar menghiasi sudut taman, dan aroma rempah dari katering mewah mulai tercium. Undangan telah dikirim, para tamu pun telah menyisihkan jadwal penting demi menghadiri peristiwa sakral ini.
***
Malam ini menjadi momen krusial—pertemuan keluarga sebagai pengganti lamaran yang tertunda karena keluarga sang calon mempelai pria baru saja kembali dari perjalanan bisnis luar negeri. Di ruang tamu yang telah dihias dengan nuansa emas dan putih gading, Nara tampak menawan dalam balutan dress maroon panjang. Brokat di bagian lengannya tampak bercahaya saat menyentuh kulitnya yang putih porselen. Riasan di wajahnya ditata sempurna, menyemburatkan keanggunan sekaligus kesederhanaan.
“Wah, cantik sekali calon pengantin kita malam ini,” puji Mama Nisa yang kembali memasuki kamar setelah memantau kesiapan tamu.
“Terima kasih, Ma,” jawab Nara tersipu.
Tapi di balik senyumnya, ada kegelisahan yang perlahan menyeruak.
“Ma... Vano sama keluarganya udah datang?” tanyanya pelan, hampir berbisik, seolah takut mendengar jawabannya sendiri.
“Belum, Sayang. Mungkin mereka terjebak macet. Weekend begini, jalanan pasti padat. Jangan terlalu dipikirkan, ya. Dia pasti datang. Kamu siap-siap dulu, ya,” jawab Nisa, mencoba menenangkan.
Setelah Mama Nisa pergi, Nara melangkah ke dekat cermin. Tatapannya menyelam ke dalam bayangan dirinya sendiri. Tangannya menggenggam ponsel, jari-jarinya gemetar saat membuka pesan-pesan yang telah ia kirimkan sejak pagi—belum satu pun dibalas. Bahkan dibaca pun tidak.
“Di mana kamu, Sayang?” batinnya mendesah dalam keheningan.
***
Sementara itu, di kediaman keluarga Erlangga, ketegangan menggantung berat di udara. Naomi, istri dari pengusaha Erlangga, tampak mondar-mandir di ruang tengah dengan wajah cemas. Darah Jepang dalam dirinya membuatnya terlatih dalam disiplin dan ketenangan, tapi malam ini—kegelisahan tak bisa disembunyikan.
“Pii... Vano di mana? Apa anak buah papi belum menemukan jejaknya?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Belum, Mii. Tapi papi sudah kirim orang ke semua tempat. Kita pasti temukan anak itu.”
Telepon genggam Erlangga tiba-tiba berdering. Suaranya menjadi dingin dan tegas.
“Halo... Ya? Sudah ditemukan? ... Belum? Apa saja yang kalian kerjakan? Saya mau anak itu ditemukan malam ini juga!” Bentakan keras mengakhiri sambungan yang tergesa.
“Anak sialan,” desisnya geram, “Kalau dia membuat malu kita di depan keluarga Wardhana... Aku sendiri yang akan mencincangnya.”
***
Waktu terus berlari. Sudah lewat 45 menit dari waktu yang dijadwalkan. Kekhawatiran berubah menjadi kecemasan mendalam. Nara kini duduk lesu di pinggir ranjang, menggenggam ponsel yang sedari tadi tak memberi tanda kehidupan. Suara operator kembali terdengar—tajam dan tak berperasaan, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi.”
Dengan frustrasi, ia melempar ponsel ke atas kasur. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia menahannya. Tidak malam ini, pikirnya. Ia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan para tamu.
Di ruang depan, para tamu mulai berbisik. Suara-suara kecil berubah menjadi asumsi yang tak menyenangkan. Mama Nisa dan suaminya, Andika, berdiri gelisah di dekat pintu. Tatapan mereka tak lepas dari jalan depan rumah, berharap sebuah mobil akan datang membawa kabar baik.
“Di mana keluarga Erlangga? Sudah berapa lama ini molor?” tanya Putra Wardhana dengan nada kesal, berjalan dibantu tongkat kebesarannya.
“Saya tidak tahu, Yah. Saya hubungi mereka juga belum berhasil,” jawab Nisa.
Putra mengerutkan dahi. “Kalau mereka berani mempermainkan cucuku... akan aku hancurkan bisnisnya sampai ke akar.”
Dan saat itu juga, suara mesin mobil terdengar. Sebuah mobil mewah berhenti di halaman. Tiga orang berpakaian rapi turun dari dalamnya. Erlangga beserta istri dan satu pengawal keluarga berdiri tegak di bawah lampu taman.
“Maafkan kami sudah terlambat,” ujar Erlangga dengan kepala menunduk, berjabat tangan dengan Andika.
Tapi langkah mereka terhenti ketika bertemu tatapan dingin Putra Wardhana.
“Di mana Vano?” tanyanya tajam.
“Ma... maaf, Tuan Wardhana... Vano... tidak bisa datang,” jawab Erlangga terbata, suaranya mengambang antara ketakutan dan rasa bersalah.
Putra mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu?”
“Saya akan menjelaskan... setelah acara. Demi menghormati para tamu, izinkan kami menyelesaikan dulu malam ini.”
Akhirnya, acara dimulai... tanpa kehadiran calon pengantin pria. Nara tak sanggup menghadiri momen yang seharusnya menjadi titik awal kebahagiaannya. Ia mengurung diri, dan hanya air matanya yang menjadi saksi.
Acara dipercepat, sunyi, dan penuh keganjilan. Tak ada canda, tak ada prosesi. Hanya formalitas yang berjalan kaku di antara bisik-bisik keraguan.
Setelah tamu terakhir pergi, Andika menghampiri keluarga Erlangga.
“Ikut saya,” titahnya dingin.
Mereka dibawa ke lantai atas, ke ruang kerja Putra Wardhana. Ruang dengan nuansa kayu mahoni, aroma cendana, dan lukisan silsilah keluarga di dindingnya. Di sana, Nara duduk lunglai di sofa, ditemani Mama Nisa yang terus menggenggam tangannya. Putra Wardhana telah duduk di singgasananya.
Saat pintu dikunci, keheningan menegaskan: malam ini, rahasia akan terbongkar.
Erlangga dan keluarganya duduk di atas sofa panjang yang empuk, setelah dipersilakan masuk oleh tuan rumah, Putra Wardhana. Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar samar. Aroma melati dari sudut ruangan bercampur dengan ketegangan yang menyesakkan.
Wardhana menatap Erlangga dengan mata yang tajam, seolah pandangannya bisa menelanjangi kebohongan.
“Bisa kamu jelaskan alasan Vano tidak hadir malam ini, Tuan Erlangga yang terhormat?” Suaranya datar namun penuh bara.
Beberapa detik keheningan menjerat ruang, tapi begitu tak ada jawaban, Wardhana menghentakkan suara dengan bentakan, “Di mana dia sekarang?!”
Tersentak, Erlangga menjawab dengan nada panik, “Ma-maafkan kami, Tuan. Vano… tidak ada di rumah.”
Nara sontak berdiri, tubuhnya gemetar, matanya merah menahan genangan yang sedari tadi ingin tumpah. “Ma-maksud Om apa? Vano tidak di rumah? Jangan bercanda deh Om. Vano gak mungkin kabur, kan? Tante? Dia berjanji… dia berjanji padaku… ini semua sudah direncanakan. Ini hari pernikahan kami. Hari yang seharusnya bahagia…” Suaranya pecah. Air matanya jatuh, membasahi pipi yang sejak pagi telah dirias dengan harapan.
Andika, ayah Vano, ikut bicara, suaranya rendah dan terengah. “Maafkan kami, Nara. Kami pun tak tahu di mana Vano. Terakhir kami bertemu kemarin pagi… setelah itu, dia menghilang tanpa jejak.”
Erlangga mengangguk perlahan, wajahnya muram, penuh beban. “Kami sudah mencarinya sejak kemarin, bahkan hingga malam ini. Tapi nihil. Kami benar-benar tak tahu ke mana dia pergi…”
Andika menghela napas berat, pandangannya jatuh pada putrinya yang kini menangis di pelukan sang istri. “Maa…” rengek Nara lirih, seolah memohon keadilan dalam dunia yang terasa kejam malam itu.
Nisa, ibunya, merangkul bahunya erat, mencoba menjadi pelindung dalam badai. “Sabar ya, Nak,” ucapnya lembut, meski suaranya sendiri nyaris pecah karena melihat penderitaan putrinya.
Wardhana menghentakkan tongkat kayunya ke lantai. Wajahnya memerah karena emosi. “Lalu bagaimana dengan cucuku?! Apa pernikahannya harus dibatalkan begitu saja karena anakmu yang pengecut itu kabur? Cucuku akan dipermalukan! Apa kalian ingin dia menjadi bahan olokan semua orang?! Jika begini jadinya, Erlangga, aku bersumpah akan menghancurkan perusahaanmu!”
Seketika suasana menjadi sangat tegang.
Namun Erlangga berdiri perlahan, menatap ke seluruh ruangan dengan mata penuh tekad. “Sebentar, Tuan Wardhana. Pernikahan besok… tetap bisa dilaksanakan. Vano memang menghilang, tapi Kiano akan menggantikannya.”
“Aku?!” seru seorang pemuda dari pojok ruangan dengan mata terbelalak.
Semua mata kini tertuju padanya—Kiano. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak pucat dan linglung.
“Iya, kamu, Ki,” tegas Erlangga, menyandarkan tangannya di punggung kursi. “Kamu akan menikah dengan Nara besok.”
“Apa maksud Om?” sela Nara, suaranya kembali gemetar. Ia berdiri, menatap Kiano dan Erlangga bergantian dengan sorot mata penuh luka. “Aku menikah dengan Kiano? Tidak! Tidak mungkin! Aku mencintai Vano, Om! Yang aku harapkan di pelaminan adalah dia, bukan Kiano!”
Perih menjalari dadanya, sesak menyesakkan tenggorokan. Dalam pikirannya, ia ingin sekali memasukkan pria tua di hadapannya itu ke dalam kardus lalu mengirimnya ke kutub selatan, jauh dari kehidupan siapa pun. Bagaimana bisa ia memutuskan pernikahan begitu saja, seolah cinta hanyalah formalitas belaka?
“Jangan ngawur, Erlangga!” bentak Wardhana, nadanya meninggi. “Ini bukan sinetron. Ini pernikahan! Sakral! Kamu pikir mudah menikahkan seseorang tanpa cinta?! Itu seperti memaksa dua orang memakan sayur tanpa garam, hambar dan menyakitkan. Cucu saya akan tersiksa!”
Erlangga tak gentar. Ia menarik napas dalam, lalu berkata mantap, “Ini satu-satunya jalan, Tuan Wardhana. Apa Anda benar-benar ingin pernikahan cucu Anda batal? Ingin dia jadi bahan tertawaan masyarakat? Yang dipertaruhkan di sini bukan hanya nama baik, tapi juga masa depan Kaynara.”
Ia menatap semua orang satu per satu, lalu menambahkan, “Percayalah, Kiano adalah pilihan yang jauh lebih baik. Lebih dewasa, lebih bertanggung jawab. Cinta bisa tumbuh, Tuan Wardhana. Tresna jalaran saka kulina. Cinta karena terbiasa.”
“Papi, aku masih sekolah. Usiaku baru delapan belas tahun, bahkan baru dua hari lalu ulang tahunku. Dan sekarang… aku harus menggantikan Bang Vano menikahi Kak Nara? Dia lebih tua dariku. Ini gila,” protes Kiano, suaranya pelan tapi penuh penolakan.
Kiano Putra Erlangga—si bungsu. Pemuda berparas tampan, kulit seputih susu, dengan hidung mancung dan tubuh tegap atletis. Ia lebih mirip artis Korea dibanding anak konglomerat lokal. Namun dalam hal keberanian dan sikap, jelas Vano adalah tipe yang lebih keras. Kiano adalah anak yang lebih lembut, lebih logis.
Naomi, ibunya, bangkit dari tempat duduknya. Ia mendekati Kiano dan membelai pipinya lembut. “Nak… kamu mau ya bantu Nara? Kasihan dia, sayang. Kalau bukan kamu, siapa lagi?”
“Tapi, Tante… aku gak mau menikah karena belas kasihan orang lain,” potong Nara dengan suara serak. Air matanya masih menetes satu per satu.
Mama Nisa lalu mendekat, membisikkan sesuatu di telinga putrinya. “Nara, Mama mohon… ini semua demi nama baik kita. Kamu tidak mau kan, kakekmu sakit karena menahan malu?”
Dalam diam yang panjang, Nara hanya mengangguk pelan. Hatinya remuk. Tapi ia tahu, hidup bukan hanya tentang cinta. Kadang, hidup adalah tentang pengorbanan.
***
Keesokan Paginya…
Masih gelap, udara dini hari masih dingin menusuk tulang. Sebelum adzan Subuh berkumandang, Nara telah bangun. Matanya berat, namun tidurnya tak pernah benar-benar datang. Hanya gelisah semalaman, bergelut dengan pikiran dan luka.
Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajibannya sebagai Muslimah, ia duduk di depan cermin besar yang berdiri di sudut kamar. Seorang MUA paruh baya, langganan keluarga, telah sibuk merias wajahnya dengan teknik paes Jawa yang rumit.
Ia mengenakan kebaya putih yang anggun, dipadukan dengan jarik bermotif klasik dari desainer ternama. Sebuah sanggul besar dengan balutan melati menghiasi kepalanya. Ia tampak seperti pengantin keraton.
“Sudah siap,” ucap sang MUA dengan senyum bangga. Wajah sembab, hidung merah, dan mata lelah yang semalam bersemayam kini telah tertutupi riasan yang nyaris sempurna. Cantik luar biasa.
“MasyaAllah… cantiknya putri Mama,” puji Nisa dengan mata berkaca-kaca, memandangi keponakan sekaligus putri sulungnya sendiri yang kini telah siap untuk prosesi.
Nara—atau Kaynara, tampak begitu anggun. Paesan di wajahnya sangat pas, mempertegas tulang pipi dan garis halus matanya. Kulitnya yang seputih susu seakan menyala di bawah sinar lampu gantung kristal.
“Apa kamu sudah siap, Kaynara? Semua orang sudah menunggu di bawah,” tanya Nisa lembut.
Dengan ragu, Nara menjawab, “Aku siap, Ma,” suaranya nyaris tak terdengar.
Ruang prosesi sudah penuh. Para tamu duduk berderet di bangku-bangku yang ditata rapi. Saudara, kerabat, dan tetangga hadir menyaksikan pernikahan yang awalnya untuk Vano—tapi kini berubah menjadi cerita lain.
Langkah demi langkah, Kaynara dan ibunya menuruni anak tangga. Lantai rumah bergema lembut oleh derap sepatu pengantin. Semua mata tertuju padanya.
Cantik. Memesona. Tapi matanya tak bersinar.
“Jangan cemberut, Sayang… tampakkan wajah bahagiamu,” bisik Nisa lirih di telinga putrinya.
Nara mencoba tersenyum. Tapi senyum itu seperti lukisan air mata di atas wajah malaikat.
Kiano telah lebih dahulu duduk di hadapan seorang pria paruh baya berjubah putih dengan peci hitam bertengger rapi di kepalanya. Wajah tenangnya menandakan bahwa dialah penghulu yang akan memimpin prosesi sakral ini. Di tubuh Kiano melekat sempurna busana adat Jawa lengkap, serasi dengan Nara yang mengenakan kebaya senada. Meski sebenarnya baju itu dipesan untuk Vano, sang kakak yang kini entah di mana rimbanya, namun karena postur mereka nyaris serupa, Kiano tetap bisa memakainya—hanya saja, kainnya lebih ketat di tubuhnya yang lebih berisi, menonjolkan otot-otot muda yang tampak mencolok di balik kain.
Ia duduk menunduk, nyaris tak berani menatap sosok penghulu di depannya. Jemarinya saling meremas satu sama lain, lidahnya tak henti berkomat-kamit membaca doa atau mungkin sekadar mencari ketenangan dalam kegugupan.
“Silakan duduk, Nona,” ucap sang penghulu kepada gadis muda yang berdiri canggung di samping ibunya. Dengan langkah pelan, Nara mendekat lalu duduk di sisi Kiano. Seolah tersengat listrik, Kiano langsung mendongak, dan untuk pertama kalinya, mereka benar-benar bertatapan sebagai sepasang calon suami istri.
“Ca… cantik,” gumam Kiano, lirih, nyaris seperti bisikan angin. Tatapannya tak berkedip, menatap wajah Nara dengan kekaguman yang tak bisa disembunyikan.
“Sudah siap kita mulai?” tanya penghulu, menatap mereka berdua. Keduanya mengangguk pelan, bersamaan. Di belakang, orang-orang terdekat mereka tersenyum haru.
“Semoga ini awal yang indah untukmu, sayang,” batin Nisa, ibunda Nara.
Karena sebelumnya Andika, ayah Vano dan Kiano, telah menjelaskan bahwa calon mempelai wanita adalah seorang yatim piatu, maka penghulu langsung memimpin ijab kabul tanpa wali dari pihak wanita. Mereka lalu berjabat tangan dengan khidmat.
“Mohon perhatian, Bapak dan Ibu tamu undangan. Prosesi ijab kabul akan segera dimulai,” ujar panitia dengan suara lantang melalui pengeras suara. Seisi ruangan mendadak senyap, seolah udara pun ikut menahan napas.
Dengan penuh wibawa, penghulu memulai, “Bismillahirrahmanirrahim… Saudara Kiano Putra Erlangga, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Kaynara Milea Wardhana binti almarhum Indra Wirawan dengan maskawin berupa seperangkat alat salat dan emas seberat 99 gram dibayar tunai.”
Dengan satu tarikan napas dan tangan yang menggenggam erat, Kiano menjawab mantap, “Saya terima nikah dan kawinnya Kaynara Milea Wardhana binti almarhum Indra Wirawan dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”
Penghulu menoleh kepada para saksi, “Bagaimana, para saksi?”
“Sah,” jawab dua pria saksi dengan tegas.
“Alhamdulillah,” gumam para tamu yang hadir, serempak dan penuh rasa syukur.
Kiano, yang sejak tadi menahan napas karena tegang, akhirnya bisa menghela dengan lega. Hangatnya embusan napas itu sampai terasa menyentuh pipi Nara di sampingnya.
Alhamdulillah, dalam satu kali ucap, bocah ingusan itu—begitu keluarganya sering menyebutnya—mampu melafalkan ijab kabul dengan lancar. Ketegangan yang menyelimuti ruangan pun perlahan menguap, digantikan oleh senyum dan kebahagiaan yang merekah di wajah para anggota keluarga.
Doa pun dipanjatkan oleh penghulu, menutup prosesi sakral dengan khidmat. Kini tiba waktunya Nara mencium tangan suaminya sebagai simbol penghormatan. Namun, tubuh Nara hanya duduk diam, terpaku. Wajahnya lesu, pikirannya melayang entah ke mana, hingga suara lembut sang ibu menyentaknya kembali ke dunia nyata.
“Cepat cium tangan suamimu, sayang,” bisik Nisa, tepat di telinganya.
Tersadar, Nara menoleh pelan. Ibunya mengangguk penuh pengertian, memberi isyarat bahwa ini saatnya.
Dengan langkah ragu, Nara menunduk. Tubuhnya yang mungil dan ramping bergerak perlahan mendekatkan diri pada Kiano. Tangannya menjabat tangan suaminya, lalu mencium punggung tangan itu dengan gerakan ringan namun sarat makna.
Kini giliran Kiano. Ia harus membalas dengan mencium kening istrinya. Meski masih muda, dunia asmara bukanlah hal baru baginya. Tapi hari ini, dia tak berkutik. Yang berdiri di depannya adalah kekasih kakaknya, seseorang yang dulu ia kenal bukan untuk dirinya. Dan kini, wanita itu menjadi istrinya.
Dengan keraguan yang menggelayut, Kiano mencium kening Nara sekilas saja. Namun aksi setengah hati itu memancing protes dari seorang pria yang berdiri sambil mengangkat kamera.
“Cepet banget, bro. Baru juga mau dipotret, kok udah selesai?” seru pria itu—sepupu mereka—yang juga bertugas sebagai fotografer hari itu. Ketampanannya nyaris menyaingi Kiano.
“Ulangin, ya. Pelan-pelan sampai kejepret,” tambahnya sambil tertawa, menampakkan gigi gingsulnya.
Kiano mendengus pelan, berusaha menahan rasa jengah. Jika boleh jujur, ia ingin mengeluh sepuasnya, tapi itu mustahil di hadapan banyak orang.
“Berdiri,” ucapnya kepada Nara, lebih terdengar seperti perintah.
Tanpa sadar, Nara menurut. Mungkin karena tatapan Kiano, atau karena dirinya sendiri yang masih limbung. Kini mereka berdiri saling berhadapan, hanya sejengkal jarak di antara mereka. Hidung hampir bersentuhan, napas mereka beradu. Dengan kedua tangan bertumpu di bahu Nara, Kiano perlahan menunduk dan menyentuhkan bibirnya di kening sang istri. Tak ada kata, hanya diam yang menggema dalam hati keduanya.
Cekrek—suara kamera membuyarkan segalanya. Mereka spontan menjauh, wajah memerah, jantung berdetak tak karuan.
Prosesi ijab kabul selesai sudah. Kini mereka duduk berdampingan di pelaminan, menjadi raja dan ratu sehari. Namun, tiada obrolan. Hanya keheningan yang menebal di antara mereka. Pikiran masing-masing sibuk bergulat dengan penolakan yang tak terucap.
“Seandainya kamu yang ada di sini bersamaku, melaksanakan ijab kabul seperti rencana kita dulu. Mungkin aku akan menjadi wanita paling bahagia di dunia ini,” batin Nara, menahan gejolak hati.
“Seandainya kamu gak kabur, Bang... Aku gak akan seperti ini. Menikah secepat ini, dengan wanita yang bukan aku cintai. Kalau kamu berani balik, aku pastikan semuanya akan kubalas,” geram Kiano dalam hati, mengepalkan tangan penuh dendam.
Waktu berlalu. Satu per satu tamu undangan memberikan ucapan selamat.
“Selamat ya, Mbak Nara dan Mas Kiano.”
“Semoga langgeng sampai nenek-kakek.”
“Semoga jadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah.”
“Semoga cepat dapat momongan.”
Namun keduanya hanya mampu membalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis. Hati mereka belum siap menerima doa-doa yang indah itu, karena cinta belum sempat tumbuh, bahkan sebelum bibitnya disemai.
Setelah seluruh tamu pulang dan ruangan mulai sepi, hanya tersisa keluarga inti dan beberapa pelayan. Nara segera bangkit, meninggalkan Kiano yang masih duduk terpaku. Tanpa sepatah kata, tanpa menoleh, ia melangkah menuju kamar, tubuhnya lelah dan lengket oleh keringat serta tekanan emosi.
“Kamu kok sendirian di sini?” suara lembut menyapa, disusul bayangan seorang wanita mendekat. Nisa, sang ibu mertua, kini duduk di samping Kiano.
“Eh, tante… eh, maksud saya, mama Nisa. Kak Nara baru masuk ke dalam,” jawab Kiano gugup.
“Nah, begitu dong. Jangan panggil saya tante, panggil mama Nisa seperti Nara. Dan jangan panggil istrimu ‘kak’. Sekarang dia itu istrimu, masak suami manggil istri ‘kakak’,” ucap Nisa sambil tersenyum hangat.
Kiano menggaruk kepalanya yang tak gatal, malu sendiri. “Iya, maaf… Mama Nisa.”
“Kamu pasti capek. Istirahat aja dulu di kamar Nara, kamarnya di lantai atas. Ada namanya tertulis di pintu,” kata Nisa lembut.
Kiano hanya mengangguk pelan. Satu langkah baru saja dimulai, meski hati mereka belum berjalan bersamaan. Tapi waktu akan menjawab: apakah pernikahan ini hanya sebuah peristiwa yang dipaksakan, atau takdir yang diam-diam menyulam cinta dari luka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!