*Aku bisa menjadi apa saja sesuai keadaan. Aku bisa menjadi ukhty dan aku juga bisa seperti Kunti.
Lebih sering menjadi Kunti, sepertinya*.
Ucapan belasungkawa terus diterima dari para pelayat untukku dan ibu mertuaku. Tenda biru terpasang di rumah mertua ku sebagai tanda ada salah satu umat muslim meninggal dunia. Bendera kuning juga terlibat di depan rumah kami.
Aku menoleh ke samping kanan dimana ibu mertua ku masih menangis atas kehilangan putra tercinta nya yang tak lain adalah suamiku. Sementara aku? sudah tak menangis lagi karena hatiku sedang gundah gulana.
Aku tidak tahu harus merasa sedih atau senang atas meninggalnya suamiku karena kecelakaan kerja kemarin sore. Arman, itulah nama mendiang suamiku. Bukan kecelakaan kerja biasa yang dialami suamiku.
Suamiku meninggal dunia karena tersambar petir saat jam kerja.
Nama ku, Nirmala Sari. Akrab dipanggil Lala, umurku 25 tahun. Aku sudah menikah selama 5 tahun, belum di karuniai anak. Tapi, aku pernah hamil dan keguguran karena terlalu kelelahan melakukan aktivitas ibu rumah tangga.
Saat di nikahi mendiang suamiku, ayah ku sudah meninggal dan ibu ku menyusul dua tahun lalu.
"Terima kasih, Bu. Maafin segala kesalahan mas Arman, ya." Itulah kalimat yang aku lontarkan kepada para warga dan teman-teman mendiang suamiku yang datang melayat juga ikut memakamkan jenazah suamiku.
Para tetangga itu mengangguk memaafkan. Setiap para tetangga mengucapkan kalimat belasungkawa, juga mereka mengelus lengan ku agar aku kuat dan tabah.
Suamiku sendiri dua bersaudara dan dia anak sulung.
\*\*\*\*
Para pelayat mulai bepergian, ada sebagian tetangga yang masih berada di rumah mertua ku karena sedang memasak buat para takziah nanti malam.
"Bu. Aku mau ke kamar," ucapku kepada ibu mertua yang masih tampak tak berdaya atas kehilangan suamiku.
Memang ku akui, suamiku adalah kebanggaan keluarga. Dia selalu di agung-agungkan karena keahlian nya yang serba bisa. Ramah kepada siapa pun hingga membuat banyak dikenal orang.
Terbukti para pelayat yang hadir bukan hanya kerabat dan para tetangga saja. Bupati beserta ajudan, Camat, dan kepala Desa juga turut hadir berbelasungkawa. Bahkan mereka memberi amplop yang aku yakini isinya adalah uang.
Aku mengintip dari jendela dan aku sibakkan sedikit horden melihat siapa saja yang membantu memasak untuk para takziah malam nanti. Helaan nafas panjang menyertai setelah mendengar obrolan mereka.
"*Banyaklah nanti dapat uang mati si Lala dari Perusahaan," kata tetangga ku*.
"*Iya. Tapi harus bagi dua lah dia sama mertua nya. Kan Lala gak punya anak," sahut tetangga yang satu lagi*.
Memang benar, Di Perusahaan suamiku bekerja memiliki asuransi hidup bagi para pekerja. Seperti suamiku ini, meninggal di saat jam kerja maka akan mendapat kompensasi kematian.
Yang pernah aku dengar, jika meninggal saat jam kerja akan mendapat kompensasi senilai Rp 100.000.000.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang di dalam kamar. Aku tidak lagi menangis, aku akui sedih dalam hati itu ada.
Aku tidak menyangka Allah mengabulkan keluhan ku selama ini. Bagaimana tidak?
Suamiku yang selalu di agung-agungkan keluarganya.
Apa yang diberikan suamiku, untukku membuat banyak para istri tetangga merasa cemburu dan iri padaku.
Ya, suamiku selalu melengkapi kebutuhan ku dan suamiku pula bekerja bukan hanya di Perusahaan. Sebagai orang kampung, memiliki lebih dari satu pekerjaan itu sudah dianggap orang mencukupi kehidupan kami.
Memang benar.
Aku yang tidak memiliki penghasilan dan kebutuhan ku terpenuhi tentu saja banyak yang iri. Terlebih, kami belum memiliki momongan.
Tapi, ada sesuatu yang tidak pernah diketahui orang lain. Sesuatu yang mampu membuatku selalu mengeluh dan berasa ingin pisah dengan suamiku.
Kami memiliki karakter yang berbeda. Kami memiliki kebiasaan yang bertolak belakang. Kami memiliki kesukaan yang tidak sama. Tapi hanya kami yang mengetahui itu, para tetangga tak mungkin tahu.
Sehingga sering terucap dalam hati ingin pisah. Dulu sempat kami bertengkar hebat ingin pisah cerai. Tetapi, aku yang tidak memiliki siapapun, aku yang tidak memiliki penghasilan membuatku kesulitan mengurus surat-surat yang dibutuhkan untuk bercerai karena uang yang diberikan suamiku diambil kembali, ATM yang ku pegang di sita suamiku. Oleh sebab itulah, aku urung menggugat cerai.
Tapi lihatlah, Allah justru memisahkan kami dalam keadaan dunia yang berbeda. Tidak pernah terpikir olehku sebelumnya.
❤️
Di dalam agama Islam, pernikahan merupakan salah satu ibadah yang paling dianjurkan dan termasuk ke dalam sunnah Nabi. Apabila kamu hanya mengetahui bahwa tunangan adalah sebuah proses menuju pernikahan. Maka dalam Islam kamu akan mengenal yang namanya khitbah. Khitbah adalah salah satu proses atau jembatan menuju pelaminan yang dianjurkan oleh Islam.
Sebelum melaksanakan khitbah, calon mempelai laki-laki perlu memperhatikan dan memahami beberapa hal yang digunakan untuk menentukan perempuan mana yang akan Ia lamar. Hal tersebut dimaksudkan supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan di masa depan.
Oleh karena itu, perlu kita pahami bahwa pernikahan merupakan hal yang sangat sakral dan tidak dapat dilakukan dengan cara main-main dan tidak mengikuti aturan agama.
"Ummi.. Jangan terburu-buru, ya? Kalau jodoh nggak akan kemana. Allah sudah mengaturnya," kata ku selalu menunda permintaan Ummi.
"Ya Allah, Gusti. Mau sampai kapan kamu melajang terus? Tahun depan kamu sudah 30 tahun, Adnan."
Aku menghela nafas panjang mencoba tetap tenang. Selalu saja begitu jika aku sudah mengisi pengajian ibu-ibu di daerah kami. Ummi sering terpengaruh atas ucapan-ucapan para tetangga karena aku tak kunjung menikah.
Namaku Jaffan Al Adnan. Mereka yang mengenalku memanggil Adnan, usia ku 29 tahun dan benar kata Ummi, tahun depan sudah 30 tahun. Aku belum pernah menikah alias lajang dan tidak pernah pacaran karena sedari kecil hingga sekarang aku hidup di lingkungan orang-orang yang taat beragama.
Aku seorang pengajar tetap di salah satu Pesantren terbesar daerah Jawa Timur. Orang-orang memanggilku Ustadz Adnan. Rumah orang tua ku terletak di belakang Pesantren, sementara rumah sederhana ku seberang jalan Pesantren.
"Adnan," kata Ummi membuatku memandang lekat wanita yang sudah melahirkan ku ke dunia.
"Ya, Mmi."
"Kamu dengar Ummi ngomong atau gak?" tanya Ummi ku bernama Salma.
Aku menghela nafas kemudian duduk di lantai tepat dihadapan Ummi ku. Aku genggam tangan beliau lembut penuh kasih sayang. Ummi berani menuntutku begini jika Abi tidak di rumah.
"Ummi, menikah itu nggak bisa dipaksakan." Aku mencoba memberi pengertian kepada Ummi agar mengerti maksud dari aku belum juga menikah di usia yang sudah cukup.
"Ummi tahu. Tapi, apa yang kamu tunggu, nak? Farah gadis Sholehah, anak kyai yang sudah di jamin ketaatan Agama nya. Anak-anak kamu juga sudah terjamin ilmu agama nya," begitulah kata Ummi ku yang berani mengungkapkan pendapat, lebih tepat memaksa ku untuk segera menikah ketika Abi tidak di rumah.
Aku tersenyum menanggapi setiap ucapan Ummi karena tak mungkin berkata kasar. Aku ingat dosa. "Menikah itu gak mudah, Mmi."
Ummi terlihat cemberut. Agaknya memang sudah menginginkan anak sulungnya menikah. Benar, aku adalah anak sulung dan adik ku, Azmil adalah santriku di pondok Pesantren.
"Jadi kamu ngisi tausiyah di pengajian atau saat pengajar itu hanya materi? Ummi nggak tahu jalan pikiran kamu," Ummi ku sepertinya benar-benar memaksa ku kali ini. Kesempatan yang sangat jarang dimanfaatkan betul-betul oleh Ummi lantaran Abi tidak berada di rumah.
"Ummi. Calon Istriku sedang menikmati waktu nya sebelum bertemu dengan ku. Ummi tenang saja, setiap malam Adnan sudah mengirim Al-fatihah untuk nya. Mendoakan dia agar tetap menjaga aqidah nya," terang ku kepada Ummi tetapi agaknya beliau masih kesal karena aku pun tidak tahu siapa calon istriku.
Bahkan aku tidak tahu apakah jodoh atau kematian yang lebih dulu menghampiriku.
"Ummi tahu kamu belum tahu siapa perempuan calon istri kamu, kan?" Mendengar pertanyaan ummi membuat ku tertawa pelan karena benar-benar tak dapat berbohong sedikitpun. Aku pun terbiasa mengatakan jujur kepada semua orang.
Didikan keras tentang Agama menjadi darah daging bagiku. Aku diam seribu bahasa mendengar pertanyaan Ummi yang tak dapat aku elakkan lagi.
"Nak. Kitbah Farah, Ummi dengar dia juga mengagumi mu."
Aku hanya dapat menghela nafas panjang mendengar ucapan Ummi lagi. Ucapan istighfar dalam hati terus ku ucapkan karena Ummi sedang memaksa ku.
"Apa yang dipaksakan nggak baik, Ummi. Paksaan itu terbagi dua. Paksaan perkataan dan perbuatan. Paksaan perbuatan terbagi dua juga yaitu Pertama, yang diperbolehkan oleh keadaan (darurat). Misalnya, paksaan untuk meminum khamar, memakan bangkai, memakan daging babi, memakan harta orang lain, atau apa yang diharamkan Allah. Dalam keadaan yang demikian, maka diperbolehkan melakukan hal itu semuanya. Kedua, paksaan yang tidak diperbolehkan oleh keadaan (tidak darurat). Misalnya, paksaan untuk membunuh, melukai, menganiaya, berzina, dan merusakkan harta. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: ''Sesungguhnya Allah mengampuni umatku dari dosa yang dilakukan karena kesalahan, kelupaan, dan apa yang dipaksakan kepada mereka.'' Demikian disarikan dari buku Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq."
"Ummi mau Adnan gak bahagia karena dipaksa menikah? Bagaimana jika akhirnya gak bisa mencintai Farah padahal kita tahu, wajib bagi kita untuk mencintai pasangan kita. Yang ada aku berdosa, Ummi."
Aku menjelaskan panjang lebar agar Ummi tersayang ku ini agar mengerti keadaan ku. Aku tahu, menikah itu adalah pelengkap separuh agamaku. Tapi, kembali bagaimana jika aku yang belum menemukan tambatan hati?
Aku akui, beberapa kyai meminta aku menikahi putri mereka. Aku akui ilmu agama mereka tidak diragukan, hanya aku yang belum merasa yakin untuk menikahi mereka. Seperti ada sesuatu yang menghalangi hati ku untuk menerima mereka.
Aku juga melakukan sholat istikharah memohon petunjuk siapa jodoh ku. Namun, Allah memberi petunjuk seperti bayangan seorang wanita cantik tetapi wajah nya murung. Wanita asing yang belum pernah ku temui.
"Astaghfirullah. Maafin Ummi, nak."
Aku tersenyum disertai anggukan menanggapi ucapan Ummi yang sama sekali tak membuat hatiku sakit.
"Assalamualaikum," terdengar suara Abi dari depan rumah.
"Waalaikumsalam," ucap ku dan Ummi hampir bersamaan. Aku pun segera duduk ke sofa kembali agar Abi tidak mempertanyakan posisi duduk ku.
Ummi menyalam takzim punggung tangan Abi kemudian menuju dapur untuk membuatkan teh. Sementara Abi duduk di sebelah ku.
"Apa Ummi kamu memaksa mu untuk menikah?" tanya Abi menduga yang telah terjadi di antara kami.
Aku hanya terkekeh menanggapi.
"Gak apa-apa, Abi. Adnan sudah biasa. Adnan ke kamar dulu," terangku kemudian bangkit dan berjalan menuju kamar ku. Malam ini, aku menginap di rumah Abi dan Ummi.
Di dalam kamar, aku membuka ponsel ku. Ku lihat aplikasi Instagram. Meski aku memiliki akun di apliyini, tapi tak pernah sekalipun aku memasukkan fotoku ataupun keluargaku. Akun ku hanya berisi tentang cuplikan atau video tentang ilmu Agama.
Dahi ku berkerut melihat salah satu akun gosip memperlihatkan artikel yang membuatku iba.
"Insya Allah Mati syahid karena meninggal saat mencari nafkah untuk keluarga," tutur ku lalu ku scroll ke samping melihat gambar yang masih berkaitan dengan artikel tersebut. Seketika tanpa sengaja kedua sudut bibirku tertarik ke atas membentuk senyuman.
❤️
"Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Allah Swt. Kita pasti pernah mendengar atau bahkan membaca beberapa kemulian dan kesitimewaan seorang wanita. Dalam hal ini, wanita mempunyai kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Wanita muslimah haruslah menjaga harkat dan martabat mereka sebagai muslimah shalihah."
"Hal ini telah terbukti dalam banyak hadist bahkan ayat di dalam Al-Quran yang menjelaskan tentang keistimewaan seorang wanita. Dalam Islam, kedudukan seorang perempuan menjadi istri dan ibu sangat dimuliakan peranannya dalam kehidupan. Agama Islam meninggikan derajat seorang perempuan sehingga dia menjadi salah satu aspek penting dalam beribadah kepada Allah. Pada dasarnya, perempuan memiliki hak khusus di mana ia harus dimuliakan perannya dalam kehidupan. Dalam al-Quran, Allah Swt menjelaskan bahwa kedudukan wanita pada Islam sama dengan laki-laki. Perempuan diciptakan sebagai pasangan buat laki-laki bukan sebagai budak atau harta yang dapat untuk diperjual-belikan."
"Wanita shalihah adalah perhiasan dunia. Islam menempatkan wanita sebagai makhluk paling mulia yang harus dijaga. Allah Swt menciptakan wanita beserta keindahannya dari ujung kepala hingga kaki. Keindahan itu bukan hanya dinilai dari fisik saja, melainkan juga hati dan pikiran. Layaknya perhiasan, haruslah dijaga dan dirawat. Sebuah hadist menyebutkan,
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang shalihah.” (HR Muslim dari Abdullah bin Amr)."
Aku mendengarkan ceramah dari seorang ustadz dengan seksama. Mendengarkan isi ceramah itu seakan menyadarkan aku bahwa selama ini belum pernah dimuliakan oleh suamiku, mas Arman. Seketika rasa iri menyeruak dalam kalbu melihat para istri di mulia kan oleh suaminya.
Aku juga mengingat salah satu tetangga yang memiliki suami sangat pengertian kepada istrinya. Setiap pagi, setelah mengisi absen kehadiran kerja selalu membantu mengerjakan pekerjaan rumah.
Sementara aku?
Rasanya aku sudah lelah mengeluh hingga malas menceritakan bagaimana kehidupan rumah tangga ku yang di nilai orang lain sangat sempurna.
Memang namanya berumah tangga tidak ada yang sempurna, kan? Persis di lingkungan ku. Aku dan suami tingga di Mess Perusahaan. Banyak karakter tetangga yang aku temui disini.
Ada yang suaminya penjudi.
Ada yang suaminya memakai barang haram dan tak segan melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Ada yang suaminya penurut justru istrinya selalu di datangi orang-orang Mekar.
Aku sendiri bersyukur dari segi materi selalu terpenuhi oleh suamiku meski aku harus memendam nafkah batin ku yang terus di abaikan. Bukan masalah ranjang saja, segala hal kedamaian batin ku tak juga terpenuhi.
Aku terus memerhatikan seorang ustadz yang berdiri di atas mimbar. Dia seorang pria rupawan, religius, dan pasti sudah punya istri.
Ah, pasti sangat bersyukur yang menjadi suami nya itu. Tutur kata yang lembut dan sopan. Apalagi dapat menuntun istri ke jalan Allah.
Andai suamiku seperti itu. Bukan melulu mengejar dunia dan melupakan kehidupan yang kekal itu di akhirat.
Aku sering sesekali mencuri waktu menghadiri tabligh Akbar di Mesjid Raya kota kami. Biasanya diadakan satu bulan sekali dan menghadirkan ustadz lokal saja. Namun, khusus hari ini Mesjid Raya menghadirkan Ustadz dari Jawa, aku kurang tahu pastinya.
Ustadz tersebut datang bersama calon Wakil Presiden dalam rangka meminta doa dan restu kepada masyarakat pedalaman seperti kota Kami ini.
Hati ku damai berada di kelilingi wanita shalihah. Banyak sekali perempuan memakai pakaian syar'i bahkan menutupi sebagian wajahnya dengan niqob.
Masya Allah, aku malu dengan keadaan ku yang berpenampilan jauh dari kata sempurna seperti mereka. Ingin sekali aku menjaga tubuhku dari mereka yang bukan mahram ku. Yang selalu betah di rumah dan dicemburui oleh suami ku.
Aku ingin seperti mereka.
"Ada yang ingin bertanya dari tausiyah saya barusan bapak, ibu, dan jamaah yang di Rahmati Allah Subhanahu Wa Ta-ala?" Tanya ustadz tampan itu yang belum ku ketahui namanya. Padahal, banyak papan bunga dan baliho ucapan selamat datang dan pemberitahuan tabligh Akbar bersama ustadz tampan ini. Namun, aku tidak memerhatikan nama nya.
Astaghfirullah, secuek itu aku. Padahal, sekarang aku ingin tahu namanya.
Aku menegakkan tubuh melihat siapa yang akan bertanya mengenai tausiyah yang di sampaikan. Ku lihat ibu-ibu sekitar usia 40-an mengangkat satu tangan nya.
"Assalamualaikum, ustadz. Saya Animah seorang istri yang tidak bekerja. Saya ingin bertanya. Di dalam hukum Islam, apakah seorang istri wajib mengerjakan pekerjaan rumah?"
Wah... Ingin sekali aku bertepuk tangan setelah mendengar pertanyaan ibu Animah itu. Pertanyaan yang mewakili banyak nya para istri, termasuk aku.
Ustadz tampan itu tersenyum. Ah, andai aku belum bersuami pasti aku bakal jatuh cinta padanya. Tapi, kalau sudah beristri, aku tidak akan mau.
Haish.. Ada apa dengan ku?
"Waalaikumsalam."
"Ada dua tugas istri dalam Al-Qur'an. Dua di Qur'an surah keempat ayat 34. Ini yang paling pokok," kata ustadz tampan itu.
"Pertama, perempuan yang sholehah itu tugas pertamanya," kata Ustadz tampan itu.
"Dia taat kepada Allah dengan cara mentaati suaminya. Sepanjang suami minta yang baik-baik," lanjutnya.
Dalam hati aku beristighfar berulang kali karena belum bisa menjalani tugas istri yang pertama.
"Sedangkan untuk tugas pokok kedua dari istri sholehah adalah menjaga nama baik keluarga. Seorang istri perlu menjaga nama baik suami, terutama apabila suami sedang tidak bersamanya."
"Jadi ibu-ibu, pekerjaan rumah itu bukanlah kewajiban istri. Tapi, dikerjakan dalam bentuk taat pada suami. Semoga, penjelasan saya dapat dipahami. Baiklah, apa masih ada yang ingin bertanya?"
Aku kembali menegakkan tubuh melihat siapa yang akan bertanya lagi. Ah, ada. Penampilan nya tertutup dengan niqob. Dapat kulihat jika dia tersenyum kentara dari lekukan matanya.
"Assalamualaikum, Ustadz. Saya Nabila, 20 tahun. Saya ingin bertanya, apakah Ustadz sudah punya istri?"
Seketika halaman Masjid Raya yang di penuhi jamaah menjadi riuh. Cuaca panas tak menjadi hambatan untuk menghadiri tabligh Akbar ini.
Aku melihat ustadz itu tersenyum kikuk dengan wajah yang memerah. Calon wakil Presiden juga tampak tertawa seraya menggoda ustadz tersebut.
"Waalaikumsalam, saudari Nabila. Alhamdulillah, saya lajang."
Aku terperangah hingga mulut menganga. Beruntung aku memakai masker kain sehingga tidak ada yang tahu jika aku begitu. Benarkah?
Kenapa hatiku merasa senang?
Aku menggeleng seraya beristighfar karena perasaan aneh ku ini.
"Waalaikumsalam," pekik jamaah bersamaan menjawab salam dari ustadz tampan itu.
Aku terperanjat mendengar sahutan salam ya g tak ku dengar salam dari ustadz tampan itu. Ku lihat banyak jamaah bubar meninggalkan pelataran Masjid begitu juga dengan ku yang berjalan menuju Parkir sepeda Motor. Aku urungkan niat untuk segera pulang karena sebentar lagi waktu sholat ashar.
Aku pun kembali masuk ke area Masjid dan segera menuju kamar mandi khusus perempuan dibagian Utara masjid, sementara kamar mandi laki-laki di bagian Selatan. Dari kedua tempat kamar mandi tersebut, akan menjadi satu jalan menuju teras Masjid.
Tidak ada yang aneh disini. Aku berdiri bersandar pada dinding menunggu antrian mengambil wudhu. Aku lihat perempuan-perempuan yang berniqob membuka benda itu. Sungguh, kecantikan yang luar biasa. Pantas saja mereka menutup wajah agar hanya mahram yang dapat melihat kecantikan itu.
Aku menebak kebanyakan yang ada di kamar mandi ini masih lajang. Tidak denganku, aku sudah bersuami.
Usai berwudhu, aku memakai hijab ku kembali lengkap dengan kaos kaki nya. Di sepanjang jalan menuju teras masjid, aku melangkah perlahan karena sedang membaca baliho yang bertulis siapa nama ustadz tampan tadi.
Jaffan Al Adnan.
BRUK
"Astaghfirullah."
"Ya, Allah."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!