Setahun sebelumnya, di area Danau Kelinci Hitam.
"Udara malam ini sangat dingin, aku butuh tempat hangat untuk tidur, semoga pondok kecil itu kosong," ucap seorang pria berpakaian kotor, berjalan cepat sambil menyibakkan alang-alang kering yang menjulang tinggi di hadapannya.
"Ah ... itu danaunya," ucap pria itu senang menemukan Danau Kelinci Hitam.
Lalu pria itu berbelok ke kanan dan berjalan sepanjang danau, beberapa saat kemudian pria itu sampai di depan pondok kecil yang diapit dua pohon besar menyeramkan. Gelap, sunyi dan kotor, membuat aura angker pondok kecil itu makin menyeruak keluar.
"Tak apalah, yang penting, aku tidak mati kedinginan malam ini," gumam pria yang sudah gemetar kedinginan.
Krieeettt ...
Ia berjalan masuk ke dalam pondok, namun baru beberapa langkah, tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu.
"Terlalu gelap, aku tak dapat melihat apapun di lantai. Apaan sih ini?" tanyanya penasaran.
Ia segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan korek api gas.
Krek ... krek ... cesss, korek api gas menyala.
Cahaya api mulai menerangi ruangan dan sedikit membantu pengelihatannya. Ia segera mengarahkan korek api gas ke bawah kakinya.
Deg ...
Nampak sebuah kepala manusia dengan mata melotot, berada di dekat kakinya.
"Hantuuu ... " pekik pria itu kabur dari pondok secepat mungkin.
*
*
*
Athena Pov On
Now ...
Di sebuah rumah mewah
Kriet …
Suara pintu kamar terbuka. Aku yang sedang tertidur, langsung terbangun.
“Ah … Siapa yang membuka pintu kamarku tengah malam begini?” gumamku pelan.
Aku tetap berbaring di tempat tidur, hanya menolehkan kepala, memandang ke arah pintu yang ada di sebelah kanan bawah tempat tidurku. Berusaha membuka mata sedikit lebih lebar, karena aku masih sangat mengantuk, mataku masih berat. Aku berusaha mencari-cari siluet manusia atau sesuatu yang telah membangunkan tidur pulasku. Terlalu gelap, tak ada sinar sama sekali, bahkan sinar rembulan atau cahaya dari luar jendelapun seperti menghilang entah kemana. Aku tak dapat melihat apapun.
Apakah karena mataku yang belum dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ruangan yang gelap atau lampu tidurku yang padam, padahal lampu tidurku selalu dalam kondisi menyala saat aku tidur?
Tanganku meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurku, menggapai-gapai tombol on off lampu tidur yang ada di atas meja.
Dapat … dan klik … lampu tidur masih belum menyala.
Klik … klik …
Aku menekannya dua kali untuk mematikan dan menyalakan kembali. Tapi lampu tidurku masih belum menyala.
Kegelapan terus menyelimuti ruangan kamar tidurku.
Lalu terdengar langkah kaki berat dari kejauhan, makin lama suaranya makin mendekat. Jantungku mulai berdetak kencang, nafasku mulai tak beraturan, aku panik. Terus menekan tombol on off sambil berdoa agar lampu tidur segera menyala.
Ayolah … menyalalah … Aku benar-benar sudah ketakutan.
Kenapa? Kenapa lampu tidur ini tidak menyala saat suara langkah kaki itu kian mendekat. Apakah bohlamnya rusak? Atau sekarang listrik padam? Tapi kenapa tiba-tiba padam? Malam ini cerah, tidak ada petir, tidak ada hujan, kenapa listrik padam?
Tiba-tiba sebuah tangan kokoh menerkam leherku, menekannya sangat keras, membuat tenggorokanku tercekik, sakit, sakit sekali … nafasku jadi sesak, aku tidak bisa bernapas. Jemari tanganku berusaha melepas jari kokoh yang menekan leherku. Tapi cengkramannya terlalu kuat. Tidak berhasil. Tetap tidak berhasil walaupun aku telah berusaha keras.
“Mati kau … mati kau … ” sebuah suara seorang pria, serak dan kasar terdengar jelas di kegelapan. Dan bau alkohol pekat tericum oleh hidungku. Pria itu mabuk dan ingin membunuhku.
“Lebih baik kau mati saja,” geram pria itu.
Mendengar suaranya dua kali menegaskan bahwa dia menginginkan kematianku, membuatku makin panik dan putus asa. Aku berusaha memukul, mencakar tangan kokoh itu dengan frustasi. Aku takingin mati, aku masih mau hidup. Tapi tidak sedikitpun lelaki itu mengendurkan cengkraman tangannya di leherku. Malah makin kuat mencekik leherku.
Dor …
Dan dor … sekali lagi.
Terdengar bunyi tembakan sangat keras, dua kali. Telingaku mendesing, aku memejamkan mataku untuk mengusir rasa pening yang tiba-tiba menyergap kepalaku. Dan aku tidak sadarkan diri kemudian.
Keesokan harinya,
Sebuah cahaya terang mengenai mataku, aku terbangun. Ternyata matahari sudah keluar dari ufuk timur, sinarnya masuk melalui jendela kamarku. Aku membuka mataku perlahan, mengerjab-kerjab, berusaha menyesuaikan diri dengan suasana kamar yang sudah mulai terang.
“Ah … leherku sakit sekali,” gumamku saat mengangkat kepalaku dari bantal tidurku yang empuk. Ingatan tentang kamar yang gelap, seorang pria yang menginginkan kematianku, dengan mencekik leherku tiba-tiba menyeruak ke dalam pikiranku. Ini bukan mimpi buruk tapi sebuah kenyataan karena leherku sekarang benar-benar sakit sekali seperti terjerat sesuatu. Jari jemariku meraba-raba leherku untuk memeriksa apakah ada suatu barang yang menjerat lehernya. Tidak ada ... tidak ada apapun di leherku. Hatiku sedikit lega.
Lalu aku teringat suara tembakan yang berbunyi dua kali. Bagaimana bisa ada suara tembakan di kamar tidurku?
Jantungku langsung berdetak keras lagi.
Aku segera turun dari tempat tidurku.
“Ahhh … “ pekikku kaget sampai menutup mulutku karena sangat terkejut.
Seorang pria berambut coklat tertelungkup di lantai, tak sadarkan diri. Darah merah mengalir dari punggungnya. Darahnya sangat banyak, mengalir turun dari punggung pria itu sampai ke kolong tempat tidurku dan membuat sandal tidur bulu kelinci putihku sekarang sudah berubah menjadi merah, karena bagian sol sandal berisi spon tebal yang dapat menyerap darah pria itu dan akhirnya menodai bulu-bulu lembut sandalku. Jantungku meronta-ronta takut, aku sangat ketakutan.
Pembunuhan … pembunuhan ...
Orang itu pasti tertembak dan akhirnya mati di kamarku. Tapi hanya satu lubang peluru yang bersarang di punggung orang itu. Lalu dimana peluru yang kedua?
Ah … lupakan saja, ayo lekas pergi dari tempat ini, jerit hatiku.
Aku segera berdiri. Aku tak sanggup berada lebih lama lagi di kamar ini. Aku menutup mataku dan melompati tubuh pria itu. Secepat kilat aku berlari ke pintu kamar. Dan …
“Ahhh … "
Aku kembali berteriak kencang karena melihat kakakku, Zeus Anthony yang duduk di kursi roda juga taksadarkan diri. Tubuhnya miring ke kiri, pelipis kanannya terluka parah, wajahnya bersimbah darah. Darahnya bahkan muncrat sampai membasahi dinding kamarku yang dicat warna pink muda.
Kakiku langsung lemas dan jatuh terduduk. Sangat syok. Terdiam entah berapa lama, sampai kesadaranku tiba-tiba menyeruak. Aku harus memeriksa luka kakak, sebagai seorang mahasiswa kedokteran semester awal, bukan sebagai seorang adik.
Aku berusaha berdiri untuk mendekati kakak. Namun kakiku masih lemas, tidak dapat menopang tubuhku yang ingin berdiri bahkan sangat berat untuk digerakkan, aku terjatuh lagi. Lebih baik kuseret saja tubuhku pelan-pelan untuk mendekati kursi roda kakak. Dan setelah berhasil mendekati kursi roda, aku berusaha mengangkat tubuhku dan menyentuh wajah tampan kakak yang sudah pucat dan penuh darah.
Mataku segera memeriksa luka di pelipisnya, sebuah lubang kecil menyemburkan darah akibat ditembus peluru. Aku mengecek denyut nadi leher kakak, nadinya sudah tidak berdenyut lagi. Kuletakkan jariku di hidung kakak untuk mengecek napasnya. Kakak sudah tidak bernafas lagi.
Menyadari kalau kakak telah tiada, tanganku takhenti-hentinya mengusap-usap pipi kakak dan memanggilnya. Tapi aneh, telingaku takdapat mendengar suara jeritan dan lengkingan suaraku yang memanggil-manggil nama kakak, kakak yang sangat kusayangi. Dia benar-benar telah pergi meninggalkanku. Air mataku mengalir deras.
Athena POV Off
*
*
*
“Nona … Nona Athena … Apa yang telah terjadi, Nona?" tanya Bi Marni, pembantu senior di rumah ini, tiba-tiba datang dan sudah duduk berada di dekatku.
Bi Marni menoleh, melihat tuan mudanya tewas bersimbah darah di kursi roda. Mulut Bi Marni terbuka lebar. Bi Marni terkesiap kaget sampai matanya membelalak mau copot dari kepalanya.
Lalu dia memandang Athena dan menggoyang-goyangkan tubuh Athena berkali-kali sambil berkata, “Nona Athena, apa yang harus saya lakukan?”
“Panggil ambulans ke rumah,” perintah Athena cepat begitu ia berhenti menangis dan mulai dapat berpikir. Tapi suaranya hilang, bahkan ia tidak dapat mendengar suaranya sendiri.
“Apa yang anda katakan, Nona?" tanya Bi Marni panik dan bingung.
Kenapa mulut Nona bergerak tapi dia tak dapat mendengar suara Nona? batin Bi Marni.
“Nona, apakah saya harus memanggil ambulans kemari?" tanya Bi Marni menebak gerakan bibirku.
Athena mengangguk cepat. Syukurlah, Bi Marni mengerti ucapannya. Bi Marni segera berdiri dan lari ke bawah untuk menelpon ambulans.
Setelah Bi Marni pergi, Athena berusaha berdiri lagi, tapi kakinya masih lemas, Athena berusaha menyeret tubuhnya ke dekat tempat tidur. Sekarang rasa penasaran muncul dalam dirinya, ia ingin tahu siapa pria yang terbaring telungkup yang menurutnya juga sudah tewas tertembak itu. Apalah orang itu adalah orang yang ingin membunuhnya? Ah ... Athena ingin tahu wajah orang itu.
Walaupun jarak dari tempatnya berada sekarang ke tempat pria itu cuma sekitar 4 meter saja, namun terasa sangat jauh dan berat sekali ditempuh, karena Athena mendekatinya bukan dengan berjalan, tapi dengan cara menyeret-nyeret kakinya. Peluh mengucur deras di wajahnya, ia sangat kesulitan sekali menggerakkan kakinya. Tapi ia terus berusaha mendekati pria itu.
Finally … Athena berhasil mendekatinya, membalikkan punggung lelaki tu dengan susah payah. Dan Athena kembali berpekik kaget. Hefasius, keponakannya … anak kedua dari Kak Zeus. Athena mengecek denyut nadi dan nafasnya. Hefasius juga sudah tewas tertembak.
Bagaimana bisa Hefasius ada di kamarnya? Bukankah Hefasius tidak akrab dengannya?
Mau apa Hefasius datang ke kamarnya?
Bukankankah Hefasius tinggal di luar negri?
Kapan Hefasius datang ke rumah ini?
Aneh … sungguh aneh sekali …
Lalu kepala Athena mulai berpikir yang lain.
Jika ada dua orang pria tewas tertembak di kamarku, lalu di mana senjata api yang dipakai pelaku untuk mengakhiri hidup Kak Zeus dan Hefasius?
Athena berusaha mencarinya, mengedarkan pandangannya menyapu lantai di dekat tempat tidur. Tidak ada ...
Lalu Athena berusaha mengangkat tubuhnya untuk melihat lantai di sisi tempat tidur yang lain, dengan berpegangan pada kaki tempat tidur. Dan betapa kagetnya dirinya. Sebuah pistol berada di atas selimut tempat tidurnya.
Athena kembali terpekik kaget. Bagaimana pistol itu dapat berada di tempat tidurnya?
TIba-tiba saja pandangan Athena berputar-putar dan kemudian menggelap. Athena terjatuh cukup keras ke lantai.
Athena terbangun. Ruangan di sekitarnya berwarna serba putih. Dan Athena langsung tahu, itu bukan kamarnya hanya dari warna tembok kamarnya.
Di manakah aku? batin Athena.
Athena berusaha duduk di tempat tidur. Kepala bagian belakangnya sakit. Pantatnya juga linu. Athena lalu menggosok kepala bagian belakangnya, sepertinya bengkak.
Dan berusaha duduk kembali...
Ah... Berat sekali mengangkat tubuhnya, kakinya juga tidak dapat bergerak. Ia berusaha menggoyangkan telapak kakinya ke kanan dan ke kiri. Tidak berhasil.
Athena mulai merasakan keanehan pada kakinya. Kenapa kakinya tidak mau mengikuti perintah otaknya.
Athena segera menyibakkan selimutnya. Kakinya baik-baik saja, memakai celana putih dengan bunga-bunga kecil warna pink. Lalu ia juga melihat jarum infus menusuk lengan tangan kanannya.
Sepertinya aku di rumah sakit. Aku harus bertemu dengan dokter atau perawat yang berjaga di rumah sakit ini, batin Athena.
Ia lalu mencari tombol panggil darurat dan menekan tombol itu setelah menemukannya.
Beberapa saat kemudian dokter dan perawat datang ke ruangannya, tapi tidak hanya dokter dan perawat yang datang. Mereka datang bersama dua pria lain. Pria paruh baya berkacamata dan memakai pakaian serba hitam dengan jas kulit warna hitam. Dan pria lainnya adalah pria muda, wajahnya lumayan tampan, cute, tinggi dan berkulit bersih, memakai pakaian dengan warna lebih terang.
Dokter segera memeriksa Athena dengan stetoskop dan menyinari mata Athena dengan lampu senter kecil untuk melihat pupil Athena.
“Nona, apakah kepalamu masih pusing? Apakah kamu mendengar suara mendesing atau bising?” tanya Dokter lagi.
Athena menggelengkan kepala.
“Baik. Nona, apakah kamu bisa menyebutkan nama, usiamu dan nama keluargamu?" tanya Dokter serius.
“Nama saya Athena, usia 20 tahun, orang tua saya adalah Mark Anthony dan Cleopatra,” jelas Athena.
Tapi… kenapa tidak ada suara keluar dari mulutnya?
Aneh sekali… Sejak tahu Kak Zeus telah tiada, suaraku langsung hilang dan kakiku juga lemas tak bertenaga, tidak dapat berdiri dan berjalan. Apakah itu adalah efek syok yang aku derita?
Athena menjerit kaget dan menutup mulutnya.
“Ya Tuhan, kenapa hal ini terjadi padaku?” jerit Athena keras tapi tetap tidak ada suara keluar dari mulutku. Athena langsung menangis tersedu-sedu, kaget dengan kondisi dirinya sendiri sekaligus mulai meratapi kepergian kakak kesayangannya.
Dokter menepuk punggung Athena perlahan.
“Sepertinya saya harus memanggil dokter bagian kejiwaan untuk menanganimu, Nona. Hasil test keseluruhan semua bagus, tidak ada luka apapun di pita suara dan kakimu. Hanya memar di kepala, tangan, pantat. Jadi Anda tidak dapat berbicara dan berjalan itu karena efek kejiwaan anda yang sangat tertekan, Anda baru saja mengalami kejadian buruk. Nona tidak perlu khawatir tentang hal ini. Perlahan-lahan dengan terapi, anda dapat kembali normal dapat berbicara dan berjalan,” jelas Dokter dengan sabar.
Dua pria di belakang dokter langsung mendesah kesal dan kecewa.
Dokter menoleh melihat mereka berdua.
“Sepertinya Nona tidak dapat berbicara kepada kalian berdua. Tapi jika kalian memaksa, mungkin Nona dapat menuliskan perkataan yang ingin diucapkannya dan kalian bisa membacanya,” ucap Dokter pada dua pria itu.
Pria berkacamata lalu menyodorkan sebuah laptop kepada perawat. Perawat lalu membuka bagian samping tempat tidur dan menariknya menjadi sebuah meja. Lalu meletakkan laptop di atas meja, membukanya dan menekan tombol power di laptop.
“Mereka berdua adalah polisi dari kepolisian Z. Mereka datang untuk meminta keterangan atas kejadian buruk di rumah Nona. Sebenarnya saya tidak ingin mereka mengganggu istirahat Nona, tapi karena masalah ini penting dan mendesak, maka saya mengijinkan mereka masuk kemari. Tapi semua kembali kepada Nona, jika Nona keberatan, dua bapak polisi ini akan menunggu Nona sampai Nona siap memberi keterangan,” jelas Dokter.
Athena mengangguk.
Baiklah, hal ini sudah tidak dapat ditunda lagi. Hanya akulah orang satu-satunya yang masih bernyawa di kamarku. Jadi hanya akulah satu-satunya saksi yang dapat memberi keterangan, batin Athena.
Dokter dan perawat kemudian berpamitan dan meninggalkan ruangan.
Polisi berkacamata menarik sebuah kursi yang ada di samping tempat tidur, duduk dengan tenang di sana. Sementara polisi muda itu tetap berdiri.
“Nona, apakah kamu dapat menuliskan, apa yang terjadi malam itu?” tanya polisi berkacamata.
Laptop sudah menyala, Athena menggeser-geser jarinya di bagian bawah laptop agar tanda panah di layar laptop masuk ke dalam Microsoft word. Athena lalu mulai mengetik.
Malam itu aku sedang tidur di kamar. Lalu aku bangun karena pintu kamarku terbuka. Tapi gelap sekali, lampu tidurku tidak mau menyala. Seorang pria masuk dan mencekik leherku. Dan berkata “Mati kau”. Lalu terdengar tembakan dua kali.
“Sudah kutulis,” kata Athena pada dua polisi itu. Tapi sepertinya sia-sia saja, suaranya tetap tidak terdengar.
Polisi muda mendekati Athena dan membaca apa yang ia ketik agar polisi berkacamata dapat tetap duduk di kursinya.
“Bagaimana Nona tahu dia seorang pria jika ruangan itu gelap?” tanya polisi berkacamata lagi.
Athena segera mengetik jawabannya.
Dari suaranya dan dari tangannya yang besar dan kokoh.
Polisi berkacamata mengangguk setelah mendengar pembacaan dari polisi muda.
“Anda tidak melihat atau mengenali suara orang yang mencekik Anda?”
Athena menggelengkan kepala. Lalu mengetik lagi.
Suaranya serak dan kasar. Dia juga mabuk. Bau alkoholnya sangat pekat.
Polisi muda itu membacakan kembali tulisan Athena.
“Lalu apa yang terjadi setelah Anda mendengar suara tembakan?” tanya polisi berkacamata.
Athena mengetik lagi.
Kepalaku pusing karena suara mendesing. Saat aku terbangun, hari sudah pagi dan melihat Hefasius dan Kak Zeus sudah tewas.
Air mata Athena langsung mengalir deras begitu mengetik Kak Zeus sudah tewas.
Polisi muda lalu mengambil tissue di meja dan memberikannya pada Athena. Athena mengambilnya dan mengeringkan air matanya.
Terima kasih atas perhatian anda, gumam Athena pelan.
Polisi muda itu mengangguk dan bersimpati pada Athena.
“Bagaimana dengan pistol yang ada di tempat tidur, Nona? Apakah itu milik Anda?”
Athena menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Lalu segera mengetik cepat-cepat.
Aku tidak tahu bagaimana pistol itu dapat berada di tempat tidurku. Aku sangat kaget benda itu ada di sana, sampai aku pingsan lagi.
Polisi berkacamata berdehem ketika polisi muda selesai membaca tulisan Athena.
“Jadi bukan anda pembunuh mereka berdua?” tanya polisi berkacamata lagi.
Athena terbelalak kaget mendengar pertanyaan polisi berkacamata. Lalu polisi muda menunjuk-nunjuk laptop, meminta Athena menulis apa yang ingin diucapkannya. Athena segera mengetik lagi.
Apakah Anda bercanda? Aku sedang dicekik saat itu, bagaimana aku bisa menembak mereka? Aku tidak pernah punya pistol seumur hidup. Aku tidak pernah membunuh mereka. AKU BUKAN PEMBUNUH.
Lalu polisi muda itu membacakan tulisan Athena lagi dan tersenyum kecil seakan menertawai Athena yang kesal karena dituduh sebagai pembunuh.
“Baiklah… Cukup sampai di sini Nona. Jika nanti saya ada pertanyaan lagi, saya akan mengunjungi anda," kata Polisi berkacamata.
Athena menganggukkan kepalanya.
Mereka lalu mengambil laptop dan keluar ruangan.
Begitu dua polisi itu keluar, Athena langsung menekan tombol panggil darurat lagi, ingin memanggil perawat. Beberapa saat kemudian perawat datang, Athena meminta kertas dan pulpen kepada perawat dengan menggerakkan tangannya seperti orang sedang menulis. Perawat itu paham dan segera mengambil kertas dan pulpen yang ada di dalam laci meja yang ada di kamar Athena.
Athena menulis di kertas “Tolong telepon orang tuaku, minta mereka datang kemari. 081-2171-xxx dan 081-7121-xxx.”
Perawat membacanya tulisan di kertas.
“Nona, ibu anda sekarang sedang berada di ruang operasi. Terkena serangan jantung karena mendengar berita buruk yang telah terjadi di rumah anda. Ayah anda sedang menunggui ibu anda di ruang tunggu operasi. Sepertinya operasi masih berjalan dan masih belum tahu kapan selesainya," ucap Perawat.
Athena syok, sangat kaget mendengar berita buruk tentang Mama. Tentu saja Papa dan Mama sangat terpukul, sampai Mama kena serangan jantung. Papa pasti akan selalu di dekat Mama, menunggui belahan jiwanya sedang dioperasi.
"Apakah Nona mau menemui pengasuh Anda? Dia berada di luar, Nona,” kata perawat.
Athena menganggukkan kepala cepat-cepat.
Bi Marni masuk ke ruangan Athena beberapa saat kemudian.
“Nona… senang bertemu denganmu, Nona,” Bi Marni mendekap Athena dan menangis bersama Athena.
Semuanya menumpahkan kesedihan dan kemalangan yang terjadi semalam dalam kebisuan dan banyak air mata.
Bi Marni adalah pengasuh Athena sejak dia masih bayi. Usianya sudah lanjut dan dia buta huruf. Athena terpaksa harus berbicara singkat dengan gerak bibir yang jelas agar Bi Marni mengerti dan memahami maksud kata-kata yang ingin dibicarakan Athena karena sekarang Athena sudah bisu, tidak dapat berbicara lagi.
"Kakak?" tanya Athena tanpa suara.
"Nona mencari Tuan Zeus?" tanya Bi Marni serak karena kebanyakan menangis, berhasil membaca gerak bibir Athena.
Mungkin seandainya suaraku keluar, pasti juga terdengar serak, batin Athena.
Athena langsung mengangguk cepat.
"Tuan Zeus sekarang sedang diautopsi Nona. Ayah Nona sudah menandatangani berkas persetujuan autopsi. Tuan Zeus meninggal karena dibunuh, begitu kata polisi yang tadi masuk ke ruangan ini. Yang berkacamata namanya Pak Hendra, dan yang polisi ganteng dan imut itu namanya Pak Budi," jawab Bi Marni panjang supaya Nonanya tidak bertanya-tanya lagi.
Athena mengangguk dan terdiam. Hatinya kembali diselimuti duka, tersayat-sayat begitu sakit. Air matanya kembali berlinang.
Athena teringat saat-saat bahagia dan kedekatannya dengan Kak Zeus. Kakak yang selalu menyayanginya, bahkan melebihi kasih sayang Papa dan Mama yang tinggal terpisah kota dengan Athena.
Sejak kecil Athena hanya tinggal dengan Kak Zeus, dua pengasuh kesayangannya, Bi Marni dan Mbak Puput, beberapa pelayan dan supir. Papa dan Mama jarang sekali pulang ke rumah kami di Surabaya. Hanya setiap akhir pekan Kak Zeus dan Athena pergi ke vila Papa dan Mama di Batu. Papa dan Mama sangat menyayangi Athena walaupun mereka hanya bertemu dua hari dalam sepekan. Oleh karena itu Kak Zeus lah yang mengambil peran sebagai ayah dan ibu bagi Athena.
Athena takpernah mempermasalahkan dan menanyakan kenapa Papa dan Mama tidak tinggal serumah dengan Athena, karena kasih sayang Kak Zeus sudah sangat berlebihan untuk Athena. Athena tumbuh menjadi gadis yang ceria dan selalu bahagia dalam lindungan Kak Zeus. Kak Zeus selalu menolongnya, menghiburnya, merawatnya saat dia kesusahan atau dalam masalah atau sakit.
Kami benar-benar kakak beradik yang sangat amat dekat. Bahkan beberapa orang yang mengenal kami, menganggap hubungan kami tidak seperti kakak dengan adik, tapi seperti ayah dengan putrinya. Terserahlah, orang mau berkata apa, Athena tetap mengagumi dan selalu menyayangi Kak Zeus sebagai kakaknya.
Sekarang kakak kesayangannya sudah tiada, lalu bagaimana dirinya sekarang? Siapa yang akan mencintainya sedalam cinta dari Kak Zeus? Apalagi sekarang dia tak dapat bicara dan kakinya lumpuh? Apakah setelah ini, dia harus pindah ke Batu, tinggal di vila bersama Papa dan Mama? Atau tetap tinggal di rumah sendirian?
Ah... Athena tidak mau kembali ke rumah itu lagi. Athena takut sekali, ada pembunuhan dan banyak darah di rumah itu.
Athena juga tidak mau tinggal di vila, karena Athena masih kuliah, kalau dia pindah ke Batu, bagaimana kuliahnya? Apakah harus putus kuliah? Tidak... Athena mau tetap kuliah, Athena tahu dia, harus kembali berkegiatan normal untuk melupakan kepergian Kak Zeus, walaupun keadaan sekarang sudah berbeda.
Kalau begitu lebih baik setelah keluar dari rumah sakit, Athena pindah ke apartement milik Kak Zeus saja, daripada harus tinggal di rumah atau di vila. Apartement Kak Zeus juga jaraknya dekat dengan kampus. Bi Marni dan Mbak Puput juga akan menemani Athena di apartement.
Tiba-tiba pintu terbuka dan perawat masuk ke ruangannya sambil mendorong kursi roda.
"Nona, saya akan mengantar Anda ke ruang Dokter Roy, psikiater di rumah sakit ini," kata perawat itu.
Athena menghapus air matanya. Mengangguk tanda setuju, Athena sadar dia butuh bantuan psikiater untuk memulihkan jiwanya yang rapuh sehingga trauma yang dialaminya menipis dan dia dapat berbicara dan berjalan lagi. Tidak dapat berbicara itu sangat tidak mengenakkan.
Perawat dan Bi Marni membantu Athena turun dari tempat tidur dan duduk di kursi roda. Dan setelah Athena duduk nyaman di kursi roda, perawat mendorong kursi roda itu keluar ruangan menuju ruangan psikiater yang ditunjuk untuk membantunya.
Perawat telah meminta Bi Marni untuk tetap tinggal di kamar karena percuma saja Bi Marni ikut, yang boleh masuk ke ruang dokter hanya Athena.
Athena menutup matanya saat keluar dari kamar. Koridor rumah sakit yang sedikit agak ramai, membuat hati Athena tidak nyaman. Dan Athena baru membuka matanya saat mendengar suara Dokter Roy.
"Selamat siang, Nona Athena," sapa Dokter Roy.
Dan ketika Athena membuka matanya, dia melihat ekspresi terkejut dari wajah Dokter yang ada di depannya.
"Mutiara Samudera....," ucap Dokter Roy. Mata Dokter Roy memandangi Athena tanpa berkedip bahkan mulutnya juga menganga lebar cukup lama.
"Dokter... Kok bengong? Namanya itu Athena Anthony, bukan Mutiara Samudera," ucap perawat genit pada Dokter Roy, dokter yang tampan dan penuh wibawa. Usia Dokter Roy mungkin belum 40 tahun, tapi prestasinya cukup lumayan, karena Athena melihat beberapa piagam dan plakat penghargaan di lemari kaca yang ada di belakang Dokter Roy duduk.
Athena bingung dengan apa yang diucapkan Dokter itu.
Siapa itu Mutiara Samudera? Aku tidak mengenalnya? Kenapa Dokter Roy memanggilku dengan nama itu? batin Athena.
Dokter Roy seakan tidak mendengar ucapan perawatnya. Dia bangkit dari kursinya, lalu berjalan mendekati Athena dan berlutut di depan kursi roda Athena, melihat wajah Athena dari dekat.
Perawat genit itu sampai terkaget-kaget dengan sikap Dokter Roy. Mata Dokter Roy sekarang berubah menjadi terpesona, senyum mengembang lebar di wajahnya.
"Akhirnya aku menemukanmu Mutiara," ucap Dokter Roy lagi dan memegang tangan Athena, meremasnya dengan lembut. Athena sampai gugup melihat tangannya digenggam oleh seorang dokter yang tidak dikenal. Sekarang ini Athena mau konsultasi untuk menyembuhkan jiwanya, tapi kenapa Dokter berprestasi yang ada di hadapannya sepertinya mengalami gangguan jiwa parah? Athena segera menarik tangannya.
Perawat juga menggoyang bahu Dokter Roy.
"Dok ... sadar, Dok. Dia bukan orang yang dokter maksud," ucap perawat itu lebih keras dan tegas, tidak seperti sebelumnya.
Dokter Roy seperti tersadar setelah mendengar ucapan perawatnya. Mengerjab-kerjabkan matanya, berdiri dan kembali ke kursinya lagi.
"Maaf, Nona Athena. Anda sangat mirip sekali dengan teman SMA saya," ucap Dokter Roy tersipu malu.
"Baiklah, kalau begitu kita mulai sesi terapi kita hari ini," ucapnya lagi dengan gagah.
Athena mengangguk dan sudah melupakan kejadian aneh yang baru saja terjadi.
*
*
*
Setelah terapi Athena selesai dan Athena keluar dari ruangan prakteknya. Dokter Roy segera mengambil handphonenya dan menelpon seseorang.
"Andri.... kau takkan percaya dengan apa yang akan aku sampaikan ini," ucap Roy sangat antusias.
"Apaaan, Roy? Aku lagi rapat nih. Penting atau tidak penting? Kalau tidak penting, ntar aja telpon lagi," ucap Andri.
"Penting banget, Bro... Aku baru saja bertemu seorang gadis yang mirip sekali dengan Mutiara Samudera, teman kita di SMA dulu."
"Gadis? Maksudnya?"
"Gadis ya anak perempuan lah, Bro. Umurnya 20 tahun. Matanya, hidungnya, mulutnya, semuanya mirip Mutiara. Aku sampai meremas tangannya karena aku pikir dia Mutiara."
"Yang bener, Roy? Bagaimana mungkin ada orang lain semirip Mutiara? Emang dia anaknya Mutiara?"
"Bukan, di laporan tertulis nama ibunya adalah Cleopatra, bukan Mutiara. Makanya aku nelpon kamu. Kalau kamu ada waktu, datang ke rumah sakit, Ndri. Lihatlah dia, mirip atau tidak dengan Mutiara."
"Aduh, Bro. Kalau kamu udah nekat sampai pegang tangan gadis itu, ya udah pasti lah dia mirip Mutiara," kata Andri mulai serius, karena sohibnya Roy ini tidak mungkin salah menilai seseorang.
Roy tertawa mendengar ucapan Andri.
"Ya udah, Bro dilanjut rapatnya. Ntar malam, kalau ada waktu, kita ketemu di bar ayahku, okay?"
"Beres, Bro. Ntar aku kabari."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!