💌 TERJERAT DENGAN SUAMI PALSU 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
.
Minggu demi minggu berlalu dan masih tidak ada titik terang untuk perusahaan Wyanet. Masalah masih benar-benar menggerogoti pikiran Erland Wyanet yang menjabat sebagai direktur. Lingkar hitam di sekitar matanya bahkan terlihat jelas. Berat badannya bahkan ikut turun.
Perusahaan Miles sama sekali tidak ingin bertemu dengannya. Itu yang membuat Erland benar-benar frustasi. Setidaknya jika bertemu ia bisa menjelaskan masalah pengajuannya. Maka dari tadi manager HRD langsung mendatangi perusahaan Miles. Erland tahan merevisi ulang proposal itu dan berharap mereka bersedia memeriksa ulang dan bersedia membantunya.
Erland gelisah tak menentu. Ia menunggu kabar dari manager HRD. Dari pagi hingga malam, belum juga ada kabar mengenai proposal yang diajukannya ke perusahaan Miles. Rencana awal, harusnya Erland yang ke sana. Berhubung ada rapat yang tak bisa ditinggalkannya membuat asistennya yang pergi menemui direktur Miles.
Erland menghembuskan napas sejenak dengan tatapan kosong. Ia kembali teringat perkataan William terakhir kali. Perusahaan ini tak bisa diselamatkan. Erland menggeleng cepat.
"Tidak... apapun aku lakukan untuk menyelamatkan perusahaan ini." ucapnya dengan yakin.
Erland mendesah kenapa juga ia bisa memikirkan perkataan William saat ini. Sumpah yang keluar dari mulut pria itu hanyalah obat pereda sakit kepala bagi Erland. Seperti yang ia tegaskan hidup ini akan berputar dan tidak selamanya Wiliam melakukan semaunya. Suatu saat Wiliam akan jatuh juga.
Erland tidak akan diam, apalagi itu itu menyangkut perusahaan yang di bangun oleh keluarganya dari nol. Erland berjanji, jika masalah perusahaan ini selesai. Ia akan mengumpulkan bukti untuk memasukkan Wiliam ke penjara. Wiliam adalah saudara sepupunya yang mencoba mengambil keuntungan disaat perusahaan mengalami krisis. Wiliam akan menerima balasan yang setimpal atas perbuatannya. Dan kabar terbaru dari asistennya. Wiliam menghilang begitu saja.
Erland menarik napas dalam-dalam dengan mata terpejam. Lalu, membuka matanya pelan-pelan. Istrinya tidak bisa tahu masalah perusahaan ini. Terlebih-lebih putrinya sedang menyelesaikan kuliah. Erland tidak ingin membebani mereka.
"Setidaknya Yara harus bisa meneruskan perusahaan ini setelah menyelesaikan kuliahnya. Yara anak yang bisa diandalkan." ucap Erland pada dirinya sendiri. Ia mengembuskan napasnya dan tersenyum.
Erland kemudian mengembalikan pikirannya. Ia kini fokus pada masalah perusahaan. Ia menatap jam yang ada di dinding ruangan.
"Pukul 8 tapi Adrian belum ada kabar juga?"
Erland mondar-mandir dengan gelisah di ruangannya. Ia mengepalkan tangannya berkali-kali. Memegang dagu, menjepit bibir, menggigit jari, berkacak pinggang, melepas lagi dengan frustasi. Hampir semua gerakan kebingungan ditunjukkan Erland. Tiba-tiba panggilan dari handphone berbunyi.
Dddrrrttt.... dddrrrttt....!
DEG!
Jantung Erland langsung terpukul kencang saat melihat panggilan itu ternyata dari Adrian. Erland segera mengangkat teleponnya.
"Hallo Adrian, bagaimana? apa mereka menerimanya?" tanya Erland dengan cepat.
"Maafkan saya harus mengatakan ini. Proposal kita benar-benar ditolak."
"Benarkah, apa mereka sudah memeriksa proposal yang sudah saya revisi Adrian?"
"Mereka bahkan tidak membukanya pak. Saya sudah berusaha untuk menjelaskan keuntungan yang diperoleh jika mereka bersedia menerima proposal kita. Asistennya bahkan tidak memberikan saya kesempatan untuk bicara."
"Kau tidak langsung bicara dengan direkturnya?" tanya Erland.
"Sepertinya beliau benar-benar tidak ingin bertemu, yang mewakilkan tadi adalah asistennya."
Huuuuffft... Erland mengembuskan napas kesal di balik telepon.
"Jadi bagaimana ini pak, apa tidak ada jalan keluarnya lagi?" Adrian pun ikut frustrasi.
"Besok aku akan ke sana dan bertemu langsung dengan direkturnya."
"Tapi, mereka sudah mengembalikan proposal kita pak. Aku rasa mereka memang tidak ingin bertemu dengan kita lagi."
"Tenang saja Adrian, aku akan usahakan. Waktu masih ada tiga bulan sebelum mereka mengambil alih perusahaan Wyanet. Jadi kau tak perlu khawatir."
"Baiklah pak."
"Terima kasih atas kerja kerasmu Adrian, anda bisa pulang sekarang."
"Sama-sama pak direktur. Selamat malam."
"Hmm, selamat malam Adrian."
TIT
Sambungan telepon langsung terputus. Erland mendengkus sambil meremas handphonenya dengan erat.
"Aaarggghh.." Erland mengacak rambutnya dengan asal. Napasnya berembus cepat karena emosi.
"Apa mereka memang sengaja melakukannya. Setidaknya mereka memeriksa proposal itu dan membiarkan Adrian menjelaskan isinya? Tapi apa? mereka bahkan membiarkan Adrian menunggu dari pagi sampai malam. Sehebat apa perusahaan Miles itu?" Geram Erland dengan tangan mengepal kuat.
Erland mendongakkan kepalanya dan mengembuskan napas panjang. Ia kembali memikirkan nasib perusahaan Wyanet.
"Haaaah." Hatinya sakit, cemas, dan takut. Matanya berkaca-kaca tapi tidak menangis. Ia hanya kesal dan kesal. Setidaknya ada yang membantu. Tapi kenyataannya perusahaan Miles sama sekali tidak bisa mengeluarkannya dari masalah ini.
Erland menggelengkan lagi. ia tidak bisa menyerah. Ia harus menemui Direktur Miles secara langsung. Erland tidak mungkin hanya diam dan berpangku tangan, menunggu dari Adrian saja. Masalah tidak akan selesai.
Erland menarik napas dalam-dalam sambil mengusap wajahnya dengan tangan. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil menatap langit-langit ruangannya.
⭐⭐⭐⭐⭐
Erland kembali bergelut dengan pekerjaan yang bisa dikejarnya. Pekerjaannya benar-benar menumpuk dan sedikit demi sedikit bisa diselesaikan. Erland bahkan melupakan kopi yang telah disediakan orang pantry.
Huuuuffft! Erland kemudian membuang napas panjang. Ia mencoba untuk tenang agar bisa melanjutkan sisa pekerjaannya. Walau ia tahu situasi saat ini sangatlah genting bagi perusahaan yang dipimpinnya. Ia ingin buktikan ia bisa mengeluarkan perusahaan ini dari krisis.
TOK TOK TOK!
Erland yang tengah sibuk dengan sisa pekerjaannya tiba-tiba konsentrasinya teralihkan. Ia hanya menjawab sambil mengetik sesuatu di laptopnya.
"Hmm, masuk."
"Permisi, pak direktur."
Erland mendongakkan kepalanya. "Hmmm.... Ada apa?" tanya Erland tak melepaskan tatapannya.
Marcel sebagai supir perusahaan ragu untuk mengutarakan isi hatinya. Wajahnya gugup saat menatap pak direktur yang tengah asyik melakukan pekerjaannya itu.
"Kenapa pak Marcel?" Tanya Erland menangkap wajah kalut dari lelaki itu. Ia pun segera melipat tangannya di atas meja dan menatap Marcel dengan serius.
"Begini pak, maafkan saya sebelumnya. Tapi..." Marcel kembali diam. Ia meremas tangannya sendiri karena begitu takut.
Erland tersenyum, Ia mengerti arti tatapan itu. "Apa pak Marcel ingin pulang?" Ia melihat jam yang ada di tangannya. "Astaga...sudah pukul sembilan malam." Erland terkejut.
"Sebelumnya maafkan saya pak. Awalnya saya memang berniat mengantarkan bapak pulang. Tapi aku lihat bapak tak juga keluar dari ruangan anda. Itulah saya ke sini pak. Tapi.." Kalimatnya terhenti lagi.
"Pak Marcel mau pulang?" Tanya Erland tersenyum teduh. "Maafkan saya pak, saya lupa waktu karena banyak yang hendak saya selesaikan. Tidak usah tunggu saya pak, anda bisa pulang." Kata Erland.
"Saya yang harusnya minta maaf, pak. Saya tak bisa mengantarkan anda pulang. Karena hari ini anak saya tiba di bandara pukul 19.00 dan saya harus menjemputnya."
"Aduh saya jadi gak enak pak. Anda bisa pulang dan menjemput anak anda. Saya juga akan pulang setengah jam lagi."
"Tapi bapak pulang dengan siapa?"
Erland kembali tersenyum. "Saya bisa naik taksi pak. Jangan terlalu memikirkan saya. Bapak bisa pulang."
"Baik pak. Terima kasih atas pengertiannya. Bagaimana kalau saya mencarikan supir baru untuk pak direktur."
"Tidak apa-apa pak, saya tidak perlu diistimewakan seperti ini. Harapan kita bersama, perusahaan ini kembali pulih, itu sudah lebih dari cukup untuk saya. Saya ingin kalian mengenalku seperti ini. Tidak perlu melayani kebutuhan saya secara berlebihan. Jika saya mau, saya juga bisa menyetir sendiri." Kata Erland mengulas senyuman tipis sambil mencondongkan tubuhnya dengan posisi masih sama. Melipat tangannya di atas meja.
"Baik pak, maafkan saya pak." Marcel merutuki kebodohannya. Kenapa juga ia mengatakan hal yang sama sementara perusahaan ini sedang tergoncang. Marcel mengembuskan napas pelan.
"Ah, ya pak? Kebetulan bapak di sini. Masalah proposal yang di tolak direktur Miles. Saya akan langsung bertemu dengan beliau. Saya tidak ingin proyek yang tertunda akan membuat kita mengalami kerugian yang lebih besar."
"Bukankah pak Adrian sudah bertemu dengan asisten Miles?"
"Hmm. Sudah tapi pengajuan proposal kita di tolak. Adrian bahkan sudah melakukan yang terbaik. Dia sudah terus terang dengan permasalahan yang kita hadapi kepada asistennya. Mereka bahkan tidak menyampaikan kepada direkturnya."
"Jadi direktur Miles setuju ingin bertemu dengan anda pak? atau saya atur kembali jadwal anda, agar bisa bertemu dengan direktur Miles?"
"Saya rasa tidak perlu. Saya akan menemuinya langsung."
"Semoga kebaikan berpihak kepada kita, pak."
"Terima kasih, pak Marcel. Anda bisa pulang sekarang."
"Iya pak. Saya permisi." Marcel menunduk hormat, lalu keluar dari ruangan itu.
Erland kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia harus bisa menangani ini satu per satu. Karena ia tidak bisa main-main soal ini. Erland harus bisa berkonsentrasi. Harapan satu-satunya memang harus bertemu dengan direktur perusahaan Miles. Hanya perusahaan ini yang bisa membantunya. Karena mereka yang memegang kuasa saat ini atas semua perusahaan.
Erland masih berada di kantor, ia bergelut dengan pekerjaan yang masih bisa dikejarnya. Dan sekarang semua hal itu berjalan dengan baik. Setelah merenggangkan otot-ototnya, Erland bangun dari duduknya dan meninggalkan ruangannya. Ia berjalan menyusuri koridor kantor dan menyapa petugas yang sedang melakukan patroli keliling di dalam kantor. Keadaan kantor sudah sangat sepi. Tidak ada yang seorang pun di sana selain petugas yang berjaga di pos dan di mejanya.
BERSAMBUNG.....
^_^
Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini Novel kesembilan aku 😍
Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.
^_^
💌 TERJERAT DENGAN SUAMI PALSU 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
.
Pagi-pagi sekali Erland sudah siap untuk menemui direktur Miles. Mobil yang mengantar Erland berhenti di depan gedung utama perusahaan Miles. Erland menarik napas dalam-dalam. Menatap sejenak gedung pencakar langit itu. Ia berharap penuh kepada Miles untuk mengeluarkannya dari permasalahan yang dihadapi perusahaan Wyanet.
Bray sudah keluar terlebih dulu dari mobil untuk membuka pintu untuk Erland.
"Semoga anda berhasil, pak. Semangat!" Bray tersenyum sumringah sambil mengangkat tangannya dengan kepalan ke atas. Ia sengaja melakukannya untuk memberikan semangat kepada pimpinan tempatnya bekerja.
Erland hanya tersenyum saat melihat aksi supirnya itu. "Terima kasih pak Bray. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu." ucapnya dengan penuh wibawa.
"Baik pak. Kalau begitu saya permisi dulu pak." Kata Bray tersenyum kecil sambil membungkukkan badannya. Erland hanya menganggukkan kepalanya. Ia mundur beberapa langkah ke belakang agar mobil itu bisa memutar.
Bray kembali masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Lalu menginjak pedal gas untuk membawa mobilnya ke luar dari parkiran. Erland pun berjalan memasuki perkantoran dengan langkah tegap. Ia masuk ke dalam dan sampai di meja resepsionis bagian depan kantor.
"Selamat pagi," Sapa Erland ramah kepada resepsionis. Ia tersenyum kepada dua orang wanita berjaga di sana.
"Selamat pagi, pak. Ada yang bisa saya bantu?" jawab mereka dengan senyum merekah.
"Saya ingin bertemu dengan direktur perusahaan ini." tutur Erland.
"Bapak sudah buat janji?"
Erland tersenyum lagi. "Tentu saja sudah, saya adalah direktur perusahaan Wyanet. Ingin membahas kerjasama dengan beliau."
"Ahh.. silakan langsung ke lantai atas pak. Anda akan bertemu dengan sekretaris pak direktur di sana."
"Oke, terima kasih." Kata Erland melangkah meninggalkan meja resepsionis. Ia langsung menuju lantai atas seperti yang dikatakan petugas yang berjaga di bagian depan kantor. Erland memelankan langkah kakinya saat berada di ruangan ekslusif direktur perusahaan Miles itu.
"Selamat pagi." Sapa Erland saat tiba di depan meja sekretaris yang duduk sambil menatap laptopnya.
Wanita itu mengangkat wajahnya. Ia segera mendorong kursinya ke belakang dan bangun dari duduknya.
"Ah..Selamat pagi pak, ada yang bisa saya bantu?" Tanya wanita itu tersenyum sambil menegakkan punggungnya.
"Saya direktur perusahaan Wyanet ingin bertemu dengan direktur Miles."
"Maafkan saya sebelumnya pak, asisten dari pak direktur Miles sudah berpesan untuk tidak menerima tamu dari perusahaan Wyanet."
GLEK!
Erland menelan salivanya begitu susah. Ia pun menenangkan diri dengan tarikan napas singkat.
"Tapi saya ingin bertemu dengan beliau. Apakah pak direktur ada."
"Pak direktur perjalanan keluar kota. Ia mengikuti meeting di kota A." Jelas wanita itu lagi
"Benarkah? Kalau dengan asistennya bagaimana?"
"Beliau juga ikut bersama pak direktur." Ucap wanita itu berbohong.
Erland menghembuskan nafasnya sambil mengusap wajahnya dengan pelan.
"Kapan beliau pulang?"
"Saya juga tidak tahu pak..."
Dahi Erland mengerut, "Bagaimana seorang sekretaris tidak tahu jadwal direkturnya yang sedang melakukan perjalanan bisnis? apa anda sekarang sedang berbohong kepada saya?" tanya Erland menaikkan alisnya setengah.
"Semua yang mengurus masalah perjalanan bisnis pak direktur itu bukan saya, pak. Tapi asistennya. Saya hanya mengurus pekerjaan di kantor saja."
"Saya yakin anda berbohong, pertemukan saya dengan direktur Miles." Erland kali ini berbicara tegas.
"Apa begini cara anda bertamu?" Wanita itu mulai tampak kesal.
"Apa begini juga cara anda melayani tamu?"
"Anda bukan tamu perusahaan ini, pak. Perusahaan Miles sudah masuk ke daftar buku hitam. Kerena memiliki banyak utang, bahkan semua perusahaan sudah tahu akan hal itu."
Wajah Erland seperti tertampar saat mendengar kalimat itu. Ia harus menahan diri untuk tidak terpancing emosi. Semua yang ia lakukan dalam beberapa minggu ini akan terasa sangat sia-sia. Erland harus menerimanya dan belajar berusaha memahami situasi ini.
Erland menarik napasnya terlebih dulu. "Baiklah jika seperti itu. Maafkan saya. Tapi jika direktur Miles sudah kembali. Anda bisa menghubungi saya." Ia mengeluarkan kartu namanya dan memberikan kepada wanita itu.
Sebelum tangan wanita itu mengulurkan untuk menerima kartu nama itu. Tiba-tiba terdengar suara bariton dari seorang lelaki tepat dibelakangnya.
"Apa kurang jelas, kamu tidak bisa menerima tamu jika itu dari perusahaan Wyanet, apa kau mau di pecat?"
Erland langsung membalikkan tubuhnya, menatap ke arah pria yang berdiri di depannya. Wanita itu dengan cepat menundukkan kepalanya.
"Ma-maafkan saya pak, saya sudah mengatakan hal itu. Tapi beliau sepertinya ingin bertemu dengan dengan pak direktur." ucap wanita itu gugup.
"Perusahaan Miles tidak bodoh menerima proposal murahan seperti itu. Bukankah semua sudah jelas, bahwa proposalnya ditolak. Kenapa anda masih datang dan mengulang untuk melakukan hal yang sama dan akhirnya berujung sia-sia."
"Tolong bantu saya pak, saya mohon!" ucap Erland tak bisa menutupi wajah cemasnya.
"Saya bisa menolong anda, tapi ada persyaratannya...." Belum lagi ia selesai mengucapkan kalimatnya. Erland sudah lebih dulu memotongnya.
"Apa persyaratannya, saya akan terima."
Pria itu tersenyum smrik. "Anda yakin?" Ucap pria itu dengan santai sambil memasukkan tangannya ke dalam kantong celananya.
"Iya," Erland menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Saya setuju dengan persyaratan yang anda berikan. Asalkan perusahaan saya bisa diselamatkan."
Pria itu tersenyum lagi. Ia kemudian menatap sekretarisnya. "Lanjutkan tugasmu dan persiapkan rapat bulanan. Saya tidak mau menunggu lama jika beliau sudah tiba. Persiapkan dengan baik jangan sampai ada yang kurang."
"Baik pak," Wanita itu segera membungkukkan badannya dan meninggalkan tempat itu untuk mempersiapkan rapat.
"Sekarang ikut aku." Ucap lelaki itu berjalan masuk ke dalam ruangan eksklusif yang bertuliskan direktur utama itu.
Erland menarik napas dan tersenyum. Sepertinya ia mendapat titik terang untuk memecahkan permasalahan perusahaannya.
"Silakan duduk!"
"Terima kasih." Erland langsung duduk di sofa tepat berhadapan dengan pria yang lebih muda darinya.
"Kau benar-benar menyetujui permintaan direktur Miles?"
"Iya saya menyetujuinya. Demi menyelamatkan perusahaan Wyanet. Apa persyaratan itu?" Tanya Erland dengan yakin.
"Nikahkan putrimu dengan direktur Miles." Ucap pria itu akhirnya.
"Menikah?" Erland sedikit terkejut mendengar perkataan pria yang duduk di depannya itu. "Siapa yang ingin menikah dengan putri saya?" tanyanya kembali.
"Direktur Miles sudah 10 tahun menduda. Beliau ingin sekali menikah. Jika anda bersedia, pak direktur ingin menikah dengan putri anda." ucap pria itu to the point sambil melepaskan cangkir gelas yang dipegangnya. Ia mengarahkan pandangan serius ke arah Erland yang begitu shock.
Wajah Erland berubah. Ia begitu terkejut di sana. Ia nampak menarik napas dan menahannya di dada. Tangannya mengepal kuat karena tidak terima dengan persyaratan yang berikan kepadanya.
"Putri saya masih kuliah. Bagaimana anda bisa membuat persyaratan seperti itu? Apa anda pikir menikah itu lelucon?" Ucap Erland mencoba bersabar.
"Saya tidak mengatakan pernikahan itu lelucon. Jika anda tidak bersedia menikahkan putri anda dengan pak direktur. Saya tidak bisa membantu anda."
Erland menarik lagi napasnya dan mencoba menstabilkannya dengan baik. Tangannya mengepal erat.
"Pak direktur hanya membutuhkan pendamping yang bisa menemani di hari tuanya. Anda sendiri sudah tahu beliau sering sakit-sakitan. Jadi, aku harap kau mengerti, jika pak direktur sangat menginginkan putri anda."
Erland tidak langsung menjawab, ia masih sangat shock. Direktur Miles yang ia dengar sudah paruh baya bahkan lebih tua darinya. Menikah dengan putri saya? tadi Erland berpikir jika persyaratan itu menyangkut kerjasama saja. Tapi ia tidak menyangka lelaki yang duduk di depannya itu meminta ingin menikahi putrinya.
"Apa anda sungguh-sungguh?" Tanya Erland dengan alisnya mengerut serius. Ia berharap jika pria itu hanya mencari alasan saja.
Pria itu terdiam sejenak, ia kemudian tersenyum. Senyumnya kali ini mengandung sejuta makna. "Apa aku terlihat becanda? pak direktur sungguh-sungguh ingin menikahi putri anda." ucap pria itu di kalimat yang sama.
Erland memejamkan matanya sambil melepas napasnya yang tertahan. Ini baru pagi, namun lelaki ini berhasil membuatnya terkejut.
"Apa tidak ada persyaratan lain? Kenapa harus mengorbankan putri saya." Wajah Erland terlihat putus asa. Rasanya ingin marah, tapi ia tidak bisa melampiaskannya.
"Itu adalah persyaratan dari pak direktur. Saya tidak bisa berbuat apa-apa." Ucap pria itu dengan santai, tatapannya tidak lepas memandang Erland.
"Aku tidak bisa melakukannya." Erland menggeleng pelan. Tidak mungkin ia mengorbankan masa depan putrinya.
"Aku tidak memaksamu untuk menerima persyaratan ini. Jika anda sudah selesai, silakan keluar!"
Erland bangun dari duduknya. "Aku masih bisa mencari jalan lain untuk menyelamatkan perusahaan Wyanet. Tapi bukan dengan cara seperti ini ."
"Silakan saja, tapi aku rasa kau akan kembali lagi ke sini dan menyetujui persyaratan itu." ucap pria itu tersenyum sinis.
Erland hanya bisa mengepalkan tangannya begitu kuat. Rasanya ingin menghabisi lelaki itu, tapi ia menahannya. Erland hanya mampu menarik napasnya sambil memejamkan matanya. Ia pasrah, Erland tidak mendapatkan apa-apa dari perusahaan Miles. Erland bangun dari duduknya. Ia tidak sanggup untuk membendung rasa perih di dada. Dengan segera ia membalikkan badannya dan keluar dari ruangan itu. Erland sedikit membantingnya.
BRUKKK!
Erland lagi-lagi menarik napasnya. Mata sudah berkaca-kaca. Hidungnya perih dadanya sesak sampai tidak bisa bernapas dengan baik. Dengan langkah cepat ia meninggalkan kantor Miles. Erland berjalan terus tak tentu arah.
"Bagaimana nasib perusahaan Wyanet?" Ucapnya dengan hembusan napas berat.
BERSAMBUNG.....
^_^
Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini Novel kesembilan aku 😍
Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.
^_^
💌 TERJERAT DENGAN SUAMI PALSU 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
.
SEMENTARA DI SISI LAIN.
Seorang gadis cantik dengan pakaian modis dengan make up natural sedang menyusuri koridor kampus, semua mata lelaki memandangnya penuh keinginan. Keinginan untuk memiliki, mencintai, semua itu adalah rasa yang menyelimuti benak setiap lelaki itu. Wajar sih gadis cantik itu memang pantas dipuji, dicintai, disayangi. Tapi mereka tak sanggup menggapainya. Karena, ada satu lelaki yang sangat beruntung telah memikat hatinya.
Gadis cantik itu bernama Yara Wyanet. Ia terlahir dari keluarga kaya. Yara sudah merasakan hidup mewah dan selalu dimanjakan orangtuanya. Ia kerap tampil dengan pakaian yang trendi dari brand fashion ternama. Tinggal di hunian yang keren, hingga menggunakan mobil yang nyaman dan mengenyam pendidikan mahal sejak Yara lahir. Tentunya hal ini merupakan privilege yang sangat ia syukuri.
Yara terus berjalan, ia tersenyum saat melihat pujaan hatinya sedang duduk menunggunya di depan air mancur yang hanya menyala hingga pukul empat sore itu. Air mancur masih menyala, pertanda waktu belum beranjak ke pukul empat. Ethan adalah kekasihnya yang sudah satu tahun dipacarinya. Ethan anak terlahir dari keluarga sederhana. Dengan kesederhanaan Ethan, Yara sangat mencintainya.
Yara semakin mempercepat langkahnya menuju Ethan. Ia tergopoh-gopoh berjalan dengan membawa laptop berukuran besar ini dari gedung departemen. Tasnya ia sampirkan di bahunya yang berayun-ayun ini berisi catatan-catatan dari pertemuan dengan dosen pembimbing sang maha guru. Pertemuannya dengan sang maha guru baru saja berakhir. Tiga jam saja Yara dibimbing beliau. Satu demi satu argumennya diputar balik oleh guru pembimbingnya. Sang maha guru sungguh tertarik dengan ide yang ia rangkai untuk karya akhir ini.
Sambil terengah-engah, ia pun teringat setahun lalu awal pertemuannya dengan Ethan. Ethan duduk di sebelahnya di sebuah kelas. Kala itu adalah hari pertama semester ke enam. Dan di hari itu, Yara mulai mengenal Ethan. Ethan adalah teman satu angkatannya. Mereka berdua memasuki menara gading ini berdua pada saat yang sama hampir empat tahun silam. Tapi entah kenapa, Yara tak pernah mengenalnya. Sejak hari itu, di setiap pertemuan, Yara dan Ethan selalu menghabiskan waktu bersama dan berdiskusi mengenai mata kuliah. Lama kelamaan diskusi itu merambah ke topik lain. Makan siang pun obrolan itu berlanjut. Tak hanya soal kuliah, tapi juga filosofi hidup.
Lama kelamaan Yara semakin tertarik dengan Ethan. Yara terhanyut menatap lekuk wajahnya. Sorot matanya yang tajam tapi penuh perhatian.
"Hai… kok bengong, sayang…" Yara mendekat ke arah Ethan, memiringkan kepalanya sambil mengedipkan matanya dengan cepat.
Ethan memalingkan wajahnya menatap ke arah sumber suara. Ia mengenali suara itu. Siapa lagi jika bukan kekasihnya. "Siapa yang bengong. Aku nungguin wanita cantik yang tak kunjung datang." Ethan tersenyum sambil mencubit hidung Yara dengan pelan.
Yara nyengir. "Maaf. Kamu harus nungguin lama." bibir Yara manyun ke depan.
"Hahahaha." Ethan mengacak rambut Yara dengan asal. "Tidak masalah jika wanita yang kita tunggu itu adalah kamu."
"Huuuuu aku jadi terharu...,"
Ethan tersenyum lagi, ia memasukkan tangannya ke sela-sela tangan Yara. "Kita nonton yuk?"
Hati Yara melonjak kegirangan, ia berusaha sok cool. "Nonton apa? emang ada yang bagus?"
"Ada Imitation Game. Review-nya keren." jawab Ethan.
Tanpa pikir panjang Yara mengiyakan. Terlihat gurat senyum bahagia di wajah Ethan. Mereka pun melangkah meninggalkan kampus.
⭐⭐⭐⭐⭐
Setelah film usai, Ethan dan Yara biasanya tetap duduk hingga nyaris semua orang pergi. Yara ingin bulat-bulat menikmati. Momen inilah yang Yara kira sebagai kenangan indah. Jangan sampai segera hilang musnah. Seperti ciuman pertama barangkali. Hanya sekali terjadi, tapi melamunkannya bisa berulangkali.
Bagi Yara, menonton film serupa dengan menayangkan cerita dan membayangkan bahagia. Lalu dibagi pengalaman menyenangkan sekaligus dihampiri kenangan menggembirakan. Dan sesudahnya pulang dengan senyum penuh kemenangan. Yara tersenyum bahagia sambil memeluk tangan Ethan.
"Kau menyukai filmnya?"
"Hmmm." Yara mengangguk.
"Kalau kau menyukainya, berarti kita akan lebih sering menonton lagi."
"Tidak masalah, asalkan itu bersamamu."
Ethan tersenyum sambil mencium punggung tangan Elana. "Kita mau kemana lagi?"
"Aku ingin kau menemaniku belanja."
"Heuh? belanja? Bukankah minggu kemarin kamu baru belanja?"
"Di sini ada pasar Tokyo, aku gak bisa tidur nyenyak, jika tidak menginjakkan kaki ke sana."
"Pasar Tokyo? Emang ada?" Ethan bingung.
"Hmmm. Semua perlengkapan yang ada di negara jepang ada. Semua lengkap! Restorannya juga ada. Kita akan makan di sana juga."
"Tapi Yara, itu namanya pemborosan."
Tapi Yara tak perduli. Ia dengan antusias, menarik tangan Ethan. Mereka ke pasar Ameyo yang terletak tidak jauh dari tempat bioskop yang mereka kunjungi tadi.
"Tempat ini menjadi nomor satu rekomendasi bagi orang yang berkunjung ke kota ini." Ucap Yara berjalan beriringan dengan Ethan.
"Benarkah?"
"Hmmm." Wajah Yara berbinar bahagia sambil memeluk tangan Ethan. "Semua barang, termasuk pernak-pernik khas Jepang untuk oleh-oleh bisa kita dapatkan di sini. Kualitasnya tidak diragukan lagi." kata Yara lagi.
"Sayang, kamu gak bosan belanja seperti ini setiap hari?"
"Wanita tidak pernah bosan belanja apalagi jika itu menyangkut soal penampilan." Kata Yara terkekeh saat melihat ekspresi wajah Ethan.
"Bagaimana dengan Aunty? Apa mereka tidak pernah bermasalah dengan pengeluaranmu setiap harinya?"
Yara tersenyum. Ia mengerti dengan pola pikir Ethan. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana yang hanya berpenampilan apa adanya. "Kalau mommy dan daddy gak pernah masalah sih. Tapi aku janji, ini yang terakhir."
"Janji ya?"
"Hmmm. Aku janji sayang. Aku akan lebih hemat lagi. Tapi, untuk kali ini izinkan aku membeli beberapa barang ya, hmmmm...."
"Oke. Baiklah." Ethan mengangguk pelan. Sebisa mungkin Ethan ingin membuat Yara menjadi wanita yang lebih menghargai uang.
"Kamu gak marahkan?"
"Heuh? Marah kenapa?" Yara mengerutkan keningnya.
"Marah karena aku membatasimu belanja."
"Hahahaha." Yara tertawa sambil menutup mulutnya. "Enggaklah, aku harusnya bahagia diperhatikan seperti ini. Itu tandanya kamu sayang dengan aku. Kau memang selalu yang terbaik sayangku." Yara semakin mengeratkan pelukan tangannya di tangan Ethan.
Mereka pun berjalan beriringan. Di sana terdapat rentetan toko-toko di sepanjang lorong jalan selebar lima meter di Ameyo. Yara memasuki setiap toko itu. Ia sampai bingung harus memilih yang mana. Beberapa pedagang di sana meneriakkan barang dagangan mereka dengan iming-iming harga murah sekaligus potongan harga untuk menarik para calon pembeli. Yara dan Ethan terus berjalan di sana. Mereka masuk ke toko yang menjual dompet dan tas tradisional Jepang hingga patung-patung kucing juga di jual di toko itu. Karena tidak ada yang pas sesuai di hati, Yara keluar lagi dari toko itu.
Berbelok ke simpang jalan bagian kanan, satu toko menggelar barang dagangan berupa kimono untuk anak-anak dan dewasa dengan harga bervariasi dengan bahan yang lebih tebal.
Yara tidak tertarik. Ethan hanya tersenyum. Berjalan santai menikmati terpaan angin. Saling bergandengan tangan seakan berbagi kemesraan mereka bagi siapa saja yang melihatnya.
"Mana yang bagus sayang, ini atau ini?" Yara menunjuk pakaian lucu yang ada di tangannya.
"Semuanya bagus."
"Jadi, aku ambil semua ya?"
"Hmm," Jawab Ethan dengan gumam, ia membawa beberapa hasil buruan Yara.
"Apa kau lapar?" Tanya Ethan memandang Yara.
Yara melihat jam yang ada dipergelangan tangannya. "Wah...ini sudah pukul 6 sore."
"Kita mau makan apa?" Ucap Ethan dengan bibir tersenyum sumringah.
"Bagaimana kalau kita makan mie ramen saja, kebetulan di persimpangan ada restoran Jepang yang menyediakan mie ramen."
"Boleh juga, tapi kita simpan dulu barang belanjaan kamu dulu."
"Pasti kamu kerepotan membawanya. Biar aku bantu."
"Aku masih kuat, biar aku saja." Ethan menolak saat Yara mengulurkan tangannya.
Yara tersenyum. Mereka pun melangkah saling bergandengan tangan menyebrang jalan menyimpan barang belanjaan ke mobil Yara. Lalu menuju restoran Jepang yang khusus menyediakan mie ramen.
Benar saja tempat restoran Jepang itu tidak jauh. Logo ikan terpampang jelas dan besar di atas pintu masuk. Mereka melangkah masuk. Mereka memilih duduk di pojok agar bisa melihat pemandangan sekitar. Pilihan mereka jatuh pada Soyu ramen topping beef yang super pedas, kimchi ramen topping, chicken dan blackcurrant tea.
Tidak menunggu lama, pesanan mereka pun datang. Yara tersenyum saat mencium aroma dari mie ramen yang tersaji di depannya.
"Kita makan sayang," Kata Yara antusias menatap makanan yang tersaji di depannya.
Ethan hanya mengangguk tersenyum. Mereka menikmati mie ramen dengan tenang. Rasa soyu yang begitu ringan melengkapi mie bertekstur kenyal yang diseduh matang sempurna. Belum lagi rasa daging yang diiris tipis dan begitu lembut saat dikunyah. Telur rebus yang di potong menjadi dua bagian menunjukkan kuning telur yang tingkat kematangan baik sekali, daun bawang yang di taburkan pun mampu menyempurnakan rasa.
Dan Yara lebih dulu berhasil menghabiskan mie ramennya. "Ahhhhh...." Yara membuka mulutnya puas sehabis menikmati makanannya. Ada sisa dari kaldu yang menempel di bibir Yara.
Ethan tersenyum menatap Yara, Ia mengambil tissue dan membersihkan sekitar mulut Yara. "Mau tambah lagi?"
Yara tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. "Sudah cukup sayang, habis ini kita pulang ya. Rasanya ngantuk."
"Hhhmm, baiklah."
Ethan mengangguk sambil menatap Yara penuh cinta. Ia berharap Yara adalah wanita yang menjadi pendamping hidupnya.
BERSAMBUNG.....
^_^
Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini Novel kesembilan aku 😍
Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.
^_^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!