NovelToon NovelToon

Buried Love

Part 1

“Mintalah pada orang tuamu untuk membatalkan perjodohan kita!” titah seorang pria bernama Arsen Alka.

“Aku tidak mau!” tolak Bellinda Baldwig.

“Pernikahan tanpa cinta, akan membawa kau ke kehidupan bak di neraka!”

“Aku akan membuatmu jatuh cinta, bagaimanapun caranya.”

“Jangan pernah menyesal karena tak mengindahkan peringatanku!”

Nyatanya, semua yang dikatakan oleh Arsen memang benar. Selama menjadi seorang istri, Bellinda tidak pernah dipandang maupun dilirik sedikit pun. Pria itu selalu berusaha menghindarinya, membangun benteng begitu tinggi untuk hubungan mereka supaya tidak terjalin lebih dekat.

Arsen tidak pernah kasar pada Bellinda, tapi pria itu bertutur kata tak menyenangkan. Sinis, ketus, singkat, dan yang pasti tidak pernah menunjukkan sisi hangat seorang suami.

Seharusnya, saat itu Bellinda tidak terlalu percaya diri bahwa bisa membuat suaminya jatuh cinta padanya. Selama satu tahun menikah, Arsen tidak pernah meminta hak untuk memuaskan hasrat. Dengan penuh keyakinan, dia memberikan tantangan supaya bercinta, dan kalau tidak tumbuh cinta juga, maka boleh menceraikan dirinya.

Merelakan mahkotanya diambil oleh sang suami, tapi tetap saja tak ada yang berubah dalam hubungan Arsen dan Bellinda.

Lalu ... Arsen sungguh mengakhiri pernikahan berlandaskan perjodohan itu. Dan Bellinda memilih untuk mengubur segenap cinta yang ia miliki. Tidak bisa memaksakan diri terus menerus karena sadar bahwa kebahagiaan Arsen mungkin bukan berasal dari dirinya.

Bellinda pernah bertanya, kenapa Arsen tak pernah bisa menerima dan menumbuhkan cinta untuknya. Jawaban pria itu cukup menyakitkan, walau memang benar.

“Manja, bodoh, menyusahkan, tak bisa apa pun.”

Itulah alasannya. Tapi, selama satu tahun pernikahan, Bellinda sudah berusaha untuk menjadi sosok yang tidak seperti Arsen katakan. Semua demi membuat pria itu jatuh cinta, walau pada akhirnya tetap berpisah juga.

Bellinda saat ini tengah duduk di ruang makan, termenung dan menghela napas pelan saat ingatan itu kembali mengitari isi pikiran. Sudah susah payah berusaha hidup di Amsterdam supaya jauh dari mantan suaminya, tapi beberapa hari lalu ia bertemu dengan pria itu lagi.

Bellinda tak tahu kenapa Arsen tiba-tiba muncul di depannya. Padahal, selama enam tahun tinggal di Amsterdam, ia tidak pernah berpapasan dengan mantan suami.

Namun, ada yang berbeda dengan pertemuan mereka setelah sekian lama bercerai. Jika saat status menjadi suami istri selalu memperlakukan ketus dan sinis, kemarin tidak lagi. Dia justru melihat sisi Arsen yang lebih ramah. Entah apa yang terjadi dengan sosok itu, Bellinda berusaha tidak mau tahu.

“Mommy ... aku sudah siap.”

Suara seorang anak kecil itu membuat Bellinda kembali memasang wajah penuh senyum. Sumber kekuatan dan semangatnya tengah berjalan dengan ransel di punggung. “Sarapan dulu, Sayang. Mommy sudah buatkan roti panggang dengan selai kacang.”

Bellinda menggendong putranya untuk dinaikkan ke kursi. Walau anak itu sudah bisa sendiri.

Sepasang mata Bellinda terus menatap wajah putra satu-satunya. Lahap sekali saat memakan buatannya, walau hidangan sederhana. Dia selalu tersenyum setiap kali memandangi setiap detail si kecil.

Mulai dari mata, hidung, bibir, hampir semuanya mirip dengan wajah mantan suaminya. Bellinda merasa seperti melihat Arsen dalam versi lebih mungil.

“Mommy jangan lihat aku terus, nanti jatuh cinta.”

Bellinda terkekeh dan tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala putranya. “Mommy memang sudah cinta denganmu, semua hatiku hanya untuk anakku seorang.” Ia lalu menoel hidung mancung si kecil.

Bocah itu memasukkan gigitan terakhir, lalu segera minum segelas susu. “Sarapan selesai, saatnya berangkat sekolah.” Dia terlihat sangat bersemangat.

Bellinda bergeleng karena sifat putranya jauh berbeda dengannya. Ia tidak pernah antusias jika sekolah.

“Let’s go!” Bellinda menggandeng tangan putranya untuk bersama keluar dari apartemen.

Namun, langkah kaki keduanya terhenti ketika pintu baru saja dibuka. Ada seorang pria berdiri di depan mereka.

“Hi, jagoanku.”

Part 2

“Daddy ....” Putra Bellinda langsung menghambur dan memeluk sosok pria bertubuh tinggi di hadapannya.

“Uncle Steven, Colvert. Dia bukan daddymu,” sanggah Bellinda sembari menggelengkan kepala.

Sudah berkali-kali diberi tahu dan pengertian kalau pria yang sering datang bertemu mereka bukanlah Daddy dari Colvert. Tapi, tetap saja bocah itu tidak mau merubah panggilan. Bellinda jadi tak enak hati pada Steven.

“Maaf, Stev,” ucap Bellinda.

“It’s ok. Tidak masalah, aku senang kalau Colvert menganggapku sebagai daddynya.” Steven sedikit membungkuk untuk membawa bocah lima tahun itu ke dalam gendongan tangannya.

Colvert menjulurkan lidah pada sang Mommy karena merasa dibela. “Daddy tidak marah. Yang penting, sekarang aku punya orang tua.” Melingkarkan tangan ke leher kokoh seseorang yang dia kenal saat usia empat tahun, dan langsung dianggap sebagai daddy karena merasa butuh sosok keluarga lengkap.

Bellinda hanya mampu menghela napas. Putranya sering bertanya tentang Daddy. Tapi, ia selalu menjawab kalau sedang bekerja jauh dan tidak bisa pulang. Selalu ada saja alasan yang akan diberi, sampai merasa bersalah. Namun, Arsen, mantan suaminya tidak pernah diberi tahu tentang keberadaan buah hati mereka yang tumbuh setelah perceraian.

Bukan Bellinda ingin egois. Tapi, ia sengaja merahasiakan hal itu karena mengingat bagaimana mantan suaminya yang tidak cinta, ketus, sinis. Takut kalau Arsen justru minta digugurkan akibat tak suka. Jadi, lebih baik dibesarkan sendiri. Toh, anak itu, Colvert, selalu membuatnya merasa selalu dekat dengan Arsen, pria yang pernah ia cinta.

Bellinda menghela napas dan tersenyum. Sudahlah, selagi putranya bahagia, maka ia biarkan saja. Lagi pula, Steven juga terlihat menyayangi Colvert. “Ayo kita berangkat.” Dia mengulurkan kedua tangan untuk mengambil alih sang anak.

Tapi, Steven merasakan kalau lingkaran tangan bocah dalam gendongan justru semakin erat. Pertanda kalau tidak mau turun. “Biar aku antar. Lagi pula, kau juga mengantarnya pakai transportasi umum, anggaplah sedikit irit untuk hari ini.”

Ya, Bellinda tidak bisa mengendarai mobil sendiri karena takut. Mungkin memang benar apa kata mantan suaminya kalau ia tak bisa melakukan apa pun. Pantas saja diceraikan.

“Kau tidak bekerja?” tanya Bellinda.

“Jam kerjaku kan bebas, yang penting semua selesai sesuai deadline dan customer puas dengan hasilnya.”

“Iya, freelancer arsitek.” Bellinda menutup pintu dan otomatis terkunci.

Mereka berjalan berdampingan. Tangan kiri Steven menggendong Colvert, sementara sebelah kanan terangkat hendak merangkul Bellinda. Namun, wanita itu seperti sengaja berjalan lebih cepat sehingga tak ada yang bisa ia raih.

Sudah satu tahun ini Steven mencoba mendekati Bellinda. Ia tahu wanita itu janda beranak satu. Tapi, wajah manis yang terlihat mempesona selalu membuatnya terpikat dan ingin sekali memiliki. Rasanya seperti tertantang jika bisa mendapatkan sosok yang selalu membatasi diri dengannya.

“Mobilmu parkir di basement atau depan?” tanya Bellinda saat masuk ke dalam lift sebelum menekan tombol lantai yang hendak dituju.

“Basement, memangnya kau tak tahu? Sekarang aku sudah pindah di unit sebelahmu.” Steven menyengir saat mendapatkan tatapan penuh rasa terkejut dari Bellinda.

“Yeay ... jadi, kita bisa setiap hari main bersama, Daddy.” Tapi lain dengan Colvert yang gembira.

Bellinda kembali menatap ke depan. Saat lift berhenti di lantai tujuan, ia berjalan mendahului sebelum dirangkul oleh Steven. Namun, karena sedikit terburu-buru, jadilah ia tersandung kaki sendiri.

Steven sigap meraih tangan Bellinda untuk digenggam. “Hati-hati.” Dan ia lebih erat hingga tidak mau dilepaskan.

Sementara itu, tanpa mereka ketahui, ada sebuah mobil di basement yang memantau dari kejauhan. Melihat bagaimana Bellinda berjalan digandeng oleh seorang pria dan anak kecil dalam gendongan.

“Arsen sialan! Sakit, bodoh! Kau mencengkeram pahaku terlalu keras!”

Part 3

Dua pria tengah duduk di dalam sebuah restoran yang tak jauh dari bangunan sekolah khusus anak-anak. Mereka adalah Arsen—mantan suami Bellinda, dan Pierre—sahabat baiknya.

Posisi meja yang ada di dekat jendela memudahkan Arsen untuk terus menatap luar. Mengawasi sekolah yang masih ramai oleh kendaraan orang tua murid yang tengah mengantar.

Sejak mobil yang ditumpangi oleh Bellinda pergi, Arsen pun mengikuti. Jadi, telah lima menit ia hanya duduk dan pandangan terus ke arah seorang pria yang nampaknya sangat dekat dengan anak kecil usia lima tahun.

Tangan Arsen di atas meja sampai terkepal, walau bibir tak mengucap apa pun. Ada rasa tak senang yang mengganjal dalam dada.

Hingga mobil yang sejak tadi diamati telah pergi, barulah Arsen berhenti melihat luar. Dia langsung meraih gelas di depannya, meneguk habis tak bersisa.

“Kenapa? Cemburu?” Pierre tentu saja mengejek. Dia sampai mengambil tempat duduk yang di depan Arsen supaya tidak menjadi korban penyaluran amarah sahabatnya yang sedang kepanasan hati.

Arsen menarik sebelah sudut bibir sinis. “Aku? Cemburu? Dengan pria itu?” Menyandarkan punggung dengan kedua tangan di lipat begitu sombongnya. “Ambil saja bekasku. Apa pedulinya aku?”

“Oh ... lalu, kenapa kau meminta aku datang ke sini?” Suara seorang pria yang baru saja masuk itu langsung menyambar pembicaraan. Dia adalah Eduardo, sahabat Arsen juga. “Demi teman, aku sampai memindah lokasi honeymoon jadi ke Amsterdam.” Ia duduk di sebelah Pierre dan menunjukkan gelengan kepala pada pria yang duduk seorang diri. “Dan sampai sini, hanya melihatmu yang terus berusaha membohongi diri?”

Arsen menghela napas dan memutar bola mata. “Siapa yang bohong? Memang seperti itu kenyataannya.” Ia terus berusaha menunjukkan kalau tidak tertarik dengan mantan istri.

Eduardo dan Pierre bergeleng kepala. Tak habis pikir dengan satu temannya yang masih saja belum terbuka mata serta hati. Atau mungkin sudah? Tapi tak diberi tahu pada mereka karena ... malu? Bisa jadi.

“Madhiaz, mana? Katanya mau ke sini?” tanya Arsen.

“Sedang di jalan. Dia mengantar anak istrinya ke hotel,” jawab Eduardo yang bekerja sebagai asisten Madhiaz juga.

“Semua teman-temanmu sampai rela pindah sementara ke Amsterdam hanya untuk memberimu support, jangan sampai kau membuat kami kesal karena tidak mau mengakui perasaanmu sendiri,” peringat Pierre.

“Perasaan apa? Aku pada Bellinda? Ya tetap sama, tak ada yang berubah.” Arsen memalingkan pandangan mata saat mengatakan itu, tidak menatap manik dua temannya.

“Susah ... susah ... keturunan batu ya jadinya kau itu,” ejek Pierre.

Sembari menanti Madhiaz datang, mereka memesan makanan untuk sarapan. Dan tak lama kemudian, yang ditunggu pun hadir juga, bergabung bersama mereka.

Madhiaz langsung duduk di satu-satunya kursi yang kosong. “Arsen kenapa? Emosi pada siapa?” tanyanya saat mendapati wajah sahabatnya terus mengeraskan rahang, ditambah tangan mengepal. Apa lagi sorot mata yang ditangkap juga penuh kebencian serta rasa tidak suka. “Jauh-jauh datang ke sini, hanya untuk melihat wajah kesalnya? Sia-sia aku.” Ia meraih gelas milik Eduardo yang masih penuh dan belum diminum. “Kau pesan lagi!”

“Bukan emosi, tapi dia cemburu melihat mantan istri digandeng pria lain,” adu Pierre.

“Ck! Sudah ku katakan dan tegaskan kalau tidak cemburu. Bellinda mau dekat dan dimiliki pria manapun juga terserah dia.” Arsen meluruskan. “Bukan siapa-siapaku juga.” Tapi ada nada yang terdengar lain di kalimat terakhir.

“Ya ... ya ... ya. Tidak cemburu, tapi tadi kau remas pahaku sampai sakit,” ucap Pierre.

Eduardo pun menepuk pundak Pierre. “Maklum, duda munafik.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!