"Ayah. Besok Tomi mau datang ke sini. Katanya ingin kenalan sama Ayah."
Laras, seorang gadis berusia dua puluh tahun, berbunga-bunga karena Tomi, kekasih yang dikenalnya lewat medsos, besok pagi ingin berkenalan dengan ayahnya.
"Kamu yakin Tomi serius? Ayah takut dia hanya akan mempermainkanmu," jawab Rasyid, ayah Laras.
Rasyid seorang duda yang hidup dengan ketiga anak gadisnya, sehari-hari hanya bermain ponsel saja.
Dia punya keahlian mengedit foto menjadi sebuah video yang menarik. Sayangnya keahlian Rasyid dia salah gunakan.
Rasyid mencari uang untuk menafkahi ketiga anak gadisnya dengan mendekati perempuan-perempuan di medsos.
Dengan teliti dia akan mencari perempuan-perempuan kesepian dan mendekatinya. Lalu mengambil beberapa foto mereka dan mengeditnya dengan sempurna.
Dan foto atau video itu akan dikirimkan Rasyid ke messenger sebelum akhirnya dia akan meminta nomor whatsapp.
Atau kadang malah mereka sendiri yang memberikan nomor whatsappnya terlebih dahulu.
Kalau sudah begitu, Rasyid merasa peluang baginya untuk lebih dekat, terbuka lebar.
Rasyid akan siap menjadi tempat curhat mereka. Dan berlagak menjadi seorang psikolog yang bijak atau bahkan menjelma menjadi seorang ustadz dengan ribuan hadist yang dicopy pastenya dari internet.
Dan bisa dipastikan mereka akan terpesona dengan bualan Rasyid. Setelah mereka benar-benar bertekuk lutut, dengan mudah Rasyid akan mengeruk uang mereka.
Mereka yang sudah terpedaya pada akal bulus Rasyid, akan dengan mudah mentransferkan uangnya ke rekening Rasyid.
Uang itulah yang digunakan Rasyid untuk menafkahi ketiga anaknya. Bahkan rumah yang ditempati Rasyid dan anak-anaknya pun hasil dari akal bulusnya itu.
Salma, mantan istrinya sudah berkali-kali mengingatkan Rasyid untuk menghentikan kebiasaan buruknya.
Tapi bukannya berhenti, Rasyid malah semakin menambah koleksi buruannya.
Salma hanya ingin Rasyid kembali seperti dulu. Mencari pekerjaan lagi, setelah dia di PHK dari tempat kerjanya dahulu. Tapi Rasyid mengabaikan keinginan Salma.
"Enggak, Ayah. Tomi serius. Dan berikutnya Tomi akan membawa kedua orang tuanya juga," sahut Laras.
Rasyid yang paham tentang dunia medsos yang penuh tipu-tipu khawatir anak gadis yang dibanggakannya akan menjadi korban laki-laki iseng seperti dirinya.
"Ya sudah, besok Ayah tunggu," jawab Rasyid. Dia juga penasaran seperti apa tampang laki-laki yang sudah berani mendekati anak gadisnya.
Laras adalah anak yang paling dibanggakan Rasyid. Kemampuannya dalam menulis bisa diacungi jempol. Mulai dari saat sekolah dulu yang berkali-kali menang lomba menulis sampai akhirnya menekuni dunia kepenulisan di media online.
"Besok kita masak apa, Yah?" tanya Laras yang begitu antusias dengan acaranya.
"Ayah belum punya uang, Nak. Apa honor menulismu bulan ini sudah cair?"
"Belum bisa cair, Yah. Mungkin minggu depan baru bisa dicairkan," sahut Laras.
Sebagai penulis novel di media online, Laras mempunyai penghasilan yang lumayan untuk pemula sepertinya. Karena tulisan-tulisan Laras banyak diminati pembaca. Dia bisa mendapatkan tambahan honor dari jumlah viewers-nya yang semakin bertambah setiap harinya.
"Ya sudah. Nanti Ayah usahakan." Rasyid meraih ponselnya dan mulai berselancar di dunia maya.
"Kalau bisa sore ini Ayah sudah dapat uangnya. Biar bisa langsung dibelanjakan, Yah." Laras tak pernah tahu darimana ayahnya mendapatkan uang selama ini.
Bagi Laras dan kedua adiknya, Niken dan Ayu, asal kebutuhannya terpenuhi mereka tak akan banyak bertanya.
Karena Rasyid juga selalu marah kalau anak-anaknya banyak bertanya.
Niken, anak kedua Rasyid, masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Selain belajar, kerjaannya di rumah sebelas dua belas dengan ayahnya.
Hampir setiap hari Niken membuat video tik tok dan meng-uploadnya. Segala macam aksi tiktokers dia tiru.
Sementara Ayu, anak bungsunya menjadi lebih pendiam setelah mamanya pergi meninggalkan mereka.
Mungkin karena dia anak bungsu yang masih sangat butuh kasih sayang seorang ibu.
Setiap hari di rumah, Ayu hanya memandang ayah dan dua kakaknya sibuk dengan ponsel masing-masing. Kadang dia pun harus menahan lapar kalau ayahnya belum mendapatkan uang.
"Ayu! Sini!" panggil Rasyid.
Ayu yang sedang asik bermain boneka, segera mendekat. Karena terlambat sebentar saja, suara ayahnya akan semakin kencang.
"Iya, Yah," sahut Ayu.
"Sini duduk. Nanti kamu bilang ke tante Sisil kalau kamu belum makan dari pagi, ya?"
Itu adalah salah satu trik dari Rasyid untuk mendapatkan uang dengan mudah. Dia akan menjual cerita menyedihkan tentang anak-anaknya pada calon korbannya.
"Hallo cantik. Lagi ngapain?" sapa Rasyid melalui telpon.
"Ih, kan tadi sudah nanya di whatsapp," jawab Sisil, calon korban Rasyid hari ini.
"Oh iya, lupa. Maklum kalau telpon sama cewek cantik suka gampang lupa. Bawaannya pingin nanyaaa...terus." Rasyid mulai menggombal yang membuat calon korbannya tersipu malu.
Setelah yakin calon korbannya masuk dalam perangkapnya, Rasyid mengalihkan panggilan suaranya ke panggilan video.
"Hay, kok merah gitu wajahnya. Jadi makin menggemaskan." Rasyid memonyong-monyongkan bibirnya seolah gemas.
Sisil di seberang sana makin tersipu malu. Rasyid membelai-belai rambut Ayu yang tadi sudah diacak-acaknya, agar lebih meyakinkan kalau anaknya ini belum makan seharian.
"Itu Ayu ya, Bang?" tanya Sisil.
"Iya, ini Ayu, Sayang." Kata-kata sayang bisa dengan mudah meluncur dari bibir Rasyid saat mendekati targetnya.
"Kamu lihat ke kamera. Jangan tersenyum. Sedih ayo akting sedih," bisik Rasyid di telinga Ayu.
Ayu pun menuruti perintah ayahnya. Dia yang masih berusia sepuluh tahun, belum paham kenapa ayahnya sering menyuruhnya akting seperti itu.
"Ayu sudah makan?" tanya Sisil yang trenyuh melihat tampang Ayu yang kucel.
Atas perintah Rasyid tadi, Ayu pun menggeleng. Tapi memang Ayu tidak bohong. Seharian ini mereka belum ada yang makan.
Mereka menunggu Rasyid yang bangun siang untuk meminta uang. Tapi ternyata Rasyid tak memliki uang lagi. Hanya beberapa lembar ribuan yang tadi diminta Niken untuk membeli sebungkus mie instan.
Mie instant satu dikeroyok tiga orang, Ayu hanya mendapatkan sisa kuahnya saja dari kedua kakaknya.
"Sama sekali belum makan?" tanya Sisil lagi.
Ayu mengangguk. Lalu Rasyid membelai lagi kepala Ayu dan menciumi puncak kepalanya. Seolah dia sangat menyayangi anaknya ini.
Rasyid pun memasang tampang tak kalah menyedihkan, sampai akhirnya Sisil menanyakan nomor rekening Rasyid.
"Aduh, jangan begitu dong, Cantik. Aku kan enggak enak," jawab Rasyid basa-basi.
"Enggak apa-apa, Bang. Buat Ayu. Kasihan kan, jam segini belum makan. Aku tutup dulu ya telponnya. Aku mau transfer pakai m-banking."
"Iya, Cantik. Muaachh." Rasyid kembali memonyongkan bibirnya.
Kling!
Suara pesan masuk ke ponsel Rasyid. Sebuah foto hasil transferan dikirimkan oleh Sisil.
Yes! Berhasil! Seru Rasyid dalam hati.
"Laras! Panggil kakak kamu, Laras!" Rasyid mendorong tubuh kurus Ayu agar segera memanggil Laras di kamarnya.
Laras sedang asik membuat tulisan untuk lanjutan bab di novel online-nya.
"Kak, dipanggil Ayah." Ayu kembali dengan mainan boneka barbie-barbieannya.
"Iya, Yah," sahut Laras.
"Nih, ambil semua." Rasyid memberikan ATM-nya pada Laras.
Dan Rasyid kembali berbasa basi mengucapkan terima kasih pada Sisil lewat panggilan telpon sampai mulutnya berbusa-busa.
Seperti biasanya, dengan semangat Laras pergi ke ATM terdekat, untuk mengambil semua uang ayahnya. Dengan menaiki motor butut yang diberi oleh sepupu ayahnya.
Laras tak pernah mau tahu uang itu dari siapa, yang penting kebutuhan dan keinginannya terpenuhi.
Sambil menunggu antrian di mesin ATM, Laras berselancar lagi di dunia maya. Salah satu hobi Laras selain menulis.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Mungkin itu kalimat kiasan yang tepat untuk Rasyid.
Kedua putrinya cukup eksis di jagad maya. Kecuali Ayu, bukan karena usianya saja yang masih terlalu belia, dia juga belum memiliki ponsel sendiri.
Selesai mengantri, Laras kembali memacu motornya kembali ke rumah.
"Ini, Yah. Laras ambil semua." Laras memberikan semua uang ayahnya.
Rasyid mengambilnya lalu menghitung dengan teliti. Laras masih duduk di lantai, di dekat Rasyid biasa menghabiskan waktunya.
"Ini kamu beli nasi padang empat bungkus. Ini buat beli rokok ayah dua bungkus, sisanya belikan gula dan kopi. Jangan lupa kalau ada sisa lagi belikan mie instant. Ini nanti buat uang jajan kalian. Dan sisanya buat kamu belanja besok pagi. Katanya mau masak." Rasyid membagi-bagi uangnya hingga habis tak bersisa.
"Iya, Yah," jawab Laras dengan patuh. Laras tak pernah menentang omongan ayahnya. Berbeda dengan Niken, adiknya. Dia sering sekali harus menerima pukulan dari ayahnya karena tak menurut.
Laras mengantongi uang ayahnya. Lalu kembali keluar untuk membeli nasi padang.
"Kak! Mau kemana?" tanya Ayu yang melihat Laras menstater motor.
"Beli nasi padang!" jawab Laras agak kencang, karena suara motor sudah terdengar.
"Ayu ikut!" Ayu langsung memakai sandal jepitnya.
"Enggak usah. Kamu tunggu saja di rumah. Kamu kan belum mandi." Laras langsung tancap gas.
Ayu memandang kepergian kakaknya dengan kecewa. Lalu melepas lagi sandal jepit bututnya dan kembali memainkan boneka-bonekanya.
"Ayu enggak jadi ikut kakak?" tanya Rasyid.
"Enggak boleh sama kakak," jawab Ayu sambil terus memainkan bonekanya.
Rasyid mengacak rambut keriting Ayu yang sudah berantakan, jadi makin acak-acakan.
"Iih. Ayah! Entar kakak bilang kalau Ayu belum mandi kalau rambut Ayu berantakan!" Ayu merajuk.
"Memangnya kamu sudah mandi?" tanya Rasyid. Dia jarang melihat anaknya mandi, karena bangunnya saja jam sebelas siang. Itu paling cepat. Kadang sampai jam dua siang Rasyid baru menggeliatkan tubuh gempalnya.
Rasyid membalik jam tidurnya. Malam dia begadang di medsos. Karena itulah saatnya perempuan-perempuan kesepian berkeliaran di jagad maya.
Jika pun perempuan-perempuan itu bersuami, tengah malam adalah waktu yang tepat setelah pasangan mereka tidur.
Kalau kebetulan di rumah tak ada makanan apapun, anak-anaknya harus menahan lapar sampai Rasyid bangun.
Rasyid akan sangat marah kalau tidurnya diganggu. Ketiga anaknya yang sudah hafal perangai Rasyid tak ada yang berani mengganggu.
"Belum!" Niken yang baru keluar dari kamar langsung menyahut. Lalu mendekati Ayu dan ikut mengacak rambut Ayu.
"Kakak! Nanti rambut Ayu berantakan!" teriak Ayu kesal.
"Memang rambut kamu sudah berantakan. Weekkk." Niken menjulurkan lidahnya dan pergi begitu saja.
Ayu cemberut. Dia tak berani lagi protes dengan sikap usil kakaknya. Karena jelas dia akan kalah.
Tak lama, Laras datang. Dia membawa dua kantong plastik. Dan memarkirkan motornya di teras samping rumahnya.
"Niken!" panggil Laras.
"Iya, Kak!" sahut Niken dari ruang tamu.
"Ini bantuin! Ngapain aja sih, kamu?" bentak Laras.
"Mau tau aja!" Niken meraih kantong plastik yang berisi empat bungkus nasi padang. Lalu meletakannya di lantai tanpa alas.
Niken ke dapur mengambil empat buah sendok dan segelas air putih untuknya sendiri.
"Woy! Makan, nih makan. Nasi padang coy!" Niken memanggil semua penghuni rumah untuk makan bersama.
Salah satu kelebihan keluarga Rasyid, mereka selalu makan bersama-sama. Dan belum mulai kalau masih ada yang belum datang.
"Yang bener dong Kak, kalau manggil! Begini nih." Rasyid bersiul dengan keras.
"Tuh, kan. Pada datang!" ucap Rasyid. Lalu mulai membuka bungkusannya.
"Ini sama aja semua, Kak?" tanya Rasyid. Karena biasanya punya dia dibedakan.
"Ini yang punya Ayah. Nasinya double." Laras mengambil bungkusan yang ada di depan Ayu.
"Kamu gimana sih, dek. Bego banget jadi anak." Niken yang duduk di sebelah Ayu, menoyor kepala Ayu dengan kencang.
"Udah tau itu punya Ayah!" lanjutnya.
"Ayu kan enggak tau," sahut Ayu.
"Ya enggak tahulah. Orang kamu memang bego!" Laras menimpali.
"Eeh! Kalian ngapain sih, mau makan aja ribut terus!" hardik Rasyid yang merasa terganggu.
Langsung ketiga anaknya terdiam. Dan memulai makannya masing-masing.
"Udah pada berdoa belum?" tanya Rasyid. Padahal dia sendiri kalau mau makan, langsung lep saja.
"Udah, Yah...!" jawab ketiga anaknya bersamaan.
Mereka makan dengan tertib. Rasyid paling tidak suka anak-anaknya bercanda saat makan.
Rasyid menghabiskan makanannya tanpa menyisakan satu butir nasi pun. Bahkan tulang dari ayam bakarnya bersih, tak ada sisa sedikitpun daging yang menempel.
"Eeekkkhhh!" Rasyid bersendawa dengan kencang.
"Kak, ada tusuk gigi enggak?" tanya Rasyid. Kebiasaannya setelah makan, selalu mencongkel-congkel sisa makanan di giginya. Yang lalu akan ditelannya lagi. Katanya biar ketemu teman-temannya di dalam perutnya.
"Enggak ada, Yah. Kemarin sama si Ayu dibuat mainan, malah dipatah-patahin," jawab Laras.
"Emang dasar bego ini anak!" Niken menoyor kepala Ayu lagi.
"Iih...! Kakak!" teriak Ayu yang kesal. Dia selalu yang disalahkan. Padahal kemarin yang matah-matahin Niken. Dan Ayu diancam tidak boleh mengadu pada Rashid.
"Niken! Kamu jangan nakal sama adikmu, kenapa sih?" Rasyid juga kesal karena Niken sering sekali mengganggu Ayu.
"Ya udah kamu ambilkan lidi di depan, Kak," perintah Rasyid pada Laras.
"Lidi apaan, Yah?" tanya Laras tak mengerti.
"Lidi yang dipakai buat nyapu halaman itu," jawab Rasyid.
"Kan kotor, Yah. Udah buat nyapu, juga."
"Dicuci dong! Punya inisiatif, kek!" Rasyid mulai naik darah.
Laras yang sudah hafal karakter ayahnya, segera berlari ke samping rumah. Diambilnya satu batang lidi lalu dia lap dengan serbet yang biasa buat mengelap motor.
"Nih, Yah."
Rasyid melihat lidinya yang sudah bersih, lalu mematahkannya. Dan mulai mencongkel-congkel giginya.
"Niken! Ayah buatkan kopi, Nak." perintah Rasyid sambil terus asik mencongkel dan menyesap giginya.
"Ayu saja, Yah. Niken mau nyuci sendok!" Lalu Niken berjalan ke dapur. Padahal meja buat bikin kopi juga ada di dapur, tapi dasar Niken pemalas.
"Ayu mau kan bikinin kopi buat Ayah?" tanya Rasyid dengan lembut.
Ayu mengangguk. Meski baru berusia sepuluh tahun, tapi Ayu pintar membuat kopi. Kata Rasyid, kopi buatan Ayu enak.
"Ini, Yah." Kopi buatan Ayu sudah siap. Rasyid meletakan di sebelah dua bungkus rokoknya.
Rasyid menghisap rokok sambil duduk selonjoran. Kaosnya sudah dilepas. Hingga terlihatlah perut buncitnya.
Rasyid benar-benar melewati hidupnya tanpa harus kerja keras lagi. Mau makan apa saja tinggal calling perempuan-perempuan simpanannya.
Badannya pun makin subur. Gemuknya gemuk patungan.
"Yah. Kita mau jajan ya?" Laras pamit ke Rasyid untuk mengajak adik-adiknya jajan.
Ada jatah jajan dari Rasyid tadi. Meski maksud Rasyid, jajannya nanti kalau sudah lapar lagi. Tapi tidak begitu dengan sikap anak-anaknya.
Begitu mereka mendapatkan uang jajan, ya harus segera dihabiskan. Karena kalau tidak, bakalan diambil lagi oleh Rasyid dengan dalih pinjam. Tapi tak pernah dikembalikan.
"Kan baru saja makan. Memangnya makan tadi belum kenyang?" tanya Rasyid sambil mengipas-ngipas perut buncitnya dengan sobekan kardus.
"Kenyang, Yah. Tapi kita kepingin jajan." Laras, anak kesayangan Rasyid mulai merengek.
"Ya sudah sana. Ajak adik-adik kamu. Ayah beliin juga ya?" Tak ayal Rasyid minta dibelikan juga.
"Uangnya?" Laras menengadahkan tangannya.
"Kan tadi uangnya sudah Ayah kasih kamu semua."
"Ya sudah. Berarti jatah Niken sama Ayu dipotong buat beli jajannya Ayah," sahut Niken.
"Terserah kamu! Sudah sana, jangan ganggu Ayah dulu."
"Niken! Ayu! Ayo cepetan!" Laras memanggil kedua adiknya yang sudah siap dari tadi.
Setelah makan, mereka langsung merencanakan membeli jajan. Saat kedua adiknya bersiap, Laras bagian merayu ayahnya.
Dua anak perempuan Rasyid langsung menghampiri kakaknya.
"Rapi-rapi amat! Memangnya kalian mau beli jajan di mana?" Rasyid terkejut, karena biasanya ketiga anaknya hanya mengenakan celana pendek untuk sekedar beli jajan di warung dekat rumah.
"Ke Supermarket, Yah," jawab Ayu mewakili kedua kakaknya. Karena kalau sampai Rasyid marah, mereka akan bilang Ayu yang mau.
Itu semua sudah disetting oleh Laras dan Niken sebelumnya. Seperti biasa, mereka akan mengorbankan si kecil yang tak tahu apa-apa.
"Memang cukup uangnya?" tanya Rasyid lagi. Setahunya tadi dia hanya memberi satu lembar lima puluh ribuan untuk mereka bertiga.
"Cukup-cukupin, Yah." Giliran Laras yang menjawab.
Rasyid bangga pada ketiga anaknya yang akur. Mereka mau saling berbagi juga mau hidup seadanya bersamanya.
"Ayo, Kak. Cepetan. Aku yang bawa motornya. Yah! Pinjem motornya sebentar, ya?" Tanpa menunggu persetujuan Rasyid, Niken langsung mengambil kunci motor di dekat Rasyid duduk.
Sampai di luar rumah, Laras mengeluarkan uang lima puluh ribuan tadi.
"Nih, uang yang buat jajan. Lima puluh ribu. Mestinya kan ini dibagi tiga. Aku dua puluh, kalian berdua lima belasan. Tapi berhubung tadi ayah minta juga, jatah kalian aku potong lima ribu per orang. Jadi ayah belinya makanan seharga sepuluh ribu. Sama kaya kalian," jelas Laras.
"Kok cuma sepuluh ribu? Kakak dua puluh ribu. Curang itu namanya," protes Niken.
Ayu hanya diam saja. Dia sudah terbiasa dicurangi kakak-kakaknya. Bahkan tak jarang, makanannya dimintai juga, dengan alasan icip-icip.
"Ya enggak curanglah. Aku kan anak paling gede. Ya dapatnya paling gede." Laras membela dirinya sendiri.
"Ayah tuh paling gede!" sahut Niken dengan kesal.
"Mau enggak? Kalau enggak mau, ini uangnya buat aku sama Ayah saja." Laras mengantongi kembali uangnya.
Niken cemberut. Tapi mengalah juga. Daripada enggak dapat sama sekali.
Niken menstater motor lalu segera melajukannya, setelah adik dan kakaknya naik di belakangnya.
Sepanjang jalan, Niken menghitung uang sepuluh ribunya bakal dapat jajanan apa di Supermarket.
"Kak! Nanti bayarnya parkir pakai uang kamu, ya?" seru Niken.
"Iya! Temang aja!" Laras mengiyakan saja. Toh uangnya jauh lebih banyak dari kedua adiknya. Dia juga masih punya uang kembalian dari warung nasi padang tadi.
Sampai di Supermarket, mereka bergaya seperti anak-anak orang kaya.Bahkan Niken memakai kaca mata Rasyid yang di ambilnya tadi diam-diam.
"Hhmm!" Laras melengos kesal. Karena dia kalah cepat dengan Niken. Biasanya dia yang mengambilnya lebih dulu.
Mereka mengambil keranjang belanjaan. Lalu mulai berkeliling seperti sibuk memilih. Mereka membaca satu persatu sambil membandingkan harga.
Seorang penjaga Supermarket sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. Apalagi saat mendengar mereka sibuk menghitung jumlah belanjaan.
"Kak, uangku kurang dua ribu. Kakak nanti tombokin, ya?" pinta Niken pada Laras.
"Enak saja! Aku nanti masih harus bayar parkir dua ribu! Minta sama Ayu sana!"
"Enggak mau! Ayu saja masih kurang," sahut Ayu. Kali ini dia tidak mau mengalah.
Niken langsung cemberut. Tapi tak lama dia tersenyum licik. Lalu dia menarik Laras menjauh dari Ayu.
Lalu Niken membisikan rencananya pada Laras.
"Tega, kamu!" ucap Laras.
"Kakak juga tega. Main potong-potong saja. Jatah Kakak enggak dipotong. Padahal jatah Kakak kan paling banyak." Niken membela diri.
"Ya udah. Terserah kamu lah." Laras kembali ke rak makanan, karena dia akan mengembalikan satu macam makanan pilihan Ayu.
Sementara Niken menarik tangan Ayu, agar menunggu di luar. Sambil mengajaknya melihat-lihat aksesoris.
Rencana Niken berhasil dijalankan oleh Laras dengan sempurna. Lalu mereka segera pulang.
Sampai di rumah, Laras membongkar belanjaannya. Dia sudah memisahkan makanannya dan makanan ayahnya di plastik berbeda.
"Nih punya kalian berdua!" Laras melemparkan ke lantai plastik yang berisi makanan Niken dan Ayu.
Niken segera mengambilnya dan mengeluarkan makanannya. Dia menyisakan milik Ayu.
"Ini punya kamu, Kribo!" Niken memang sering meledek Ayu dengan panggilan kribo. Karena rambut Ayu yang keriting dan selalu berantakan.
Ayu tak pernah marah dengan panggilan apapun dari kedua kakaknya. Dia membuka plastik dan mengeluarkan makanannya yang hanya tinggal tiga macam. Mestinya ada empat macam.
"Kok punya Ayu tinggal tiga? Tadi kan ada empat?" teriak Ayu yang sudah ditinggal masuk ke kamar oleh kedua kakaknya.
Kedua kakaknya tertawa puas sudah berhasil mencurangi adiknya.
"Ayah! Makanan Ayu kurang satu!" Ayu berteriak di samping Rasyid yang sedang tertidur terlentang sambil memegangi perut buncitnya.
Rasyid terbangun karena kaget.
"Apaan sih kamu teriak-teriak. Ngagetin Ayah saja!" bentak Rasyid.
"Makanan Ayu kurang satu. Huwaa...." Ayu menangis sejadi-jadinya.
"Diam! Bisa diam enggak kamu!" Rasyid malah semakin marah.
Ayu tak peduli dengan kemarahan Rasyid. Dia malah semakin kencang menangisnya.
Rasyid yang sudah memuncak amarahnya, menyeret tubuh kecil Ayu dan mengurungnya di kamar mandi.
"Ayah! Ayah! Keluarin Ayu, Yah!" Ayu menggedor-gedor pintu kamar mandi. Rasyid tak mau mendengarkan. Dia malah pergi dan masuk ke kamarnya untuk melanjutkan tidurnya.
Laras dan Niken menahan tawanya. Karena takut terdengar Rasyid. Dan bukan tidak mungkin Rasyid akan memberikan hukuman juga untuk mereka.
Ayu masih terus menangis sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi.
Kedua kakaknya mendiamkan. Mereka asik menikmati makanan mereka sendiri-sendiri.
Hingga satu jam kemudian, Laras kebelet pipis.
Laras membuka pintu kamar mandi. Dia pura-pura peduli pada adiknya ini.
"Kamu, sih. Ayah jadi marah, kan? Ayo keluar mumpung ayah tidur lagi."
Ayu yang duduk di samping closet jongkok, segera keluar. Tangisnya sudah usai. Air matanya pun sudah kering. Tapi badannya menggigil kedinginan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!