Aku baru sampai di rumah dan melihat ke dua saudaraku sudah duduk manis di ruang tamu dengan seragam sekolah yang belum mereka ganti. Sedangkan ayah sedang asik menonton berita yang ada di tv.
"Sudah pulang kak? Kok gak ngucap salam pas masuk?" Kata mama sembari menuju ruang tamu sambil membawa satu mangkuk godok pisang panas yang di lumuri gula merah.
"Ah... lupa ma," jawabku enteng.
"Makanya biasakan kak ngucap salam setiap masuk rumah, masa iya harus selalu diingatin mama terus," celoteh adik perempuanku yang bernama Rani.
Dia adalah anak bungsu di keluarga kami. Dia sudah tertarik belajar agama dari kecil. Itu mungkin karena masa kecilnya lebih sering di habiskan dengan mama, berbeda denganku yang selalu bersama ayah, taunya main dan main.
Rani bukan hanya taat pada agama tapi sayangnya dia juga memiliki suatu ke kurangan, yaitu dapat melihat makhluk halus yang biasa kita sebut hantu. Awalnya Rani sangat frustasi, dia benar-benar ketakutan, bahkan sempat bolos sekolah karena terus di ganggu makhluk tak kasat mata itu. Namun lambat laun dia mulai terbiasa namun sayang pribadinya menjadi lebih tertutup. Karena banyak teman-teman yang menjauhinya karena Rani berbeda dari mereka.
Itulah yang tak ku mengerti, dari kecil anak-anak itu sudah pandai menyisihkan dan memojokkan temannya yang berbeda dari mereka. Bahkan mengolok dan membully temannya hanya karena sedikit berbeda. Akhirnya yang terjadi pada anak-anak yang di sisihkan itu adalah pribadi yang anti sosial.
Padahal setiap kekurangan yang di miliki oleh anak-anak itu bukanlah keinginan mereka. Mereka juga ingin memiliki kehidupan yang normal seperti teman mereka yang lainnya. Namun sayang, takdir berkata lain, Tuhan memberikan mereka suatu beban bahkan dari mereka masih kecil. Dan malangnya adikku yang mendapatkan beban itu. Kenapa tidak aku saja?.
Ayah dan mama adalah dua manusia yang saling bertolak belakang. mama begitu taat dengan agamanya lain halnya dengan ayah, dia bahkan tidak pernah sholat sekali pun dari kecil. Tapi walau begitu dia selalu menyuruh kami untuk menunaikan kewajiban kami sebagai hamba Tuhan, yaitu taat beribadah 5 waktu.
Ayah sering bilang bahwa dia dari kecil tidak pernah diajarkan orang tuanya shalat, maka inilah hasilnya sekarang. Tapi lain halnya dengan kami. Walau ayah tidak pernah shalat dia selalu memaksa kami untuk beribadah dan berkata untuk tidak mengikuti jejaknya.
Tapi sepertinya adik laki-lakiku tepatnya anak kedua di keluarga ini tidak mau mendengarkan kata ayah. Dia tetap membandel untuk tidak shalat. Sedangkan aku,walau tidak begitu pintar soal agama, aku tetap shalat 5 waktu dan menutup aurat ku, walau hanya seadanya. Karena aku takut nanti ayah dan ibu marah.
Bisa di bilang akulah satu-satunya anak yang tidak pernah di marahi oleh ayah dan ibuku. Aku selalu ingin patuh dengan mereka. Aku tidak ingin membuat mereka bersedih hanya karena aku tidak menuruti kata mereka. Lain halnya dengan kedua adikku itu. Mereka lebih sering membangkang jika apa yang di perintahkan orang tua tak sesuai keinginan mereka.
Seperti saat ini, baru saja aku duduk tepat di samping ibu, Rudi adik laki-laki ku dengan cepat menolak apa yang di sampaikan ayah padanya.
"Aku gak mau yah, apalagi sekarangkan aku udah kelas 3 SMP, masa iya harus pindah sekolah? Kan tanggung?" jelas penolakan Rudi.
"Oke, kalau gitu gimana sama kamu dek?" Sekarang ayah balik menatap Rani. Rani yang di tanya hanya menggelengkan kepala sambil menyantap godok pisang yang di hidangkan ibu tadi.
"Huh...," mama menghela nafasnya. "Kalau gitu kakak aja ya?" mama menyentuh pahaku dan tersenyum.
"Apanya? Kenapa kakak? Dan apa yang dari tadi di bicarain?" Sumpah aku bingung banget. Baru datang terus tiba-tiba ibu nyuruh aku untuk hal yang aku gak tau untuk apa. Harusnya mereka jelasin dulukan ke aku sebelum tiba-tiba jadikan aku salah satu kandidat dalam perdebatan ini.
"Gini loh sa, nenek kamu di kampung udah sakit-sakitan, dia dibawa ke kota juga gak mau, katanya dia sayang ninggalin rumahnya di desa. Jadi ayah sama ibu sepakat buat ngirim salah satu dari kalian bertiga buat jagain nenek di kampung," ayah menjelaskan duduk masalahnya sekarang.
"Terus kenapa harus Risa bu?" Tanyaku dengan nada protes. Bukannya gak mau rawat nenek di kampung. Cuman masalahnya dari aku lahir sampai sekarang usiaku 19 tahun aku gak pernah jauh dari orang tua. Aku merasa takut jika harus tiba-tiba jauh dari mereka. Iya walau aku anak tertua, tapi pada kenyataanya aku adalah anak paling di manja dan di jaga banget oleh orang tuaku.
Bukan hanya dimana aku sekolah tapi siapa yang menjadi temanku harus masuk seleksi orang tua. Jadi kalau jumlah teman mungkin bisa di hitung pakai jari. Itulah akibatnya aku lebih senang menyendiri karena pada dasarnya aku memang tidak punya pergaulan yang luas.
"Rudi sudah kelas 3 smp, tidak mungkin dia pindah sekolah, sedangkan Rani dia masih kelas 5 Sd, dia masih kecil, mana bisa mengasuh nenek di kampung. Jadi pilihannya tinggal kamu sa, kamukan juga udah tamat sekolah dan lagian kamu udah besar,pasti bisa ngurusin nenek dan jaga rumahkan? Ngalah sama adek ya..?" Kata mama sambil mengusap pundakku.
"Oke deh... Terus kapan Risa harus berangkat?"
"Besok," jawab ayah singkat padat dan jelas.
Aku mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum. Aku benar-benar tak ingin mereka kecewa. Setelah godok pisang habis di atas meja aku pun pergi ke kamar, mengemasi barang yang perlu aku bawa selama tinggal di rumah nenek.
Entah berapa lama aku di sana. Setahun? 5 tahun? Atau bahkan berpuluh tahun. Aku tak tau, dan juga tak mood untuk bertanya kepada kedua orang tua ku, mungkin sekaranglah gilirannya seorang Risa mandiri dan jauh dari kedua orang tua.
"Semangat Risa.... Kamu gak boleh lembek," kataku berteriak di kamar sambil mengepalkan kedua tangan ku ke atas.
"Kamu ngapa teriak-teriak Risa???" Ups... ternyata suaraku sampai keluar.
"Eh... Gak ada kok ma... ," aku berteriak lagi menjawab pertanyaan Mama.
Saat asik-asik mengemasi barang. Aku teringat sesuatu. " Oh iya... beli indomie ah... Biar nanti di kampung gak perlu nyari-nyari lagi," kataku sembari keluar dari kamar.
"Kak... mau kemana?" tanya Rani, yang sekarang sudah mengganti baju sekolahnya ke baju mode santai.
"Mau ke minimarket dek, ikut?" tanya ku yang di jawab anggukan oleh Rani.
"Ya udah, yuk," aku langsung mengambil kunci honda yang ada di atas meja tv.
"Pulangnya jangan ke malaman kak, ingat besok harus berangkat ke kampung," pesan Mama padaku.
"Sip ma," aku pun melajukan motor menuju minimarket bersama Rani di belakangku.
"Sa, kamu masih ingat rumah nenekkan?" Tanya ibu memastikan.
"Masih bu, pokoknya rumah nenek itu satu-satunya yang gak di cat, dan di belakang rumah nenek kalau gak salah ada dua pohon manggiskan?" Jawabku sambil mengingat-ingat.
"Iya yang itu, nanti ayah gak bisa ngantar kamu sampai ke dalam jadi kamu harus masuk sendiri ke kampung dan cari sendiri ya." Aku hanya mengangguk mendengarkan penuturan ayah.
***
5 jam berlalu, dan sekarang mobil ayah sudah sampai di depan sebuah gang kecil.
"Sa, ayah cuman bisa antar kamu sampai sini. Soalnya mobil ayah gak bisa masuk ke dalam, kamu pergi sendiri ya?, Sampaikan salam ayah buat nenek, oke..?."
"Oke yah, Risa pamit dulu, Assalamualaikum," ku salami tangan ayah, dan bergegas keluar dari mobil.
Setelah koperku di keluarkan oleh ayah, aku melambaikan tangan padanya. Aku tertegun beberapa saat memandangi gang yang ada di depanku. Di samping kiri gang ada banyak pohon coklat yang berjejer dengan rapi, sedangkan disebelah kanannya ada rumah yang kelihatannya paling besar dari rumah yang lainnya.
Tapi entah kenapa rumah itu terlihat cukup menakutkan. Dengan di halamannya begitu banyak rumput-rumput liar tumbuh dengan subur, Bahkan jendela yang ada di samping rumah itu sudah hampir tertutup oleh rumput ilalang. Benar-benar tidak terurus.
"Belum juga masuk, tapi auranya udah gak enak, huuh... kalau ada hantunya gimana... ooh... tidak... tidak... berpikir positif Risa pikir positif, zaman sekarang mana ada hantu." Aku menarik nafas perlahan-lahan dan menghembuskannya lewat mulut ku.
"Oke... aku gak pengecut... mendingan sekarang cari rumah nenek dulu." Baru juga mau masuk ke gang, tiba-tiba adzan sudah berkumandang, menunjukkan sudah masuk waktu magrib. Ah.. sepertinya aku kelamaan berfikir.
***
Sudah hampir setengah jam aku berjalan sambil menarik koper yang berat ini,tapi kok rumah nenek gak kelihatan juga. Hampir putus asa tiba-tiba di ujung jalan aku menemukan persimpangan.
"Kok ada persimpangan disini? Perasaan kata ibu dari gang tadi sampai ke rumah nenek itu lurus aja, gak ada persimpangan, apa rumah nenek udah lewat ya?" Aku terpaku di antara kedua simpang itu, mau balik ke belakang bingung, mau milih antara dua simpang ini juga bingung.
Sekilas ku lihat layar hpku, ternyata sekarang sudah jam 7 malam. Malah dari tadi gak ada rumah warga satu pun di gang ini, yang ada cuman rumah besar di ujung gang tadi. Apa jangan-jangan ayah salah gang ya?.
Di tambah lagi tenggorokan ku sudah sangat kering. Dari sini aku mendengar suara air, kayaknya sungai, tapi malam-malam gini yakin mau cari sungai? Di tengah hutan kayak gini? Ah... mendingan aku nahan haus dari pada harus mencari sungai nanti malah tambah ke sasar.
Mau nelpon tapi sinyal hilang, padahal kata nenek sinyal di kampung kuat, baterai hp mau habis lagi. Ingin rasanya mengupat tapi takut dosa.
"AKHHH... Gimana dong? Gak ada orang sama sekali lagi di sini. Perasaan dulu waktu pulang kampung warganya ramai. Apa aku ke sasar di hutan ya? Huaaa... Ibu.. Mau pulang," badan ku bergemetar ketakutan, di sini sangat gelap dan dingin, aku benar-benar ketakutan. Siapa pun tolong aku!!.
"Risa....," tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku, seperti suara nenek-nenek.
"Riisaaa...," suara itu semakin terdengar jelas, tanpa menunggu lama aku pun mulai mencari dimana asal suara itu.
Tidak berapa lama aku melihat sebuah rumah tua yang terlihat cukup familiar, dan di depan pintunya aku melihat seseorang tengah duduk di sana dengan di terangi lampu teras yang remang-remang.
"Itu kamu Risa?" Orang yang ku lihat itu langsung berdiri dari tempat duduknya dan tersenyum padaku.
Dia tau namaku? Apa itu nenek? Aku pun mendekat ke rumah itu dan berusaha melihat wajah orang yang baru saja memanggilku.
Aku tersenyum dan memekik kegirangan "Nenek...!! Yey... akhirnya sampai di rumah nenek."
Nenek merangkulku dan mencium pipiku lalu mengusap kepala ku dengan lembut " kamu sudah besar Sa, ayo masuk , dan segera istirahat, pasti capekkan?."
"Iya nek. Capek banget, Risa masuk ya nek," aku melangkah masuk dengan buru-buru, pengen rasanya cepat-cepat tiduran di atas kasur.
"Sa, kamar kamu di sebelah kiri nomor dua ya," teriak nenek sambil mengunci pintu depan.
Segera aku meluncur ke dalam kamar dan menghempaskan diriku dengan nyaman di atas kasur. Baru juga ingin menutup mata, tiba-tiba sekelebat cahaya lewat di depan jendela kamar itu yang menghadap kebelakang rumah. Walau rasanya sangat capek tapi jiwa kepo membawa ku berdiri dan mengintip lewat jendela, entah cahaya apa itu, aku sangat penasaran!.
Aku lihat sekeliling halaman belakang rumah nenek lewat jendela tapi tidak ada yang aneh.
"Ah mungkin itu perasaan ku saja,"aku pun berencana menutup jendela itu tapi tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Bukankah di belakang rumah nenek ada dua pohon manggis? Tapi kok sekarang gak ada? Apa di tebang ya?" Halaman belakang rumah nenek yang ku lihat sekarang hanya ada satu pohon coklat di sana. Padahal seingatku bukan pohon coklat tapi pohon manggis.
"HOAAAM...," sepertinya kantuk sudah menyuruhku tidur. Aku pun berhenti memikirkan perkara pohon manggis dan coklat itu, dan mulai merebahkan diriku di atas kasur lalu mulai terjun kedunia mimpi. Bahkan aku tak peduli dengan baju yang belum aku bereskan ke dalam lemari. Di tambah lagi aku sama sekali tidak mandi dan mencuci muka. Benar-benar lelah. Sepatu yang ku kenakan masih menyangkut manis di ke dua kakiku.
Tanpa ku sadari di ruang tamu nenek tersenyum penuh kemenangan. Entah apa yang membuatnya tersenyum aneh seperti itu. Siapa pun yang melihat senyumannya pasti akan curiga. "Dia cucuku," Gumam nenek di tengah ruang tamu yang sepi.
****
Sedangkan tidak jauh di luar rumah itu ada yang memperhatikan kamar Risa. Tatapannya sendu, seperti terselip rasa iba di situ. Entah iba kepada siapa?.
"Nenek itu cepat juga mencari mangsa," dia berdeham kecil dan perlahan-lahan menghilang dalam ke gelapan malam. Meninggalkan angin yang meniup sepoi-sepoi. membelai setiap daun- daun pepohonan. Sekali-kali terdengar suara jangkrik saling bersaut- sautan seperti paduan suara yang tengah konser di malam hari, memberikan nyanyian tidur kepada manusia yang ada di dekat mereka.
Sedangkan langit sepertinya tak mendukung ke indahan suara jangkrik-jangkrik itu. Tiada bintang dan bulan yang menghiasi langit malam ini. Hanya langit gelap tanpa warna dan sinar dari ribuan bintang.
"Kretak.... kretak...," jendela ku tiba-tiba terbuka dan berbunyi karena terdorong oleh angin yang menerobos masuk ke dalam kamar ku. Hingga membuatku merapatkan selimut hingga menutup ke atas kepalaku. Malam ini aku tidur dengan nyenyak. Bahkan tak sadar pintu jendela terbuka dan ada yang duduk di bibir jendela. Memperhatikan ku.
"Tok...tok...tok...," suara ketukan pintu itu mengusik tidur ku, sepertinya nenek sudah bangun. Ku lirik jam tangan, ternyata sudah pukul 7 pagi.
"Aku kesiangan!!!" Dengan sigap aku berdiri dan membuka pintu. Terlihat nenek sudah berdiri di depan pintu dengan mengenakan baju yang kemarin, baju kebaya bermotif bunga hijau tua dan sarung batik warna coklat.
"Baru bangun Sa?" Nenek tersenyum sembari mengusap kepalaku.
"Iya nek, tidur Risa nyenyak banget sampai gak sadar tidurnya kelamaan, hehehe," aku menyengir sambil mengusap kepalaku malu-malu.
"Ya udah kamu buruan mandi, dan sudah itu langsung makan."
"Oke... nek."
Koper yang tergeletak sembarangan di lantai itu segera ku buka dan mengeluarkan semua bajuku, entah dimana handuk itu ku letakkan. Setelah semua baju berserakan di lantai, baru handuknya nongol. Aku pun bergegas menuju kamar mandi yang ada di samping dapur.
***
Setelah selesai berpakaian aku mencari nenek ke teras depan. Terlihat dia sedang termenung sambil memegang segelas teh hangat yang masih mengeluarkan asap. Cuaca di kampung cukup dingin, bahkan sudah jam tujuh pagi panas matahari belum juga menyentuh daerah ini, aku perhatikan di sekeliling rumah nenek masih di tutupi embun.
"Bisa bantu nenek Sa?" Aku terperanjat kaget, nenek menyadarkanku dari lamunan.
"Bisa nek, apa yang mau di bantuin?" Aku berjalan menghampiri nenek yang masih terus menatap ke depan, tanpa menoleh kepadaku sedikit pun.
"Di samping rumah ada sapu lidi, tolong sapukan halaman nenek, sudah banyak daun kering berserakan di halaman," aku mengangguk mengerti, dan mencari keberadaan sapu itu.
Aku mulai menyapu dari halaman belakang, tempat dimana aku melihat pohon coklat itu. Tapi untuk pertama kalinya aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Pohon coklat itu menghilang. Tidak ada pohon manggis mau pun pohon coklat, di sana hanya ada semak-semak dan bunga liar yang tumbuh dengan subur.
'Dag..dig...dug' jantungku berpacu dengan cepat, aku yakin kemarin malam aku tak salah lihat. Tapi kenapa sekarang pohon itu lenyap tanpa jejak. Jika di tebang pasti ada bekasnya. Dan dua pohon manggis itu dimana?.
Aku berjalan masuk ke dalam semak-semak itu mencoba mencari apakah ada jejak dari pohon manggis yang di tebang. Tapi semuanya nihil. Tiba-tiba bulu ku merinding. Tidak mungkin ada pohon yang menghilang begitu saja dalam waktu semalam bukan? Ada apa ini?.
"Lebih baik aku tanyain sama nenek". Sambil memegang sapu lidi dengan kedua tanganku, aku membalikkan badan menuju rumah, tapi baru saja aku mulai melangkah,tiba-tiba kaki kiriku seperti di pegang.
Aku kaget, mata ku membulat. Dengan memberanikan diri aku melihat kebawah, tapi nihil, tidak ada apa-apa di kaki ku.
"Haaah..., mungkin firasat ku aja," aku bernafas lega, dan cepat pergi dari tempat itu. Tapi tiba-tiba....
'BRUKKK....," tubuhku tersungkur ke tanah. Saat itu kakiku seperti di tarik seseorang. Kali ini aku yakin ini bukan firasatku saja. Di sini ada orang lain.
"Hahahaha....".
"Hahahaha....".
Aku kaget bukan main, itu seperti tawanya anak kecil. Aku merangkak dan berlari ke dalam rumah.
"Risaa...," baru juga mau membuka pintu belakang nenek memanggilku. Dan sepertinya suara nenek berasal dari belakang.
'Apa itu nenek? gimana kalau tidak,' batinku.
Tanganku masih dengan kuat memegang kenop pintu. Aku sangat takut untuk melihat kebelakang. Sedangkan derap langkah yang ada di belakangku semakin mendekat.
"Ya Tuhan..... Aku harus bagaimana," kaki ku menggigil dengan kuat, keringat mungkin sudah membasahi bajuku saat ini.
"Saaa... Risaaa....," suara itu semakin dekat dan TAP.... Bahuku disentuh seseorang.
"Nek i..i..itu ne..nekkan?" Bodoh aku malah bertanya!.
Tapi bukannya menjawab pertanyaanku, jari yang menyentuh bahuku itu tiba-tiba mencengkram dengan kuat..... sangaaat kuat. Sekarang aku yakin yang di belakang ku bukan nenek. Dengan cepat aku dorong pintu itu, tapi sial!! Pintu itu terkunci dari dalam. Keringat dingin mulai bercucuran di keningku. Dan malangnya tangan itu juga tak beranjak dari bahuku.
'Ya ampuunn.. ini siapa? Bukan hantukan? Gak mungkin ada hantu sepagi ini... iyaaa pasti bukan hantu!!!, Mungkin salah satu warga sini, tapi gimana kalau hantu, masa iya harus pura-pura pingsan biar hantunya gak ganggu?' Batinku terus saja bertengkar.
Okee... aku pejamkan mataku dan komat kamit gak jelas lalu dengan sok beraninya aku membalikkan badan melihat orang yang ada di belakangku.
'1..2...3...', Aku berputar dan dengan perlahan-lahan aku membuka mata. "Eh... kamu siapa?" Ternyata hanya seorang anak perempuan yang kira-kira seumuran Rudi.
"Aku Sherly kak...," jawabnya dengan wajah datar itu.
"Ee... Sherly ada yang mau di bicarain sama kakak," tanyaku sambil mengingat dari tadi dia memegang bahuku. Yah mungkin usiaku memang sudah 19 tahun tapi tinggiku cuman 149 cm. Jadi wajar dia bisa memegang bahuku walau dia jauh lebih kecil.
"ini tadi terjatuh," dia menyodorkan sebuah kalung yang liontinnya sebuah burung dengan matanya berwarna merah. 'Cantik'.
"Tapi kenapa kasihnya ke aku?" Tanyaku yang masih sibuk memperhatikan kalung yang sekarang ada di tanganku.
"Karena aku nemuinnya di halaman rumah ini," lagi-lagi dengan nada yang datar. "Oh gitu...," kata ku sambil kembali melihat wajahnya.
"AAA..... NENEK....," aku lari dengan cepat menuju teras depan dan menggedor pintu dengan tak sabaran. Nenek yang berada di dalam membuka kunci pintu. Entah kenapa pakai acara di kunci padahal cucunya lagi di luar nyapu.
"Kamu kenapa Sa," tanya nenek. "Nek taa... dii ada hantu," jawabku sambil menceritakan semua yang terjadi tadi dan juga bagaimana rupa hantu itu.
Anak perempuan yang memberikan kalung padaku itu, tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sangat menyeramkan dan menjijikkan. Mata sebelah kanannya tidak memiliki bola mata dan darah mengucur deras dari lubang matanya itu, sedangkan mulutnya terlihat terkoyak lebar bahkan mukanya hancur seperti diiris iris. Rambutnya yang hanya seleher dan tanpa poni membuat wajahnya terlihat sangat jelas.
"Kau hanya beralusinasi Risa," jawab nenek dengan tenang.
'Berhalusinasi katanya? Jelas-jelas yang ku lihat itu nyata, bahkan dia menyentuh bahuku. Aku yakin sekali dengan apa yang kulihat.' Batinku.
Melihat aku yang hanya diam dengan muka pucat, nenek menyuruhku masuk dan minum air. Lalu dia pergi kembali ke kamarnya. Tinggal aku sendiri di ruang depan. Nenek sama sekali tidak khawatir melihatku yang sudah ketakutan setengah mati apa?.
***
Di dapur aku mengambil air yang ada di dalam cerek lalu menuangkannya kedalam gelas. Dalam sekejap air di dalam gelas sudah meluncur ke kerongkonganku, tapi sepertinya segelas saja belum cukup, aku tuangkan lagi air yang ada di cerek ke dalam gelas. Tapi yang ke luar bukan hanya air, tapi air dengan belatung yang sangat banyak.
"UEEKK...," gelas yang ada di tangan ku langsung terjatuh menyentuh lantai dan hancur berserakan.
Nenek yang ada di kamar langsung keluar mendengar kegaduhan yang ku buat di dapur.
"Ada apa lagi Risa?" Kali ini mukanya terlihat kesal. Mungkin terganggu dengan kebisingan yang sudah ku perbuat dari tadi. "Itu ada belatung di dalam airnya," kataku sambil menunjuk nunjuk ke arah gelas yang hancur itu.
Nenek memperhatikan dan dia menggerutu kesal. "Gak ada belatung Risaa... kamu ini kenapa? Tadi katanya ada hantu sekarang ada belatung di air. Lihat tidak ada apa-apa di dalam air," jawab nenek sambil membuka botol cerek.
Aku tertegun tidak percaya. Apa aku yang salah lihat atau nenek yang tidak lihat? Padahal jelas-jelas di dalam cerek itu ada sekali banyak belatung. Perutku tiba-tiba kembali mual. Ah sial... Dengan cepat aku menuju kamar mandi dan muntah di sana.
'Belatung itu masih ada, tapi kenapa nenek tidak melihatnya?, Oh perutku... mual banget... itu benar-benar menjijikkan," batinku.
"TOK ... TOK....," pintu kamar mandi di ketuk.
"kau baik-baik saja Sa, Nenek sudah letakkan obat di kamar mu, mungkin kamu kecapek an, jadinya sering berhalusinasi, nanti segera istirahat saja. nyapu halamannya besok saja," kata nenek dari luar kamar mandi.
Cucunya lagi kayak gini dia masih mikirin nyapu halaman? HAh.... Menyebalkan!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!