Jam makan siang hampir
tiba, kira-kira limabelas menit lagi. Renata sudah mulai sibuk berkemas untuk
membereskan berkas-berkas yang ada di mejanya. Sebelum keluar untuk makan
siang, semuanya harus sudah bersih dari atas mejanya. Tiba-tiba Tia, sahabatnya
yang juga satu kantor nyelonong menghampiri Renata sambil cengar cengir tanpa
dosa, yang kemudian mencubit pipi Renata tanpa alasan dan membuat mata Renata
melotot, tapi hanya dibalas tawa oleh Tia.
“Yuuuk... cepetan. Gue
keburu pingsan nih...Atau kamu nunggu diajak makan sama pak Erwin...?” Kata Tia
sambil menarik tangan Renata.
Tak lama keduanya keluar
kantor dengan taxi online yang sudah dipesan.
Mereka makan siang di
restaurant yang tidak jauh dari kantor. Suasana restaurant yang cukup ramai karena
jam makan siang, namun masih menyisakan beberapa kursi yang kosong. Selain
menyediakan menu yang beragam, suasana restauran juga cukup nyaman dengan
berbagai tanaman hias yang sangat menyejukkan. Mereka mengambil tempat di
pojokan yang menjadi lokasi favorit mereka, lalu memesan makanan dan minuman
sesuai selera masing-masing, Tia mulai bicara pelan-pelan.
“ Ren gimana....jadi ya
gue kenalin.....yang sekarang beda Ren. Gua jamin.....Bibit, bobot sama
bebetnya gak usah diragukan, kalau itu memang persyaratan kamu” kata Tia sambil
tertawa.
Tia berusaha mengenalkan
seseorang cowok dengan sahabatnya. Dan sekarang, entah sudah yang ke berapa
kali usaha yang dilakukan Tia tapi ditolak Renata. Dia tidak rela sahabatnya
terus terkurung dalam rasa sedih dan sakit hati akibat dikhianati pacarnya,
atau lebih tepatnya, calon tunangannya.
Yaaaa... hubungan yang
telah terjalin beberapa tahun harus kandas karena sebuah pengkhianatan. Sebuah
perlakuan yang benar-benar menyakitkan bagi Renata. Kesetiaan dan cinta yang
terus dia pelihara, dia perjuangkan harus berakhir di tengah jalan. Apalagi
seharusnya dalam beberapa bulan mendatang, mereka bertunangan, sesuai dengan
rencana, dan beberapa bulan berikutnya menikah.
“Apalagi sih Tia....kamu
gak bosen-bosennya ya.... Berapa kali aku harus ngomong....aku belum bisa untuk
saat ini. Tolong kamu paham donk....please.....” Jawab Renata dengan muka
sedih.
“Justru aku sangat-sangat
paham Ren....aku gak mau melihat kamu begini terus. Aku ingin kamu yang dulu
kembali lagi. Renata yang ceria, yang cerewet, suka iseng dan selalu semangat.
Renata yang jadi inspirasi semua orang, yang selalu ringan tangan menolong
orang. Aku ingin itu kembali lagi Ren.... . Mau sampai kapan loe terus begini
setia sama rasa sakit hati loe. Loe juga harus bahagia Ren, tidak selamanya
harus terkurung dalam kesedihan...”
Renata menundukkan
kepalanya. Yaaaaa.... akibat pengkhianatan itu menjadikan Renata berubah 180
derajat. Sepertinya tidak ada lagi sisa-sisa dari Renata yang dulu. Senyum yang
dulu selalu manis dan ceria, sekarang untuk senyum pun sepertinya dipaksakan.
Begitu ajaibnyakah kata-kata pengkhianatan itu berdampak. Rasa percaya kepada
laki-laki sudah hilang. Harapannya juga hilang. Hatinya benar-benar patah.
“Ren...coba dech kamu
buka sedikiiiitttt....saja hatimu. Atau paling tidak buka dirimu untuk mau
mencoba lagi. Memang menyakitkan yang
kamu alami. Tapi tidak harus terus menerus kamu begini kan ? Kamu berhak bahagia
Ren....dengan cintamu, dengan masa depanmu...Raihlah itu.....kamu harus bisa berdamai
dengan hatimu.” ucap Tia lagi dengan penuh semangat.
“Bahagia....?
Cinta....?” Jawab Renata dengan tetap muka yang sendu dan tersenyum miris.
“Why not
Renata.....?. Gue tau, kamu satu-satunya orang yang gue kenal, yang terkenal
sulit untuk jatuh cinta. Tapi begitu kamu sudah juatuh cinta...yaaa...kayak
begini jadinya..”
“Ahhh... udah lah. Gak
usah diomongin lagi...Bikin gak napsu makan aja loe....”Renata cepat memotong
omongan Tia. Tidak ingin memperpanjang omongan, yang menurut dia tidak penting
dan menyakitkan kalau diteruskan.
Sementara itu di sudut
tempat duduk yang lain, sepasang mata di balik kacamata hitamnya mengawasi ke
dua gadis yang duduk di pojokan itu dengan tidak berkedip. Yaaaa.. sepasang
mata dari seorang pemuda yang selalu mengamati sejak ke dua gadis itu masuk ke
restauran. Dia adalah Bramantyo atau yang biasa dipanggil Bram, teman Tia,
lebih tepatnya sahabat Arya, pacar Tia, yang akan dikenalkan dengan Renata. Ada
rasa yang lain di hatinya begitu melihat wajah Renata dengan kesedihan yang
terpancar di mukanya. Ada sesuatu perasaan aneh yang tiba-tiba datang, yang dia
sendiri tidak tau apa sebabnya, padahal baru pertama kali dia melihat gadis
itu. Sebegitu hancurnyakah hati gadis itu dengan rasa cintanya yang
terkhianati? Bram memang sudah mendengar semua cerita tentang Renata dan kisah
cintanya dari Tia. Makanya Tia sangat antusias untuk mengenalkan Bram dengan
Renata dan berharap ada kecocokan diantara keduanya.
Bram mencoba mengikuti
keinginan Tia, tapi dengan catatan dia ingin melihat dulu Renata dari sisi yang
lain dengan cara diam-diam mengamati dan mengikuti Renata tanpa sepengetahuan
Renata. Tia menyetujui apa maunya Bram. Tia merasa Bram lah orang yang pas
untuk Renata. Maka siang ini dimulailah rencana Bram mengamati Renata saat
makan siang, sesuai kesepakatan dengan Tia. Inilah pertama kali Bram melihat
Renata secara diam-diam tanpa diketahui Renata. Bahkan Tia pun tidak tau dimana
posisi duduk Bram, karena dia tidak ingin Renata curiga kalau sampai Tia
kelihatan mencari-cari seseorang dengan mengedarkan pandangan matanya. Yang
jelas Tia tau bahwa Bram pasti sudah duduk manis dengan posisi tersembunyi di
dalam restaurant. Itu kesepakatan mereka berdua tadi melalui chat kalau Bram
akan datang lebih dulu di restaurant itu.
“Ren kamu jangan pesimis
gitu donk sayangggg.....Smangaaaaatttt....sobat.. Jalan masih panjang. Tidak
cukup hanya berdiam diri menangisi masa lalu. Apakah dengan begini loe merasa
bahagia? Enggak kan ?Jangan bohongin diri sendiri Ren...Oke?’
Renata menatap Tia
mendengar kata-kata itu. Ahhhh.....laki-laki itu, Aditya... Laki-laki kurang
ajar seperti kata Tia. Laki-laki yang sudah beberapa tahun mengisi hari-hari
indahnya. Laki-laki yang sudah mengajarkan akan indahnya cinta. Yaaa....cinta
pertamanya. Cinta yang begitu indah, tapi....juga sangat menyakitkan bahkan
sudah menorehkan luka yang begitu dalam di hatinya.
Renata tersenyum tapi
terlihat senyuman yang sangat miris. Aditya, nama yang terukir di dasar
hatinya, yang ingin ia lupakan, tapi sangat sulit. Laki-laki yang sudah
meninggalkan luka yang teramat dalam di hatinya. Sepertinya rasa bencinya pada
Aditya sebesar rasa cintanya.Dan ini sangat-sangat menyakitkan bagi Renata.
Laki-laki itu sudah berhasil membuat hidupnya benar-benar terpuruk. Membuat
harapannya hancur tanpa meninggalkan sisa. Tiga tahun lebih masa-masa indah dia
lalui bersama Aditya. Merenda kasih dan merajut cita-cita masa depan berdua.
Yang akhirnya.....berantakan semua.
Tanpa terasa di sudut
matanya telah menetes air mata, yang buru-buru dia hapus dengan tisue. Dia
tidak ingin orang lain melihatnya. Tapi ternyata pemandangan ini tidak luput
dari penglihatan Bram. Dia melihat kalau Renata sempat mengeluarkan air mata
yang buru-buru dihapus. Ada desiran halus di hati Bram melihat hal itu. Sepertinya
hatinya sakit melihat Renata. Dia sempat mengepalkan tangannya tanpa tahu
sebabnya. Apakah dia marah dengan penyebab air mata Renata keluar? Entahlah....
“Permisi....pesanannya
mbak....” Tiba-tiba datang pelayan membawa nampan untuk menghantarkan makanan
dan minuman yang dipesan, lalu meletakkan pesanan di meja.
“Sudah lengkap mbak
pesanannya. Silakan dinikmati...”
“Oke terimakasih mas....”
jawab Tia. Renata masih sibuk dengan tisuenya mengusap ke dua matanya. Tia
menyadari itu. Dia sangat paham dengan suasana hati sahabatnya, dan diapun juga
bisa merasakan kesedihan itu.
“Sory....Ren...aku gak
bermaksud......”
“Its okey...aku gak papa
kok. Aku aja yang terlalu cengeng.Yuk makan....cacingku dah teriak-teriak
nih....” Renata menyahut sambil sedikit mencoba bercanda untuk menetralkan
suasana.
“Enak juga nih smua
makanan di sini. Kayaknya gak bisa berpindah ke lain hati dech. Smuanya serba
enak dan pas ...” Ucap Tia sambil
mengunyah makanannya.
Tiba-tiba ponsel Tia ada
notifikasi chat, dari Bram.
“Tia aku dah bisa
lihat wajah temenmu dari tempat dudukku.....”
“Trus gimana
kesannya mas? Cantik kan....?”
“Cantik sih,
Cuma.......”
“Cuma
knapa....jangan bikin penasaran ya.....”
“Mukanya sedih
amat. Kasihan lihatnya....”
“Mau lanjut mas...?”
tantang Tia
“Hhhmmmm......”
“Asyik bener chating. Katanya udah
laper...malah dianggurin tuh makanan..” tiba-tiba Renata nyeletuk sambil
mengunyah makanannya.
“Tau nih orang gangguin
aja. Gak seneng liat orang mau makan...” jawab Tia sekenanya biar Renata tidak
curiga.
Ya.. Arya dan Tia memang sudah sepakat untuk mengenalkan Bram
dengan Renata. Arya tahu persis siapa Bram. Dia sudah bersahabat sejak SMP dan
kebetulan sama-sama kuliah dengan jurusan yang sama juga. Sampai kemudian Bram
melanjutkan S2nya diluar negeri, baru pisah. Tapi sekembali Bram dari luar
negeri, mereka kumpul lagi. Bahkan Arya menjadi salah satu orang kepercayaan
papi Bram di perusahannya. Keduanya sudah seperti sodara, bahkan orang tua Bram
sudah menganggab Arya seperti anak sendiri. Persahabatan Bram dan Arya adalah
persahabatan yang tulus. Meskipun dengan latar belakang ekonomi yang berbeda,
tapi tidak membuat itu jadi penghalang. Bahkan saat kuliah dulu, disaat Arya
mengalami kesulitan biaya karena ekonomi orang tuanya yang pas-pas an, Bram dengan
tulus tanpa pamrih membantu Arya, hanya demi satu kata “persahabatan”. Bram
merasa begitu banyak berkat yang diberikan Tuhan untuk keluarganya, maka dia
harus berbagi. Itu yang diajarkan oleh kedua orang tuanya kepada anak-anaknya
sejak kecil. Sehingga tidak heran kalau keluarga Bram terkenal dengan jiwa
sosialnya.
Arya dan Tia juga tau
tentang cerita cinta lama Bram. Hampir sama dengan Renata, Bram juga ditinggal
oleh pacar yang sangat dicintainya dengan alasan yang tidak jelas setelah menjalin
hubungan beberapa tahun. Bahkan Bram sudah memantapkan hatinya untuk segera
melamar pacarnya. Pacarnya memutuskan hubungan dengan Bram yang sama sekali tidak pernah
terbayangkan oleh Bram. Yang akhirnya Bram baru paham ketika pacarnya ke luar
negeri mengejar karier sebagai model dan hanya mengatakan maaf di pertemuan
terakhirnya tanpa menjelaskan alasannya. Bram yang sangat setia dengan
cintanya, tidak dapat menerima kenyataan itu. Dan itulah akhir cerita cinta
Bram dengan pacarnya, yang membuat dia menutup hati untuk urusan cinta sampai
saat ini. Terlalu menyakitkan, bahkan membuat dia sedikit trauma untuk memulai
lagi. Dia tidak mau disakiti lagi. Dia menjadi laki-laki yang dingin untuk
urusan cinta. Tapi untuk sekedar sebagai teman tanpa melibatkan urusan perasaan
dengan makluk yang namanya perempuan, Bram termasuk orang yang mudah berteman
& berkomunikasi, bahkan orangnya lebih cenderung konyol dan suka bercanda. Dia sangat menghormati
makluk berjenis kelamin perempuan, seperti yang selalu diajarkan papinya, bahwa
wanita harus dihormati, tapi NO LOVE. Titik....!!
Kejadian itu sudah
terjadi lebih dari tiga tahun yang lalu. Hal itu menyebabkan Bram menjadi
laki-laki yang cuek dengan perempuan, dia menutup hatinya . Dia sibukkan
dirinya dengan study dan pekerjaannya. Bahkan sekarang, diusianya yang sudah
cukup matang untuk menikah, dia masih tetap belum memiliki pacar, apalagi
keinginan untuk menikah. Ini yang membuat maminya sibuk menjodoh-jodohkan Bram
dengan anak temannya, tapi Bram tidak merespon. Dia tetap sibuk dengan
pekerjaannya di perusahaan pertambangan, bahkan sudah memiliki posisi yang
cukup lumayan. Selain itu, Bram bersama teman-temannya sudah merintis usaha
sejak kuliah, yang sekarang sudah cukup besar dan Bram ditunjuk sebagai
direkturnya. Meskipun orang tuanya juga memiliki perusahaan yang salah satunya
di bidang pertambangan, tapi dengan alasan akan belajar dan mencari pengalaman
di tempat lain, dia belum mau terjun mengurus perusahaan orang tuanya,
meskipun orang tuanya berkali-kali membujuk.
Makanya dia menyodorkan Arya untuk membantu papinya. Dan kebetulan Arya adalah
seorang pekerja yang ulet dan mumpuni, sehingga papinya menunjuk sebagai salah
satu orang kepercayaannya.
Tiga tahun lebih Bram
mengubur rasa cintanya dan menutup hatinya. Tapi sekarang, pertama kali dia
melihat seorang gadis yang bernama Renata, seolah-olah memberikan rasa lain di
hatinya. Apakah ini namanya cinta pada pandangan pertama? Bram belum mau
mengakuinya. Tapi....tatapan sendu itu seolah-olah terus membekas di hatinya.
Ditambah lagi dengan tetesan air mata gadis itu yang sempat dia lihat dari jauh.
Dalam pandangan Bram, gadis itu terlihat rapuh dan butuh topangan untuk
bersandar.
“Aaaahhhhhh.....aku harus
mendapatkannya..” ucap Bram dalam hatinya
Selesai makan sambil mengamati
Renata, Bram kembali ke kantornya. Masih banyak pekerjaan yang harus dia
selesaikan hari ini. Tapi pikirannya benar-benar tidak bisa konsen dengan
dokumen-dokumen yang ada di mejanya. Pikirannya masih tertuju pada raut muka
Renata yang sendu. Ada sesuatu yang hilang ketika Renata dan Tia selesai makan
dan meninggalkan restauran itu.
“Apakah aku harus
mengejarnya...????” kata Bram dalam hati.
Bram duduk sambil
mengacak-acak rambutnya.
Bayangan wajah Renata
terus menari-nari dalam pikirannya. Lalu dia membuka ponselnya, ada WA dari Tia
yang ternyata mengirimkan foto Renata secara diam-diam. Terlihat wajah cantik
Renata di layar ponsel nya. Rambut hitam sebahu dengan hidung yang sedikit
mancung, mata bulat dengan tatapan mata yang menyiratkan ada kesedihan di sana,
serta bibir yang mungil dengan senyum tipis.
“Re....na......ta......”
desah Bram menyebut nama.
“Ada apa dengan kamu
Ren.....Kenapa aku baru lihat sekali, sepertinya ada banyak cerita yang bisa
kubaca dari wajahmu......?” Kata Bram dalam hatinya.
Kembali dia membolak
balikkan dokumen di depannya tanpa membaca. Ditutup lagi, buka lagi dan tutup
lagi. Itu yang dilakukan Bram di mejanya, dengan laptop yang tetap terbuka tapi
sama sekali tidak disentuhnya. Pikirannya melayang kemana-mana. Tapi hanya satu
bayangan yang ada di benaknya. Wajah Renata yang sendu. Mata itu...... penuh
kesedihan.....Bram kemudian mengusap-usap mukanya dengan kasar sambil beberapa
kali menghela nafas panjang.
“Hooiiiii.....bro ngapain
loe, kayak cacing kepanasan mau lahiran...ada apa sih? Gua liatin dari tadi tu
dokumen cuma dibolak balik doang. Kucel ntar lama-lama....” Tiba-tiba Joni,
salah satu temannya yang kebetulan duduk di dekatnya bertanya.
“Loe kenapa? Gua
lihat-lihat sejak loe pulang dari makan siang jadi aneh begini. Kesambet setan
dimana...??? Gak biasanya loe gelisah..., mana pake ngucel-ngucel rambut lagi.
Ngaca tuh....muka udah kayak apaan aja...” Kembali Joni melanjutkan
pertanyaannya panjang kali lebar.
Bram cuma nyengir
mendengar keheranan temannya. Kali ini sepertinya dia benar-benar menyerah
dengan hatinya. Pertemuan pertama yang bisa memporak porandakan perasaannya.
Bayangan wajah Renata yang seolah-olah selalu mengikutinya.
“Loe lagi jatuh cinta
bro? Sama cewek mana...????” tanya Joni penasaran. Karena yang dia tahu, selama
ini Bram belum punya pacar, bahkan dekat dengan cewek pun tidak pernah, tapi
kali ini tingkahnya jadi aneh mendadak.
“Gaaak.... gua cuman lagi
penasaran aja....”
“Penasaran ma cewek?”
desak Joni lagi, ikut-ikutan penasaran juga.
“Aaahhhhh....udah deh,
gak ada apa-apa kok.” sahut Bram
“Ayolaaahhh...sama cewek
mana, gak usah pake rahasia segala.” Joni mendesak lagi
“Upss...udah gua lagi
banyak kerjaan , ntar lagi... minggu depan mesti ke lapangan nih, jadi harus
kelar dokumennya....” Bram menghindar.
Yaaa, Bram memang tidak
mempunyai teman wanita yang dekat, apalagi yang namanya pacar. Meskipun banyak
cewek-cewek yang mengharapkan jadi pacarnya, bahkan istrinya. Dengan wajah yang
ganteng, body yang tinggi proporsional, serta pekerjaan yang bagus dan dari
keluarga kaya, siapa yang akan menolak, bahkan kalau perlu mengorbankan harga
dirinyapun mau, asal bisa jadi pacar Bram. Untunglah Bram berasal dari keluarga
yang taat akan agama dan selalu diajarkan untuk menghargai wanita.
“Bram...sebenernya cewek
yang seperti apa sih yang loe cari....? Gak ada satupun yang menarik gitu dari
sekian cewek yang ada..., yang deket sama loe..???” tanya Joni heran.
“Hhhmmmm....kemaren
belum...tapi gak tahu besok-besok.” Jawab Bram pendek
“Cewek mana....ada di
kantor ini??? Atau temen gereja loe, atau mantan temen sekolah...kuliahhhh???’
Joni mencecar dengan pertanyaan, makin penasaran.
“Udaaahhhh....besok-besok
lagi...berisik amat loe....!!!”
Dua hari setelah acara
makan siang Renata dan Tia. Ada pesan chat masuk ke ponsel Tia
“Tia bisa ketemu gak ntar
sore di kantor Arya. Gue tunggu ya....penting..!!!.”
“Ada apa mas kayak yang
ngebet banget. Perlu sama Renata ?”
“Gaaak...sendiri aja. Jangan
sampai dia tau. Belum saatnya ketemu dia....”
“Duuuuhhhhh.....heboh
amat. Gak bisa diomongin di sini aja mas?”
“Gaaak....panjang
judulnya. Bener ya....gue tunggu..!!!.”
“Siaaapppp...bos, asal
ada imbalannya...heeeee...”
“Iyeee....imbalannya ntar gue kawinin loe sama
si Arya....”
“Ngapain Tia pake
senyum-senyum sendiri. Ntar kesambet tau rasa..” tiba-tiba Renata sudah berdiri
di dekatnya.
“Eeiiitss....gue lagi
demen ngerjain orang nih. Biar kapok...haaa.....” jawab Tia sambil tertawa.
“Sarap.....!!!” kata
Renata pendek, lalu melangkah ke mejanya, sibuk dengan pekerjaannya sendiri,
sambil sekali-kali menghela nafas panjang, seolah-olah ada beban berat yag
dipikirkan. Ada rasa nyeri di dadanya..... Matanya menerawang jauh kedepan
dengan tatapan kosong.
“Gimana Ren...mau ya
kapan-kapan gue kenalin ke temen gue. Cuma kenalan doank kok, gak nyuruh loe
pacaran. Okeyyyyy.....?” tiba-tiba suara Tia mengagetkan.
“Hhhemmmm....” jawab Rena
cuek dan terlihat tidak berminat
Tia memang paling
semangat untuk mengenalkan cowok dengan Renata, karena dia merasa kasihan
melihat sahabatnya itu terus-terusan merenungi sakit hatinya karena
pengkhianatan. Dia ingin Renata kembali seperti semula, kembali ceria dan
bersemangat.
Tak lama kemudian,
terdengar suara laki-laki dari belakang Renata.
“Renata...dokumen-dokumen
untuk acara ke Surabaya sudah lengkap semua kan....?”
“Eeee....pak
Erwin...belum pak, masih ada kekurangan, tapi waktunya masih agak lama kok.
Nanti akan saya lengkapi dulu, setelah itu saya serahkan ke bapak untuk dikoreksi.”
“Oke, saya tunggu. Gak
buru-buru juga...”
“Baik pak...”
“Ooo...ya...tolong nanti
jangan buru-buru pulang dulu ya, masih ada yang pelu kamu lihat data-datanya.
Gak papa kan kamu pulang agak telat...?”
“Iya pak...gak papa....”
“Oke saya tinggal dulu. Nanti
datanya biar diantar staf saya...” kata Erwin, kemudin berlalu meninggalkan
Renata.
“Duuuhhhh....kayaknya
modus dech Ren...tuh bos ganteng. Lagian ke Surabayanya kapan...nanya
dokumennya sekarang...” kata Tia sambil meledek Renata.
“Dihhh....ngapain
dipikirin....????” jawab Renata singkat.
“Ren kamu ngerasa gak
sih...kalau pak Erwin naksir kamu....?”
“Biarin aja kenapa....????”
tanya Renata cuek
“Yaaaa......gak papa
sich....terserah kamu saja, cocoknya sama siapa....”
“Gak ada...!!!”
*****
Sore hari di kantor Arya,
yang juga kantor papinya Bram.
Bram sudah nongkrong di
ruangan Arya, yang terletak bersebelahan dengan ruangan papi Bram, sambil
menunggu Tia yang katanya masih di jalan dan sebentar lagi sampai.
Bram memang sudah
terbiasa keluar masuk di kantor papinya untuk sekedar nongkrong atau diskusi
dengan papinya soal kerjaan. Dia sudah berpikir, suatu saat dia memang harus
menggantikan posisi papinya di perusahaan ini.
“Ngapain sore-sore sudah
nongol di sini Bram?” tiba-tiba papinya sudah keluar dari pintu di sebelah
ruangan Arya. Rupanya habis meeting.
“Iseng aja pi....lama gak
ngobrol sama Arya. Ini juga lagi nunggu Tia. Urusan anak muda...heee.... Papi
mau kemana...dah mau pulang?’
“Iya papi pulang duluan.
Papi agak capek hari ini. Arya... itu dokumen sudah saya tandatangani semua,
tinggal atur jadwal pertemuan untuk tanggal 5. Masih ada waktu dua hari lagi,
siapkan dokumen-dokumen lainnya, jangan sampai ada yang ketinggalan.” Kata
papinya ambil menoleh ke Arya.
“ Siap pak. Tinggal pesan
tempat saja di luar, biar sekretaris yang urus. Atau bapak mau di kantor sini
saja meetingnya?”
“Ok di sini juga gak
papa. Suruh Nita siapkan ruang meeting utama..!”
“Siap pak. Semua sudah
ready kok sepertinya. Tapi besok saya konfirm lagi ke Nita..”
“Oke saya pulang dulu.
Bram papi pulang dulu. “ Kata papinya sambil berjalan menuju lift. Nita,
sekretaris papi Bram keluar dari ruangan meeting juga sambil menenteng beberapa
dokumen.
“Eh ada pak Bram, sudah
lama pak?” tanya Nita berhenti sejenak sebelum mengikuti papi Bram ke arah
lift.
“Yaaa....lumayan. Apa
kabar Nit?” tanya Bram
“Baik pak. Oke saya antar
dulu bapak ke lobby ya.” Jawab Nita lalu berjalan ke arah lift untuk mengantar
papi Bram ke loby bersama dengan Arya.
“Gua tinggal dulu bro...”
kata Arya sebelum masuk lift.
.
Setelah papi Bram masuk
mobil dan meninggalkan kantor, kebetulan Tia juga sudah sampai, ber tiga menuju
lift sambil ngobrol, untuk ke atas bergabung dengan Bram kembali.
Bram terlihat sedang selonjoran
di sofa sambil memejamkan matanya dengan kedua tangannya sebagai bantalan
“Cieeee.....ada yang lagi
jatuh cinta pada pandangan pertama niihhhh....” tiba-tiba suara Tia yang sudah
berdiri di depannya bersama Nita dan Arya mengagetkan Bram.
“Seeeettt...dah...ngagetin
orang aja...” jawab Bram
“Segitu kagetnya...?
Gara-gara Rena ya kok sekarang jadi kagetan begitu...heee”
“Sialan lo ah..... Ar gak
ada kopi sore nih. Masak tamu terhormat didiemin....” kata Bram sambil
menyindir Arya.
“Laaaahhh...loe bisa
bikin sendiri tuh di pantry atau minta tolong Nita. Ini kan juga kantor milik
loe. Ntar kalo udah jadi bos gua di sini, baru gua bikinin...haaaa....”
“Duuuuhhhh...apes dah.
Iya gua bikin sendiri. Ehhhh....kan ada Tia...bisa minta tolong neng bikinin
kopi dua, satu tanpa gula...heeeee....soryyyy....” jawab Bram sambil cengar
cengir.
“Biar saya aja yang
bikinin kopi mbak Tia...”kata Nita sambil tersenyum.
“ Mas mau kopi juga
kan..atau teh” tanya Tia ke Arya.
“Kopi juga boleh, pake
gula dikit aja ya...trims Nit.”
Setelah kopi dan teh terhidang,
mereka memulai obrolannya.
“Masih ada perlu lagi
pak? Kalau tidak, saya pulang duluan..” kata Nita sambil beres-beres berkas
yang ada di mejanya.
“Oke pulang aja duluan.
Kita juga gak lama kok, masih ada perlu dikit. Trims kopinya ya..” jawab Bram
“Ada yang serius nih
sampai aku harus repot-repot kesini” tanya Tia ke Bram
“Eeemmmm.....mulai dari
mana yah.....” Kata Bram sambil garuk-garuk kepala
“Diiiihhhh...kayak perawan
mau dikawinin aja, pake bingung segala” jawab Tia. Bram memang terlihat agak
kacau. Kadang gelisah, kadang bengong, membuat kedua temannya heran. Tia dan
Arya hanya diam mengamati kelakuan Bram yang aneh. Tak lama kemudian...
“Aku nanya nih, sedekat
apa hubunganmu sama temenmu itu, eeemm...Renata...?” Tanya Bram pada Tia.
“Yang jelas...gak sejauh
Sabang sampai Merauke...” Jawab Tia sambil nyengir
“Gua nanya serius
nih.....: jawab Bram sambil garuk-garuk kepala.
“Maksudku....” Jawab Bram
yang tiba-tiba dipotong Tia
“Mas Bram asal tau ya,
orang yang ada di deket Rena saat dia terpuruk itu cuma aku, selain keluarganya
pasti. Aku tau semua cerita hidup Rena. Kami bersahabat bukan baru setahun dua
tahun. Kami bahkan sudah seperti saudara. Makanya aku sangat marah ketika Rena
dikhianati oleh laki-laki itu. Dan celakanya ini adalah cinta pertama Rena.
Jadi gak aneh kalau meninggalkan luka yang sangat dalam. Aku tau persis Rena
itu seperti apa. Aku kenal dia sejak sama-sama masuk kuliah Bahkan dengan keluarganya
pun aku juga sangat dekat...... Sangat disayang keluarganya, apalagi kakaknya.
Dia gadis yang baik, tidak macem-macem. Bahkan bisa dibilang gadis yang polos.
Tapi justru dengan kepolosannya itu dia disakiti, dikhianati”Jawab Tia panjang
lebar dengan wajah serius tapi menunjukkan kesedihan. Suasana kembali sepi.
Bram terhanyut dengan cerita Tia. Ada rasa nyeri di hatinya.
“Untung aja Tia gak
naksir kakaknya Rena....”Tiba-tiba Arya nyeletuk sambil nyengir untuk
memecahkan suasana. Tia melotot ke arah pacarnya mendengar celetukan Arya.
“Hiiiihhh... ni orang
lagi serius malah becanda...” jawab Tia sewot.
“Lhoooo...iya kan. Mana
kakaknya Rena ganteng lagi...haaaaa....”
“Iiiiiihhhh....serius ah.
Dah malem nih... Apa Maunya mas Bram sekarang?” Tanya Tia
“Aku rasa-rasanya
sekarang lagi kesandung...” kata Bram sambil garuk-garuk tengkuknya yang tidak
gatal.
“Kesandung cinta maksudnya...?
Waahhhh.... kena juga...haa....” Tia dan Arya tertawa meledek Bram.
“Aku serius nihhh....!!!!”
jawab Bram kesal karena jadi bahan candaan.
“Iya....iya...percaya...
Terus gimana..?” tanya Tia lagi, sementara Arya cuma cengar cengir sambil main
ponsel mendengar obrolan sahabat dan pacarnya.
“Emmm...coba kamu pura-pura
tanya hari Minggu dia mau ke gereja dimana dan jam brapa? Terserah gimana
caranya, yang penting dapat info tentang itu..” kata Bram.
“Maksudnya...? Apa
urusannya gereja sama jatuh cinta? Emang ada hubungannya gitu...???” tanya Tia
bingung. Dia merasa aneh dengan permintaan Bram.
“Aku mau ngikutin dia ke
gereja, biar kapan-kapan tau dia gerejanya dimana, terus biasanya jam berapa.
Yaaaaa....namanya usaha...” jawab Bram sambil ketawa.
“Laaahhhh....Cuma mau
ngikutin doank...???” sahut Arya.
“Ciiiiieeee......modus....
Tapi bener nih gak mau ketemu dan aku kenalin dulu? Mau main petak umpet terus?
Tapi kayaknya kalau udah pake-pake gereja urusannya lancar dech.....”
“Ntar....pelan-pelan
dulu. Abis itu baru langkah selanjutnya...”
“Jiiiaaahhhh...keburu disamber
orang mas... Tau gak, di kantor ada berapa orang yang coba deketin Rena. Belum
lagi ada salah satu direktur baru yang ganteng, sepertinya naksir juga sama
Rena. Tiap hari bisa ketemu di kantor dengan berbagai alasan. Apalagi Rena sama
aku masuk di tim kerjanya pak Erwin dan sering pergi ke luar kota beberapa
hari. Gak takut niiihhh.....?” ledek Tia sambil nyengir.
“Aku rasa dia gak
segampang itu....”Jawab Bram pelan.
“Lhooo....siapa tau kalau
lama-lama karena ketemu terus, Rena jatuh cinta. Ganteng lho mas orangnya..”
“Iihh...kamu jangan bikin
orang kepo donk. Bukannya dukung malah nakut-nakutin. Bantuin napa..!!!!.” kata
Bram mulai goyah
“Abisss...main petak
umpet mulu...kesamber orang baru tau rasa mas. Renata itu gadis yang cantik, baik
lagi orangnya. Siapa laki-laki yang gak gampang tertarik coba.....”
“Tapi ngomong-ngomong loe
serius gak Bram? Jangan-jangan cuma iseng doang loe, malu dari pada dikatain
jomblo akut sementara umur dan tua...?” tanya Arya sambil mencondongkan
badannya ke depan Bram
“Gua serius, gak
main-main.” Jawab Bram dengan yakin.
“Jadi udah bisa move on
nih ceritanya.....???” ledek Tia lagi.
“Mas Bram tahu
gak....sekarang ini Renata masih di kantor, ditahan sama pak Erwin. Yang
nanyain dokumen lah, yang suruh lihat data-data lah. Pokoknya modus. Padahal tahu
gak....dokumen itu buat ke Surabaya yang waktunya masih agak lama. Apaan coba....
hari gini ditanyain...kalau gak modus...? Kalau mas Bram bener-bener serius nihhhh....berjuang...!!!”
kata Tia panjang lebar, sengaja manas-manasin Bram.
“Serius doang gak cukup.
Perlu perjuangan bro...Apalagi kondisi Rena sekarang lagi bener-bener terpuruk.
Aku tahu persis gimana dia saat ini.” kata Arya lagi.
“Kalian gak yakin kalau
aku bener-bener serius...???Oke gua mau buktiin kalau gua gak main-main...!”
Tia dan Arya saling
pandang-pandangan melihat Bram dengan muka serius
“Tapi mas Bram kan baru
lihat dia sekali lho....belum kenal yang sebenernya. Ntar nyesel kalau gak
sesuai harapan....”
“Itu gak penting...kalau
memang ceritamu tadi tentang dia bener-bener....”
“Lhooo....emang mas Bram
ngira aku bohong apa...???” tanya Tia sambil melototkan matanya.
“Diiihhh....jangan sewot
begitu neng. Cepet tua...!!”
“Abissss....dikasih tahu
yang bener malah gak percaya...” kata Tia sambil cemberut.
“Aku percayaaa....Tia...makanya
tolong bantuin....please...” kata Bram sambil menangkupkan kedua tangannya di
depan dada dengan wajah memelas.
Tia dan Arya tertawa
ngakak melihat Bram yang mukanya terlihat lesu.
“Udah ah...ayuk pulang
dah malam...” kata Tia sambil bangkit berdiri.
“Jadi...gimana....???” tanya
Bram lagi
“Iyaaaa....aku
bantuin...bawel amat sih...!!!”
“Makasihhhh....Tia. kamu
teman yang paling baik....”
“Tapi.....ngomong-ngomong
nih, mas Bram siap kan kalau misalnya bersaing dengan pak Erwin? Atau mau
mundur sebelum perang....???” tanya Tia lagi sambil memainkan kedua alisnya
naik turun. Bram kesel juga melihat tingkah Tia.
“Diiihhhh....bawel amat
sih kamu. Ikhlas gak mau bantuin...????” jawab Bram dengan muka cemberut. Tia
dan Arya makin ketawa ngakak.
“Ya ikhlas dong mas. Ini
misalnya saja. Ntar tahu-tahu aku sudah berjuang...eee....mas Bram mogok di
tengah jalan. Kan gak enak aku sama Renata mas....”
Bram garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal
“Terus bagaimana dong
buktiinnya kalau aku serius...???” tanya Bram putus asa.
“Iya dech....aku
percaya....”
Esok harinya di kantor yang
suasananya masih sepi karena memang jam kerja belum mulai, terlihat Renata dan
Tia sudah datang.
“Ren Minggu aku ke
rumahmu ya, kamu gereja jam berapa?”
“Aku biasa yang jam 8.
Oke jam berapa ke rumah?” jawab Rena
“Atau kita jalan aja yuk Minggu
siang. Kamu gereja di mana biar aku samperin. Kan paling-paling jam 10 udah kelar
kan?”
“Ok ntar aku share
alamat. Kamu jemput ya. Deket gereja juga ada mall kok. Gak begitu jauh.
Kebetulan aku juga ada yang mau dibeli.” Jawab Renata sambil mengetik alamat
gereja di ponselnya dan mengirim ke Tia. Rupanya Renata tidak sadar kalau Tia
sedang mulai melancarkan aksinya membantu Bram. Dia sengaja membohongi Renata
agar tahu jam dan dimana Renata ke gereja hari Minggu. Dannnn.... pancingan
mengena.
“Udah tuh alamatnya. Kamu
emang mau nyari apa Tia?”
“Pengen liat-liat aja.
Katanya ada discount gede...”
“Huuuuhhh...dasar, discount
mulu dikejar. Yang ada diboongin. Harga naikin dulu baru discount.”
“Yaaaaa....iseng-iseng
gak papalah. Mana tau nemu barang bagus....”
Di tempat lain, di
kantornya, Bram senyum-senyum menerima chat dari Tia yang mengirim alamat
gereja serta jam Rena ke gereja. Dia sudah tidak sabar menunggu hari Minggu.
Dia akan kembali melihat wajah cantik yang sendu milik Rena, dengan mata kucingnya.
Renata.....kenapa aku
begitu sulit melupakan wajahmu...meski baru sekali ketemu. Kata Bram di dalam
hati.
Dia merasa ada daya tarik
istimewa yang kuat dalam diri Renata, entah itu apa. Tapi yang jelas, setiap
saat bayangan itu hadir dalam angannya.
Jam 7 pagi terlihat Bram
sudah memarkir mobilnya di dekat pintu gerbang gereja sambil matanya mengawasi
satu persatu orang-orang yang masuk ke halaman gereja untuk mengikuti ibadah.
Dia tidak mau terlewati satu orangpun, makanya dari pagi sudah standby, padahal
biasanya orang-orang datang lima belas menit sebelum ibadah dimulai.
Tepat jam 7.40 terlihat
seorang gadis cantik sendirian turun dari taxi di dekat mobil Bram parkir.
Hati Bram berdebar-debar
melihat gadis yang memakai gaun selutut
kembang-kembang tanpa lengan yang kelihatan sangat cantik. Renata... ada
desiran halus di hatinya ketika matanya terus menatap Renata yang melangkah
memasuki halaman gereja. Bram segera turun dari mobilnya dan mengikuti dari
belakan diam-diam.
Renata mengambil tempat
duduk di barisan tengah, lurus menghadap mimbar. Sedangkan Bram diam-diam
mengambil posisi di barisan samping, posisi yang sangat ideal, karena dapat
melihat dengan jelas wajah Renata tanpa dapat diketahui pemiliknya. Matanya hampir
tidak berkedip memperhatikan Renata. Apa yang diperbuat Renata tidak lepas dari
pandangan Bram.
“Kasih
itu mengampuni. Tidak ada dendam dan amarah. Naaahhhh... ini yang sering kali
susah untuk kita lakukan. Mengampuni siapapun yang bersalah dan berbuat dosa
dengan kita. Mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Tidak ada dendam,
tidak ada sakit hati. Tapi apakah kita sudah bisa mengampuni...sudah bisa
memaafkan..? Terkadang mulut bicara mengampuni, memaafkan, tapi....hati masih
menyimpan dendam, sakit hati, amarah... Apakah
kita bahagia dengan memendam sakit hati? Apakah kita merasa puas dengan amarah
kita..?Itu artinya tidak ada kasih diantara kita. Sekali lagi saya katakan,
kasih itu mengampuni. Itu harus kita berlakukan di sepanjang hidup kita...” kata
Pendeta dalam sebagian khotbahnya yang berjudul Kasih dan Pengampunan
Bram melirik ke arah
Renata. Kembali di melihat Renata mengusapkan tisue di sudut matanya. Ini yang
ke dua kalinya Bram melihat Renata meneteskan air mata, yang sebelumnya dia
lihat di restaurant saat makan siang. Ahhhh...apakah karena isi khotbah pak
pendeta tadi? Tanya Bram dalam hati. Kasih itu harus mengampuni. Haruskah
Renata mengampuni mantan pacarnya? Mengampuni orang yang sudah membuat porak
poranda hidupnya? Itukah yang membuat dia mengeluarkan air mata? Banyak
pertanyaan yang berkecamuk di kepala Bram.
Mendengar khotbah yang
disampaikan oleh pendeta, hati Renata berdesir. Ahh.... pengampunan. Satu kata, tapi sangat susah
dilakukan. Haruskah aku mengampuni? Memaafkan? Tapiiii....terlalu sakit. Aditya.....
Nama yang masih tetap tinggal di hati Renata. Nama itu yang membuat air mata
menitik dari sudut matanya. Nama yang selalu muncul dalam pikirannya, yang
menorehkan luka yang dalam di hatinya. Dan air mata itu yang sudah sempat terlihat oleh Bram.
“Ren sory aku gak jadi jalan
ya. Ada perlu mendadak nih...” Tiba-tiba Tia menelpon Rena setelah selesai
ibadah. Memang yang direncanakan Tia cuma pengen tau jam dan tempat gereja
Renata, sesuai permintaan Bram. Maka dia pura-pura janjian, dan untungnya Renata
tidak memahami akal Tia.
“Iya gak papa. Aku juga
mau langsung pulang kok. Agak pusing kepalaku..”jawab Renata
“Lho...knapa? Kamu
sakit..?”tanya Tia khawatir
“Gak kok. Paling cuma
kurang tidur.”
“Ok dech, hati-hati ya.
Kamu pulang sama siapa?” tanya Tia lagi
“Ya sendiri lah. Paling sama
abang taxi. Mau siapa lagi?
“Oooo....kirain...”jawab
Tia terputus. “Oke dech udah dulu ya Ren, sampai ketemu besok. Daaahhhh...” Tia
menutup telponnya.
Bram yang dari kejauhan
mengamati Rena hanya bergumam dalam hati. Ahhh...seandainya....
Yaaa seandainya dia sudah
kenal dengan Renata, pasti dia akan dengan senang mengantar pulang ke rumahnya.
Atau kalau perlu tidak langsung pulang, tapi jalan-jalan dulu sambil mengisi
hari minggu. Tapi belum waktunya. Kata Bram dalam hati lagi. Masih perlu waktu
lagi. Tapi begitu mengingat kata-kata Tia kalau ada direktur muda yang juga
sedang mendekati Renata, Bram kuatir juga. Apalagi mereka bisa setiap saat
ketemu di kantor, bahkan bisa janjian untuk ketemu di luar kantor. Aaahhhh......
Bram gusar dengan segala pikirannya tentang Renata. Apakah aku sudah jatuh
cinta dengan Renata?? Apakah aku takut kehilangan Renata???? Berbagai
pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Bram.
Setelah dia melihat
Renata masuk ke dalam mobil, yang dia kira pasti taksi online, Bram menuju
mobilnya dan langsung pulang ke rumah.
******
“Mas...emang tadi gereja
dimana, kok gak kelihatan. Padahal kayaknya berangkat dah pagi-pagi bener? Atau
jangan-jangan....hayoooo...kabur kemana...?” Tiba-tiba adiknya, Sasa memberondong
dengan pertanyaan setelah Bram masuk ke dalam rumah.
“Ada dechhhh... mau tau
ajaaa..anak kecil. Yang jelas kan ke gereja..” jawab Bram sambil mengaca-acak
rambut adiknya.
“Diiihhhh... sebel dech.
Kebiasaan....awasss...” jawab Sasa sambil cemberut karena rambutnya berantakan.
Dia berlari mengejar kakaknya yang sudah lebih dulu lari ke kamarnya di lantai
dua.
“Duuuhhh...ini apa-apaan
sih udah pada tua masih kejar-kejaran..?” tanya mami yang baru keluar dari kamarnya.
“Mas Bram tuh mam, iseng
mulu..” jawab Sasa cemberut.
“Emang masmu sudah
pulang. Tadi gak kelihatan di gereja?” tanya mami lagi
“Udah tuh, baru aja
masuk.”
“Bram tadi kamu di mana?
Kok gak kelihatan di gereja?” Tanya maminya begitu melihat Bram di tangga, turun
menuju ruang makan..
“Di gereja lain mam.
Kebetulan ada janji ketemu temen. Dah lama gak ketemu, jadi dia ngajak
ketemuan.” Bram menjawab. Dia berbohong, biar maminya gak banyak pertanyaan.
“Kirain mami kamu gak ke
gereja. Abis berangkat paling pagi, eh gak nongol-nongol. Ada jadwal tugas tuh
kamu sama Sasa.”
“Oke siap...” jawab Bram
sambil bersikap hormat dengan maminya sambil ketawa.
“Maassss....bagi duit
donk...” rengek Sasa manja pada kakaknya. Bram memang sangat sayang pada adik
bungsunya. Mereka ada tiga bersaudara. Yang pertama kakak Bram perempuan, Erina
atau yang biasa dipanggil Nana dan sudah menikah punya satu anak. Bram anak ke
dua dan satu-satunya laki-laki, serta si bungsu Sasa, yang kebetulan umurnya
terpaut jauh dengan Bram, 13 tahun. Jadi sangat manja dengan ke dua kakaknya.
Sasa masih kelas satu SMA.
“Emang mau beli apa lagi
sih? Kayaknya baru kemaren minta duit.?”
Tanya Bram sambil nyubit hidung adiknya. Sasa memang lebih suka ngerjain
kakaknya dan dia lebih sering minta uang ke kakaknya dari pada ke maminya.
Menurut dia, kapan lagi. Mumpung kakaknya belum punya istri. Dan Bram pun tidak
keberatan dan sering memanjakan adiknya. Tapi dia juga keras dalam mengawasi
adik perempuannya. Apalagi urusan pacar. Bram lebih cerewet daripada papi dan
maminya.
“Ada sneaker model baru
mas. Kmaren Sasa lihat di mall. Ntar malem jalan yuk, keburu diambil orang..”
rengek Sasa.
“Itu sepatu segitu banyak
masih kurang ya...?’ tanya Bram heran
“Ini beda mas... warna
dan modelnya bagus. Yaaa... please....bener ya mas....” kata Sasa dengan muka
memelas sambil menggoyang-goyangkan kedua tangan kakaknya dan kelihatan sangat
imut. Sasa memang cantik. Dengan wajah mungilnya dia masih pantas jadi anak SMP
dan kebetulan garis-garis wajahnya sangat mirip dengan Bram. Jadi siapapun yang
melihatnya akan tahu kalau mereka kakak adik. Bram sangat gemas melihat wajah
adiknya. Makanya dia tarik adiknya dan dikempit kepalanya di ketiak sambil
tertawa. Rambut adiknya diacak-acak lagi.
“Maaassss....lepasin....bau
tauuuukkk. Mamiii...toloonggg...!!!!” teriak Sasa sambil memukul-mukul punggung
kakaknya.
“Hiiihhhh...brisik...!!!”
kata Bram sambil melepaskan adiknya.
“Ampuuunn.....kenapa lagi
sih ini ber dua ribut-ribut...?” tanya papi sambil melangkah ke sofa di depan
TV.
“Mas Bram pi iseng
mulu...weeekkkk...!!!” Sasa meleletkan lidah sambil berlari ke arah papinya.
“Eeee....sudah...sudah
ayo pada makan daripada ribut terus. Nih sudah siap semua. Ayo pap makan dulu”
kata mami.
Mereka memang keluarga
yang harmonis. Hubungan orang tua dengan anak dan antar anak sangat dekat.
Saling menyayangi dan saling peduli.
“Bram anaknya tante Anie,
temen mami yang sering ke sini udah lulus kuliah lho, mami kenalin sama kamu
ya. Anaknya cantik...” tiba-tiba maminya bicara, setelah selesai makan.
“Huuukk...hukkk...” tiba-tiba
Bram tersedak mendengar omongan maminya. Sasa yang duduk di sebelah kakaknya
menyodorkan air putih ke hadapan kakaknya.
“Gak usah kaget gitu kali
mas....kayak apa aja baru denger mau dikenalin cewek.” ledek Sasa
Bram melotot mendengar
ledekan adiknya, lalu menarik kuping Sasa.
“Aduuuhhhh...sakit tau
mas...!” Sasa mendelik ke kakaknya.
“Gimana Bram...kapan kamu
ada waktu..?” tanya maminya lagi
“Ntar dulu dech mi...Bram
lagi sibuk, gak ada waktu...” Bram mengelak permintaan maminya.
“Kamu ini...kapan lagi..?
Ingat umurmu udah berapa.....ntar udah tua masih punya orok kan gak lucu. Mau
nunggu apalagi sih...?” tanya maminya lembut. Yaaa...maminya memang seorang
wanita yang lembut kalau bicara. Meskipun usianya sudah setengah abad lebih,
tapi wajahnya masih cantik, benar-benar wajah khas wanita Jawa. Papinya pun
meskipun sudah berumur, tapi garis-garis ketampananya masih ada, apalagi masih
ada darah bangsawan, sehingga wajahnya terlihat sangat berkharisma. Makanya tidak
heran kalau ke tiga anak-anaknya juga mewarisi wajah yang menawan.
“Mi.... please... kasih
waktu Bram ya..... Bram janji dech... Oke..?” jawab Bram dengan wajah dibuat
sedih
“Hmmm...kamu ini,
selaluuu... saja janji-janji terus. Kayaknya mami sampai hapal dech sama
janji-janji kamu...” jawab maminya dengan muka sedikit cemberut, meskipun nada
suaranya masih lembut
“Eeeee... bener mi, biar
aja mas Bram begini dulu. Soalnya kalau mas Bram nikah, ntar Sasa gak bisa
minta duit lagi... heeee.....” tiba-tiba Sasa memotong pembicaraan maminya.
“Hussss... kamu ini... mau
apa kamu punya kakak jadi perjaka tua....?
“Eiiitttsss... belum tua
kali mi, umur belum 30 ini...” Bram protes dibilang perjaka tua
“Iyaaa.... tapi mau
sampai kapan...? tanya maminya lagi
“Janji dech... gak lama
lagi mam. Suer....” jawab Bram sambil mengacungkan dua jarinya
Memang bukan sekali dua
kali pembicaraan seperti itu berlangsung. Dan Bram selalu saja mengelak. Bahkan
dia sampai hapal kalimat-kalimat maminya tiap kali membicarakan hal yang serupa.
Bram tidak mau memberi harapan pada maminya, yang akhirnya akan membuat maminya
kecewa. Dan memang sampai dengan saat ini dia belum benar-benar mau membuka
hatinya. Tapi..... ah... Renata...... gadis dengan wajah sendu itu.... kapan
bisa lihat wajahnya lagi ya?
“Wooiiii.... diajak ngobrol
malah bengong. Hayoooo... mikirin siapa..?” tida-tiba suara Sasa yang cempreng
di dekat telinganya membuat Bram kaget.
“Eeettt.... dah.... ngagetin
aja. Pelan-pelan napa...!!!” Bram melotot sambil mencubit hidung adiknya
“Aduuuhhh... sakiiittt...
mas. Lepasin...!!!” teriak Sasa sambil memukul kakaknya. Bram melepaskan hidung
Sasa yang terlihat memerah. Papi dan maminya geleng-geleng kepala melihat ulah
kakak adik yang kadang-kadang seperti kucing sama tikus, ribut terus. Tapi kalau
salah satu tidak kelihatan, satunya pasti mencari-cari.
“Mamimu bener Bram... kamu
mau sampai kapan begini terus... papi sudah makin tua. Sudah saatnya kamu gantiin papi di perusahaan. Jangan
asyik dengan duniamu sendiri. Asyik kerja di lapangan berhari-hari seperti
sekarang. Di rumah seminggu, ke lapangan sepuluh hari sampai dua minggu, bahkan
bisa sebulan. Paling tidak, kalau kamu gantiin papi kan gak harus turun ke
lapangan kecuali ada hal-hal mendesak dan itupun tidak lama. Apalagi ada Arya
yang bisa bantuin kamu....” kata papinya panjang lebar.
“Piii... Bram kan masih
belajar... dan....” jawab Bram
“Belajar sampai kapan
lagi...?” papinya memotong.
“Sudah berapa tahun kamu
kerja di luar? Papi rasa sudah cukup Bram. Apalagi dengan posisimu yang sekarang,
papi rasa sudah banyak ilmu yang kamu dapat. Karena untuk mencapai posisimu
itu, bukan hal yang mudah. Dan papi tau itu. Papi kan kenal baik dengan pak
Hendrawan, bos besar kamu itu. Banyak hal yang pak Hendrawan bicarakan tentang
kinerja kamu.. Dan kamu merupakan salah satu orang penting di perusahaan pak
Hendrawan karena kinerjamu yang bagus. Apa itu belum cukup buat kamu? Papi rasa
kalau kamu balik, prospeknya akan lebih bagus buat perusahaan kita, karena di
bawah kendalimu bisa bermitra dengan pak
Hendrawan, dan pak Hendrawan pasti setuju bekerjasama dengan kamu.”
“Iya pi... ntar Bram
pikirkan lagi. Papi gak usah kuatir. Bram pasti balik kok. “ janji Bram
“Lhoooo.... papi ini
gimana sih kok jadi urusannya ke bisnis, ini kan lagi ngomongin soal jodoh buat
Bram pi..” mami protes.
“Iya mi.... tapi kan masa
depan perusahaan juga mesti dipikirin juga. Dan itu tugasnya Bram.” Jawab papi
dengan sabar.
*****
Sementara di rumah
Renata.
Pulang dari gereja,
dengan muka lesu Renata memasuki rumahnya. Dia disambut sama pembantunya, mbok
Jum, yang sangat setia.
Mbok Jum mengasuh Renata
sejak dari kecil dan sudah menganggab seperti anaknya sendiri. Begitu Renata
putus dari pacarnya, dan memutuskan untuk pindah ke Jakarta, maka ibunya
menyuruh mbok Jum untuk menemani Renata yang tinggal di rumah kakak
laki-lakinya, yang kebetulan pindah tugas ke Kalimantan bersama keluarganya.
Ibunya tidak tega membiarkan Renata tinggal sendirian di Jakarta dalam kondisi
terpuruk karena dikhianati pacarnya , makanya mbok Jum pun ikut diboyong ke Jakarta
untuk menemani dan mengurus keperluan sehari-hari Renata. Mbok Jum juga sangat
kasihan dan prihatin dengan nasib yang dialami Renata. Dia tau persis bagaimana
kondisi Renata, karena dari kecil dia mengasuh, sehingga seperti ada keterikatan
batin antara Renata dengan pengasuhnya. Dia heran kenapa momongannya yang baik
hati itu dikhianati pacarnya.
“Jeng Rena sudah pulang,
kok mukanya kusut begitu, kenapa?” tanya mbok Jum begitu membuka pintu untuk
Renata.
“Gak papa mbok, cuma
sedikit pusing “
“Biar mbok kerokin ya,
mungkin masuk angin.”
“Gak usah mbok, buat
tidur juga ntar ilang sendiri.” Jawab Renata sambil duduk di sofa.
“Kalau begitu makan siang
dulu ya, terus tidur. Nanti sore kan sudah seger kembali. Mbok bikin pepes ikan mas sama sambel trasi lho,
ada lalapan juga.” Kata mbok Jum sambil tersenyum.
Renata sebenarnya malas
makan dan pengen langsung tidur. Tapi dia kasihan sama mbok Jum yang sudah
repot-repot masak untuk dirinya. Memang itulah tujuan ibunya menyuruh mbok Jum
ikut ke Jakarta. Karena sejak putus dengan pacarnya, kebiasaan Rena mengurung
di kamar, makan pun harus dipaksa-paksa. Bahkan sudah beberapa kali masuk rumah
sakit karena kondisinya yang drop dengan penyakit anemia yang menyebabkan
sering pingsan tiba-tiba.. Dan sebenarnya orang tuanya keberatan ketika Renata
memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Tapi tekad Renata yang kuat, membuat orang
tuanya mengalah, tapi mbok Jum harus ikut.
Niat Renata, dengan pergi
ke Jakarta dia akan melupakan semua sakit hatinya. Terlebih dengan kesibukan
kerjanya yang kadang-kadang mengharuskan pergi ke luar kota untuk beberapa
hari. Dan Renata beruntung bisa sekantor dengan sahabat lamanya Tia yang sudah
terlebih dahulu bekerja di kantornya.
“Rena ganti baju dulu
mbok baru makan. Tapi pepesnya saja ya gak usah pake nasi.”
“Lhoooo.... kok makan gak
pake nasi jeng. Dikit aja ya nasinya jeng. Ntar sakit lagi lhoo.”
“Yo wis mbok bentar lagi
aku makan.” Jawab Renata sambil melangkahkan kakinya ke kamar untuk ganti
pakaian.
Mbok Jum memandangi punggung
momongannya yang cantik itu sambil berkata dalam hati, kasihan jeng Rena. Semoga
mendapat jodoh yang benar-benar baik dan bertanggungjawab.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!