NovelToon NovelToon

The Hunter Bloods

CHAPTER - 01

Siang itu Dion mengantar putrinya, Caitlin. Menuju Bandara Internasional Soekarno–Hatta, jendela mobil yang mereka tumpangi di biarkan terbuka, sehingga Caitlin dapat menghirup udara kota Jakarta untuk yang terakhir kalinya, meski cuaca ibu kota saat itu sangat terik dengan suhu 27°C, langit cerah tanpa awan.

Caitlin mengenakan kaus bergambar marigold, sebagai lambang perpisahan pada kota di mana ia di besarkan, karena mulai hari ini Caitlin akan pindah ke kota Solo, kota dimana neneknya tinggal. Dulu Caitlin datang ke Solo hanya saat libur sekolah, namun kini setelah ayahnya menikah lagi, Caitlin memutuskan untuk tinggal dan menetap di Solo.

"Caitlin," akhirnya Dion berucap, sebelum Caitlin menaiki pesawat. "Apa kau yakin ingin tinggal bersama eyang?" tanya Dion.

Dion mirip sekali dengan Caitlin, kecuali rambut keritingnya dan garis usia disekeliling bibir dan matanya. Caitlin merasa sedikit panik saat menatap mata ayahnya 'Bagaimana aku bisa meninggalkan ayahku yang penuh kasih?' batinnya berbisik. 'Tapi sekarang ayah bersama Claire, istri barunya. Ayah harus membayari semua tagihan-tagihannya, makanannya, belanjanya dan berfoya-foya bersama teman-temannya.' pikiran dan hatinya terus beradu argumen.

“Ya, aku ingin tinggal bersama eyang,” Caitlin berbohong. Caitlin tak pernah pandai berbohong, tapi ia telah mengatakan kebohongan ini begitu sering hingga sekarang nyaris terdengar meyakinkan.

"Sampaikan salam ayah pada eyang, maaf ayah tidak bisa mengatarmu sampai Solo."

"Tidak apa-apa, yah. Aku mengerti, nanti akan kusampaikan salam ayah pada eyang. Sampai ketemu lagi.”

Dion kembali menatap putrinya. “Kau bisa pulang kapanpun kau mau, atau kau bisa menghubungi ayah jika ada apa-apa, ayah akan segera datang begitu kau membutuhkan ayah." Di balik sorot matanya terpancar harapan putri cantiknya itu tak pergi darinya.

“Jangan khawatirkan aku,” pinta Caitlin. “Semua akan baik-baik saja. Aku sayang ayah.”

Dion memeluk putri kesayangannya erat-erat selama beberapa menit, kemudian Caitlin pun masuk ke bandara dan terbang menuju kota Solo.

Butuh waktu 1 jam 15 menit untuk terbang dari Jakarta ke Surakarta, kemudian di lanjutkan dengan perjalanan darat sekitar tiga puluh menit untuk tiba di kediaman eyangnya.

Sebagai cucu satu-satunya tentu eyangnya sangat sayang dan perhatian kepadanya, beliau begitu senang ketika Caitlin mengungkapkan akan tinggal bersamanya. Bahkan eyangnya sudah mendaftarkan Caitlin ke salah satu perguruan tinggi di Solo agar Caitlin melanjutkan pendidikannya. Selain itu eyangnya juga membantu Caitlin mendapatkan pekerjaan karena Caitlin ingin sekali bisa mandiri dengan memiliki uang sendiri dari hasil keringatnya.

Ketika Caitlin mendarat di Surakarta, hujan turun. Ia tidak melihatnya seperti sebuah pertanda apa pun. Hanya hujan biasa, karena memang di Solo sering turun hujan. Lagi pula Caitlin merasa telah mengucapkan selamat tinggal pada terik matahari ibu kota.

Lauren menunggu cucunya di pintu kedatangan bandara, ia memeluk Caitlin dengan hangat ketika Caitlin turun dari pesawat. “Selamat datang di Solo, senang rasanya kamu mau tinggal bersama eyang," ucap Lauren sembari tersenyum.

Caitlin membalas pelukan hangat Lauren. "Terima kasih eyang, sudah repot-repot menjemputku."

"Bagaimana keadaan ayahmu?” tanya Lauren.

"Ayah sehat dan bahagia bersama istri barunya."

Lauren tersenyum masam, sebetulnya sejak awal ia tidak rela jika menantunya menikah dengan wanita yang usianya jauh lebih muda, karena akan banyak menimbulkan konflik dengan cucunya, dan benar saja cucu kesayangannya tidak lagi nyaman tinggal bersama ayahnya.

Lauren meminta supirnya untuk membawakan barang-barang Caitlin, kemudian ia menggandeng tangan Caitlin menuju parkiran.

"Kemarin eyang membelikan mobil bagus untukmu, yang harganya lumayan terjangkau,” ucap Lauren ketika mereka sudah berada di mobil. “Mobil jenis apa eyang?” Caitlin curiga dengan cara neneknya mengatakan ‘mobil bagus buatmu’, seolah itu tidak sekadar ‘mobil bagus’.

" Ford Mustang," jawab Lauren.

Caitlin langsung terkejut mendengar eyangnya mebelikan mobil yang dikenal sebagai salah satu mobil idaman car enthusiast, yang harganya mencapai 1M lebih. “Wow... Dimana eyang mendapatkannya?”

“Kau ingat Paman Daniel yang tinggal di Boyolali?”

“Tidak."

"Dulu waktu kau berusia delapan tahun, dia suka pergi memancing bersama kita di Sukoharjo, saat kau liburan kemari."

Caitlin menggelengkan kepalanya, ia betul-betul tidak ingat, terlebih kejadian itu sudah lama sekali.

“Sekitar enam bulan lalu paman Daniel kecelakaan, sekarang dia menggunakan kursi roda,” lanjut Lauren. “Jadi dia tidak bisa mengemudi lagi, dan memutuskan menjual mobil antiknya dengan harga miring."

"Eyang, aku memang menyukai mobil antik, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang mesin mobil. Aku tidak akan bisa memperbaikinya kalau ada yang rusak." Caitlin hanya penyuka mobil antik tanpa mengerti mesin di dalam mobil tersebut, yang ia tahu jika biaya perbaikan mobil antik jauh lebih mahal di bandingkan mobil keluaran terbaru. Caitlin khawatir, jika dirinya tak sanggup membayar tagihan bengkel jika nantinya ada kerusakan.

"Tapi eyang sudah membelikannya untukmu, sebagai hadiah selamat datang.” Lauren menatap cucunya dengan ekspresi penuh harap, bahwa cucunya akan senang dengan pemberiannya.

Caitlin tersenyum ke arah Lauren. "Aku pasti akan merawatnya, terima kasih eyang," ia memeluk Lauren dengan hangat.

"Sama-sama sayang,” gumam Lauren, tersipu oleh ucapan terima kasih yang di ucapkan Caitlin.

Mereka menghabiskan waktu perjalanan menuju kediaman Lauren dengan membicarakan tentang cuaca di kota Solo yang sering turun hujan akhir-akhir ini, sembari mandang keluar jendela mobil untuk melihat pemandangan.

Caitlin tak bisa menyangkal jika Solo memang indah. Semuanya hijau, deretan pepohonan, tanahnya yang terlihat subur sehingga dirinya banyak melewati beberapa kebun, seperti: kebun cabai, melon, hingga kebun salak. Bahkan udaranya tersaring diantara dedaunan hingga terasa sejuk ketika ia hirup.

Tiga puluh menit kemudian akhirnya mereka tiba di rumah Lauren. Rumah sederhana dengan 2 kamar tidur utama dan 1 kamar tidur untuk asisten rumah tangga, sementara sopir yang bekerja di rumah eyang tidak menginap karena rumahnya cukup dekat dengan rumah eyang.

Begitu turun dari mobil, mata Caitlin tertuju pada mobil Ford Mustang berwarna merah yang terparkir di halaman depan rumah eyang. Yang membuat Caitlin amat terkejut adalah, ternyata ia langsung jatuh hati pada mobil tersebut. Ia membayangkan akan berangkat kerja dan kuliah pada hari sabtu dan minggu, dengan mengendarai mobil tersebut.

“Wow, eyang, aku sangat suka! terima kasih!” ucapnya melompat kegirangan.

“Aku senang kau menyukainya,” ucap Lauren, ia pun merasa senang melihat cucu kesayangannya senang dengan hadiah pemberiannya.

Setelah sopir mengangkut barang-barang Caitlin ke kamarnya, Lauren mengajak cucunya masuk. "Kamu pasti capek, kita masuk dulu yuk!" ajaknya.

Caitlin mengangguk, kemudian mengikuti eyangnya dari belakang. Begitu masuk ke kamar, Caitlin mendapati kamar tidurnya yang dulu pernah ia tempati, kini telah di renovasi oleh eyangnya.

Caitlin masih ingat betul tata letak tempat tidur sebelumnya yang menghadap ke dinding, kini menghadap ke halaman depan. Meski telah di renovasi, Caitlin tetap familier pada kamar itu. Lantai kayu, dinding biru cerah, tirai berwarna merah jambu yang membingkai jendela, semuanya.

Selain merenovasi, Lauren juga menaruh laptop di atas meja belajar Caitlin, tentunya dengan di lengkapi sambungan internet, untuk mempermudah Caitlin bekerja dan belajar.

"Caitlin, eyang tinggal dulu ya, agar kamu bisa istirahat," ucap Lauren.

Caitlin mengangguk. "Terima kasih, eyang." Salah satu hal terbaik yang Caitlin suka dari eyangnya adalah, eyangnya tidak pernah membuntutinya.

Lauren ninggalkan Caitlin sendirian untuk membongkar dan merapikan barang-barang-barang bawaannya, berbeda dengan ayahnya yang selalu membuntutinya dan mengajaknya ngobrol sepanjang waktu, bahkan hampir tak memberikan ruang untuk Caitlin sendirian.

Rasanya menyenangkan bisa sendirian, Caitlin bisa melamun di depan jendela sembari memandangi hujan lebat dan membiarkan kesedihannya akan pertengkarannya dengan ibu tirinya mengalir, seakan terbawa air hujan.

Lama Caitlin memandangi hujan, hingga akhirnya ia pun tertidur diatas tempat tidur nyamannya.

CHAPTER - 02

Pagi harinya saat tebangun dari tidurnya, hanya kabut tebal yang bisa Caitlin lihat dari balik jendela kamarnya, dan bisa ia rasakan klaustrafobia (ketakutan dalam ruang tertutup) merayapi tubuhnya. Namun Caitlin tetap memaksakan diri untuk membersihkan tubuhnya dan bersiap untuk sesi wawancara kerjanya.

Sarapan bersama eyangnya berlangsung dengan hangat, tak lupa Lauren mendoakan Caitlin supaya cucu kesayangannya itu berhasil dalam wawancara pekerjaannya.

"Terima kasih, eyang," ia mengucapkan terima kasih pada eyangnya, meski ia sering merasa keberuntungan tak pernah berpihak padanya, sejak ibundanya meninggal dunia.

"Ya sudah, kamu habiskan sarapannya ya, eyang mau pergi ke kebun dulu melihat para pekerja." Lauren pamit untuk berangkat lebih dulu, menuju perkebunan miliknya.

Ya, Lauren memiliki 4.2 ha kebun teh yang tak jauh dari kediamannya. Kebun teh tersebut merupakan sumber penghasilan utamanya yang ia gunakan untuk mencukupi semua kebutuhannya sehari-hati.

Setelah Lauren pergi, Caitlin beranjak dari ruang makan, ia duduk termenung di ruang tamu sambil memandangi foto-foto almahumah ibundanya. Lama memandangi foto ibundanya, hingga tak terasa buliran-buliran bening mulai menetes di pipinya.

Caitlin memandangi foto dirinya tengah berada di dekapan hangat ibundanya dan ayahnya berada di sampingnya, foto tersebut di ambil ketika mereka sedang berada di rumah sakit, sesaat setelah dirinya lahir ke dunia, dan foto tersebut diambil oleh salah seorang perawat yang membantu proses persalinan ibundanya.

Pandangan Caitlin beralih ke foto berikutnya yang berada di sebelahnya, foto dimana saat dirinya masuk di hari pertama sekolah atau saat ia masuk play group. Masih jelas terasa dalam benaknya, bagaimana ibunda tercintanya benar-benar mensuport dirinya yang kala itu tidak merasa percaya diri untuk datang ke sekolah, dan inilah yang terjadi dengan dirinya saat ini.

Sekarang Caitlin sedang merasa kurang percaya diri untuk sesi wawancara kerjanya, terlebih ijazah yang ia lampirkan dalam lamaran pekerjaannya hanyalah ijazah lulusan SMA sebab ia belum menyelesaikan pendidikan S1nya.

Foto terakhir, merupakan foto yang di ambil tepat tiga tahun lalu saat ibundanya di rawat di rumah sakit karena kanker payudara yang di deritanya. Dunianya seakan runtuh ketika harus melihat ibunya kalah dalam melawan penyakit yang di deritanya. "Aku sangat merindukanmu, bunda. Aku rapuh tanpamu," gumamnya lirih, sembari mengelus wajah ibundanya dalam bingkai foto.

Caitlin menghapus air matanya, kemudian ia mengenakan hoodienya dan menaikan tudungnya sebelum ia menerobos hujan. Hujan masih gerimis, tapi tak sampai membuatnya basah kuyup ketika dirinya berjalan ke arah mobil antik pemberian eyangnya.

Caitlin merasa cukup nyaman dan kering ketika berada di dalam mobil Ford Mustang miliknya, mungkin karena supir eyangnya telah sedikit memodifikasi mobil antik itu, terutama di bagian kursi yang menurut Caitlin cukup terasa empuk untuk ukuran mobil antik.

Mesin mobil langsung menyala, dan Caitlin cukup lega karenanya, meski derunya sangat keras sekali. Yah, mobil setua ini pasti memiliki kekurangan, namun radioantiknya masih berfungsi dengan baik, hal itu merupakan nilai tambah yang tidak Caitlin duga.

Caitlin mulai melajukan kendaraannya menuju perusahaan mebel yang berada di kawasan kawasan Solo Raya. Untuk menemukan letak perusahaan yang mengundangnya wawancara tidaklah sulit, meskipun Caitlin belum pernah kesana sebelumnya.

Perusahaan mebel tersebut memiliki dua bagunan besar, bangunan pertama di penuhi oleh beraneka furniture mulai dari kursi, meja, hingga lemari.

Letak gedung pertama sangat strategis, berada di pinggir jalan raya sehingga pembeli tidak kesulitan untuk mencari lokasinya. "Benar-benar strategi marketing yang bagus," gumamnya.

Dan bangunan yang kedua tak kalah besarnya, ada papan besar bertuliskan OFFICE di atas bangunan tersebut, Caitlin menepikan kendaraannya di bangunan kedua, namun ia sempat kebingungan karena melihat tak ada yang parkir di depan bangunan itu, sehingga Caitlin yakin jika parkiran tersebut khusus untuk para petinggi perusahaan, misalnya manager atau pemilik perusahaan.

Caitlin memutuskan untuk bertanya dari pada ia harus berputar-putar mencari parkiran karyawan, ia tak ingin parkir di parkiran pengunjung, sebab parkiran pengunjung sangat terbatas sehingga ia khwatir akan mengganggu pengunjung yang datang untuk berbelanja.

Setelah memarkirkan kendaraanya di parkiran karyawan, Caitlin melangkah keluar dari mobil antiknya yang nyaman dan hangat, ia berjalan masuk ke gedung kantor. Sebelum masuk Caitlin menghirup napasnya dalam-dalam, untuk mengurangi rasa gugupnya.

Di dalam gedung keadaan sangat tenang, lebih hangat dari dugaannya. Kantornya sangat luas, dan terdapat ruang tunggu yang di lengkapi dengan sofa yang empuk, permadani hitam di bawahnya, lemari tempat menyimpan sederet penghargaan dan meja resepsionis yang di huni oleh seorang wanita bertubuh langsing, berambut pirang yang menggunakan kaca mata. Wanita itu mengenakan blouse tanpa lengan yang membuat Caitlin terlihat salah kostum, ia merasa dirinya terlampau formal dengan pakaian hitam putihnya.

Wanita itu mendongak. "Ada yang bisa aku bantu?" tanyanya.

"Aku Caitlin...." ucapnya, ia melihat mata wanita itu napak berkilat terkejut. 'Apa aku harus mengatakan jika aku cucu dari Lauren, kerabat baik manager keuangan di perusahaan ini?' Batinnya.

"Oh baiklah, tunggu sebentar," ucapnya sembari mengaduk-aduk tumpukan dokumen di mejanya hingga ia menemukan apa yang dicarinya. "Ini lamaran kerja milikmu," wanita itu menyodorkan berkas lamaran yang Caitlin kirim minggu lalu. "Kau pegang dan tunggulah di sana, sebentar lagi pak Aaron, pemilik perusahaan ini akan datang. Beliau yang akan mewanwancaraimu secara langsung." Ia meminta Caitlin untuk menunggu di sofa.

Caitlin sedikit terkejut mendengar bahwa ia akan di wawancara oleh pemilik perusahaan, tadinya ia mengira jika dirinya hanya akan di wawancara oleh bagian HRD.

Setelah menunggu selama lima belas menit akhirnya pintu kantor tebuka oleh seorang pria tampan, kira-kira berusia 26 tahun. Pria itu tersenyum ke arah Caitlin saat ia melewatinya, kemudian ia berhenti di meja resepsionis "Helen, apa wanita itu yang kemarin melamar ke perusahaan ini?" ia melirik ke arah Caitlin.

Helen mengangguk. "Betul pak Aaron, itu calon pegawai yang akan bergabung di perusahaan kita."

"Kalau begitu, lima belas menit lagi suruh dia ke ruanganku," pintanya, kemudian ia berjalan menuju ruangannya.

CHAPTER - 03

Jantung Caitlin berdegub semakin kencang ketika ia hendak membuka pintu ruang kerja sang pemilik perusahaan. Ia kembali menghirup napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugupnya yang menyeruak di dadanya. Setelah agak tenang barulah Caitlin mulai mengetuk pintu dan masuk ketika Aaron mempersilahkannya masuk.

"Selamat pagi, Pak," sapanya pada Aaron, sembari menyerahkan surat lamaran pekerjaannya. Mata Caitlin tertuju pada meja kerja Aaron terdapat papan nama bertuliskan Mr.Aaron Smith.

Aaron menatap Caitlin, lalu turun ke bawah menatap berkas lamaran pekerjaan yang di sodorkan Caitlin. "Kau simpan saja, aku sudah membacanya kemarin," ucap Aaron, ia meminta Caitlin untuk duduk di hadapannya.

Caitlin menarik kembali berkas lamaran pekerjaan, kemudian duduk di hadapan Aaron. "Terima kasih," ucapnya karena telah menyuruhnya duduk.

Aaron menatap Caitlin sembari meraih bolpoinnya, lalu memainkannya dengan jari jemarinya. "Sebetulnya aku tidak pernah mewawancari pegawai baru, itu adalah tugas HRD," tukasnya, masih terus menatap Caitlin, hingga membuat Caitlin salah tingkah dan mungkin wajahnya kini memerah seperti buah tomat.

Namun dalam benak Caitlin tersirat rasa penasaran akan sorot tajam Aaron, yang nampak seperti bukan manusia pada umumnya, terlebih kulitnya terlihat sangat putih, pucat dan dingin. 'Ah mungkin dia sedang tidak enak badan atau mungkin juga faktor keturunan,' batinnya.

"Tapi karena kemarin aku sempat membaca CVmu, aku tertarik sebab kau lulusan International High School. So, Tell me about yourself?" tanya penasaran.

Caitlin berdeham untuk mengurangi rasa gugupnya, kemudian ia mulai memperkenalkan dirinya dalam bahasa inggris. "Good morning Sir. My name is Caitlin Magnolia. I graduated from International High School. I'm here to apply as a Digital Marketer because I love to think outside the box and bring creative new ideas to solve problems." lebih jauh Caitlin menjelaskan bahwa dirinya merupakan mahasiwi pindahan dari Jakarta, jurusan manajemen pemasaran.

Dari raut wajah Aaron terlihat jelas, jika dirinya sangat tertarik dengan Caitlin dan tidak mempermasalahkan status Caitlin yang masih menjadi seorang mahasiwi, yang terpenting baginya Caitlin dapat tetap profesional dalam bekerja. "What Are Your Strengths?"

Dengan penuh percaya diri Caitlin menjawab "In doing some tasks with my team, I was able to adjust my time so that there weren’t any gaps in the tasks. As a result, the tasks ran well and be completed on time. I believe that in order to achieve any goal in life, these qualities are very important."

Aaron mengangguk setuju, semua yang ia butuhkan ada pada gadis yang berada di hadapannya. Caitlin tak hanya cantik, cerdas namun ia juga memiliki wawasan yang luas. Tapi Aaron perlu sedikit tahu expektasi Caitlin terhadap pekerjaan yang ia lamar, agar membuat Caitlin merasa nyaman dan betah ketika nantinya Caitlin bergabung di perusahaannya. "What are your expectations from job ?"

"I’m looking for the opportunity to expand my learning, put to use my skills and experience, work in a team that is inclusive and an environment that helps propel my growth beyond the job descriptions, " jawab Caitlin dengan jujur.

Di sesi akhir wawancaranya, Aaron mempersilahkan Caitlin untuk bertanya padanya, ia membebas Caitlin menanyakan yang berkaitan dengan perusahaan ataupun tentang kehidupan pribadinya, Aaron sama sekali tak keberatan. "Do you have any questions for me?" Ia menatap Caitlin dalam-dalam.

Jantung Caitlin kembali berdegup kencang, di tatap sedalam itu oleh Aaron. Meski masih terasa aneh, namun Caitlin harus mengakui bahwa Aaron sangat tampan sehingga ingin sekali rasanya ia mengatakan 'Why are you so handsome?' namun kemudian Caitlin menggelengkan kepalanya, ia berdeham dan kembali bersikap profesional. "What is the next step?" tanya Caitlin pada Aaron.

Aaron mengulurkan tangannya. "Congratulations and welcome aboard. I can’t wait to help you reach new heights. Always ask questions when you have them and let us know how I can help you move forward."

Perbincangan di lanjutkan mengenai job description, hingga kesepakatan mengenai gaji yang akan di terima oleh Caitlin. Rasa puas terpancar dalam wajah Caitlin, sebab Aaron memberikan penawaran yang bagus, serta memberikan banyak kesempatan pada Caitlin untuk mengekplorasi semua kemampuannya.

Hingga tak terasa sudah hampir dua jam mereka berbincang, Caitlin pun pamit meninggalkan kantor. Aaron tersenyum, mempersilahkan Caitlin keluar dari ruangannya. "See you tomorrow," ucapnya.

Ketika Caitlin hendak menutup pintu ruang kerja, Aaron kembali memanggil Caitlin. "I like your car."

Caitlin terkejut, karena ternyata Aaron mengetahui jika dirinya menggunakan mobil antik. "Thank you." ia tersenyum kemudian menutup pintu ruang kerja Aaron. 'Dia menyuaki mobilku,' gumamnya.

Sesampainya di rumah, ternyata Lauren sudah menunggu cucu kesayangannya. "Bagaimana tadi wawancaranya? Apa kau bertemu dengan paman Arnold?" ia membrondongi Caitlin dengan banyak pertanyaan.

Dari senyuman Caitlin seharusnya eyangnya sudah mengetahui jawaban atas pertanyaannya. "Aku di terima, besok aku sudah mulai bekerja." ucapnya, "Tapi aku belum bertemu dengan paman Arnold, karena tadi aku di wawancara langsung oleh pemilik perusahaan."

"Wow.." Lauren terkejut, namun ia bersyukur cucunya bisa di terima bekerja. "Jangan lupakan pendidikan dan impianmu ya,nak." Lauren mengelus rambut cucunya dengan lembut.

"Tentu saja, eyang," Caitlin menjadikan pekerjaan ini hanya sebagai pengalaman dan pembelajaran untuk hidup lebih mandiri, dalam benaknya ia akan tetap memprioritaskan kuliahnya agar ia bisa meraih cita-cita yang ia inginkan.

"Aku masuk dulu ya, eyang." Caitlin melangkah menuju kamarnya, tempat dimana bagian ternyaman untuk dirinya merenung dan melakukan banyak hal.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!