"Hai kak... jangan lupa gyutan don untuk aku. Kamu terlalu bersemangat ketika menceritakan betapa juicy nya lidah sapi itu"
Sebuah pesan singkat yang tidak begitu singkat. Aku mengirimkannya pada kakakku, Lissa dan berharap segera dibalas. Dia sedang menempuh pendidikan di Jepang sejak dua tahun lalu. Rencananya beberapa hari lagi ia akan pulang untuk membantu memulihkan perusahaan papa yang sedang bangkrut.
"Kita lihat saja nanti"
Pesan balasan dari Lissa terlalu singkat untuk menjelaskan kesanggupannya. Tapi sudahlah, aku harus memaklumi itu. Mungkin dia sedang sibuk.
Aku sendiri terlalu terobsesi untuk makan gyutan don dari negara asalnya. Jika kalian belum tahu, gyutan don adalah makanan yang berasal dari Jepang. Bahan utamanya yaitu lidah sapi yang disajikan dengan donburi.
Sebagai salah satu anak orang berada, aku sebenarnya pernah makan gyutan don di Jakarta. Beberapa restoran rekomendasi Lissa sudah aku coba untuk berburu gyutan don.
Entah ekspektasi ku terlalu tinggi atau memang seperti itu rasa gyutan don. Aku tidak pernah puas meskipun lidah sapi yang aku makan merupakan rekomendasi Anne, seorang food vlogger yang sedang hits. Sehingga aku meminta pada Lissa untuk membawakan gyutan don dari negara asalnya, Jepang. Bagaimanapun caranya, terserah dia.
"Sorry Leany, ternyata kepulangan ku harus dipercepat. Sepertinya tidak sempat mencari food fozen untuk dibawa pulang"
Aku melemparkan ponselku sekenanya di atas kasur setelah membaca pesan dari Lissa. Kakak yang tidak bertanggung jawab! Bagaimana bisa dia membiarkan adiknya menahan keinginan untuk makan makanan yang paling diinginkan. Sedangkan ia sudah berkali-kali membuatku menelan ludah dalam-dalam saat menceritakan betapa enaknya gyutan don di negara asalnya.
"Jangan marah, aku menyayangimu"
Pesan lanjutan dari Lissa membuatku berdecih. Mungkin dia sadar aku kecewa ketika mengetahui aku hanya membaca pesannya. Biarlah... bukankah itu wajar? Lihat, katanya dia menyayangiku. Tapi untuk gyutan don saja dia tidak menyempatkan waktu.
"Kamu kenapa cemberut begitu, sayang?" kata mama yang tidak aku ketahui kapan datangnya.
"Lissa beralasan. Dia tidak mau membawakan gyutan don asli Jepang. Padahal aku yakin di dekat tempat tinggalnya pasti banyak yang menawarkan food fozen"
Aku memainkan ponsel di tanganku. Sedikit melirik mama, dia terlihat memainkan bola matanya. Entahlah, mungkin sedang memikirkan sesuatu untuk meredakan amarahku.
"Dengar, perusahaan yang bangkrut juga berimbas pada finansial Lissa. Papa dan mama tidak memberinya uang bulanan sejak dua bulan yang lalu. Dia hidup dan pulang besok menggunakan uang tabungannya"
Mama duduk mendekatiku. Ia berusaha mengusap kepalaku dan segera aku tepis. Selalu begini! Dari aku kecil tidak ada yang berubah. Lissa yang pintar dianggap sangat berharga sehingga papa dan mama sering mengabaikanku. Mereka selalu membela Lissa dalam situasi tertentu.
"Aku mau tidur. Lebih baik mama sekarang kembali ke kamar saja" kataku.
Tentu saja itu hanya alasan yang sengaja aku buat agar tidak ada pembelaan berlanjut untuk Lissa. Untungnya mama tahu diri. Mungkin ia berpikiran aku akan segera terlelap setelah melihatku menguap. Padahal aku hanya pura-pura saja.
Mama benar-benar keluar kamar setelah aku menguap untuk kedua kalinya. Dan lagi-lagi hanya pura-pura. Cih, haruskah aku menjadi anak yang penuh kepura-puraan?
☠☠☠
"Hai, adik manis. Rupanya kamu baru bangun"
Suara yang sangat ku kenal, Lissa.
Aku hanya tersenyum masam dan segera berlalu ke kamar mandi tanpa menggubrisnya. Sepagi ini dia sudah ada di rumah menghancurkan mood ku saja. Padahal aku masih kesal sejak dua hari yang lalu.
"Setidaknya berikan kakakmu sebuah senyuman untuk pagi yang cerah" kata papa saat aku baru keluar dari kamar mandi.
Sudah sangat jelas semua orang akan membela Lissa jika aku sedang marah padanya. Lissa dengan muka sok polosnya tersenyum ramah. Ia mendekatiku dan mengulurkan tangannya.
"Mungkin kamu lupa dengan kakakmu ini"
Akhirnya aku mengalah. Tidak ku sambut uluran tangan Lissa, tapi aku langsung memeluknya.
"Aku tahu kamu kecewa soal gyutan don. Maafkan aku" bisik Lissa saat kami berpelukan.
Dalam pelukanku, tubuh Lissa terasa lebih kurus dari sebelumnya. Tulangnya mencuat di kedua sisi punggungnya. Aku merabanya pelan, tidak berdaging sama sekali. Saat ku tatap matanya, cekungan terlihat jelas dengan bulatan hitam yang mungkin sisa begadang.
"Aku yang minta maaf, Lissa" kata ku sambil melepaskan pelukan.
Lissa hanya tersenyum. Adegan pertemuan kami harus terhenti karena papa yang sudah kelaparan sejak tadi. Ia ingin segera makan bersama dengan formasi keluarga yang sedang lengkap.
☠☠☠
Sudah sepuluh hari Lissa berada di rumah. Suasana di rumah terasa baik-baik saja. Kecuali jika aku sedang berniat mengurung diri di kamar.
"Masak apa ma?" tanya ku saat baru pulang dari kampus.
Mama hanya tersenyum dan menunjuk meja makan. Matanya terlihat sembab seperti habis menangi berjam-jam. Tapi itu sudah wajar bagiku. Kemarin malam juga aku melihatnya menangis. Perut laparku sudah tidak bisa dikompromikan lagi. Beberapa hari ini sepulang dari kampus tidak ada acara makan di luar untukku. Tentu saja aku harus ikut berhemat karena perusahaan papa belum juga pulih.
"Wow... **Delicious! Lidah sapinya sangat enak, ma. Lissa harus makan ini karena telah memberi harapan palsu tentang gyutan don!" seruku ketika merasakan lidah sapi yang tidak seperti biasanya.
Entah mama atau Lissa yang masak, ini sangat enak. Tapi sayangnya lidah sapi yang tersaji hanya ada tiga slice saja.
"Terimakasih untuk makan siang yang luar biasa, ma. Ini lidah paling enak yang aku makan!"
Mama hanya tersenyum tipis mendengar penuturan yang aku sampaikan sambil memeluknya. Kali ini aku sangat berterimakasih karena dalam keadaan sedang berhemat uang mama masih sempat masak enak untukku.
"Aku ke kamar dulu. Satu jam lagi harus kembali ke kampus untuk pertemuan organisasi"
Tanpa menunggu jawaban dari mama, aku segera berlari menuju kamar. Rasa lidah sapi yang aku makan tadi masih lekat di lidahku. Kapan-kapan mama harus masak lagi seperti tadi.
Tepat sebelum membuka pintu kamar, aku melihat Lissa menuju ruang makan. Ia terlihat tergesa-gesa ketika melihatku menatapnya. Aneh, tidak biasanya dia seperti itu. Tapi langkah cepatnya terhenti oleh tubuhku yang sudah ada di depannya.
"Mama masak lidah sapi yang sangat enak. Hanya ada tiga slice dan aku sisakan satu untukmu" kataku sambil mengedipkan sebelah mata.
Lissa hanya tersenyum tanpa menanggapi perkataanku. Harusnya dia berterimakasih karena sang adik mengingatnya. Menyisakan makanan enak yang begitu menggoda untuknya.
"Jangan hanya membisu. Harusnya kamu berterima kasih padaku" kataku sambil memutar kedua bola mataku.
Lissa malah berlalu. Dia meninggalkan aku yang masih berdiri mematung tak mengerti.
Aneh, kenapa mama dan Lissa hanya tersenyum saat ku ajak merek berbicara. Tapi sudahlah, aku harus segera bersiap-siap.
Saat aku membuka kamar, betapa terkejutnya ketika melihat kasurku. Sebuah boneka beruang yang tingginya sama denganku duduk manis di atas kasur. Di depannya sebuah bouqet mawar merah dan sepucuk surat.
Aku segera membuka surat itu karena tidak sabar untuk mengetahui siapa yang menaruh semua ini di kamarku. Mungkin Abraham mengirimkannya tadi saat aku kuliah, entahlah.
*Dear my beloved sister
Leany, aku benar-benar menyayangimu
Sungguh!
Hingga aku harus menyajikan gyutan don lidahku sendiri untukmu...
Lissa Andreas*
Saat itu juga otakku berhenti berpikir dan kesadaranku berhenti bekerja. Keterkejutan ku membawa ketidaksadaran merasuki tubuhku. Aku tidak sadarkan diri...
"Jane, matamu sangat indah. I think everyone can't, mmm... menatap your beauty eyes terlalu lama"
Suara Vick dengan logat ke-inggrisannya memaksa Jane menoleh ke bangku belakang. Vick tersenyum lalu menunduk. Memang benar apa yang dikatakan Vick. Mata Jane sangat indah dan tajam. Warna coklat kehitamannya menyala, seolah siap menerkam siapa saja.
"Sorry, aku nggak bermaksud apapun. I just want, mmm you know that! Tapi kamu tau hal itu kan?" Suara Vick terdengar sedikit berat karena gerogi.
"Yes, I know! Dan kamu adalah orang yang entah ke berapa kalinya mengatakan hal itu padaku. So, biasa aja kali... Aku juga nggak bakal marah kok"
Jane tersenyum, menandakan tidak memiliki niat apapun. Ia sudah terbiasa mendapatkan pujian-pujian semacam itu. I like your beauty eyes! Mata kamu tajam banget! Mungkin kamu bisa mencekik orang hanya dengan menatapnya! Aku menginginkan matamu! Bahkan elang akan takut menerkam kalau kamu memperhatikan dia waktu menukik! Masih banyak lagi pujian yang terkadang dilontarkan oleh orang-orang di sekitarnya. Bahkan pujian itu kadang terdengar terlalu berlebih-lebihan.
"Oh, thank you. But, I want to know... Adakah orang yang bisa mengalahkan kamu dalam permainan tatap mata?" Vick masih saja menunduk.
"Mmm... sejauh ini aku belum pernah melakukan permainan itu. Jadi, I don't know! Aku nggak tau siapa yang bakal bisa mengalahkan tatapan mataku"
"Bagaimana kalau aku mengadakan sayembara untuk itu? Siapa saja yang bisa mengalahkan tatapan you, I will follow everything. Apapun permintaannya" Vick bernafas lega.
Sebenarnya Vick sudah lama menginginkan hal itu. Jane adalah teman sekelas yang ia cintai. Tapi tatapan matanya selalu membuat Vick merasa kalah sebelum mengungkapkan perasaan apapun kepada Jane. Ya, perasaan yang ia pendam selama dua tahun harus ia simpan dalam-dalam.
"Oh, boleh... Tapi apakah tidak berlebihan? Sayembara biasanya diadakan untuk hal-hal yang hebat, Vick"
"Tapi aku yakin banyak yang ikut. I have money..." Vick berhenti sejenak, memainkan ibu jari dan jari tengahnya. "Aku yakin mereka akan mengincar sayembara ini karena butuh uang dan aku akan memberikannya"
Jane terlihat manggut-manggut tanda mengerti. Tapi perasaannya sedikit tidak enak. Entah bagaimana Vick mendapatkan ide sayembara terkonyol yang akan ada dunia ini.
"Bagaimana? Are you want? Itu akan menjadi hal yang seru di sekolah kita. Karena aku yakin, orang yang menang sayembara ini adalah orang yang kamu cintai"
Jane terkejut. Perkataan Vick membuatnya sedikit terlonjak hingga memicingkan matanya. Ia tatap Vick dalam-dalam dan berhasil membuatnya menunduk lagi.
"What? Berarti kamu hanya ingin tau siapa yang aku cintai di sekolah ini? Untuk apa? I don't know... Tapi aku pikir itu bukan hal yang bagus. Aku tidak jadi setuju"
Vick mendongak, bibirnya membentuk huruf "O" karena terkejut. Bukankah tadi Jane sudah setuju dengan idenya? Kenapa dia berubah pikiran secepat itu?
"Usually... Orang akan segera menunduk di depan orang yang dicintai. Apalagi jika ditatap matanya. Ia akan segera menunduk. But, itu tidak berlaku pada setiap orang. So, please Jane! I want to know that... Siapa yang kamu-"
"Shit! Kalau kamu mau mau tau siapa yang aku cintai, kenapa nggak nanya langsung? Atau kamu mencintaiku? Dari tadi kamu terlihat menunduk melulu! Come on, Vick. We are a best friend! Kita udah sahabatan sejak masuk sekolah ini. Tapi kenapa kamu masih sangat konyol seperti murid baru"
"Sorry, I want to know your love. But, mmm... harus dari permainan itu. Kalau kamu menganggap aku sebagai best friend, harusnya kamu mau dong. Please, Jane"
Jane tidak tahu lagi harus bagaimana dan apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Vick. Matanya menelisik setiap sentimeter wajah Vick yang masih saja menunduk. Jane menatapnya seolah-olah sedang memperhatikan sesuatu dengan sangat jeli. Mungkin seekor kutu rambut juga akan menunduk jika melihat tatapan Jane saat ini.
"Oke, kapan kita akan melakukannya?" kata Jane.
"Aku akan mengumumkannya di story WhatsApp ku nanti"
Jane tidak membalas perkataan Vick. Ia membawa tasnya dan segera keluar karena sopir yang menjemputnya sudah menunggu. Beberapa sapaan orang tidak ia hiraukan karena pikirannya masih melayang pada percakapan dengan Vick tadi.
☠☠☠
"Oke, I will start this competition! Jane, are you ready?" Vick mengedipkan matanya sebelah.
Kali ini jantung Jane berdegup kencang. Vick yang biasanya menunduk, kali ini berani mengedipkan sebelah mata padanya. Selain itu, bagaimana kalau orang yang ia cintai selama ini ikut? Atau apa yang terjadi jika ia kalah?
"Jane, are you ready?" Vick mengulang pertanyaannya.
"Oke, aku udah siap. Berapa orang yang akan mencoba mengalahkan tatapan mataku?"
"Lima belas orang! Mereka semua laki-laki" Vick mendekat ke arah telinga Jane dan membisikkan sesuatu "I think, mereka adalah orang-orang yang mencintaimu dan ingin mengetahui perasaan kamu pada mereka"
"Stres kamu!" umpat Jane
Vick terkekeh. Entah bagaimana mulanya. Tapi sejak beberapa bulan yang lalu ia percaya akan satu hal. Orang yang tidak kuat menatap berarti mencintai.
"Eh, kamu ikut nggak Vick?" tanya Rebecca yang ditunjuk Vick sebagai juri.
"Are you serious? Aku yang mengadakan! Jelas aja nggak ikut. Hanya takut menang, aku akan membuat Jane menuruti semua permintaanku"
Tanpa orang-orang sadari, ada seseorang yang merasa lega mendengar penuturan Vick. Jane menghembuskan nafasnya. Kali ini dia pasti akan menang dari semua peserta dan tidak akan pernah memenuhi semua permintaan Vick.
Setiap peserta tatap mata dengan Jane maju satu per satu. Rata-rata mereka hanya kuat selama setengah menit. Semua bisa Jane kalahkan.
"Bagaimana bisa mereka tidak kuat menatap your eyes? And you, apakah tidak ada satupun yang kamu cintai?" Vick membuka pembicaraan saat di ruang OSIS hanya tersisa dirinya, Jane, dan Rebecca.
"I don't know... Santai aja lah. Bukan berarti mereka mencintaiku, Vick. Tapi-"
"Mata kamu yang terlalu tajam" Rebecca memotong kalimat Jane sambil melemparkan sebuah lukisan seorang wanita.
"What do you think?"
"Mungkin Jane hanya akan kalah dengan tatapan mata lukisan" kata Rebecca sambil mengangkat kedua bahunya.
"Shi**t!Tapi aku akan mencobanya"
Jane meletakkan lukisan wanita pada sebuah meja. Lalu ia mencari sebuah kursi. Konyol memang, jelas saja ia akan kalah dengan lukisan. Karena lukisan adalah benda mati, jadi tidak mungkin berkedip.
Semenit, dua menit... Jane belum juga berkedip menatap mata wanita dalam lukisan. Vick dan Rebecca memperhatikan Jane dan lukisan itu bergantian. Mereka juga tidak sempat bingung kenapa Jane mau saja melakukan ide Rebecca yang konyol.
"Kalau kamu bisa tahan lima menit, aku traktir kamu seminggu di kantin!" seru Rebecca.
"I will, mmm... Membelikan kamu jam Rolex seperti koleksi Daddy" kata Vick.
Mereka kembali fokus pada Jane dan lukisan wanita. Tik... Tik... Tik... suara jarum jam di ruang OSIS terdengar sangat jelas karena sekolah sudah sepi. Tepat lima menit, ada mata yang berkedip tanda permainan usai. Jane berdiri sambil mengangkat tangannya yang terkepal.
"Aku menang!" seru Jane.
Vick dan Rebecca memeluk Jane. Mereka bahagia karena pada akhirnya Jane yang menang. Ya, meskipun Vick dan Rebecca harus memenuhi janjinya.
Sorak sorai mereka tiba-tiba terhenti. Jane mendekati lukisan wanita yang terjatuh entah karena apa.
"Kenapa aku yang menang? Padahal lukisan adalah benda mati. Berarti..." kalimat Jane terhenti, jantungnya berdegup sangat kencang.
"Shit, lukisan itu berhantu!" seru Vick
"Oh, come on! Mungkin tadi kita salah lihat. Bagaimana kalau diulang aja? Biar kita yakin apakah lukisan itu berkedip atau tidak?"
Usulan Rebecca disetujui oleh Jane dan Vick.
Jane duduk pada kursi semula. Ia menatap lukisan wanita di depannya dalam-dalam.
Slappp..! Lagi-lagi lukisan wanita itu berkedip bersamaan dengan lampu ruang OSIS yang padam. Semua orang terkejut. Rebecca mencari-cari kacamatanya yang terjatuh.
"Kita harus segera keluar dari sini!" seru Jane.
"Wait, kacamata ku kemana? Help me please..."
Rebecca yang matanya minus lima tentu tidak bisa melihat tanpa kacamata. Ia bahkan tidak tahu kalau Jane dan Vick sudah keluar dari ruang OSIS. Ia sendirian di ruang itu!
Tap... tap... tap... terdengar sebuah langkah kaki mendekati Rebecca. Tapi Rebecca masih sibuk mencari kacamatanya.
"Kenapa suara sepatu kets milik kamu seperti suara sepatu higheels?" tanya Rebecca yang mengira suara sepatu itu milik Jane.
Tidak ada jawaban, Rebecca mulai curiga. Tapi untungnya ia menemukan kacamatanya di bawah sebuah kursi. "Untunglah...."
Saat Rebecca membuka matanya, betapa terkejutnya ia melihat seorang wanita mirip yang ada di lukisan sudah berdiri tepat di depannya. Ia memutar matanya, melihat sekeliling. Jane dan Vick sudah pergi.
"Kamu siapa?" tanya Rebecca dengan suara gemetar.
Tidak ada jawaban, lagi. Wanita di depannya mengayunkan sesuatu di tangannya. Dan akhirnya... "Toloooooooooooong!!!" suara Rebecca mengisi seluruh ruangan. Tapi tidak ada seorangpun yang menolongnya, karena semua orang sudah pulang.
☠☠☠
Keesokan harinya, sekolah dihebohkan oleh pemandangan yang sangat menyayat. Pak Bon menemukan mayat Rebecca tanpa mata yang tergantung di depan kelasnya. Semua orang mengerubungi mayat Rebecca.
Jane dan Vick mendekat ke arah temannya itu. Di mata mereka, baju OSIS Rebecca terdapat tulisan berwarna merah.
"AKU AKAN MEMENANGKAN PERMAINAN TATAP MATA DI TEMPAT LAIN"
Katakanlah aku adalah seorang pecinta makanan. Makanan apapun siap aku lahap jika sudah di depan mata. Apalagi kalau makanan pedas, gurih dengan tekstur yang lembut. Lidahku akan bergoyang mengiringi suara gigi yang bergemelatuk ******* makanan yang masuk mulut.
"Aku pernah makan dimsum yang sangat enak, Vee!" kata Reni, temanku adalah seorang food vlogger yang sedang naik daun akhir-akhir ini.
"Kamu sangat antusias! Kenapa tidak kamu rekomendasikan saja dimsum itu pada followers mu?"
"Tidak akan pernah!" seru Reni sambil mengepalkan tangannya.
Sikapnya membuatku bingung. Seorang food vlogger yang pernah menikmati makanan enak, kenapa tidak memberitahu followers nya? Bukankah orang-orang mengikutinya karena ingin mengetahui makanan paling recommended abad ini?
"Mereka lebih butuh saran makanan dari kamu ketimbang aku. You know lah... Meskipun aku bukan food vlogger, tapi sudah banyak makanan yang aku coba. So-"
"Dengarkan aku dulu, please..." Reni memotong kalimat ku dan menggenggam tanganku erat.
"Oke, kamu mau bilang apa?"
"Aku pernah makan dimsum terenak sepanjang hidupku. Tapi setelahnya aku sangat mual"
"Kenapa begitu?" tanyaku heran.
"Karena bahan yang digunakan untuk dimsum itu!"
"Dimsum ayam, udang, sapi, kambing, unta, kelinci, kod-" aku menghentikan kalimatku ketika melihat Reni melirik sebal. "Sorry"
Hening, kamar Reni yang dingin karena AC terasa semakin dingin. Aku ingin menanyakan tentang dimsum lagi. Tapi mungkin percuma. Aku sudah hapal dengan sikapnya. Sekali badmood tetaplah badmood dan sulit mengembalikan mood nya lagi.
"Mmm... aku pulang saja. Ini sudah jam sembilan malam. Takutnya mama sama papa khawatir" kataku sambil memasukkan beberapa tugas yang sudah kami kerjakan ke dalam tas.
"Pergi kesana kalau kamu ingin tau"
Reni menyerahkan secarik kertas. Aku menerimanya dan langsung memasukkan ke dalam tas.
"Jangan lupa tulisannya dibaca!" seru Reni saat mengantarkan ku sampai pintu.
Sampai di rumah, aku segera mengambil secarik kertas pemberian Reni.
Perum Golden Butterfly No. 301
a.n. Dokter Andreas
Sebuah alamat seorang dokter. Aku mengerutkan dahi karena tidak mengerti. Apakah dimsumnya enak karena dibuat oleh seorang dokter? Apakah bahan dimsum merupakan resep rahasia sang dokter? Atau... ah, entahlah.
☠☠☠
Sudah sebulan sejak Reni memberikan alamat Dokter Andreas. Setiap hari pula ia mengingatkanku untuk menyempatkan diri ke sana.
"Kenapa kamu sangat merekomendasikan itu padaku? Sedangkan kamu sendiri mual setelah memakannya" kataku tak mengerti ketika Reni kembali menyuruhku pergi ke tempat Dokter Andreas.
"You are my best friend! Aku tau kamu pecinta makanan. Dan aku yakin kamu akan menyukai dimsum itu. Coba sekali saja makanannya. Setelah kamu tau bahan yang digunakan, kamu boleh memilih kembali makam atau menyudahinya. Terserah!"
"Kenapa kamu tidak mengatakan saja padaku bahan yang digunakan?"
"Biar kamu penasaran!"
"Oke, aku akan ke sana setelah jam kuliah ini. Lumayan hanya satu jam perjalanan dan kita selesai masih siang"
Reni tersenyum lebar mendengar penuturanku. Dasar anak aneh! Dia yang memaksa aku mencoba, tapi tidak mau mengantar dan memberi tau bahan yang digunakan. Padahal dia sendiri mual setelah mengetahui.
Setelah jam kuliah selesai aku segera melajukan mobilku. Ajakan Randy untuk pergi ke kos nya aku tolak. Pacarku memang begitu. Entah apa yang akan dilakukannya ketika kami berada di kos yang sama.
Setelah melakukan perjalanan sekitar satu jam, aku berhenti pada sebuah komplek perumahan. Mataku mulai menatap jeli tulisan nomor pada setiap rumah.
"Bu, maaf numpang tanya. Rumah Dokter Andreas dimana, ya?" tanyaku ketika melihat segerombolan ibu-ibu.
"Mau kuret, ya dek?" tanya seorang wanita tengah baya berbaju merah.
"Hah, kuret? Emangnya biasa gitu?" tanyaku dengan ekspresi kebingungan tentunya.
Beberapa ibu-ibu mulai bisik-bisik di depanku. Entah apa yang mereka katakan. Mungkin mereka menganggapku sedang hamil dan mendatangi Dokter Andreas untuk kuret. Gila! Randy saja pacar pertamaku. Kami belum melakukan apapun selain bergandengan tangan saat di mobil.
"Maaf, dimana rumah-"
"Kamu lurus saja, nanti kalau ada pertigaan kedua belok kiri. Lurus lagi dan pada perempatan belok kanan. Setelah itu cari saja rumah yang banyak pohon mangga nya" seorang ibu berbaju kuning dengan baik hati menjelaskan jalan menuju rumah Dokter Andreas secara detail sampai aku hapal.
"Terimakasih, Bu. Mari..."
Aku melajukan mobil ku kembali sesuai arahan ibu berbaju kuning tadi. Rumah yang banyak pohon mangga nya. Yah... ketemu! Rumah itu terlihat bersih dan sangat terawat.
Tok... Tok... Tok...
"Permisi..."
Tidak sampai dua menit, pintu sudah terbuka. Seorang ibu-ibu dengan pakaian kebaya berdiri di depanku dengan senyum ramah.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya ibu itu.
"Apakah benar, ini rumah Dokter Andreas?" tanyaku gugup ketika seorang lelaki tampan keluar dari kamar mandi tanpa baju.
"Ya, saya sendiri" kata lelaki yang ternyata adalah Dokter Andreas. "Biarkan dia masuk Mbok"
Gila, dokter muda setampan itu adalah tukang kuret? Apakah tidak ada rumah sakit yang menawarkan pekerjaan untuknya? Padahal wajahnya terlihat smart dan tubuhnya sangat bugar. Benar-benar aneh.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, Dokter Andreas duduk di dekatku. Segelas teh hangat sudah mulai dingin karena belum aku sentuh sama sekali.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Dokter Andreas.
Aku diam beberapa saat. Sebenarnya bukan karena terpukau karena ketampanannya. Tapi bingung bagaimana mengatakan tentang dimsum. Padahal lelaki di depanku jelas-jelas seorang dokter. Meskipun tadi aku mendengar tentang kuret.
"Ada yang bisa saya bantu, nona cantik?" kata Dokter Andreas.
Aku tersentak dari lamunanku. Menyadari bahwa aku belum mengatakan tujuanku ke sini. Tapi bagaimana?
"Mmm... Maaf sebelumnya. Seorang teman merekomendasikan untuk ke sini. Tapi bukan untuk, mmm... kuret! Dimsum! Ya, dimsumnya katanya enak sekali!" kataku gugup.
Dokter Andreas tersenyum. Ia merapatkan duduknya ke arahku. Tanpa aku duga, tangannya mulai memainkan ujung rambutku dan beberapa kali menciumnya.
Jantungku berdegup kencang. Rasa takut dan khawatir mulai menyelimutiku. Perasaanku mulai tidak enak karena sikap Dokter Andreas.
"Jangan khawatir, aku hanya suka bau shampoo milikmu. Rambut kamu wangi" kata Dokter Andreas.
Huft...
Aku mengembuskan nafas lega. Ternyata pikiranku terlalu kotor. Tapi waspada juga perlu, kan?
"Mbok, dimsum satu porsi!" seru Dokter Andreas.
Beberapa saat kemudian ibu berbaju kebaya yang tadi menyambutku keluar dengan sebuah nampan dengan sebuah piring di atasnya. Ia meletakkan piring itu di meja depanku. Rupanya ia menyajikan dimsum. Tampilan luar dimsumnya terlihat biasa saja. Tapi aku akan mencobanya.
Tanpa ba-bi-bu aku mulai mencocol dimsum pada saus sebagai pelengkap. Kata Reni, jangan tanyakan bahan yang digunakan sebelum merasakan dimsumnya. Nanti bakal menyesal jika melanggar pesan Reni.
"Jangan melihat sesuatu dari luarnya"
Kalimat itu sangat tepat digunakan untuk dimsum yang sedang aku nikmati. Kulitnya yang tipis tidak sempurna menutup isiannya terasa gurih dan enak. Sedangkan dalamnya sangat lembut dan empuk dengan cita rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Tekstur dimsum sedikit ada sensasi kriuk-kriuk. Mungkin ada tulang lunak di dalamnya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Dokter Andreas dilengkapi dengan senyum manisnya.
"Aku belum pernah merasakan dimsum seenak ini. Btw, harganya berapa?"
"Terserah kamu mau membayar berapa"
"Lho, kok bisa?"
"Tentunya kamu akan membayar sesuai rasanya, kan?"
"Satu porsi lima ratus ribu, apakah anda rugi?"
Dokter Andreas menggeleng pelan. Ia mengambil sepotong dimsum dan menyuapkan padaku. Aku tidak harus membayar suapan lelaki tampan, kan?
Setelah selesai makan, aku menyempatkan diri untuk berbincang tentang banyak hal dengan Dokter Andreas. Ternyata orangnya humble dan asyik diajak ngobrol apapun. Aku semakin yakin dia orang yang smart.
Setelah memberikan jumlah uang, aku pamit untuk pulang. Dalam hatiku, aku harus kembali ke sini suatu saat nanti. Kalau perlu akan aku ajak keluargaku atau Randy.
"Apa rahasia resep dimsumnya? Kenapa sangat enak?" tanyaku tepat sebelum masuk mobil.
Dokter Andreas tersenyum. Ia tidak segera menjawab pertanyaanku. Jari telunjuknya malah bermain dari dada ku dan berakhir di perut. Sampai di perut ku, ia mengusap pelan sambil beberapa kali mengedipkan sebelah matanya.
"Apa maksud dokter?" tanyaku tak mengerti. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku.
Dokter Andreas mendekatkan bibirnya di telingaku. Sial, parfum nya rupanya sangat mahal. Jantungku berdegup semakin kencang.
"Janin"
Deg! Sungguh? Benarkah? Apakah rahasia dimsum karena dicampur dengan janin? Ah, mana mungkin!
"Hahahaha! Dokter bercandanya nggak lucu, deh!"
Dokter Andreas tersenyum mengerikan. Ia menunjuk wajahnya sendiri dengan jadi telunjuk.
"Apakah wajahku terlihat berbohong?"
Aku membulatkan kedua mataku. Berarti yang dikatakan benar?
"Dan dimsum yang paling enak adalah yang terbuat dari janin hasil hubungan sedarah. Kamu bisa melakukannya denganku sekarang juga!"
Perutku mulai mual. Ketika kaki kananku berhasil masuk mobil, Dokter Andreas menarik tubuhku dan membawaku ke dalam kamarnya. Tubuhku yang kecil tentu tidak bisa melawan kekuatannya.
"Ini adalah waktu yang aku tunggu sejak lama. Aku akan merasakan dimsum paling enak setelah lima tahun. Hahaha"
Dokter Andreas mulai membuka bajunya, masih dengan tertawa terbahak-bahak. Ia mendekati tubuhku yang sudah di atas kasur. Aku diam, tapi degup jantungku terdengar sangat keras.
"Kamu adalah adikku yang dipungut oleh Tante Marie dan Om Juna, papa dan mama kamu yang sekarang. Kehidupanmu selalu lebih baik daripada aku yang tinggal bersama orangtua kandung. Aku iri!"
"Ta-tapi... tidak ada yang pernah mengatakannya padaku. Tolong jangan lakukan apapun. Hiks... hiks... hiks..." tangismu mulai pecah.
"Semua merahasiakannya karena kamu memiliki sebuah penyakit. Penyakitmu membuat semua orang lebih sayang kamu!"
Dokter Andreas menarik keras rambutku. Ia tidak memedulikan aku yang mengaduh kesakitan. Semakin aku menangi, ia semakin menjadi.
Tiba-tiba ia berdiri dan mengambil sebuah foto. Ia tunjukkan foto itu sambil duduk di perutku.
"Lihat ini! Kamu pasti mengenali orang-orang dalam foto ini, kan?"
Aku memperhatikan foto itu baik-baik. Sepasang orangtua dengan seorang lelaki berusia sekitar lima tahun dan gadis kecil yang sangat aku kenali.
"Itu aku! Bagaimana kamu bisa memilikinya?"
"Sudah aku katakan, kita itu sedarah"
"Tapi kenapa kamu melakukan ini semua padaku?"
"Aku terlalu banyak mendapatkan luka dalam hidup dan dendam untukmu. Tujuh tahun lalu aku menemukan resep dimsum terenak dengan janin dari hubungan badan sedarah. Tapi akhir-akhir ini aku tidak pernah menguret orang-orang yang begitu. Jadi aku berniat melakukannya denganmu"
"Tapi kenapa Reni tau soal dimsum milikmu?"
"Dia hanya alat, baby... Tepat lima menit setelah kamu memuaskan nafsuku, dia akan mati karena suruhan ku sudah mengikutinya"
"Gila! Lepaskan aku sekarang juga!"
Aku memukul-mukul dada Andreas yang tepat berada di atasku. Karena tenaganya lebih kuat, dia dengan leluasa mampu mempermainkan tubuhku seenaknya. Mahkota yang aku jaga selama ini ia renggut dengan sesuka hati.
☠☠☠
Setelah kejadian Andreas merenggut mahkotaku, aku seperti terikat dengannya. Hampir setiap hari kami melakukan hubungan badan dan aku tidak pernah keluar dari rumah itu. Bahkan beberapa bulan setelahnya, aku bisa tertawa bahagia menikmati dimsum terenak bersama Andreas dengan bahan utama janinku sendiri, anak Andreas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!