"Kau ini bukan putraku, kau ini aku ambil dari panti asuhan. Jadi, untuk sekarang kau harus menganti apa yang sudah ku berikan padamu. Lakukan apa yang aku mau, jika kau tidak ingin aku membuangmu."
Bocah berusia 12 tahun itu terduduk dengan beberapa luka memar ditubuhnya. Sudut bibirnya juga berdarah. Air mata seakan sudah kering untuk menangisi rasa sakit yang terasa di sekujur tubuhnya.
Penyiksaan yang anak itu dapat dari sang Ibu memberikan luka fisik dan luka batin. Belum hilang bekas pukulan di punggungnya, anak kecil itu sudah mendapatkan luka baru. Kata ampun tidak pernah sang Ibu dengar. Saat anak itu meminta untuk ibunya menghentikan pemukulan pada tubuhnya.
Panggil saja dia Damar, seorang anak kecil yang harus hidup dengan Ibu yang begitu kasar padanya. Semenjak 2 tahun lalu, setelah Neneknya meninggal, Damar mendapatkan perlakuan tidak baik dari sang Ibu. Damar dituntut untuk bekerja walau usianya masih begitu kecil. Pekerjaan apapun Damar lakukan agar Ibunya tidak marah padanya. Tidak tahu panas ataupun hujan, Damar akan tetap bekerja dan memberikan hasilnya pada sang Ibu.
Tapi sang Ibu tidak pernah puas dengan apa yang Dama lakukan. Dia pasti akan menghajar Damar jika pulang tidak membawa uang.
Sampai suatu hari, Ibu Damar mendapatkan pekerjaan yang pantas untuk putranya itu. Dia mengenalkan Damar untuk menjadi Body double di salah satu program TV. Body double sendiri berarti orang yang menggantikan aktor lain untuk adegan-adegan tertentu tanpa menampilkan wajah. Kebetulan sekali untuk Ibu Damar bisa membawa Damar menjadi Body double. Pikirnya jika anaknya berhasil menjadi seorang aktor atau model, dia juga yang akan merasakan kenyamanannya.
"Lakukan seperti yang ada di skrip. Apa kamu mengerti?" tanya Sutradara pada Damar. Di sana dia memerankan seorang anak kecil yang dianiaya orang tuanya.
Dengan sekali arahan, Damar bisa melakukan apa yang Sutradara katakan. Damar terlihat penuh penghayatan, karena dia juga merasakan pelakuan yang sama dari sang Ibu. Tanpa mereka sadari, ketakutan yang Damar tunjukan adalah asli dari trauma yang ada dalam dirinya.
"Bagus sekali. Gantikan pada pemeran utamanya," pinta Sutradara.
Damar yang masih merasa takut hanya duduk diam dengan tangan yang bergetar. Tapi bukan Ibu Damar jika dia tidak bersikap kasar. Dia menarik lengan Damar dan membuat Damar menghentikan ketakutannya itu. Dia tidak boleh menunjukan pada orang lain, jika Damar sedang takut. Ibu Damar akan dicurigai nantinya.
"Kau harus tenang. Jangan pasang wajah ketakutanmu itu," ujar Sarita, Ibu Damar. Dia mendorong tubuh Damar ke sudut ruangan hingga punggungnya merasakan terbanting ke dinding.
Dan sejak saat itu, Sarita semakin gila. Damar yang mulai dikenal orang, mulai bekerja seperti kemauan Sarita. Dia ditawari menjadi seorang model busana anak-anak, dan dia diminta untuk belajar tentang dunia modeling karena bakat yang orang itu lihat dari diri Damar, tanpa harus memikirkan biaya untuk itu semua. Walau ini semua bukan kemauan Damar, tapi dia bersyukur jika masih ada orang yang membantunya.
Itu juga yang membuat Damar aman dari perlakuan fisik Sarita. Tapi tetap Sarita masih menekan mental Damar, membuatnya mengalami trauma yang begitu dalam dari perlakuan Ibunya. Rasa sakit yang terus dirasakan, Damar pendam dalam-dalam. Dia tidak menceritakan sikap atau tekanan yang dia dapat dari Ibunya pada siapapun.
"Damar, apa kamu mendengarku?" tanya guru yang melatih Damar menjadi seorang model.
"Maafkan aku, Couch. Aku hanya--" Tangan Damar bergetar. Dia merasa traumanya tiba-tiba datang. Dia merasa takut, saat seseorang tidak sengaja menjatuhkan gelas dan membuat pecahannya berserakan begitu saja.
Separah itu trauma yang Damar rasakan, hingga dia ketakutan hanya saat mendengar pecahan gelas. Memang Sarita pernah melemparnya dengan gelas saat Damar hanya membawa uang yang tak seberapa. Dengan kondisi mabuk dan pria hidung belang yang bersamanya, Sarita tega menganiaya Damar yang masih terlalu kecil.
Dan pintarnya, Sarita selalu menganiaya Damar di ruangan yang tidak akan siapapun dengar atau tahu. Penderitaan Damar tidak hanya itu, masih banyak lagi yang Sarita lakukan pada Damar.
"Katakan, siapa yang membuatmu sampai seperti ini?" tanya Brata, orang yang baik membantu Damar agar menjadi seorang model.
Damar hanya menggeleng, dia tidak berani mengatakan siapa pelaku yang membuatnya trauma sampai seperti ini.
"Kalau begitu, kamu ikut aku sekarang," ucap Brata.
"Mau ke mana, Tuan?" tanya Damar. Dia coba melepaskan tangan Brata yang ingin membawanya ke Psikiater untuk menyembuhkan trauma yang Damar dapat dari Ibunya.
Brata tidak menjawab, dia membawa Damar untuk masuk ke mobilnya setelahnya Brata melajukan mobilnya ke tempat yang akan membuat Damar terbuka dengan apa yang sedang terjadi.
"Bisa katakan dengan jelas apa yang sedang kamu rasakan sekarang?" tanya Dokter yang coba mengulik masalah yang membuat Damar mengalami trauma yang begitu dalam. Dengan kondisi Damar memejamkan mata sang dokter ingin mengorek luka hati Damar.
"Ampun, Ibu, jangan pukul Damar," ucapnya dengan mata yang masih terpejam. Dia bahkan meneteskan air mata ketika mengatakannya. Tubuhnya bergetar ketakutan saat mengatakan itu
"Apa yang ibumu lakukan padamu?" tanya sang dokter.
"Jangan pukul Damar, Ibu." Kata itu yang terus keluar dari mulutnya tanpa tahu alasan apa yang membuat sang Ibu memukuli Damar hingga menyebabkan anak usia 12 tahun itu trauma.
Sejak bertemu dengan Damar pertama kali, Brata sudah menebak, jika Damar hanya akan Sarita manfaatkan saja. Karena yang dari Brata lihat, ada tekanan dari sorot mata Damar, tapi dia tidak bisa mengatakannya. Dan ini salah satu alasan kenapa Brata ingin mendidiknya menjadi seorang super model sejak kecil, agar Damar bisa terbebas dari sang Ibu.
Padahal dari namanya memiliki arti yang bagus, Damarlangit yang artinya sinar matahari. Harusnya dia menjadi sinar untuk kedua orang tuanya, namun Damar malah mendapatkan perlakuan yang tidak baik, seperti Damar tidak diharapkan oleh kedua orang tuanya.
"Mulai sejak saat ini kamu akan menjadi putra angkatku. Tidak apa jika kamu belum siap mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, aku akan di sini bersamamu," jelas Brata. Walau belum mendapat jawaban dari yang dia ingin tahu, tapi Brata sangat yakin. Jika, ini semua campur tangan ibunya.
"Tapi, bagaimana dengan Ibu?"
"Jangan khawatirkan ibumu. Bukankah dia hanya butuh uang saja darimu. Aku akan membantumu untuk mendapatkan itu dan kamu bisa memberikan uang itu pada ibumu, tanpa dia harus selalu menekanmu. Apa kamu mau?" Brata menawarkan Damar menjadi putra angkatnya. Dia ingin mendidik Damar dengan benar. Dan menjadikan Damar sebagai Super Model yang akan dikenal banyak orang.
Seorang model sedang berpose di depan kamera yang menyoroti dirinya sejak pagi, dengan berbagai gaya yang dia lakukan, membuat Photografer begitu bersemangat untuk mengambil fotonya.
Ini sudah di tempat ke 3 untuk hari ini, jadwalnya begitu padat karena dia memang super model. Siapa yang tidak kenal dengan Damarlangit Dewandaru. Seorang pria berusia 28 tahun yang sangat diidolakan banyak wanita walau pekerjaannya hanya seorang model. Tak jarang wajahnya terpampang di berbagai blackboard dengan mengenakan brand terkenal.
"Damar, kau tidak bisa terus memaksa tubuhmu. Kau tidak tidur sejak kemarin. Biarkan ini kita lanjutkan besok saja, kau akan sakit nanti. Jika itu terjadi, Tuan Brata akan sangat marah padaku," ucap Rio, Manajer yang merangkap sebagai asisten Damar.
Damar tidak menjawab, dia hanya memejamkan mata dan berbaring di kursi. Kepalanya sudah terasa pening karena dia memaksakan diri.
Kemarin malam, Sarita datang menemui Damar. Walau sekarang Damar tinggal sendiri, tapi Sarita tetap akan datang untuk meminta uang. Damar tidak bisa untuk tidak memberikan uang pada sang Ibu. Damar selalu memberikannya uang, bisa dibilang apa yang Damar sekarang hanya habis untuk kepuasan Sarita saja. Jika, Brata tahu hal ini, biasanya dia akan sangat marah. Karena Sarita hanya akan membuat Damar kembali merasakan traumanya. Seperti yang sekarang terjadi. Damar tidak bisa tidur sejak semalam. Padahal hari ini jadwalnya sungguh padat.
"Damar, ayo pulang atau kau mau aku menghubungi Papamu?" Ancam Rio saat Damar tidak memperdulikannya bicara. Damar biasa memanggil Brata dengan sebutan Papa. Karena dia, Damar bisa menjadi sekarang.
"Kau itu berisik sekali," jawab Damar ketus. Dia coba untuk duduk dan bersandar. Kepalanya semakin sakit.
"Kita istirahat sekarang," sahut Rio.
Damar yang tidak ingin lagi mendengar omelan manajernya, segera bangkit dan berjalan pergi. Mungkin memang sebaiknya dia istirahat, tubuhnya begitu lelah. Dengan tubuh tinggi semampai, wajah tampan berkharisma, siapa yang tidak akan takluk dihadapan Damar. Tapi dia tidak pernah peduli dengan itu, yang penting untuk Damar, bekerja dan menghasilkan uang.
Sesampainya di rumah besar yang didapat dari hasil kerja kerasnya itu, Damar langsung masuk ke dalam kamar. Meletakkan semua barang bawaannya sebelum dia masuk kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Damar masuk ke dalam bathup yang dia nyalakan kran itu agar baknya cepat terisi. Dia memposisikan tubuhnya agar terasa nyaman.
Dengan mata yang terpejam, Damar ingat ucapan Ibunya kemarin. "Kau ingat, kau harus membayar hutang budimu padaku. Jika kau memang putraku."
"Jika aku tidak mau memberikan uang itu pada Ibu. Apa aku bukan putramu?" tanya Damar.
Plakk
Tamparan keras mendarat pada pipi Damar karena Sarita yang melakukannya. "Sudah lakukan, kau tidak ingin aku membuangmu kan?" Entah kata itu selalu membuat Damar takut. Dia tidak mau Ibunya pergi seperti Ayah Damar yang membiarkan Damar hidup dengan wanita seperti Sarita.
Tak terasa air dalam bathup sudah mulai terisi penuh, Damar benar-benar tidak peduli dengan itu. Dia membiarkan tubuhnya semakin basah karena air yang terisi penuh. Tubuhnya bahkan perlahan merosot, membuat tubuhnya tenggelam dalam air. Dalam mata yang terpejam, tubuh Damar sepenuhnya tenggelam begitu saja.
"Apa yang kau lakukan, Nak," ucap seseorang paruh baya yang sengaja tinggal bersama Damar walau hanya sesekali saja. Pria itu menarik tubuh Damar dan membawanya keluar dari bathup. Nafas Damar seketika berat. Sedikit banyak, air sudah masuk melalui hidungnya. Membuat dia terbatuk karena itu.
"Apa yang kau lakukan, apa kau ingin mati," bentak pria itu.
"Biarkan aku mati saja, Pa. Biarkan aku pergi," jawab Damar pada pria yang dipanggil Papa.
"Jangan gila! Sadarlah!" bentak yang tak lain, Brata, papa angkatnya.
Saat trauma Damar datang, Brata tidak membiarkannya sendiri. hal seperti ini bukan pertama kalinya untuk Damar. Sering kali Damar melakukan ini, bahkan terakhir kali, saat itu Damar sampai dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya kritis.
Setelah membantu Damar ke atas tempat tidurnya, Brata masih menatap pria yang sudah dianggap sebagai putranya itu. Kesedihannya tidak pernah bisa hilang, sebab Damar masih tidak mau melepaskan kegundahan hatinya.
Berapa kali Damar meminta bantuan Psikiater ataupun Psikolog untuk menyembuhkan traumanya. Namun, tetap saja. Damar semakin dalam kondisi yang buruk.
"Apa dia bertemu dengan Ibunya lagi?" tanya Brata pada Rio yang datang beberapa menit setelah Brata menemukan Damar yang berusaha mengakhiri hidupnya.
"Iya, Tuan. Dan dia memaksa untuk mengisi jadwal hari ini saat dia tidak tidur seharian," jelas Rio.
"Ke mana lagi kita bisa membuat traumanya itu hilang," ucap Brata yang sudah bingung dengan cara apalagi Damar bisa lupa dengan traumanya. Setiap kali Damar merasa tertekan, trauma itu akan datang.
Damar bukan sedang keras kepala, dia hanya ingin lupa dengan traumanya dengan cara menyibukkan diri dengan bekerja. Walau trauma itu tetap dia rasakan, tapi Damar tetap ingin bekerja dengan kondisi yang tidak baik-baik saja.
"Apalagi yang ingin kau lakukan? Sebaiknya kau istirahat, jika tidak Papamu akan membunuhku," pinta Rio. Kesekian kalinya Damar membuatnya kesal hari ini, tapi bukan Damar jika tidak keras kepala.
"Biarkan aku sendiri. Aku tidak akan mencelakai diriku sekarang, jadi sebaiknya kau tinggalkan aku," sahut Damar yang tak peduli dengan ucapan Rio. Dia tetap ingin pergi.
***
Damar datang ke sebuah bar, duduk di depan bartender yang menyajikan minuman untuk dirinya. Dia tidak bisa melupakan kata-kata Ibunya. Tapi kenapa Damar begitu takut ketika ibunya ingin meninggalkannya, padahal itu harusnya bagus untuk Damar, karena ibunya tidak akan menekannya. Namun, itu bukan Damar. Bagaimanapun juga Sarita tetap ibunya, walau sering kali Sarita mengatakan jika Damar anak yang diambil dari panti, tapi Damar tidak percaya itu.
"Lepaskan tanganmu dariku!" tegas seorang wanita yang tidak jauh dari tempat Damar duduk. Sepertinya dia sedang berdebat dengan pria yang bersamanya.
"Ayolah, kau dibayar untuk melayaniku. Kenapa kau marah saat aku bilang dirimu murahan, jika kenyataannya seperti itu," jawab pria itu.
"Jika kau anggap aku begitu, aku pergi. Berapapun uang yang kau beri padaku, ketika kau tidak bisa menghargaiku, aku tidak sudi melayanimu," tegas wanita itu.
"Sombong sekali. Aku bilang ayo layani aku." Pria itu menarik lengan wanita yang bersamanya, tapi wanita itu berhasil lepas dari dekapan pria itu dan berjalan pergi.
Walau Damar mendengar perdebatan mereka, tapi dia enggan untuk ikut campur dengan apa yang didengar. Yang penting untuknya sekarang adalah ketenangan diri. Tidak peduli jika orang sekitar membutuhkan bantuan atau tidak.
"Dia cantik sekali. Sayangnya, dia hanya wanita penghibur," ucap Rio yang memaksa ikut saat Damar ingin sendiri. Dia hanya tak ingin Brata memarahinya saat tau Damar pergi sendiri.
"Lantas kau ingin merayunya? Bayar dia, pasti dia akan mau denganmu," jawab Damar. Dia kembali meneguk minuman yang ada dihadapannya.
"Benar juga. Kenapa aku tidak memikirkan itu," timpa Rio tanpa rasa bersalah.
"Sudahlah, aku ingin pergi. Jangan ikuti aku, jika kau mengikuti aku jangan harap kau bertemu denganku besok," ujar Damar pada Manajernya itu.
"Mau ke mana?" tanya Rio pada Damar yang sudah beranjak dari tempat duduknya, kemudian berjalan pergi meninggalkan Rio tanpa menjawab pertanyaan managernya.
Di dalam mobil, Damar tidak langsung pergi. Dia menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Sakit kepala itu tidak hilang, bagaimana bisa hilang ketika Damar tidak bisa melepaskan traumanya. Sejenak dia merasakan rasa sakit itu terus berdenyut.
Plakk
Suara tamparan terdengar sampai ke telinga Damar ketika dia merasa di area parkir sendiri. Diikuti teriakan seseorang dari depan mobil Damar yang masih terparkir. Damar menatap ke sekitar dan melihat dua orang yang sedang berdebat.
"Lepaskan aku," teriak seorang wanita.
"Siapa suruh kau melawanku. Ini akibatnya jika kau menolakku."
Plakk
Kembali tamparan keras mendarat di pipi wanita yang sudah tidak berdaya itu. Dari dalam mobil, Damar yang sebenarnya tidak ingin peduli dengan apa yang sedang mereka lakukan tiba-tiba keluar dan berjalan ke arah mereka dengan wanita yang sudah tergeletak karena perlakuan kasar dari pria itu.
Tanpa pikir panjang, Damar menendang tubuh pria itu hingga tersungkur. Bagaimana seorang pria tega menganiaya seorang wanita yang harusnya diperlakukan dengan baik.
"Kurang ajar sekali. Siapa kau!" teriak pria itu pada Damar.
"Kita pergi dari sini," pinta Damar pada wanita itu. Ternyata itu wanita yang sama, yang tadi berdebat di dalam Bar. Damar tidak memperdulikan pria itu yang berusaha bangun dan menghampirinya.
"Lancang sekali kau. Dia wanitaku!!" tegas pria itu lagi.
"Jika dia wanitamu. Harusnya kau memperlakukan dengan baik, bukan sebaliknya. Sebaiknya kau pergi sebelum aku menelpon polisi untuk menyeretmu pergi dari sini," jawab Damar dengan tatapan serius, dan menggandeng tangan wanita yang dia tolong itu.
Damar berjalan dengan tetap menggandeng tangan wanita itu. Namun, pria itu tidak mau kalah. Dia menghampiri Damar dan menendang balik tubuh Damar hingga hampir terjatuh.
"Lepaskan, dia itu wanita ku," gertak pria itu.
Damar menghela nafas sebelum dia melepaskan genggamannya dan langsung mencekik pria itu, menyudutkan ke dinding yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Aku sudah katakan padamu. Pergi," tegas Damar.
"Siapa kau ingin menolongnya," ucap pria itu dengan terbata-bata karena cekikan yang Damar lakukan.
"Dia kekasihku. Jika kau memaksanya, aku yang akan membunuhmu," jawab Damar.
"Dia kekasihku. Jadi pergi dari sini jika kau masih ingin hidup!" tegasnya pada pria yang sedang menggangu wanita itu.
"Kau gila, dia itu pelacur." Pria itu membantahnya, dia tetap tidak mau melepaskan wanita yang bersamanya.
"Lantas kenapa jika dia pelacur. Dia kekasihku. Apa kau tuli? Dia ini kekasihku," tegas Damar. Dia kembali menyudutkan pria itu hingga pria itu kesulitan untuk bernafas.
"Lepaskan, kau akan membunuhnya nanti." Wanita itu menarik lengan Damar agar menjauh dari pria yang sedang kesulitan untuk bernafas, sudah seperti ikan yang diangkat ke daratan.
Damar kemudian melepaskan pria itu dan seketika pria itu terbatuk-batuk seakan kekurangan oksigen. "Awas kau ... aku akan ... membalasmu." Sebelum pria itu pergi, masih saja dia berani untuk mengancam wanita yang ada di belakang Damar.
Sepeninggal pria tadi, Damar menatap tangan wanita itu yang memegang lengannya. Seketika wanita itu melepaskan tangannya. Namun, tak lama Damar kembali menggenggam tangan wanita tersebut dan membawanya ke arah mobil. Membukakan pintu mobil kemudian mengisyaratkan wanita itu untuk masuk dengan kepalanya. Wanita itu langsung melakukan apa yang Damar perintahkan tanpa banyak bertanya. Setelah wanita itu masuk, Damar segera menutup pintu mobilnya dan berjalan ke arah pintu kemudi dan ikut masuk.
"Mau ku antar ke mana?" tanya Damar tanpa menatap wanita yang duduk di sampingnya.
"Aku--"
"Katakan saja. Jika kau tidak ingin dia kembali menganiayamu," sahut Damar sebelum wanita itu melanjutkan ucapannya.
Setelah mengatakan alamat yang wanita itu tuju, Damar segera melajukan mobilnya. Walau minun-minuman keras, tapi Damar tidak begitu mabuk. Dia masih bisa fokus mengemudi, memang dia tidak minum terlalu banyak.
"Terima kasih sudah membantuku," tutur wanita itu memecahkan keheningan di dalam mobil.
"Lain kali jika kau menemukan pria seperti itu lagi, tinggalkan," pinta Damar. Dia tidak menatap wanita itu sama sekali. Fokusnya hanya pada jalan.
"Baik," jawab wanita itu gugup. Tidak biasanya dia gugup di depan seorang pria. Sekian banyak pria yang ditemui, Damar yang membuatnya gugup.
Damar menghentikan mobilnya di depan sebuah gang kecil yang hanya bisa di akses oleh motor saja. Itu sebabnya Damar tidak bisa masuk.
"Segera pulang. Laporkan saja ke polisi jika dia mengganggumu lagi." Bukannya bertanya apa wanita itu baik-baik saja, tapi Damar sejak tadi bersikap dingin pada wanita itu
"Terima kasih," ucap wanita itu.
"Tunggu!" Damar berbalik ke arah bangku penumpang untuk mengambil sesuatu di sana. Wanita itu hanya diam sambil menatap punggung Damar yang sedang berbalik badan. Aroma tubuh Damar tercium, dan membuat wanita itu tersenyum.
"Pakai ini," ujar Damar sambil memberikan hoodie miliknya untuk wanita yang ditolongnya agar menutupi pakaian minim yang dikenakan.
"Terima kasih, tapi bukankah kau, Damarlangit," sahut wanita itu. Dia menatap lekat wajah tampan orang yang sudah membantunya.
"Sebaiknya kau pulang sekarang." Tanpa menjawab apa yang wanita itu katakan, Damar berjalan meninggalkan wanita itu.
Sikap dingin Damar pada Arundaya, wanita yang Damar bantu dari pria hidung belang yang ingin mencelakainya itu membuat Arundaya terus menatap Damar sampai dia tidak fokus jika Damar sedang menunggunya, bahkan saat Arundaya keluar mobil dengan hoodie yang dikenakan, Arundaya menatap Damar yang benar-benar pergi. Siapa yang tidak akan terpesona dengan paras tampanya, namun bukan itu yang Arundaya lihat dari Damar. Yang dia pikir pria dingin dan arogan itu juga memiliki hati. Damar membantunya dari pria hidung belang.
***
Arundaya Gayatri, wanita penghibur yang banyak dikenal karena parasnya yang cantik dan tubuh yang aduhai. Dia menjual tubuhnya untuk kepuasan dirinya saja. Dia juga menjadi korban dari orang tuanya yang berpisah. Kedua orang tua Arundaya tidak pernah peduli padanya, wanita berusia 26 tahun itu sudah bekerja sebagai wanita penghibur sejak 4 tahun lalu. Sering kali Arundaya menggunakan uang hasil melacurnya untuk sekedar berfoya-foya. Pikirnya, uang setan untuk apa disimpan. Walau begitu tamu yang ingin tidur dengannya begitu banyak, tapi tidak semua karena dia pemilih.
Namun, semalam seperti keapesan untuk Arundaya, karena kliennya itu membohonginya. Untung ada seorang pria yang sering dilihat seorang super model tampan membantunya dari kegilaan pria hidung belang tadi.
Sebenarnya Arundaya bisa saja membeli rumah yang layak, tapi dia tidak mau. Karena menurutnya tempat paling nyaman hanya di rumah tua peninggalan Nenek dan kakeknya. Walau rumah itu kecil, setidaknya di dalam rumah itu begitu rapi dengan ornamen hitam dan gold.
"Hari ini tidak pulang pagi, Kak?" tanya Djani, adik laki-laki Arundaya. Dia diangkat Arundaya sebagai adik, dan menemaninya tinggal di rumah kecil di gang kecil yang jauh dari kata mewah.
"Kenapa dengan wajah Kakak?" Djani terkejut saat melihat bagian pipi Arundaya memar karena tamparan dari pria hidung belang tadi.
"Tidak apa-apa. Ini uang untukmu besok. Aku ingin istirahat, jangan menggangguku, apalagi berusaha membangunkanku." Arundaya berjalan meninggalkan Djani setelah memberikan beberapa lembar uang untuk kebutuhan mereka besok. Jika sudah seperti ini, biasanya Arundaya malas untuk bangun pagi.
Namun, Djani tidak pernah menggunakan uang pemberian kakaknya itu. Dia memasukkan uang itu ke celengan besar yang sengaja dia beli sendiri tanpa sepengetahuan kakaknya. Lalu bagaimana Djani bisa makan jika dia tidak menggunakan uang kakaknya? Djani bekerja di sebuah bengkel motor yang tak jauh dari rumah mereka, dan dari itu mereka bisa makan tanpa menggunakan uang hasil menjual tubuh Arundaya.
Hidup berdua tanpa kedua orang tua, tidak lantas membuat mereka bersedih. Malah yang di sedihkan oleh Djani adalah mau sampai kapan Kakaknya harus menjual diri hanya untuk kepuasan? Tentang orang tua Djani, dia tidak mau peduli, karena menurutnya orang yang menyayanginya hanya Arundaya saja.
Di dalam kamar, Arundaya melihat-lihat foto sebelum dia tertidur pulas. Mencari kebenaran tentang orang yang menolongnya tadi. Damar membuat Arundaya penasaran, hingga dia coba melihat apa yang dipikirkan itu benar, jika Damar adalah super model terkenal itu.
"Benar, dia Damarlangit." Sambil menatap foto di layar ponselnya. Dia coba mengingat lagi jika Damar mengakui dirinya sebagai kekasihnya.
"Aku pikir dia memiliki sikap yang sombong, nyatanya tidak juga," timpa Arundaya. Walau sempat berpikir jika Damar hanya seorang model yang sombong. Namun, kenyataannya, Damar lah yang membantunya.
"Sudahlah, kenapa kau bodoh sekali. Lupakan saja pria itu. Kau hanya dianggapnya sampah," ujar Arundaya pada dirinya sendiri. Dia sadar jika dia bukan siapa-siapa dan hanya seorang penghibur yang ingin dihargai.
Arundaya memilih untuk tidur dan melupakan kejadian malam ini. Dia hanya harus fokus dengan hidupnya saja. Apa salahnya saat ada orang yang membantunya, dia tidak harus penasaran seperti ini.
Di sisi tempat tidurnya, Arundaya meletakkan hoodie milik Damar di dekat meja riasnya. Aroma tubuh Damar menyerbak ke seluruh kamar Arundaya. Aroma yang membuat Arundaya merasakan hal yang berbeda saat bertemu dengan pria satu ini.
Begitulah awal pertemuan mereka berdua, tanpa mereka sengaja. Akankah mereka bisa bertemu lagi?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!