"Awas hati-hati!!" Katanya sambil menarik tanganku agak sedikit keras, seketika itu juga tubuhku berada tepat di depannya, hanya berjarak dua senti darinya. Hawa serasa menjadi panas berada di dekatnya.
"Kenapa, Kak?" tanyaku menetralisir keadaan
"Hati-hati, Nis, banyak kendaraan lalu lalang. Tadi ada motor lewat agak kencang!" jelasnya.
Saat itu dia masih sabar menungguku di pintu masuk mall tersebut, tempat kami janji bertemu.
Tiba-tiba kejadian itu terputar kembali di ingatanku, kenangan tiga tahun lalu ketika untuk pertama kalinya kami bertemu setelah lima belas tahun tak pernah berjumpa dan tak pernah berkabar. Bukan sengaja ingin memutuskan silatuhrahmi, tapi memang aku tak tau harus bertanya kepada siapa tentang dirinya.
Sedangkan dirinya? Entahlah, namun dapat kupastikan bahwa dia tau dimana rumah orang tuaku.
Namanya Dewa, kakak kelasku ketika aku sekolah disalah satu SMU dikota tempat tinggalku. Kebetulan kami tinggal di kompleks perumahan yang sama. Hanya saja aku tinggal di blok bagian depan dengan orang tua dan saudara kandungku, sedangkan dia ... di blok belakang dan bermukim sementara dengan keluarga dari ibunya, biasanya dia memanggil dengan sebutan tante.
Dewa lulus SMP di desa tempat kelahirannya dan hidup bersama ibunya. Sementara sang ayah sudah meninggal sejak dia masih kelas 5 SD. Setelahnya lelaki itu menghabiskan masa SMA di kotaku.
Kembali netraku menatap aplikasi berlogo warna biru di gawaiku. Sebuah akun baru menampilkan foto dan namanya. Masih tetap dengan sorot mata dan senyum yang selalu membuat hatiku berdesir bila melihatnya.
Baru sebulan ini aku kembali aktif di dunia maya, pun dengan akun baru. Entah akun lamaku kena hack, atau memang password yang salah, menyebabkan tak bisa mengaksesnya lagi. Tak mau pusing dan ribet, akhirnya ku buat profil baru.
Lagi-lagi lewat aplikasi jejaring sosial ini juga, aku menemukannya. Sejak pertemuanku dengannya tiga tahun lalu, kami memang sedikit intens berkomunikasi meskipun itu tak berlangsung lama, hanya dua bulan. Setelah itu aku harus menelan pil pahit untuk kedua kalinya, saat Dewa tidak menepati janji temu yang dia usulkan sendiri.
Aku pun enggan untuk memulai menyapanya hingga saatnya pria itu harus kembali ke ibu kota tempat dia bekerja. Kau tau ada sakit teramat perih dengan semua ini 'Wa ....
Dua kali ya dua kali, kau buat aku bagai raga tak bernyawa. Aku tak tau apakah kau tau diri ini begitu mencintaimu. Namun, seharusnya kau tahu melalui mata dan sikapku padamu.
Mata ini begitu bersinar ketika melihatmu. Netra ini berbinar saat menangkap bayang dirimu, meskipun ada bayang yang lain bersamamu, namun pendar ini tak surut terhadapmu.
Aku yang selalu mengharapkan kedatanganmu, meskipun baru kemarin kau meninggalkanku. Aku yang selalu memiliki waktu tak terbatas, untuk mendengar keluh kesah kekecewaanmu. Itulah aku dengan segenap hatiku padamu, aku tak ingin yang berlebih, hanya inginkan waktumu sedikit lama saat bersamaku.
Namun, kali ini ada yang berbeda. Dewa lelaki yang kucintai tanpa rasa lelah itu, tiba-tiba mengirim sebuah tautan pada aplikasi WA. Ah aku lupa, mungkin benar nomer kontaknya telah terhapus dari gawai ini, tapi bagaimana dengan ponsel miliknya.
Apakah aku harus menyimpan kembali nomer kontak terbarunya?
Meskipun tak kupungkiri, hati ini begitu gembira saat mengetahui dia belum melupakanku.
Kuabaikan pesan tautan yang dia kirim, tapi mata ini tak bisa lepas dari foto yang terpasang di akun facebooknya. Sungguh hati tak bisa berbohong, rasa ini masih mengakar kuat.
Tiba-tiba gawaiku berdering, tertera sebuah nomer tanpa nama. Kudiamkan sesaat, siapa tahu hanya orang iseng, tapi rupanya suara itu tak kunjung berhenti.
"Halo Nis, lama banget diangkat?" tanya suara seseorang di ujung telepon.
Aku bergeming mengenal pemilik suara itu.
"Haloo ... Nisa, ini aku Dewa," katanya kemudian. Sukses membuatku tersadar dari lamunan.
"Iyaa, sudah tau. Ada apa, Kak?" tanyaku.
"Ehm ... sekarang sudah sombong banget," katanya.
"Maksudnya, Kak?"
"Iya, sekarang sudah nggak pernah bertanya kabar lagi," jelasnya.
Ada perih di hatiku kala dia mengatakan itu, bukankah selama ini dia yang seakan melupakanku. Terlalu sibuk dengan dunianya, tak ada waktu untuk sekedar menyapaku.
Ingin sekali kukatakan padanya, bahwa aku sangat merinduimu, melihat tawamu dan mendengar suaramu keinginan terbesarku.
"Haiii Nis, kok bengong? Tautan yang sudah kukirim, jangan dianggurin. Itu nomer WA terbaruku."
"Iya, bentar aku klik."
"Nis, ketemuan yah. Saya ada di M* sekarang, mau yah?"
Helaan nafasku sedikit terasa berat. Kak, aku ingin sekali menghambur ke pelukanmu kala mengetahui engkau ada di kota ini.
"Beneran? 'Ntar boong lagi, dibelain datang eh ternyata ada yang ingkar," keluhku.
"Iya benar, nggak bohonglah," jelasnya.
"Ehmm."
"Ayolah, Nis. Kangen banget sama Kamu," rayunya.
Meskipun itu hanya sebuah rayuan gombal, tapi sungguh mampu membuatku terbang di awang-awang.
"Pokoknya saya tunggu di tempat biasa, nggak pakai alasan lagi. Soalnya ini penting, ada yang harus kamu tau."
Aku masih terdiam, mendengar semua cakapnya.
"Ingat ya, Nis. Besok jam empat sore, assalamu alaikum," katanya sembari menutup teleponnya.
"Waalaikum salam," kataku, meski tak yakin dia sempat mendengarnya.
Begitulah Dewa yang kucintai dalam diam, selalu memaksakan kehendak dan tak pernah mau mengakui kesalahannya.
Dan bodohnya, aku merasa itu hal yang wajar bagi seorang lelaki, terlebih dia Dewa.
Haruskah aku menemuinya? Hal apa yang sebenarnya dia ingin beritahu?
\=\=\=
BERSAMBUNG
Like, komentar dan sharenya dong, Kakak 😁🙈👍🙏🙏
Dewa duduk di hadapanku, berbaju krem dengan lengan yang digulung hingga di atas sikunya, mencoba menikmati kopi Americano yang tersaji di depannya.
"Bagaimana Nis, apa kamu bersedia menolongku?" tanyanya dengan suara mengiba.
Aku diam seribu bahasa, tubuh menahan sejuta sakit karena permintaan anehnya. Bagaimana dia bisa, memohon hal gila itu dariku.
"Hanya sementara Nis, hingga ayahku bisa pergi dengan tenang. Setelah itu kita berpisah, toh pernikahan ini hanya berstatus siri," jelasnya lagi.
"Kenapa harus aku? Mengapa bukan Wanda kekasihmu itu?" cecarku. Kutatap wajah yang kurindukan selama ini.
"Kamu tau sendiri, orang tuaku belum bisa menerima Wanda. Nanti saya pikirkan cara lain agar ibu bisa menerima dia," terangnya.
Bruggh ... serasa ada sebuah godam menghantam hati ini. Di depanku dia memperlihatkan kegigihan untuk bisa bersama kekasih hatinya. Namun, di sisi lain, dia memintaku untuk menjalani pernikahan setingan itu.
Tepatnya pernikahan siri setingan, agar ayah Dewa bisa tenang menjalani hari-hari terakhirnya.
Dokter memvonis calon bapak mertuaku, menderita kanker nasofaring stadium empat. "Hidupnya mungkin sudah tak lama lagi," jelas Dewa saat itu.
Hanya satu permintaannya, melihat anak semata wayangnya menikah, tapi tidak dengan Wanda sang pujuan hati.
Masalah bobot, bibit dan bebet menjadi alasan kuat, restu itu tak kunjung dia dapatkan. Aku tak tau dengan pasti, sisi Wanda yang mana, sehingga membuat ibu Dewa paling keras menentang jalinan kasih itu.
Ah sudahlah, itu bukan urusanku.
"Tolonglah Nis, aku mohon padamu, bantulah sekali lagi," katanya memelas.
"Apa peraturan dalam permainan ini," kataku menatap wajah yang selalu menghiasi pikiranku.
"Saya hanya butuh persetujuanmu. Selebihnya, semua rules ada di tanganmu," tegasnya.
Aku melipat tangan di perut, menarik punggung bersandar di kursi. Kuamati dengan lekat, raut muka orang yang aku suka. Ah seandainya saja dia punya indra keenam, Dewa dapat dengan mudah mengetahui bahwa aku suka permainan ini. Bahagia karena bisa selalu berada di dekatnya, meskipun harga diri menjadi terkoyak.
"Aku bisa saja membantumu, tapi beri aku waktu dua atau tiga hari lagi untuk menjawabnya," terangku.
"Lho, harus menunggu? Bukankah tadi kau katakan, bisa membantuku? Buat apa lagi waktu yang kau minta, Nis?" tanya lelaki itu bingung.
"Keluargaku, kau melupakan mereka."
Dewa tercengang, menepuk jidatnya, "iya juga, kok lupa, ya? Apa perlu saya ikut menjelaskan kepada mereka?"
"Nggak perlu, kamu tunggu kabar dariku saja." Kuteguk jus buah naga yang tersisa setengah gelas itu, "udah malam nih, aku balik dulu yah."
"Tunggu, aku antar," katanya seraya menyambar kunci dan ponsel di atas meja cafe.
\=\=\=
Pov author
Plakk ... sebuah tamparan mendarat di pipi mulus itu. Nisa bersimpuh di hadapannya, kepalanya tak kuat untuk menatap wajah wanita yang telah melahirkannya.
"Beraninya kau ingin melakukan itu! Dimana harga dirimu sebagai perempuan? Kau sadar apa yang akan terjadi setelah kalian berpisah? Apa kau siap menjadi seorang janda?" cecar Santika.
"Aku siap, Ma. Aku hanya ingin pengertian mama dan papa. Tolong dukung Nisa, kali ini."
"Mendukung untuk cintamu yang bertepuk sebelah tangan? Sadarlah Nisa, dia tak mencintaimu! Lelaki itu hanya menganggapmu sebagai teman kala dia susah, tapi saat senang dia menghilang bak di telan bumi," sanggah wanita paruh baya itu. Suaranya sedikit bergetar, merasa sedih akan takdir pilihan putrinya sendiri.
Santika tahu betul, Nisa begitu mencintai Dewa kakak kelasnya itu. Namun, dia sadar kalau lelaki itu tak pernah memiliki rasa yang spesial untuk putrinya. Berkali-kali perempuan itu, mencoba membuat Nisa berpaling dari pujaan hatinya dengan menjodohkan anak dari kolega maupun kerabat jauhnya. Namun, semua sia-sia, putrinya menentang semua usahanya itu.
Seharusnya saat ini Santika merasa suka cita, Nisa akan menikah dengan kekasih impiannya, jika saja itu situasi yang normal. Tetapi hatinya begitu sakit, kala mengetahui putri yang dia besarkan dengan limpahan kasih sayang, akan menjalani pernikahan setingan dengan Dewa. Bahkan lebih parahnya lagi, Nisa rela menjalaninya demi bisa bersama lelaki itu.
[Tuhan, mengapa anakku begitu diperbudak oleh cinta?] lirihnya dalam hati.
Nisa berjalan gontai keluar dari kamar Santika menuju ruang tidurnya. Untung saja hari ini papa dan kakaknya tidak di rumah, sehingga dirinya dapat dengan bebas berbicara dengan mamanya.
Jemarinya bergerak di layar ponsel berwarna silver, berniat menghubungi Dewa.
"Assalamu alaikum, Kak," kata Nisa kala panggilannya sudah tersambung.
"Waalaikum salam, ada apa Nisa?"
"Mamaku, Kak, beliau sangat marah setelah aku memberitahu mengenai rencana kita," kataku sedikit terseduh.
"Kamu nangis, Nis? Saya ke sana yah? Biar saya menjelaskan pada orang tuamu."
"Nggak usah, Kak. Nanti aku coba bicara sama bang Naresh, doakan saja dia bisa mengerti," cegah wanita manis itu.
"Ya sudah, nggak usah sedih lagi. Saya juga mau menghubungi abangmu, siapa tau dia bisa mengerti antar sesama lelaki," katan Dewa di ujung telepon.
Dihempas tubuh di atas kasur, memeluk benda pipih itu, [ah cinta begitu beratkah mencintai seorang Dewa,] lirihnya dalam hati
Bersambung
Yuk readers sayang, bantu like, coment dan share yah
"Kau gila, Nis! Apa kau tak dengar apa yang ibu katakan? Awal dan akhir permintaanmu itu, semua isinya pahit!" geram bang Naresh.
Aku tertunduk, air mata yang sedari awal sudah mengalir, kini semakin deras. Punggung bergetar hebat, beruntung malam ini pengunjung cafe tidak terlalu ramai, hingga hanya beberapa pasang mata saja yang memperhatikan kami.
Bang Nareshpun seakan bergeming dengan situasi itu, baginya jalan hidupku jauh lebih penting dibanding sorotan netra pengunjung.
"Abang, maaf kalau aku katakan, aku sangat mencintai Dewa. Berkali-kali aku mencoba melupakan, tapi nggak bisa Bang, bukan salahku bila tak bisa melupakan."
Bang Naresh mengusap mukanya dengan kasar, "kau bilang cinta? Hahaha ... cinta itu membahagiakan, bukan menyakitkan."
Tangannya mengepal dengan keras, sudah kuperhitungkan sebelumnya. Seandainya kami berbicara di rumah, sudah barang tentu dia akan melampiaskan amarahnya pada benda-benda di sekitarnya. Oleh karena itu aku memilih tempat ini, agar amarahnya bisa terkendali.
"Bangg, tolonglah Bang, hanya ini pintaku pada kalian. Ijinkan aku mewujudkan mimpi, hidup bersama Dewa. Aku siap akan resiko yang harus kutanggung di kemudian hari." Aku menjeda sejenak perkataanku, mengatur nafas agar tak memburu.
"Apa yang ibu dan abang takutkan? Menjadi janda? Cemoohan orang? Aku sudah tahu konsekuensi jika menjadi janda, insya Allah aku siap. Mengenai omongan orang? Bang, ini hanya pernikahan siri, tidak tercatat sama sekali. Apalagi setelah itu, orang tua Dewa pasti menyuruhku tinggal di rumah mereka. Jadi kecil kemungkinan tetangga kita akan mengetahuinya. Bilang saja pada mereka bahwa aku bekerja di luar kota."
"Bang tolonglah, kali ini saja huhuhu ...."
Kali ini tangan bang Naresh memijat keningnya yang mungkin terasa sakit, mendengar rengekkanku.
"Jika kalian menolak ini, bisa kupastikan, aku tak mau menikah dengan siapapun. Dan bila suatu saat kalian memaksaku, maka kalian akan melihat jasadku."
Plakk!!!
Sebuah tamparan keras mengenai pipiku, kepala seakan berputar, pipi terasa panas, ada darah mengalir di sudut bibir ini. Benar-benar terasa sakit ....
"Itu untuk kedunguan dan keBUCINanmu. Bicara nggak pakai akal, rugi besar papa menyekolahkanmu," hardiknya.
Kusambar kunci motor di atas meja, berlari menjauh dari bang Naresh yang tengah emosi. Tak kupedulikan teriakannya yang memanggilku, bodoh aku bukan anak kecil lagi yang bisa seenaknya kalian dikte. Lagian ancaman tadi hanya asal bicara karena tak tau lagi memohon seperti apa agar dia mau membantu.
Kulajukan motor membelah jalanan malam itu, aku tak tau hendak kemana, yang kutahu menjauh dari mama, bang Naresh dan juga papa.
[Papa,] ciittt!! Motor berhenti, bayangan wajah papa begitu jelas di mata. Aku menutup muka ketakutan membayangkan kemarahannya, tidak itu sangat ....
Tiittt, tiiitttt!!!
Suara klakson mobil membuat terkejut, sorot lampunya sangat silau. Tampak pintu mobil terbuka, suara derap sepatu seperti sedang mendekat.
"Hai Nis! Ada apa? Kamu kenapa? Kok bisa ada di sini?"
Aku seperti mendengar suara Dewa, sebelum pandanganku mengabur dan gelap.
\=\=\=
Aku mengamati ruangan tempatku terbaring sekarang, sebuah lemari berwarna putih terletak di samping meja rias. Ada lukisan pemandangan terbingkai apik, serta sebuah pintu kecil juga berwarna putih pastinya untuk kamar mandi. Asing dengan tempat ini.
Setelah memperbaiki letak hijab dan merapikan pakaian yang sedikit kusut, kubuka pintu utama kamar ini.
"Sudah sadar, Nis?" Sebuah suara mengagetkan dari balik sekat ruangan. Dewa berjalan sambil membawa secangkir minuman, meletakkan di meja ruangan yang seperti ruang tamu.
"Lho, kok ada Kamu di sini? Memangnya ini di mana?"
"Ini rumahku tepatnya rumah orang tua," sahutnya sambil terkekeh.
Iya, aku tau dimana tempat tinggal Dewa, tapi tak pernah masuk melihat dalamnya. Ah seandainya saja aku terbaring di luar, pasti langsung tau.
"Diminum tehnya, mumpung masih hangat," tawarnya.
Aku duduk di sofa, depan lelaki itu, meneguk teh yang dibawanya.
"Sejak kapan aku disini?"
"Semalam, depan pagar kamu tiba-tiba pingsan trus sempat terbangun sebentar. Nelan paracetamol dari bik Sum, eh nggak sampai lima menit dah mendengkur," jelasnya.
Mukaku memerah malu, mendengar kata mendengkur.
"Tapi nggak kenapa-kenapa, kan?"
"Maksudnya? PikTor aja pagi-pagi gini?"
"Kali aja, siapa suruh punya predikat buaya darat. Eh, rumah kok, sepi pagi hari?"
"Bik Sum lagi ke pasar, ntar lagi pulang. Soalnya ibu juga sudah mau nyampe di sini."
Tak lama terdengar suara mobil masuk di halaman depan. Sebuah kendaraan berwarna putih, berhenti tepat di samping Alphard hitam milik Dewa.
Derap sol hak tinggi wanita, terdengar semakin mendekat. Lelaki di depanku serta merta berdiri, menghampiri pintu masuk.
"Ada tamu, Wa?" suara lembut seorang wanita, terdengar jelas di telinga.
"Bukan tamu, Bu. Masuk aja dulu," ajaknya.
Seorang wanita, muncul dari luar. Umurnya sudah tak muda, tapi tetap terlihat modis dan cantik.
Aku tersenyum saat dia menatap, tanpa komando mereka bergerak menghampiri, aku berdiri dengan sungkan.
"Nis, kenalin ini ibuku."
Aku mencium takzim punggung tangannya, "Nisa, Bu, teman SMA Dewa."
"Hu'um," jawabnya.
" oiya Bu, Nisa ini yang akan menjadi menantu Ibu," jelas lelaki itu.
Uhuk ... uhuk ... uhuk, aku terbatuk mendengar penuturan Dewa yang tiba-tiba, sementara dia hanya terkekeh melihat reaksiku.
Dan ibu Dewa memandangiku dari kepala hingga ujung kaki, kemudian bibirnya melengkungkan garis senyum.
\=\=\=
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apa pula reaksi keluarga Nisa?
Jangan bosan menunggu episode selanjutnya yah ... 😉
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!