NovelToon NovelToon

WARIS [ END ]

EYANG RATMI

"Benarkah yang dikatakan orang-orang?"

"Benarkah desas-desus yang beredar?"

"Benarkah arwah eyangku gentayangan?"

..."Huh..."...

Mayang menghela napas panjang, merasa lelah dengan beragam pertanyaan yang bermunculan. Tujuh hari setelah kematian eyang, ketenangannya seolah menghilang. Bukan hanya untuk dirinya dan keluarga tapi juga untuk warga sekitar. Cerita-cerita sumbang kian santer terdengar. Ada saja warga yang mengaku menjadi korban keusilan arwah si eyang. Eyang Ratmi, begitulah orang-orang memanggilnya.

Ketika meninggal, eyang Ratmi telah berusia sembilan puluh lima tahun. Meski usianya telah renta tapi fisiknya, masih cukup bugar. Sebelum meninggal, eyang Ratmi masih sering bepergian dan juga melakukan beragam pekerjaan. Kematiannya yang tiba-tiba, menyita banyak perhatian sebab, beliau tidak mengalami sakit sebelumnya.

Meski sebagian warga menganggap hal ini adalah biasa, mengingat usia eyang Ratmi yang tak lagi muda. Namun, Rumor tak sedap tetap menyebar dengan cepat. Tak sedikit yang menganggap kalau kematian eyang Ratmi sangatlah janggal. Namanya juga manusia, akan selalu memikirkan hal-hal yang sekiranya dapat menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Sekali pun tentang kematian seseorang.

Tetangga yang menjadi saksi mata ketika eyang Ratmi tumbang telah menceritakan semuanya kepada pihak keluarga. Namun, tak ada satu pun dari anggota keluarga besar Mayang yang ingin mencari tahu perihal penyebab kematian eyang Ratmi tersebut. Mereka beranggapan kalau ajal memang datang pada waktu yang tak dapat diduga. Bisa kapan pun dan di mana pun. Termasuk juga dengan yang di alami oleh eyang Ratmi. Pihak keluarga telah mengikhlaskan dan memilih untuk segera memakamkan jenazah.

Acara tahlil pun digelar hingga tujuh hari lamanya. Selama itu, tidak ada kejadian ganjil apa pun. Barulah setelah melewati hari ke tujuh, muncul desas-desus tentang arwah eyang Ratmi yang gentayangan. Satu persatu warga telah menjadi korban. Banyak versi yang beredar. Gangguan yang di alami para warga, ada yang serupa, ada juga yang berbeda.

Sementara itu, mayang beserta keluarganya malah tidak pernah mengalami hal ghaib apa pun. Sosok eyang Ratmi, sama sekali tidak muncul. Inilah yang membuat Mayang merasa bingung. Hendak percaya atau meragukan cerita dari para warga. Baginya, eyang Ratmi adalah sosok yang baik hati dan penyabar. Selain itu, eyang Ratmi juga sangat ramah kepada para tetangga. Rasanya, tidak ada hal buruk semasa hidupnya hingga membuat arwahnya bergentayangan.

Mayang memejamkan matanya seiring terputar kembali kenangannya bersama eyang tercinta. Kala itu, Mayang membantu eyangnya memasak. Disela-sela memasak, keduanya saling berbincang. Banyak hal yang mereka bicarakan. Begitu seru dan dipenuhi rona bahagia. Terlebih, saat itu keduanya sedang memasak makanan favorit Mayang.

Eyang Ratmi, sering disebut sebagai juragan tanah karena memang seperti itulah adanya. Eyang Ratmi beserta suaminya, gemar membeli tanah di berbagai wilayah. Keduanya juga berbisnis di sana. Tanah-tanah yang dibeli akan dijual lagi dengan keuntungan yang berlipat. Ada juga yang dibangun menjadi rumah kos dan rumah kontrakan. Tidak perlu ditanya, berapa banyak harta kekayaan mereka. Seluruh anak keturunannya hingga para cucu pun hidup berkecukupan. Menjadi keluarga terkaya dalam lingkungan tempat tinggal. Rasanya, semua orang akan langsung tahu jika ada yang menanyakan tentang eyang Ratmi beserta suaminya.

...🌟🌟🌟...

"Non, tadi di pangkalan depan, ibuk-ibuk pada cerita. Katanya, anaknya pak Dadang semalam melihat arwahnya eyang Ratmi duduk dengan wajah pucat di pos ronda," ujar mbak Yanti, salah satu asisten rumah tangga di rumah Mayang.

"Anaknya pak Dadang yang bungsu? si Linda itu?" tanya Mayang memperjelas.

"Iya mbak benar si Linda, pas pulang ngaji katanya. Bukan cuma Linda tapi si Tina juga tuh karena mereka berdua pulang bareng semalam."

"Apa yang dilakuin eyang? hanya duduk diam di pos ronda atau ngapain lagi?"

"Katanya cuma duduk tapi pas dua anak itu semakin mendekat, eyang Ratmi melototin mereka sampai lari tunggang langgang."

"Masak sih? mbak Yanti percaya?"

"Hemm.. kalau masalah beginian sih, antara percaya dan gak percaya mbak tapi kan biasanya, anak kecil itu jujur. Ditambah lagi, bukan hanya mereka yang mengalami. Banyak juga warga lain yang dihantui eyang Ratmi."

"Bukan, itu bukan ulah eyangku. Pasti jin yang usil memanfaatkan moment kematian eyang untuk menghantui orang-orang."

"Yah, apa pun itu tapi kan wujud eyang yang digunakan. Anggapan orang-orang ya pasti mengarah ke eyang."

Mayang menghela napas panjang seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.

"Gimana ya mbak Yanti? apa sebaiknya diadakan acara selametan lagi ya?"

"Nah boleh tuh, coba dibicarakan lagi dengan nyonya! kasihan juga kalau misal benar, eyang Ratmi masih belum tenang. Kirim doa kan tetap tidak ada salahnya."

"Iya deh mbak, nanti aku obrolin lagi sama ibuk."

"Iya non."

...🌟🌟🌟...

Selepas maghrib adalah waktu yang tepat untuk mengajak ibunya berbincang karena pada waktu itu, ibu Mayang akan berada di ruang tengah untuk menonton acara televisi favoritnya. Mayang turut duduk di sana seraya berbincang ringan dengan ibunya sebelum kemudian, masuk ke dalam poin utama.

"Boleh saja, nanti ibu pikirkan kapan waktunya!"

"Bagaimana kalau akhir pekan ini?"

"Emm.. begini, tahlil eyang kan masih ada lagi nih pas empat puluh harinya nanti, itu kan sama saja. Sekalian pas tahlil saja kirim doa lagi!"

"Kelamaan buk, minggu ini kan bisa. Ibuk kan gak kekurangan uang untuk bikin acara kirim doa."

"Bukan masalah uang Mayang tapi semuanya ada aturannya."

"Siapa yang akan melarang orang kirim doa? para tetangga juga bakal senang dapat makanan."

"Hemmm.. iya-iya, ibuk bicara dulu dengan ayahmu!"

"Bener ya?"

"Iya."

Mayang tersenyum senang seraya berdiri, hendak beranjak dari ruang tengah.

"Eh, mau ke mana kamu?"

"Mau ke dapur bikin mie."

"Aduh Mayang, jangan sering-sering makan mie!"

"Jarang kok buk, ibuk mau?"

"Nih anak ya kalau dibilangin, ngeyel terus."

"Ibuk mau gak? sekalian Mayang bikinin."

"Boleh deh satu."

"Ye, ternyata mau juga," ledek Mayang mengundang tawa kecil dari ibunya.

"Cabenya tiga ya nak."

"Iya buk," jawab Mayang sembari berlalu.

...🌟🌟🌟...

Di dapur, Mayang melihat mak Rum, salah satu asisten rumah tangga yang kerjanya khusus belanja sayur, memasak dan mencuci piring sedang sibuk di depan kompor. Mayang menyapanya seraya menanyakan:

"Sedang masak apa mak Rum?"

Mak Rum yang sekarang telah berusia lima puluh tahunan, tidak memberikan jawaban. Mungkin, mak Rum tidak mendengar. Mayang berjalan mendekat sembari mengulang pertanyaannya.

"Sedang masak apa mak Rum?"

Barulah mak Rum menoleh seraya mengulas senyum. Mayang sendiri lebih fokus pada masakan yang tengah mak Rum olah. Merah pekat membuat Mayang kembali bertanya.

"Apa ini mak? sayur apa?"

Ekor mata Mayang menangkap kalau mak Rum, sedang menatapnya. Namun, mak Rum hanya diam. Begitu Mayang mengalihkan pandangannya, ia lekas terjingkat seraya beringsut mundur, sikap waspada.

"Astaghfirulloh!" pekiknya dengan Mata membulat, coba memastikan.

...Dem......

Sosok yang ia kira mak Rum berubah menyerupai eyang Ratmi.

"E-ya-ng..." panggil Mayang terbata.

"Mayang..."

...Deg......

...🌟 BERSAMBUNG 😁...

UNDANGAN PERNIKAHAN

Sepersekian detik kemudian, Mayang terhenyak, beringsut mundur sembari bersiap untuk berlari.

"Mayang..." panggil sosok yang terlihat persis dengan Eyang Ratmi.

Mayang seketika membulat, membalik badan lalu berlari. Di saat yang bersamaan, sepasang tangan menahan langkahnya yang tak ayal membuat Mayang berteriak.

"Non Mayang! non! ada apa non?"

...Dem.....

Mayang menoleh, membeku untuk sesaat lalu mulai mengamati seseorang yang memegang lengannya lekat-lekat.

"Mak Rum?"

"Iya non, ini mak Rum. Non Mayang kenapa teriak? ke dapur mau nyuruh mak Rum apa?"

"Emm.. mak Rum ini.. ibuk minta dibuatin mie instan cabe tiga."

"Iya non, non Mayang juga?"

"Saya..iya deh boleh, sama kayak ibuk ya."

"Iya non."

"Makasih mak!"

"Iya non, kalau sudah jadi, saya antar ke ruang tengah!"

Mayang menganggukkan kepala kemudian berbalik arah, berjalan kembali ke ruang tengah.

"Lah, mana mienya May?" tanya ibunya.

"Itu, masih dimasakin mak Rum buk."

Ibu Mayang manyun seraya meledek putrinya.

"Gitu bilangnya mau masak sendiri."

Mayang hanya bisa nyengir sembari berusaha menenangkan batinnya yang yang masih terguncang akibat penampakan beberapa saat yang lalu.

...🌟🌟🌟...

Waktu berlalu hingga jam menunjukkan pukul sebelas malam. Selama itu juga, Mayang masih memendam pengalaman mistisnya tentang sosok yang menyerupai eyangnya. Mayang berencana menceritakannya besok, ketika malam telah lewat.

"Jangan lupa dimatiin TV nya ya! ibuk mau tidur dulu!"

"Iya buk," jawab Mayang.

Mayang sendiri bimbang, acara favoritnya masih belum buyar tapi menonton televisi sendiri, cukup menyeramkan. Alhasil, ia memilih untuk mematikan televisi lalu beranjak masuk ke dalam kamar. Pintu kamar baru ia buka ketika terdengar suara seseorang mengetuk pintu sembari mengucapkan salam.

..."Tookk.. Tok.. Tok..."...

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam!" jawab Mayang.

Mendengar ada tamu, ayahnya turut keluar seraya mengikuti langkah putrinya ke ruang tamu.

"Tunggu May! jangan dibuka dulu!" cegah ayahnya.

"Kenapa yah?"

"Siapa ya?" tanya ayahnya sebelum membukakan pintu.

"Saya suruhan pak Ageng mau mengantar undangan," jawab tamu dari balik pintu.

Anehnya ayah Mayang tetap tidak membukakan pintu.

"Kapan acaranya?"

"Yah?"

"Hsssttt!" jawab ayahnya sembari memberikan isyarat agar Mayang diam.

"Besok malam jam tujuh."

"Oh baik, undangannya sudah saya terima. Bilang ke pak Ageng, saya akan datang!"

"Baiklah, saya pamit dulu!"

"Iya, terima kasih."

Mayang masih berdiri dalam bingung. Merasa heran atas apa yang ayahnya lakukan.

"Yah, ada tamu kok gak disuruh masuk? gak sopan loh ngobrol tanpa dibukain pintu."

"Tidak apa-apa, sudah mengerti mereka."

"Memangnya pak Ageng itu siapa?"

"Salah satu teman ayah, ibumu juga kenal."

"Besok malam rumah sepi nih."

"Hemm.. coba nanti ayah tanya ibumu dulu. Sudah waktunya kamu ikut atau belum?"

"Hah? ada batas minimum umur ya buat ikut ke acara nikahan?"

Ayah Mayang terkekeh tanpa memberikan jawaban.

"Sudah-sudah, tidur sana! sudah malam."

Mayang memanyunkan bibir seraya berjalan masuk ke dalam kamar. Memang sedikit aneh tapi Mayang mengabaikannya. Baginya, bukan masalah kalau tidak diajak ke kondangan. Hanya saja, ia malas kalau di rumah sendirian. Tidak sepenuhnya sendiri sih, masih ada mbak Yanti, mak Rum dan juga mas Galang (kakak sepupu Mayang) yang telah dua tahun ini tinggal di rumahnya karena jarak rumah Mayang dekat dengan kampus tempat mas Galang menuntut ilmu.

...🌟🌟🌟...

Keesokan harinya, Mayang kembali teringat pada undangan pernikahan semalam. Undangan yang menurutnya terkesan aneh karena diantarkan, nyaris tengah malam. Ditambah sikap ayahnya yang enggan membukakan pintu. Membuat semuanya terasa ganjil dalam benak Mayang.

"Non Mayang tumben di rumah saja? gak kuliah mbak?" tanya mbak Yanti.

"Enggak mbak lagi malas."

"Hem... sayang loh non kalau gak sungguh-sungguh kuliahnya."

"Besok saya kuliah, hari ini mau jalan sama Nita sebentar!"

"Ke mall ya non? saya diajak dong non!"

"Ke salon, rambut saya sudah lepek, waktunya creambath sekalian massage."

"Nanti deh setelah gajian, saya mau creambath!" jawab mbak Yanti disusul tawa cekikikan.

"Eh mbak, semalam dengar ada tamu gak? jam sebelas malam lebih lah."

"Tamu? enggak non, saya sudah tidur."

"Aneh deh mbak, itu tamu nganterin undangan nikahan tapi kok malam banget ya datangnya?"

"Dari luar kota kali non?"

"Ah masak sih? kalau memang orang jauh, kok ayah gak mau ngebukain pintu?"

"Gimana non? bapak gak mau bukain pintu? tamunya dibiarin di luar gitu?"

"Iya, malah terus ngobrol tapi tetap gak dibukain pintu."

"Lah, kok aneh ya? mungkin bapak khawatir kalau itu maling atau orang yang berniat jahat makanya gak dibukain pintu non."

"Enggak ah, ayah bilang kalau yang ngundang itu, teman lama ayah, ibuk juga kenal."

"Kalau saling kenal, kenapa gak disuruh masuk ya?"

"Nah, itu dia anehnya mbak."

"Kapan memangnya non acaranya?"

"Nanti malam."

"Oh, biarin aja lah non. Urusan bapak sama ibuk."

Mayang menghela napas, masih merasa tidak puas dan janggal sebab, keanehan ini belum terjawab.

...🌟🌟🌟...

Sekitar pukul tiga sore, ibu Mayang meminta Mayang untuk bersiap karena Mayang akan ikut menghadiri acara pernikahan anak dari teman lama orang tuanya.

"Mayang sudah besar buk, malu lah ikut orang tua ke kondangan."

"Tidak apa-apa memang harus menunggu kamu besar baru boleh ngajak kamu."

"Hah? kok kebalik sih buk? biasanya kan bayi sama anak kecil yang diajak."

Ibunya hanya tersenyum sembari kembali meminta putrinya untuk bersiap.

...🌟🌟🌟...

Sekitar pukul empat sore, semua telah siap dan perjalanan pun dimulai. Mayang beserta kedua orang tuanya mengendarai mobil menuju lokasi hajatan. Satu lagi keganjilan yang Mayang rasakan. Biasanya, untuk perjalanan seperti ini, orang tuanya akan menyewa jasa sopir lepas untuk mengantarkan. Pak Hasan, tetangga dekat rumah yang biasa orang tua Mayang minta untuk mengantarkan. Namun, kali ini ayah Mayang sendiri yang menyetir. Meski janggal tapi, nalar Mayang masih mencoba untuk melogikakannya. Ia menganggap kalau malam itu, pak Hasan sedang berhalangan.

Satu jam, dua jam, tiga jam telah berlalu hingga kemudian, mereka memasuki area persawahan. Tak lama setelahnya, hutan belantara. Beberapa kali Mayang bertanya perihal lokasi hajatan yang akan mereka datangi. Namun, kedua orang tuanya hanya meminta Mayang untuk menunggu.

"Sebentar lagi akan sampai, sabarlah dulu!".

Perjalanan itu membuat Mayang lelah. Nyaris terlelap ketika mobil melewati kabut tipis yang biasanya muncul di area pegunungan. Mayang menoleh ke kanan dan ke kiri, kabut menutupi.

"Ayah bisa melihat dengan jelas?"

"Bisa May."

"Hati-hati yah! semua kabut."

"Iya, jangan khawatir! kabut ini cuma sebentar munculnya."

Benar saja, sepersekian detik kemudian, kabut hilang dan kami sudah sampai ke halaman rumah si empunya hajat.

"Hah? kok bisa sih? bukannya tadi masih..."

"Kita sudah sampai May, ayo turun!"

"Kok bisa sih yah?"

...🌟 BERSAMBUNG🌟...

PARA TAMU UNDANGAN

"Jangan bengong terus May, ayo turun!"

"Iya yah."

Mayang turun seraya mengikuti langkah kedua orang tuanya. Di depannya berdiri sebuah rumah kayu yang sangat bagus.

"Keren banget rumah ini! berasa di villa jadinya," celetuk Mayang yang reflek memberikan pujian.

Di dalamnya sudah ada banyak sekali orang.

Namun, pengantinnya masih belum datang. Mungkin, masih berganti pakaian, pikir Mayang. Gending-gending jawa dilantunkan. Mirip pernikahan-pernikahan di masa lalu. Meja dan kursi ditata dengan rapi. Mayang beserta kedua orang tuanya disambut oleh penerima tamu lalu dipersilakan untuk duduk. Tak lama kemudian, datang dua orang yang mengantarkan makanan. Tiga piring nasi rawon disajikan lengkap dengan krupuk dan juga sambal.

"Terima kasih!" ucap Mayang seraya menerima uluran makanan.

Semua orang terlihat makan dengan lahap. Beberapa menit kemudian, kedua mempelai tiba. Semua mata tertuju ke arah mereka.

"Cantik, sangat cantik!" puji Mayang di dalam hati.

Sungguh pasangan yang sangat serasi. Yang perempuan cantik. Yang laki-laki tampan.

"Buk, anak pak Ageng yang laki-laki atau yang perempuan?" tanya Mayang.

"Yang perempuan."

"Wah! cantik buk."

Ibu Mayang hanya tersenyum.

...🌟🌟🌟...

Setelah menghabiskan makanan yang diberikan, Mayang beserta kedua orang tuanya beranjak untuk menyalami pengantin beserta orang tua mempelai yakni pak Ageng beserta dengan istrinya.

"Terima kasih sudah datang!" ucap pak Ageng.

"Memang sudah seharusnya kami datang," jawab ayah Mayang.

Pak Ageng manggut-manggut saja. Mayang beserta kedua orang tuanya pun bergeser untuk menyalami kedua mempelai. Semua berjalan normal hingga tiba saat Mayang yang menyalaminya. Mempelai wanita menahan tangan Mayang seraya menarik sebuah kembang kantil dari hiasan rambutnya.

"Ini untuk kamu," ucap si mempelai wanita sembari mengulurkan kembang kantil tersebut.

Saat itu, Mayang sedikit bingung. Ia menoleh ke arah kedua orang tuanya yang telah lebih dulu turun. Tanpa diduga, Mayang melihat eyang Ratmi berdiri di antara para tamu undangan. Menatap lurus ke arahnya sembari menggelengkan kepala. Sontak Mayang terkejut membuat kembang kantil jatuh ke lantai.

"Eh, maaf! selamat berbahagia ya! saya permisi dulu!" ucap Mayang tergesa-gesa untuk turun.

Namun, entah bagaimana caranya, si mempelai wanita dengan cepat muncul di hadapan Mayang, menghadang langkah Mayang.

"Loh.."

"Kenapa buru-buru?" tanya si mempelai wanita sembari mengulas senyum.

Mempelai wanita tersebut kembali menarik tangan Mayang seraya memberikan kembang kantil dan meminta Mayang untuk menyimpannya. Mayang yang merasa tidak enak, akhirnya menerimanya. Pikirnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan hanya dengan menerima pemberian bunga. Toh, dua atau tiga hari ke depan, bunga itu akan layu. Setelah itu, dia akan membuangnya.

"Terima kasih!" ucap Mayang.

Mempelai wanita itu mengulas senyum lalu berjalan kembali ke kursi pengantin. Sementara Mayang, berjalan menuju tempat ayah dan ibunya menunggu dirinya.

"Sudah selesai, kita bisa pulang sekarang!" ucap ayah Mayang.

Mayang menganggukkan kepala, sembari berjalan, Mayang menoleh ke arah ia melihat sosok eyang Ratmi. Sayangnya, sekarang telah menghilang. Ke mana pun Mayang memandang, sosok yang menyerupai eyang Ratmi, tetap tidak terlihat. Malah ia dibuat tercengang. Antara percaya dan tidak, para tamu undangan yang tadi terlihat normal, kini berubah. Wajah para tamu undangan menyerupai monyet. Mayang tertegun untuk beberapa saat sebelum kemudian, mengucek matanya berulang kali.

"Ini.. astaga! aku berhalusinasi kan? mataku ngantuk kayaknya."

"Ayo May!" panggil ibunya.

"Buuk..."

"Ada apa?"

Sekali lagi Mayang menoleh guna memastikan.

...Deg......

"Bagaimana bisa? aku berhalusinasi ya?"

"Ayo May!"

"I-ya, iya buk."

Mayang masuk ke dalam mobil seiring mesin mobil yang dinyalakan. Masih penasaran, Mayang mengamati para undangan yang keluar masuk secara seksama. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada yang aneh, semua normal seperti manusia ada umumnya.

"Wah, bener nih, aku berhalusinasi karena ngantuk," gumam Mayang di dalam hati.

Entah kenapa, perasaan Mayang masih saja penasaran. Ketika mobil telah berbalik arah, Mayang kembali menoleh ke belakang untuk sekali lagi memastikan.

"Astagfirulloh!" pekik Mayang seketika.

"Ada apa May?"

"Itu buk, semua orang berubah mengerikan. Ada banyak makhluk berkepala monyet dan banyak juga yang wajahnya hancur."

"Ah yang benar?"

Ibu Mayang turut menoleh tapi sudah terlambat. Mobil kembali memasuki wilayah berkabut sehingga tak terlihat lagi rumah pak Ageng beserta para tamu undangannya.

"Ketutup kabut May, gak kelihatan."

"Menyeramkan sekali buk."

"Sudah-sudah, sepertinya kamu lelah. Istirahat saja, tidur gih!" sahut ayahnya.

"Benar May, tidur saja ya! kalau sudah sampai, nanti ibuk bangunin."

Mayang yang masih terguncang coba menjelaskan tentang apa saja yang ia lihat. Dia juga mengatakan kalau sempat melihat eyang Ratmi di sana. Kedua orang tuanya mendengarkan tapi enggan menanggapi lebih jauh cerita dari putrinya.

"Apa pun yang kamu lihat, anggap saja keusilan kaum mereka! tidak perlu terlalu dalam kamu pikirkan!" ucap ibunya menasihati.

"Benar juga, apalagi ini masih di jalan. Gimana kalau sosok-sosok itu mengikutiku? hi... jangan sampai," benak Mayang yang kemudian diam seraya memejamkan mata.

...🌟🌟🌟...

Mayang sampai di rumah bersamaan dengan dikumandangkannya adzan subuh. Mayang tertegun, baginya tidak masuk akal. Jika ia sampai pada tengah malam atau dini hari, masih bisa dinalar tapi ini, sudah masuk waktu subuh.

"Masuk May! kenapa bengong?"

"Buk, perjalanan kita berapa jam sih, kok sampai rumah subuh?" tanya Mayang dengan polosnya.

"Perjalanan kita memang jauh nak."

"Hah, kita berangkat kurang lebih tiga jam. Di sana juga cuma sebentar, anggap saja satu jam. Perjalanan pulang gak mungkin sampai subuh."

"Ayahmu pelan-pelan nyetirnya."

"Tetap saja tidak masuk akal. Kalau.."

"Sudah-sudah, ibuk capek, mau istirahat!"

Mayang mengunci mulutnya dengan beragam beragam pertanyaan yang bermunculan. Belum juga terjawab, mbak Yanti menyapa Mayang.

"Non Mayang lanjut liburan ya setelah kondangan?"

"Hah? maksudnya apa mbak?"

"Kok sampai dua hari kondangannya?"

"Dua hari?"

Mayang membulat tak percaya.

"Dua hari gimana mbak?"

"Non Mayang sama bapak dan ibuk kan berangkatnya kemarin lusa. Tanggal sembilan kan? sekarang tanggal sebelas. Bawa oleh-oleh gak non?"

Mayang mengambil ponselnya guna memeriksa tanggal hari ini.

...Deg......

...🌟 BERSAMBUNG 🌟...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!