NovelToon NovelToon

Like Drama

blurb

Aku sangat menyadari pesonanya. Pesona seorang pria dewasa yang membuat setiap wanita yang memandangnya akan terhanyut dalam wajah tampannya.

Tak terkecuali aku. Sekeras apapun aku berusaha untuk tidak terjerat dalam pesonanya itu, nyatanya hatiku berdebar saat sosoknya melewati kamarku.

Tidak.

Aku tak akan pernah semudah itu untuk jatuh cinta lagi. Setidaknya hingga saat ini, aku adalah seorang gadis yang mempunyai hati sekuat baja dari pengaruh pria-pria tampan, terutama para idola seperti yang digilai para perempuan sebayaku.

Namun keadaan berbeda saat aku bertemu dengannya. Hatiku terusik seakan mendamba untuk berlari ke dalam pelukannya.

Ku lihat pandangan matanya yang terasa intens menusuk ke hatiku. Sikap dingin dan manisnya secara bersama membuatku bimbang.

Salahkah bila aku tertarik padanya?

Salahkah bila aku merasakan rasa yang istimewa terhadapnya?

Atau aku hanya akan terluka karena kalah bersaing dengan wanita-wanita dewasa yang berada di sekitarnya?

Aku tidak ingin mengambil resiko untuk terluka. Aku akan menjaga hatiku sedemikian rupa dari segala pesona dan auranya.

Hanya saja, aku takut pertahananku akan runtuh saat merasakan keberadaannya yang harus ada di dalam hidupku.

***

"Yakin kamu tidak mau ikut, Ra?" Mamaku sekali lagi meyakinkanku. Padahal saat ini kami sudah berada di bandara.

Aku menggeleng pelan. "Nggak, Ma. Rara yakin kali ini pasti bisa."

Mama menatapku sendu. Tentu saja, sebagai putri semata wayangnya, aku akan menjadi kesayangan mereka berdua.

"Tapi kamu harus selalu telepon Mama ya,"

"Iyaaa ...."

"Kalau nanti kamu liburan, susul Mama Papa ya?!"

"Iya, Mama... Rara bakalan susul Mama Papa nanti, sesegera mungkin malah. Tapi," aku menoleh pada pria yang paling aku cintai di muka bumi ini. "Pa, aku ngekos aja ya ...." rengekku yang tak henti-hentinya. Bahkan hingga detik ini aku belum menyerah memohon keinginanku untuk hidup mandiri.

Papa membawaku ke dalam pelukannya. "Jangan pernah mencoba lagi, Sayang... karena hal itu hanyalah akan menjadi sia-sia. Sampai kapanpun Papa tetap tidak setuju kalau kamu ngekos."

"Sampai kapanpun? Serius, Pa?" aku protes tentu saja. Masa usia lebih dari 20 tahun tapi aku belum juga diizinkan untuk ngekos? Apa tidak keterlaluan namanya? "'Kan ada Alya, boleh ya?"

Papa tersenyum setelah mengecup singkat kepalaku. "Sabar. Papa hanya khawatir dengan pergaulan zaman sekarang. Karena kamu anak gadis Papa satu-satunya. Maka dari itu, kamu mesti menurut. Setidaknya sampai kita berkumpul lagi, Nak. Papa sangat sangat berharap kamu mau mengerti."

"Dan keputusan kami sudah terlalu final, Sayang," sambar Mama dalam senyumnya. Entah apa yang dipikirkannya, aku hanya melihat bahwa sinar mata Mama seakan sedang membayangkan sesuatu. "Mama yakin ini yang terbaik."

"Papa juga," tambah Papa.

Aku menghela nafas.

Menyerah?

Sepertinya.

"Tapi 'kan, masih ada tante Lia atau atau Tante Deva, Ma. Pastinya kalau di salah satu rumah mereka aku lebih merasa nyaman dan percaya."

"Mama, 'kan sudah bilang kalau tadinya niat Mama Papa sudah seperti itu, tapi berhubung ini diluar dugaan kami, dan sahabat Mama itu memaksa, mau gimana lagi? Mama bisa apa?"

"Iya, ngerti... tapi, 'kan–"

"Sabar, Ra ..." ucap Papa lagi. "Nanti kalau kamu sudah benar-benar tidak bisa di sana, ya sudah, Papa izinkan kamu untuk pindah ke rumah Alya atau Radit."

"Benar ya, Pa?"

"Iya. Makanya dicoba dulu ya, Nak, biar kami nggak terlalu khawatir."

Akhirnya aku melayangkan senyum lagi kepada mereka. "Oke, Pa." kali ini aku ikhlas deh. Setidaknya masih ada peluang aku untuk keluar dari rumah itu. Mungkin seminggu bakalan aku coba, sekedar formalitas belaka demi kedua orang tuaku.

"Tapi lebih baik lagi kalau kamu ikut kami, Ra." Mama masih saja membujukku.

"Tanggung, Ma. Nanti kalau udah wisuda aja. Aku mau banget tinggal di sana."

"Lha kalau tugas Papa sudah berakhir?"

"Ya minta perpanjang, Pa."

Papa menjawil ujung hidungku. "Dasar kamu ya, gak semudah itu, tau."

Aku terkekeh. Senang rasanya kalau perpisahan sementara ini diisi dengan canda tawa. Sebab sejak seminggu yang lalu Mama selalu saja menangis karena harus meninggalkanku. Padahal aku saja tidak merasa seberat itu untuk mencoba hidup sendiri. Karena bagiku, masih ada Alya dan Radit itu sudah membuatku jauh lebih baik dibandingkan seorang diri.

"Hati-hati ya, Pa, Ma." aku menyalami sekaligus memeluk erat mereka bergantian.

"Jaga diri, Sayang. Kalau terjadi sesuatu, bilang sama Papa. Papa bakalan langsung terbang kesini buat menjemput kamu."

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Rumah Teman Mama.

...Happy reading!...

Pandanganku ke arah luar kaca, tepatnya ke langit yang sekarang warna birunya memudar. Mungkin tak lama lagi hujan akan turun. Ah, aku sudah tak sabar agar taksi yang sedang ku naiki ini segera sampai di tujuan. Aku ingin menghempaskan tubuhku pada ranjang yang empuk dan selimut yang hangat. Tidak, aku tidak berniat untuk tidur. Aku hanya akan bergelung di bawah selimut sambil memandang hujan di balik jendela kamarku.

Ya, kamar yang akan menjadi milikku nanti. Entah seperti apa rasanya dengan kamar baruku itu, aku tak peduli. Aku hanya akan menjalani apa yang harus ku jalani.

Perjalananku telah selesai. Setelah mengantar kedua orang tuaku ke bandara, kini taksi yang ku naiki telah tiba pada sebuah alamat. Oh kupikir ini alamat yang salah, karena aku tak pernah menduga kalau rumah yang berada di hadapanku ini adalah rumah yang sangat mewah. Rumah besar seperti istana. Well ... aku memang belum pernah lihat istana seperti yang ada di dalam dongeng, tapi rumah di hadapanku kini adalah rumah orang yang terlalu kaya.

Setelah menarik nafas beberapa kali, aku memberanikan diri untuk menekan bel yang berada di depan gerbangnya.

Cukup satu kali tekan, ada suara dari celah di bawah tombol bel yang kutekan tadi.

"Siapa?" suara itu terdengar.

"Aku Azzura. Aku mau ketemu tante Widia," jawabku langsung.

Seketika pintu gerbang yang ukurannya lebih kecil terbuka. Seorang yang ku perkirakan keamanan di rumah itu dengan ramhnya mempersilahkanku untuk memasuki rumah. Dia bilang kalau aku sudah ditunggu nyonya Widia sedari tadi.

Oh semoga Tante Widia itu orang yang ramah, baik, dan penyayang seperti mama. Aku harap begitu. Karena kalau tidak, aku akan kabur saja dari rumah ini.

Berjalan memasuki rumah, aku sempat terpana pada taman yang ada di halaman depan. Indah sekali. Ini rumah terlihat nyaman banget. Semoga dalam waktu satu tahun ini aku akan betah di sini. Merasakan menjadi orang kaya dalam setahun, membuat bibirku tersungging senyum geli. Aih ... betapa beruntungnya hidupku kali ini.

Ah ya ... see?

Seorang pelayan wanita berseragam menyambutku di depan pintu. Apa mereka keluarga pejabat? Menteri? Atau konglomerat? Ish, teman mama kali ini patut untuk ku acungi jempol.

Yap, selama mama menemani papa yang dipindah tugas bekerja di Jepang, mama menitipkanku pada seorang sahabatnya. Katanya, mereka sahabat lama yang baru bertemu lagi. Lalu kenapa dengan mudahnya mama menitipkanku pada seorang teman yang sudah lama tidak dia jumpai? Aku terlalu lelah untuk berdebat dengan mama papa. Aku tidak punya sekutu. Aku anak tunggal. Dan di usiaku yang sudah 21 tahun aku merasa kalau aku akan baik-baik saja bila aku harus nge-kos dan hidup sendiri. Tapi mama papa tidak bisa didebat. Ish!

Keluargaku bukan keluarga yang kaya raya. Aku bersyukur, karena mama papa dapat memberiku kecukupan. Sejak papa bekerja di perusahaan MHR corp. kehidupan kami terbilang cukup baik. Walau tidak bisa dikatakan melimpah, tapi kami merasa cukup. Makanya saat perusahaan mengirim papa untuk bekerja di cabang yang berada di Jepang selama setahun, papa tak menolak sedikitpun. Dan mama dengan setia menemaninya. Ku pikir tak apa, mungkin dengan papa rajin bekerja maka hidup kami akan lebih sejahtera lagi.

...----------------...

Widia Latifah Maheswara. Seorang wanita yang katanya seumuruan dengan mama, tapi begitu aku melihat langsung ternyata ... wow! Dia cantik banget di usianya yang sudah seumuran mama. Bukan berarti mamaku tidak cantik, hanya saja cantiknya wanita ini nampak berkelas, anggun dan bukan dari golongan biasa-biasa saja seperti mamaku, apalagi rakyat jelata.

Wanita cantik itu tidak perlu dijabarinlah ya, sempurna deh pokoknya. Namun yang paling membuatku senang adalah dia wanita yang sangat ramah dan hangat. Sykurlah, aku merasa tante Widia baik seperti mama. Dia menyambutku dengan penuh senyum dan kehangatan seorang ibu. Dapat ku katakan kalau mama tidak salah menitipkanku padanya.

"Kamu cantik banget, sayang. Persis mirip Nadhifa waktu masih muda dulu," kata tante Widia sambil membelai rambutku. Nampak binar bahagia saat dia melihatku. Lagi-lagi aku bersyukur akan hal itu.

"Hehe ... 'kan aku anaknya, Tan!"

"Iya ya. Eh, kamu boleh loh panggil Tante tuh dengan 'Mama'. Tante, 'kan jadi merasa punya anak perempuan lagi."

"Ah, Tante," elakku sungkan. "Eh, memangnya Tante punya anak perempuan juga?"

"Anak Tante ada dua, laki-laki dan perempuan. Yang perempuan seumuran kamu tapi sudah menikah tiga bulan lalu. Dan sejak itu dia ikut dengan suaminya menetap di Amerika."

Aku hanya mengangguk saja. Aku tak menyangka, cewek seumuranku yang hidupnya nampak mewah malah sudah menikah.

"Masih muda sudah menikah aja ya, Tan?" tanyaku penasaran juga. Jangan-jangan dijodohin lagi?

"Ya gitu anak zaman sekarang. Jatuh cinta dan gak mau berpisah. Jadi ceritanya, Dion pacarnya yang sekarang sudah sah menjadi suaminya itu akan bekerja di New york, dan Helena anak Tante ingin ikut pacarnya itu. Mereka gak mau Ldr-an. Tapi mana mungkin, 'kan Papa Helena membiarkan anak gadisnya tinggal sendiri di negeri asing dengan seorang laki-laki yang hanya berstatus pacar. Dan pastinya Tante juga gak akan mungkin membiarkannya. Maka pada akhirnya Papa Helena mengajukan syarat pernikahan bila mereka memang ingin bersama. Dan yah ... terjadilah pernikahan itu tiga bulan yang lalu," terang Tante Widia.

"Wow ... nikah muda!" ujarku dengan senyuman.

"Iya. Makanya, begitu melihat kamu tadi, Tante merasa seperti ada Helena lagi di sini." Tante Widia tak henti-hentinya merekahkan senyum. Jemarinya membelai punggung tanganku pelan. "Kamu berminat nikah muda juga?"

Aku terkejut. "Mana ada, Tan. Aku gak akan kepikiran itu sampai–"

"Sampai?"

"Ya sampai ketemu jodoh nanti. Nanti loh, Tan. Nggak dalam empat atau lima tahun ini."

"Loh kenapa? Siapa tahu jodoh kamu datangnya besok, 'kan?!"

Aku hanya mengendikkan bahu sambil tersenyum malu. Masa aku harus jujur kalau aku kurang berminat dengan jatuh cinta sekarang ini. Lebih tepatnya sih, belum ada niatan untuk benar-benar mencari jodoh. Ayolah, baru dua puluh satu tahun. Masa sudah harus memikirkan jodoh? Kuliah saja belum beres. Jangan dululah masalah rumah tangga datang.

Tapi seharusnya aku tidak boleh mendahului takdir, bukan?

***

Alarm ponselku membangunkanku di pagi hari yang terasa seperti mimpi. Ahhh ... aku menggeliat manja. Rasanya terlalu enggan untuk turun dari dekapan selimut yang sangat nyaman ini. Kamar yang Tante Widia sediakan untukku benar-benar sempurna. Sekarang aku bersyukur pada mama papa yang telah memberikanku kesempatan untuk menjadi seolah seorang putri raja selama setahun di istana ini.

Uuhh ... nyamannya ....

Ayo bangun, Zura.

Ah ya ... Aku harus bangun dan bersiap kuliah. Ada mata kuliah di pagi hari yang membuatku harus meninggalkan istana untuk sementara. Selain itu aku mesti bergegas sebelum ketinggalan berkenalan dengan Om Mandala Darmawan Maheswara di meja makan. Masa aku menumpang di rumah orang tapi yang punya rumahnya malah belum mengenalku? 'Kan malu.

Langsung saja aku bangkit untuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Hingga dua puluh menit kemudian aku sudah mengusap bedak tipis di wajah dan memakai lipgloss tipis. Aku tidak suka make up, tentu saja. Tapi berhubung aku sedang menjadi tamu di rumah orang lain, maka tidak ada salahnya aku memberikan tampilan yang sedikit menyegarkan di pagi hari, 'kan?!

Setelah menyangkutkan ranselku di sebelah bahu, aku keluar kamar. Aku berjalan pelan menuju tangga saat aku berpapasan dengan seseorang.

Pria tampan yang keren, matang, dan berwibawa. Auranya benar-benar luar biasa. Hingga aku merinding entah mengapa.

Saat itu, kenapa mata kami malah bertemu? Dia sedang mengancingkan tangan kemeja panjangnya.

Singkat saja. Tap!

Untung saja. Tapi, ternyata dia berlalu begitu saja berjalan ke arah berlawanan denganku. Padahal baru saja aku hendak melemparkan senyuman tipis pada pria itu, bermaksud untuk ramah. Karena sudah seharusnya aku bersikap sopan kepada siapa saja yang ada di rumah ini. Tahu diri, istilahnya. Tapi sepertinya dia sedang buru-buru menuju ruangan lain yang berarah sama dengan kamarku.

"Pa, ini loh Azzura," kata tante Widia yang mengenalkanku kepada om Mandala. Karena semalam aku tidak tau pukul berapa pria itu pulang, jadi aku tidak sempat bertemu dengannya untuk menyapanya. Tante Widia bilang kalau suaminya itu sedang banyak pekerjaan akhir-akhir ini.

Ku lirik wajah om Mandala itu ternyata tampan dan gentle banget. Laki banget deh. Bukan berarti papaku tidak gentle, hanya saja aura om Mandala kuat sekali. Seperti pria di lantai dua tadi juga. Mungkin begitu kali ya auranya orang-orang kaya.

Tapi tunggu,

Kenapa wajah om Mandala ini terlihat mirip dengan pria yang ku lihat tadi di depan kamarku?

Apa jangan-jangan itu adiknya?

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Reiki

Lagi, aku bertubruk mata dengan pria yang tadi ku temui di depan kamarku. Kali ini hanya sedetik saja ketika ia bergabung dengan kami di meja makan. Tanpa sedikitpun melirik ke arahku tapi aku tahu kalau dia pastilah mengingatku.

Dengan keramahan dari si empunya rumah, alias Tante Widia dan Om Mandala, maka aku bertekad untuk bersikap baik dan lebih ramah lagi kepada anggota Maheswara yang lainnya, sebagai bentuk sopan sebagai orang yang menumpang tinggal di sini.

Aku tahu kalau Tante Widia pasti akan memperkenalkan aku dengan pria yang duduk di seberangnya itu. Tapi mencoba keberuntungan dengan bersikap sedikit 'sok akrab', aku lebih dulu berkata, "Uhm, boleh ku tebak?" cetusku yang segera mendapat perhatian dari pasangan suami istri itu.

"Apa, Zura?" tanya Tante Widia.

"Om ini pasti adiknya om Mandala ya, 'kan?!" tebakanku pasti tidak salah. Aku yakin begitu. Sebab wajah keduanya memang mirip. Aura kedua pria itu juga begitu mirip, sama-sama mempesona.

Namun, keyakinanku runtuh seketika saat sedetik kemudian Om Mandala malah terbahak. Tante Widia tertawa kecil, sedangkan si om satunya lagi itu wajahnya busuk banget.

Apa aku salah bicara?

Kayaknya begitu.

Mati aku.

"Azzura ... kamu membuat Om tersanjung loh. Jadi Om terlihat semuda itu di mata kamu?" tanya Om Mandala setelah tawanya reda.

"Eh?" aku jadi tersenyum kikuk. Aku yakin ini pasti ada yang salah. Ya, tebakkanku tidak benar.

"Rei, ini Azzura," Tante Widia memperkenalkanku kepada pria itu yang ekspresi wajahnya masih mengerikan. "Dan Azzura," lalu si Tante menoleh kepadaku. "Ini Reiki, anak sulung Om dan Tante, alias kakaknya Helena," katanya di akhiri dengan senyuman.

Gubrak.

Jadi dia anaknya si Om, bukan adiknya!

Haduh, mati aku. Padahal aku gak berharap dimusuhi oleh salah satu penghuni rumah ini. Apalagi ini, malah anaknya yang aku salah sangka.

Mulut, Zura ... mulut! Jangan ngomong sembarangan!

Ku lihat Om Mandala kembali tertawa. Sedangkan aku ingin sekali menghilang dari tempat ini secepatnya karena kebodohanku barusan.

Aku malu.

Tapi aku segera berkata, "Maaf, Om. Eh, Mas!" ya ampun, salah sebut pula.

Om Mandala semakin tergelak. Dia menepuk bahu si Reiki itu sambil berkata, "Makanya, kamu jangan gila kerja, Rei. Masa kita berdua terlihat hampir seumuran?"

Plis, Om. Plis ... udahan.

Jangan lagi ...

Aku tuh lihat mukanya si Reiki sudah seperti gunung berapi yang siap meledak. Roti yang sempat dioles-oles selai coklat beberapa saat yang lalu, sekarang sudah dibantingnya ke piring tanpa adab. Kemudian dia berdiri dan mengecup pipi tante Wid. "Aku berangkat," ucapnya singkat, dingin, dan datar sebelum melangkah pergi.

Kini aku merasa menjadi manusia yang paling berdosa di muka bumi. 'Kan, sekarang rasanya bahagiaku lenyap seketika. Aku yakin si Reiki itu tidak suka kepadaku, bahkan mungkin malah membenciku detik ini juga. Lalu apa kabarnya dengan kehidupanku di sini setahun mendatang?

"Maaf ya, Zura. Jangan di ambil hati," ucap Tante Wid menenangkan. "Reiki memang seperti itu. Serius, dingin, dan workaholic. Kurang piknik pula."

"Maaf ya, Tan, Om." aku merasa amat bersalah karena ucapan sembarangku.

"Santai, Zura." Om Mandala dengan santainya melanjutkan sarapannya. "Rei nggak bakalan apa-apain kamu walau kelihatannya dia marah kayak tadi. Tenang aja, anak Om, baik kok."

Meski begitu, aku tetap saja khawatir bila kehadiranku malah membuat Reiki tidak nyaman. Maka itu artinya aku pun jadi tidak nyaman juga. Kalau sudah begini, sepertinya aku harus segera mencari tanggal untuk angkat kaki dari sini.

...----------------...

"So, lo jadi sultan sekarang?" tanya Alya sahabatku begitu aku baru memulai cerita kepadanya mengenai tempat tinggalku sekarang. Hari pertamaku berada di rumah Maheswara yang dimulai dengan kesalahan.

Di kampus, saat ini kami sedang berada di kantin seperti biasanya kalau hendak membicarakan perihal tugas perkuliahan. Apalagi menjelang ujian, mestinya kami lebih banyak belajar, tapi nyatanya kami lebih banyak nongkrong dan main. Hufft, masa iya nambah satu semester lagi saking betahnya berada di kampus ini?

"Numpang di rumah sultan, lebih tepatnya."

"Asik banget dah si Raju mendadak tajir."

Aku hanya menggeleng jengah. "Aamiin."

Alya terkekeh. "Eh, siapa tadi nama si om yang nyaris tua itu? Anaknya?"

"Kapan gue bilang tua sih, Al?"

"Ya sama aja. Begitulah kesimpulannya, Ra."

"Serah deh!"

"Trus anaknya siapa tuh namanya tadi? Ciki? Kiki?"

"Reiki."

"Kayak cewek nggak sih namanya?"

"Unisex kali ah. Kali ya! Mau denger gak nama panjangnya?"

"Mau. Udah tahu aja lo nama doi," goda Alya.

"Reiki Aristide Altezza Maheswara. Gue gak sengaja lihat di salah satu penghargaan yang ada di ruang tengah di rumah itu."

"Widih, namanya keren. Penghargaan apaan betewe?

"Gak tau. Lupa."

Aku memang hanya melihat sepintas, dan entah kenapa fokusku hanya ke namanya saja.

"Trus lo tadi pergi ke kampus naik apa? Mer-C? BMW? Ferrari? Lambo–"

"Taksi."

"Lah? Gimana sih, Ra? 'Kan sekarang lo anak sementaranya si sultan, ya masa naik taksi?"

"Hidih, Al. Susah amat ya ngejelasinnya sama lo. Gue tuh lagi NUMPANG di rumah orang kaya. Numpang doang! Bukan diadopsi, woi! Gue masih punya enyak babeh."

Alya terkekeh. "Iya ya. Tapi, 'kan lumayan buat bikin IGS, SW, tik tok–"

"Update aja semua di medsos ya, Al. Norak bener deh gue. OKB. Trus pas ketauan kalo gue numpang di rumah orang, gue malah viral deh tuh."

"Betul! Aji mumpung, kali. Lumayan bikin live di rumah mewah, mobil mewah ... atau gak lo gebet aja si Om tua tadi? Eh–"

"Reiki."

"Iya, Om Ki."

"Ini anak main singkat nama orang aja."

"Biar gampang inget, elah."

"Lo gak mikir apa, adiknya dia yang seumuran gue aja udah nikah. Masa dia yang setua itu belom nikah?"

"Bener juga. Jangan-jangan sebenernya dia udah punya anak dua. Trus udah cerai sama istrinya. Yang itu artinya dia duren sawit, Raju!" mata Alya semakin berbinar karena hayalan-hayalannya. Entah maksudnya apa. Atau entah gimana isi kepalanya.

"Gue nggak doyan duda," sahutku asal. "Eh, Al. Ini si Radit kemana nyangkutnya? Tadi katanya mau ke toilet doang?"

"Buang hajat kali dia," sahut Alya tak peduli.

Beda denganku yang apabila Alya atau Radit tidak ada maka aku akan merasa kehilangan. Karena mereka berdua adalah sahabat yang paling berarti dalam hidupku. Mereka berteman denganku sejak aku masih menjadi rakyat jelata. Dulu, beberapa tahun yang lalu pekerjaan papa hanya sebagai sales door to door. Tapi semenjak papa diterima bekerja di MHS corp. hidupku menjadi lebih mudah.

Dan Alya dengan Radit adalah sahabatku selamanya.

"Eh, Ra ... pokoknya kapan-kapan lo kudu harus wajib ajak gue sama Radit main ke rumah baru lo–"

Aku baru mau mengoreksi perkataan Alya, tapi dia sudah mengoreksi duluan. "Rumah baru lo yang cuma sementara itu. Oke?"

"Nantilah, Al. Kagak enak gue. Masa baru juga numpang udah bawa pasukan aja."

"Iya, 'kan gue bilang kapan-kapan, Raju!"

"Zura."

"Iya, Jura."

...----------------...

Pulang dari kampus, aku diantar oleh Radit dengan motornya menuju rumah baruku. Ah, bukan rumah baru, tapi tempat tinggal sementara yang baru. Masa kontrak hanya setahun saja. Kecuali Tante Wid punya anak laki lagi adiknya si Reiki, yang terus dijodohin kepadaku, trus aku jadi menantu di sana, dan rumah itu menjadi rumahku juga selamanya.

Haduh.

Kenapa sekarang pikiranku jadi gila begini?

Sejak kapan aku berpikiran masalah jodoh?

No. Sama sekali aku tidak berniat untuk menjalin hubungan saat ini. Setidaknya, hingga masa berkabungku sudah selesai.

Yeah, mantan pacarku sudah meninggal. Meninggalkanku untuk menikah dengan cewek lain.

Aku patah hati sudah pasti. Meskipun telah berlalu selama setahun, tapi aku jadi benar-benar muak dengan laki-laki saat ini. Bukan berarti aku berniat pindah haluan. Sama sekali tidak. Hanya saja sakit hatiku belum sembuh.

Sampai di rumah keluarga Maheswara, di sana dalam keadaan sepi. Sepi dalam artian para pemilik aslinya belum nampak di pandanganku. Sedangkan pelayan dan penjaga terlihat banyak sekali di mataku.

Pelayan yang berada di dapur entah berapa orang tepatnya. Yang aku lihat sekarang ada tiga atau empat orang yang nampak sibuk. Belum pelayan yang sedang berlalu mondar-mandir membersihkan tiap sudut rumah itu, aku juga tidak tahu berapa jumlahnya.

Lalu penjaga, ah– aku menyebutnya penjaga. Lidahku agak kelu kalau menyebut dengan bodyguard. Yang terlihat di dalam rumah ada dua orang, sedangkan yang berada di luar rumah yang terlihat oleh mataku ada tiga orang. Mana tau yang tak terlihat alias kasat mata. Eh?

Entahlah. Yang jelas saat ku katakan rumah ini sepi adalah sepi yang tidak berarti sepi. Begitu.

Aku berjalan menaiki tangga dan menuju kamarku. Sebelum aku benar-benar memasuki kamar, terlihat Tante Wid keluar dari sebuah ruangan sambil tersenyum ke arahku.

"Baru pulang, Ra?"

"Iya, Tan. Zura mau mandi dulu ya,"

"Okey! Kalau sudah mandi cepat turun ke bawah ya. Tante tunggu!"

"Iya, Tan."

Aku pun memasuki kamar dengan penasaran. Mau apa ya si Tante?

Tak butuh waktu lama setelah selesai mandi, waktu menunjukkan pukul lima sore. Dengan memakai kaos longgar dan hotpants aku berjalan keluar dari kamar. Kemudian, tanpa sengaja aku malah menabrak sesuatu.

Bruk.

Sepertinya barusan aku bertubrukan dengan seseirang. Tidak sampai jatuh sih, yang ada posisiku sekarang adalah tanganku sudah mendarat di hamparan dada bidang nan sexy. Mataku saling menatap dengan si empunya dada bidang.

Reiki.

Tangan Si Reiki berada di pinggangku saat ini, menahan tubuhku yang hampir terjatuh kala menubruknya beberapa detik yang lalu.

Klasik banget ya! Kayak di sinetron gitu. Tapi kesadaran otakku masih berfungsi dengan baik, sehingga aku berdehem agar dia melepaskan tangannya dari tubuhku.

Untungnya Reiki segera melepaskan tangannya itu. Lalu tanpa basa basi seolah tidak terjadi apa-apa dia berlalu begitu saja tanpa suara dan meninggalkan aku yang sempat merasa deg-degan. Oh tentu saja dadaku sedikit berdebar. Aku hampir saja jatuh. Jadi itu reaksi wajar dari jantungku.

Okey.

Lupakan si waikiki itu.

Aku harus mencari Tante Wid yang berada di lantai bawah.

"Hallo, Tan," sapaku begitu tiba di meja makan. Rupanya si Tante ada di sana. Karena saat tadi aku mencari-cari tapi tidak menemukan si Tante, maka aku pun bertanya dengan salah seorang pelayan. Dan rupanya itu menjadi lebih mudah. Menilik seberapa luasnya rumah ini, aku rasa aku bisa kalau jogging di dalam rumah saja.

"Hey, cantik! Hhhmm ... kamu wanginya segar banget sih. Tante suka deh wangi kamu."

"Ini cuma wangi shampoku kok, Tan."

"Oya? Serius Tante suka wanginya loh."

Shampo murah padahal. Aku yakin kalau shampo Tante Wid adalah brand mahal. Lupakan shampo! Aku tertarik memperhatikan Tante Wid yang saat ini sedang melakukan food plating, alias menghias makanan. Hm, sepertinya si Tante memintaku untuk mencicipi hasil masakannya.

"Wah ... Tante pasti jago masak ya?" tebakku sembari menempati salah satu kursi.

Tante Wid tersenyum. "Tante nggak bisa masak kok, Ra. Tante sedikit bisa bikin kue. Itu aja."

"Lah trus ini masakan siapa?"

"Tante sih. Tapi cuma ini yang Tante bisa." wanita itu terkekeh cantik.

"Ini namanya apa, Tan?" aku menebak sesuatu tapi aku kurang yakin dalam pikiranku.

"Fu yung hai. Sstt, cuma ini yang Tante bisa masaknya, Ra. Jangan bilang siapa-siapa ya. Selain makanan ini berarti koki yang masak. Hehe."

Aku tertawa saja menanggapinya. Karena aku pun tidak bisa masak, jujur saja. Kalau sekedar masak mie instan sih bisa. Atau membuat sayur sop ayam pun aku masih berani. Tapi selain itu, delivery saja, please.

"Cobain yang ini ya, Tante mau ambil satu porsi lagi di dapur."

Tante Wid kembali ke dapurnya. Sedangkan aku mengambil sendok dan mulai mengambil sepotong untuk mencicipinya. Aku agak ragu sedikit, takut kalau aku tidak doyan dan takut membuat Tante Wid tersinggung. Terus terang aku tipe orang yang pilih-pilih makanan, alias kurang doyan makan. Makanya tubuhku kurus.

Perlahan aku membawa sendok yang sudah ku ambil sepotong makanan itu untuk mendekati mulutku. Namun saat sendok baru saja menyetuh bibirku, ada sesuatu yang mengejutkanku.

Reiki.

Pria itu memakan fu yung hai yang berada di sendokku barusan. Yang membuatku terpaku dan bodoh seketika adalah saat bibirku tersentuh bibir pria itu.

Whaaaaattt?

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!