Ketika kau merasa kehilangan harapan. Ingatlah kembali apa alasanmu ingin melakukan hal tersebut. Dengan begitu, kau akan mendapat sebuah harapan baru.
"Kutipan yang menarik. Aku akan membeli satu." Seorang gadis cantik tampak memegang minuman di tangannya, kemudian ia membawa buku yang baru saja di bacanya menuju meja kasir.
Setelah membayar barang yang di bawanya, gadis itu segera membeli sesuatu untuk makan siang seseorang yang di sayanginya. Ia tampak bingung ketika melihat menu yang ada, meski bingung, ia tak lama dalam memutuskan, karena itu akan membuang-buang waktunya.
"Terima kasih, nona. Selamat datang kembali." Sahut salah seorang pelayan setelah memberikan bingkisan pada pelanggannya, dan gadis itu tersenyum hangat menanggapinya.
Kini, ia telah berada di suatu tempat, dia telah berada di tempat yang ingin ia tuju. Karyawan disana menyapanya saat melihat kedatangannya, dan hal tersebut hanya mampu di balas dengan senyuman olehnya.
"Kakak, aku dat..." Ucapannya terhenti ketika melihat seseorang yang tengah duduk bersama dengan saudaranya itu. "Kak Vero? Kau ada disini juga? Sejak kapan?" Sambungnya yang langsung duduk.
"Hmmm, aku baru saja tiba. Kau membeli sesuatu?" Balasnya.
"Elia, lain kali ketuk pintu lebih dulu sebelum memasuki ruanganku!" Celetuk salah seorang disana.
"Aku membeli makan siang untuk kak Erian. Apa kau mau memakannya bersama kami?"
Dia selalu mengabaikanku jika Vero ada disini.
Erian tampak menghela napasnya melihat kelakuan adiknya yang tak berubah sedikit pun jika tengah bersama dengan Vero, dan Vero pun tampak tak keberatan jika harus berada di dekat dengannya. Lagi pula keduanya tumbuh besar bersama, dan sudah saling mengenal baik bagaimana sifat mereka masing-masing.
"Bagaimana jika lain waktu? Hari ini aku ada janji dengan seseorang, lagi pula aku datang hanya untuk mengantar dokumen perjanjian pada Erian."
"Aaahh sayang sekali. Padahal aku membeli zurcher geschnetzeltes kesukaanmu." Tutur Eliane seraya mengeluarkan makanan dari dalam paper bag.
"Maafkan aku." Vero memelas di hadapan Eliane, hingga gadis itu tersenyum kecil menanggapinya. "Baiklah, aku harus pergi sekarang, sampai jumpa Elia." Sambungnya seraya mengusap puncak kepala gadis itu.
Dia pasti hendak menemuinya 'kan?
Gadis itu terus menatapi punggung Vero sampai dia benar-benar keluar dari ruangan tersebut. Sedangkan Erian, ia menyimpulkan senyumannya saat melihat reaksi saudarinya itu, seakan mengerti dengan apa yang di pikirkan olehnya, Erian segera pindah dari posisinya untuk duduk di sisi Eliane.
"Haahh aku sudah sangat lapar sekali. Bagaimana jika kita makan sekarang?" Sahut Erian seraya mengambil 1 porsi makanannya, dan Elia masih tampak diam dengan posisinya. "Apa kau membeli cheese fondue untukku?" Erian menambahkan.
"Oh maafkan aku, aku tidak membelinya. Apa aku harus pergi lagi?"
"Tidak perlu. Sebaiknya kita makan yang ada saja. Aku akan membelinya sepulang kantor, dan aku juga akan membeli meringue untukmu."
"Jangan ingkar! Jika kau berbohong, aku akan marah besar padamu." Eliane mengancamnya, dan Erian langsung menganggukkan kepalanya dengan kondisi mulut yang penuh.
Sejak kecil keduanya memanglah sangat akur, dan Erian bisa melakukan apapun demi melihat saudaranya tersenyum. Meski keduanya saling berbagi tempat saat di rahim ibunya, tetap saja mereka memiliki pola pikir yang sangat berbeda.
Erian dapat mengandalkan dirinya sendiri, mampu mengambil keputusan dengan kepala dingin bagaimanapun kondisinya, dia juga sangatlah pandai, dan dewasa. Sedangkan Eliane, ia masih sedikit bersikap ke kanak-kanakkan, karena itulah Erian belum bisa membiarkan saudarinya begitu saja.
"Jadi, kapan kau akan mengambil kuliahmu?" Erian menyahut seraya merapikan ruang kerjanya.
"Aku rasa tahun ini." Balas Eliane yang masih belum menghabiskan makanannya. "Kau harus membantuku belajar, dengan begitu aku bisa lolos dari tes masuk." Timpalnya lagi.
"Demi adikku, aku akan melakukan yang terbaik." Erian tersenyum seraya mengusap puncak kepala adiknya.
Memang seharusnya mereka lulus di tahun yang sama. Namun, saat kelulusan sekolah, Eliane memutuskan untuk meliburkan diri dari belajar, dan keputusannya itu di hargai oleh keluarganya. Namun, Erian tidaklah tinggal diam, ia terus memberikan motivasi agar saudarinya bisa kembali mengambil kelas sesegera mungkin.
- 4 bulan kemudian -
Siang itu di salah satu pusat perbelanjaan, Vero terlihat tengah melihat beberapa gaun bersama dengan seorang gadis, yah gadis itu tidak lain, dan tidak bukan adalah Eliane. Kemudian, ada satu gaun yang menarik perhatiannya, sehingga membuat Vero meminta Eliane untuk mencobanya.
Wajah Eliane benar-benar memerah saat pria itu memberikan salah satu gaun yang cantik. Setelah menyatu dengan tubuhnya, ia segera keluar dari ruang ganti, dan menunjukkan hasilnya pada pria yang telah menunggunya diluar.
Vero tampak kagum melihat Eliane di balut dengan gaun yang sangat cantik. Kulit putihnya benar-benar selaras dengan balutan gaun berwarna biru tersebut. Kekaguman Vero ternyata semakin membuat Eliane tak bisa menahan diri, jantungnya terus berdebar tak karuan, dan terasa ingin melompat keluar.
"Gaun ini sangat indah, kak." Tutur Eliane mencoba memberikan pendapat.
"Begitukah menurutmu?" Vero masih menatapinya dengan begitu lekat. "Jika begitu, dia pasti akan menyukainya bukan?" Tambahnya, namun kalimat itu membuat Eliane menatapnya dengan lekat.
"Dia siapa yang kau maksudkan?" Eliane menundukkan pandangannya seraya meremas gaun yang di kenakannya dengan begitu erat.
"Aline, siapa lagi? Menurutmu, dia akan menyukainya 'kan?" Vero masih tersenyum membayangkan wajah gadis pujaan hatinya.
"T-tentu, tentu saja dia akan menyukainya." Sahut Eliane dengan nada yang terdengar begitu kecewa, namun tampaknya, Vero tidak menyadari hal itu. "Aku akan mengganti pakaianku lebih dulu." Pungkasnya yang kembali menuju ruang ganti.
Setelah keluar, Eliane memberikan gaun tersebut pada salah satu pelayan toko yang ada disana. Kemudian, dia menghampiri Vero yang berada di meja kasir, bersiap untuk membayar pesanan miliknya.
"Pilihlah satu untukmu, aku akan membayarnya."
"Tidak perlu, kak. Aku tidak membutuhkannya, lagi pula mau kemana menggunakan gaun-gaun cantik yang ada di sini?" Eliane tersenyum pahit.
Setelah pesanannya di terima, mereka segera meninggalkan toko tersebut. Di sana, Eliane terus merutuki dirinya sendiri, bagaimana mungkin dia bisa berpikir jika Vero akan membelikannya gaun secara cuma-cuma disaat kekasihnya tengah tinggal di kota yang sama
Entah apa yang ku pikirkan, sampai-sampai aku lupa keberadaan gadis itu.
Dalam perjalanan, Eliane terus mendesah karena sudah berpikiran yang tidak-tidak. Dia bahkan tidak menyadari saat pria di hadapannya telah menghentikan langkahnya, hingga kepalanya pun terhantuk pada punggungnya.
"Argh." Rintihnya terkejut.
"Bagaimana jika kita mampir di tempat makan disana? Sepertinya enak. Kau juga pasti belum memakan apapun 'kan?"
Bersambung ...
"Tidak perlu, kak. Lebih baik aku pulang saja, aku sudah berjanji pada ibu untuk membantunya menyiapkan makan malam."
Tidak bisa mengelak, Vero pun memilih untuk mengantarnya pulang. Wajahnya begitu ceria, dan rasanya tidak sabar untuk memberikan hadiah yang di belinya pada Aline. Berbeda dengan Eliane, sepanjang perjalanan, gadis itu terus menghela panjang napasnya. Entah apa yang tengah di pikirkannya kali ini.
Setibanya di rumah, biasanya Eliane selalu membujuk Vero untuk masuk lebih dulu, namun kali ini berbeda, ia hanya mengucapkan hati-hati, dan meminta izin untuk masuk lebih dulu. Menyadari keanehan itu membuat Vero sedikit berdelik, meski begitu ia memutuskan untuk segera meninggalkan tempat tersebut.
Wajahnya tertunduk lesu ketika memasuki rumah. Sharon yang tengah memasak di dapur pun melihatnya dengan jelas, pasti terjadi sesuatu dengan putrinya kali ini, dan Charles yang juga melihat kehadiran putri kesayangannya segera melepaskan pelukannya pada istrinya.
"Aargh anak kalian sudah besar, tetapi ayah, dan ibu selalu memamerkan hubungan kalian." Eliane yang sempat melihatnya pun langsung menenggak habis segelas air yang tersedia di meja makan. Kemudian, ia duduk di sana seraya menghantukkan kepalanya pada meja tersebut.
"Apa terjadi sesuatu? Kenapa tidak menyuruh Vero untuk makan malam bersama?" Sharon menyahut seraya memotongi sayur serta yang lainnya.
"Kalian tahu? Aku sungguh iri dengan hubungan yang di bangun oleh ayah, dan ibu." Dengusnya yang kemudian memasang apron pada tubuhnya, dan juga mengikat rambut panjangnya.
"Kenapa? Apa Vero melukaimu?" Kini, Charles menyahut seraya membenarkan ikat rambut putrinya. "Katakan pada ayah! Dulu, dari pihak ayahnya yang beberapa kali melukai ibumu, sekarang berani-beraninya putranya pun mempermainkan putri kesayanganku." Tambahnya dengan nada yang terdengar sedikit geram.
"Pihak paman Kent? Memang kenapa mereka melakukan itu? Bukankah ibu orang baik?" Eliane menatap Charles, dan Sharon secara bergantian.
Awalnya mereka sudah sepakat bahwa kejadian buruk di masa lalu itu tidak akan di bahas, lebih lagi pada Eliane. Namun, siapa sangka jika Charles tidak sengaja mengutarakannya, hingga hal itu membuat Sharon menepuk dahinya sendiri seraya berdengus.
Mengerti arti dari pandangan wajah istrinya, Charles pun sedikit terkekeh. Mau bagaimana lagi? Dia tidak sengaja mengucapkannya, hal itu sungguh di luar dugaannya. Melihat kedua orang tuanya bermain mata, Eliane lekat mencubit lengan ayahnya.
"Katakan padaku, ayah!" Eliane menatap tajam ke arah Charles, dan Sharon pun hanya mengangguk pelan.
"Ayahnya Vero itu adalah mantan ibumu. Dia sungguh tergila-gila padanya saat itu, hingga membuat orang di sekelilingnya tak menyukai hal itu, dan mereka mencelakai ibumu."
"Hah? Benarkah begitu? Jadi, paman Kent itu pernah memiliki hubungan dengan ibu?" Bukannya membantu, Eliane justru duduk di salah satu bangku seraya menatapi ayahnya yang tengah bercerita.
"Tentu saja benar. Bisa di katakan, dia adalah cinta pertamanya, 'lho." Bisik Charles pada putrinya, dan ekspresi Eliane tampak terkejut mendengarnya. "Walaupun begitu, ibumu tetap saja memilih bersamaku." Dengan percaya dirinya, Charles memainkan kerah kemeja yang tengah di gunakannya seraya tersenyum menang.
"Lalu, kenapa ibu lebih memilih ayah? Bukankah paman Kent itu jauh lebih keren, dan juga tampan?" Celetukkan Eliane membuat Sharon terkejut saat mendengarnya, namun ia pun sedikit tertawa kecil.
"Yaaakk~ anak ini. Kenapa kau membela orang lain?" Charles berdecak kesal seraya menyilangkan kedua tangannya, lalu memalingkan pandangannya, namun Eliane tak mempedulikan hal tersebut.
Eliane masih menunggu jawaban dari sang ibu, karena Sharon pun tampak tengah berpikir keras untuk menjawabnya. Tidak sabar dengan apa yang akan di katakan oleh istrinya membuat Charles menghela napasnya, dan itu di sadari oleh Sharon.
"Entahlah, itu mengalir begitu saja. Tetapi yang jelas, ayahmu tidak pernah memaksakan kehendaknya sendiri pada orang lain, dia selalu menghargai setiap keputusan yang ku ambil, dan tentunya karena ayahmu itu mencintaiku apa adanya." Sharon tersenyum setelah mengatakan semua itu, dan siapa sangka jika wajah Charles pun memerah ketika mendengarnya.
"Aaahh walau bagaimanapun, ayahku ini memang yang terbaik. Tetapi, apakah masih ada pria seperti ayah di luar sana?" Lagi-lagi gadis itu menghela napasnya dengan kedua tangan yang menopang wajahnya.
"Tentu saja ada, dan akulah orangnya." Seseorang yang datang secara tiba-tiba itupun menyahut, dan menyadari kedatangannya membuat Eliane menghampirinya bahkan memeluknya.
"Kau sudah pulang kak?"
Melihat tingkah saudaranya itu membuat Erian tersenyum seraya mengusap puncak kepala adiknya. Hal itu memang biasa di lakukan olehnya, dan baik Sharon maupun Charles benar-benar bahagia melihat kerukunan kedua anaknya.
Setelah mereka menyelesaikan makan malamnya, dengan cepat Eliane menarik saudaranya ke dalam kamar, dan hal itu membuat Erian mengernyitkan kedua alisnya. Namun, saat melihat adiknya mengeluarkan banyak buku, Erian pun tersenyum.
"Mulai hari ini, kau harus membantuku belajar!" Sahut Eliane dengan tegas.
"Bagaimana jika besok saja? Aku baru saja pulang, dan kau ingin memintaku untuk kembali berpikir?"
"Ayolah! Ujian masuk akan di adakan seminggu lagi. Jika aku tidak lolos bagaimana?" Kini Eliane memelaskan wajahnya di hadapan saudaranya, dan tentu saja itu berhasil membuat Erian luluh.
Mendapat persetujuan Erian, membuat Eliane sangatlah bahagia. Sehingga ia pun mempelajarinya sendiri lebih dulu selagi menunggu pria itu membersihkan tubuhnya. Dirinya berharap jika ia akan lolos pada fakultas yang di pilihnya saat ini.
45 menit kemudian, Erian kembali ke kamar saudarinya, saat itu juga ia menyimpulkan beberapa soal, dan meminta Eliane untuk mengerjakannya dalam waktu 40 menit. Melihat pertanyaan-pertanyaan yang berada di buku miliknya membuat Eliane mengerjapkan kedua matanya berulang kali.
"Ayo cepat kerjakan! Waktu terus berjalan." Erian menyeletuk seraya mengetuk dahi Eliane dengan pensil yang tengah di genggamnya.
Tanpa mengulur waktu lagi, Eliane segera mengerjakannya. Beberapa soal di sana sudah ia pelajari dengan baik, namun ada juga yang masih belum ia pahami. Meski begitu, lebih banyak yang di kuasinya, dan sesekali ia berpikir kenapa Erian menyerahkan soal yang di ketahuinya? Apakah saudaranya tidak ingin membebaninya dengan pertanyaan yang sulit?
Hingga waktu berakhir, dan Erian lekas mengambil soal yang telah di berikannya beberapa menit yang lalu. Ia memeriksanya, dan Eliane menatapi saudaranya dengan begitu lekat. Entahlah apa jawabannya akan sesuai atau sebaliknya.
"Ada 2 soal yang keliru. Jawabannya terbalik!" Sahut Erian.
"Hah? Benarkah?" Tanpa permisi Eliane merebut bukunya. "Lalu, apa yang lainnya sesuai?" Tambahnya. Lalu, di balas dengan sebuah anggukkan oleh Erian, namun hal tersebut justru membuat Eliane kembali menatapnya.
"Ada apa? Jangan menatapku dengan mata besarmu itu!" Erian melepaskan kacamata miliknya.
"Kenapa kau memberikan soal-soal ini padaku, kak? Apa karena kau tahu aku mempelajarinya? Maka dari itu kau..."
"... kenapa kau bisa berasumsi seperti itu? Aku bahkan tidak tahu yang kau baca. Bukankah aku mandi ketika kau mempelajarinya?"
"Benar juga." Eliane menganggukkan kepalanya berulang kali.
"Bodoh! Itu artinya kau mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Sudahlah, aku ingin istirahat sekarang, sebaiknya kau juga beristirahat!" Erian tersenyum seraya mengusap puncak kepala saudarinya.
"Baik, terima kasih kak. Aku menyayangimu." Balas gadis itu yang langsung memeluk Erian.
Bersambung ...
Pagi itu, Eliane tampak merasa gugup. Sesekali ia melihat keluar kaca mobil, dan semakin banyak orang yang datang memasuki sebuah tempat. Keringatnya bercucuran di dahinya, dan hal itu membuat orang yang berada di sisinya tersenyum.
"Tenang saja! Semua pasti akan berjalan lancar. Bukankah saat itu kau bisa menjawab semua pertanyaan yang ku berikan?" Erian tersenyum hangat.
"Tetapi bukan berarti soal yang di berikan nanti akan sesuai dengan yang kau berikan, kak. Bagaimana jika jauh berbeda dari yang sudah ku pelajari?"
"Kau terlalu banyak berpikir. Sudah cepat pergi sana! Jika tidak kau akan terlambat! Aku akan menunggumu disini, dan akan mengajakmu untuk pergi menemui seseorang."
"Seseorang? Siapa?" Eliane menatap lekat ke arah saudaranya, bukan menjawabnya, pria itu justru menyentil pelan dahi adiknya.
"Jika aku memberitahumu, maka bukan kejutan. Sudah cepat keluar!"
Kesal dengan Erian, Eliane keluar seraya mempoutkan bibirnya. Setelah keluar dari mobil, gadis itu menghela napasnya lebih dulu sebelum melangkah masuk ke dalam kampus tersebut. Memperhatikan saudarinya dari dalam mobil, Erian sedikit tersenyum lega karena pada akhirnya Eliane kembali untuk sekolah.
Belum sampai di lobby kampus tersebut. Tanpa sengaja Eliane melihat 2 orang yang di kenalnya, yah mereka adalah Eldrich, dan juga Zoya. Sebelumnya Eldrich sudah mengenalkan diri bahwa dia merupakan anak tunggal dari Charlie, sedangkan Zoya adalah putri dari Nick Sworth.
"Kalian juga mendaftar disini?" Eliane menyapa keduanya dengan senyuman hangatnya.
"Tidak ku sangka akan bertemu denganmu kak Elia." Zoya membalas senyuman itu.
"Baiklah ayo kita masuk." Timpal Eldrich, kemudian mereka pun berjalan bersama.
Waktu tes pun di mulai. Pembimbing disana mulai memberikan selembaran kertas pada setiap peserta. Masih dalam posisi terbalik, Eliane menautkan kedua tangannya seraya memejamkan matanya, bahkan kedua tangannya pun sedikit berkeringat. Namun dia tetap berharap jika dirinya bisa menyelesaikannya dengan mudah, karena dia tidak ingin mengecewakan Erian yang sudah meluangkan banyak waktu demi mengajarinya.
Ketika ia membalikkan lembaran tersebut, Eliane membelalakkan kedua matanya, dan senyuman terukir di bibirnya. Lalu, ia mulai mengerjakan soal tersebut mulai dari yang termudah, dengan begitu ia tidak akan kehabisan waktunya.
1 jam berlalu, waktupun berakhir, dengan percaya diri Eliane menyerahkan lembaran tersebut pada pembimbingnya. Di saat yang lain merasa sedikit gelisah dengan hasilnya, berbeda dengan Eliane yang merasa yakin bahwa dia akan lolos ke tahap berikutnya, yaitu wawancara.
"Bagaimana tesnya? Bukankah itu sangat sulit?" Eldrich tampak mendengus kesal.
"Benar yang di katakan kak EL. Aku jadi merasa tak yakin bisa lolos. Benar-benar tidak sembarang orang yang bisa masuk di University Zurich." Zoya mempoutkan bibirnya setelah mengutarakan hal tersebut.
"Kalian tenang saja! Apapun keputusan akhirnya, itu pasti yang terbaik untuk kita semua." Sahut Eliane seraya tersenyum pada kedua sepupunya itu. "Lalu, apa kalian akan pulang bersamaku?" Tambahnya.
"Tidak bisa. Aku harus pergi ke perpustakaan kota. Aku akan pergi sekarang, sampai jumpa kak Elia, kak EL." Zoya melambaikan tangannya, lalu segera pergi meninggalkan mereka.
"Aku pun tidak bisa. Ayah sudah meminta supir untuk menjemputku. Sampaikan salamku pada paman Charles, dan juga bibi Sharon. Sampai jumpa." Kini, Eldrich pun pergi.
Melihat keduanya pergi hanya membuat Eliane menghela napas panjangnya. Setidaknya mereka bisa jalan bersama sampai di luar gedung bukan? Begitulah pikirnya saat ini. Tidak ingin berlama-lama lagi, ia sendiri lekas berjalan untuk meninggalkan gedung.
Menyadari bahwa tes selesai, Erian memutuskan untuk keluar dari dalam mobil, dan menyandar pada bagian depan mobilnya. Namun, siapa sangka jika hal seperti itu justru mengundang para gadis disana untuk menghampirinya, hingga membuat Erian sendiri merasa terkejut.
Ketika sudah berada diluar, Eliane hanya bisa menepuk dahinya sendiri saat melihat saudaranya di kerumuni oleh gadis-gadis yang berada di kampusnya, namun hal tersebut bukanlah hal yang aneh untuknya. Pemandangan tersebut sudah sering di lihatnya sejak mereka masih kecil.
Meski begitu, Eliane sangat tidak menyukainya, karena dia tidak akan membiarkan gadis manapun untuk mendekati Erian jika mereka hanya melihat dari fisik serta latar belakang keluarganya saja.
"Astaga, apa kau akan kuliah disini? Fakultas apa yang akan kau ambil?" Salah seorang gadis menyambar seraya memegang tangan Erian.
"Tidak. Aku disini karena sedang menunggu seseorang." Erian tersenyum kepada mereka.
"Benarkah? Siapa yang kau tunggu itu?" Sambar yang lainnya, dan Erian benar-benar sudah kewalahan menanggapi mereka semua.
Melihat saudaranya kerepotan justru membuat Eliane sedikit menyimpulkan senyumannya. Hingga dia segera berlari seraya menerobos di antara kerumunan untuk memeluk saudaranya, dan hal tersebut semakin membuat Erian merasa sangat terkejut.
Menyadari sikap Eliane yang tiba-tiba datang membuat beberapa gadis disana melangkah mundur, dan Erian sedikit tertawa mendapati hal tersebut. Setidaknya ia merasa sedikit tertolong meski sikap adiknya yang datang secara tiba-tiba.
"Ternyata kau benar-benar menungguku." Sahut Eliane dengan memeluk manja saudaranya, dan matanya sedikit melirik ke arah gadis yang berada di sekelilingnya. "Kita pergi sekarang!" Tambahnya yang langsung masuk ke dalam mobil.
"Orang yang ku tunggu sudah datang, aku pergi sekarang. Sampai jumpa." Lagi-lagi Erian melemparkan senyumannya seraya menyusul saudarinya, dan senyumannya itu sungguh membuat mereka merasa sangat bahagia.
"Apa kau dengar tadi? Dia mengucapkan sampai jumpa." Seorang gadis masih menatapi mobil Erian yang melaju meninggalkan kampus.
"Kau benar. Apa itu artinya dia akan kembali lagi?" Sambar yang lainnya.
"Tetapi aku tidak menyukai gadis yang bersama dengan pria itu. Apa dia kekasihnya? Kenapa berlaku seenaknya seperti itu?" Umpatnya kesal.
Dalam perjalanan, Eliane tampak membungkam bibirnya, dan ia hanya memandang ke arah luar kaca mobil. Kali ini, dia benar-benar mengabaikan Erian, dan membiarkannya untuk fokus pada setirannya.
Bukan Erian namanya jika ia tidak mengenal gerak-gerik saudarinya. Pria itu sangat mengerti bahwa Eliane tengah marah dengannya, sikapnya itu sungguh jelas, namun marah karena hal apa, dia sendiri pun tidak mengetahuinya.
"Apa yang terjadi? Jika kau seperti ini, maka aku tidak akan membawamu menemui orang itu." Celetuk Erian yang masih tetap memandang ke depan.
"Kenapa kau bersikap ramah pada mereka? Bukankah biasanya kau berlaku dingin pada gadis-gadis seperti mereka?" Eliane menyahut seraya mempoutkan bibirnya.
"Ha Ha Ha. Jadi, kau marah karena hal itu?" Sahut Erian yang masih fokus pada pandangannya. "Apa aku salah bersikap ramah? Bukankah kelak mereka akan menjadi temanmu? Aku melakukan semua itu untukmu, aku berharap kau bisa memiliki banyak teman disana. Apa kau mengerti?" Sambungnya seraya mengusap puncak kepala Eliane.
"Berhenti melakukan semua itu, kak. Hal yang kau anggap melindungiku justru akan menjadi boomerang untukku." Eliane menundukkan pandangannya, dan seketika Erian meminggirkan lajuan mobilnya.
"Apa maksudmu, Elia?"
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!